Pages

Monday, January 14, 2013

Mengintip Kehidupan Waria Taman Lawang

NIM : 11140110042 
Nama : Serenata Rosalia Leony Marie Jose
Kelas : E1



Bila ku mati...
Kau juga mati...
Walau tak ada cinta...
Sehidup semati...

Mendengar lirik lagu di atas, kita pasti sudah tahu siapa objek yang dituju lagu tersebut. Ya, waria. Lagu ini dibawakan Naif, salah satu band yang terkenal di era 1998. Dalam video klipnya, Naif menunjukkan kegiatan sehari-hari seorang waria yang diperankan oleh alamarhum Avi.
Menjadi seorang waria tentulah bukan keputusan yang mudah untuk dilakukan. Perlu keberanian dan kepercayaan diri yang tinggi untuk mengakui bahwa ada sesuatu yang salah dalam diri. Tanpa adanya keberanian dalam mengekspos jati diri, maka seorang waria akan terkurung dan tertekan selama masa hidupnya karena merasa ia terjebak di tubuh yang salah.
Hal ini tentu berhubungan dengan identitas pribadi, seperti yang sudah diajarkan dalam Komunikasi Antar Budaya di mana identitas pribadi ini memiliki karakteristik yang membuat seseorang merasa berbeda dari orang lain di sekitarnya, karakteristik yang membuatnya merasa unik dan bagaimana dia memandang dirinya sendiri. Identitas pribadi ini juga tentu dibentuk oleh lingkungan dan budaya sekitarnya.
Pada dasarnya waria pasti menyukai lelaki atau sesama jenis. Melalui perubahan statusnya inilah para waria mencari nafkah. Ya, sama seperti PSK, mereka juga “melayani” laki-laki. Para waria ini biasanya berkumpul di satu tempat dan tempat yang paling terkenal bagi perkumpulan para waria di Jakarta adalah Taman Lawang, Menteng, Jakarta Pusat dan sudah menjadi rahasia umum bahwa jika malam hari tempat ini menjadi “pangkalan” waria-waria. Sementara siang hari, taman ini hanyalah merupakan taman biasa di mana para pedagang kaki lima penjual makanan berkumpul. Di depan taman itu sendiri, sepanjang jalan diisi dengan kios-kios yang menjual ikan-ikan hias.

 Taman Lawang di siang hari, banyak pedagang kaki lima berjualan.

 Taman Lawang di malam hari.

Ketika mendapatkan tugas akhir untuk meliput suatu komunitas yang unik dan memiliki ciri khas, saya berpikir keras, komunitas apa yang layak untuk diliput dan bukan hal yang biasa. Maka, saya dan dua teman saya terpikirkan komunitas waria Taman Lawang. (Untuk mempermudah tugas ini, dosen kami, Pak Inco, memperbolehkan kami melakukan observasi secara bersamaan (beberapa orang) tetapi dengan sudut pandang atau hasil yang berbeda.)
Meliput waria bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Walau tiba di sana sore hari, tetap harus menunggu hingga jam 22.00 karena waria-waria baru keluar pada pukul itu. Setelah perjuangan selama berjam-jam menunggu di dalam mobil, akhirnya pada pukul 00.00 ada waria juga yang bersedia diwawancara, Tante Ajeng.
Hari pertama datang, saya hanya berbincang-bincang dengan Tante Ajeng untuk meminta persetujuannya diwawancara dan bernegosiasi pembayarannya. Dalam negosiasi ini, saya dibantu oleh “keamanan” setempat yang bernama Bang Opay.
Bang Opay sendiri menjanjikan saya dan dua teman saya akan melancarkan segalanya dengan Tante Ajeng jika kami membayar Rp300.000 saat itu juga. Uang itu akan diberikan kepada Tante Ajeng dan selanjutnya saya hanya tinggal datang ke kos Tante Ajeng untuk melakukan observasi.

Gang kecil menuju kos-kosan Tante Ajeng


Dari kos-kosan Tante Ajeng terlihat Gedung Bank Mandiri, Jakarta Pusat.

Tante Ajeng sendiri bersedia diobservasi keesokan harinya, dengan catatan Bang Opay harus menemui Bundanya terlebih dahulu. Bunda adalah sebutan bagi Ibu kos Tante Ajeng dan Bunda Joice sendiri adalah ketua waria untuk wilayah Jakarta Pusat. Dini hari itu, Bang Opay berjanji akan menemui Bunda secara pribadi untuk meminta izin bagi saya dan dua teman saya sehingga esok harinya saya hanya cukup langsung datang ke kosan Tante Ajeng. Saya pun sampai di Serpong, kosan saya, pukul 01.30.
Keesokan harinya, tepat malam Minggu, saya dan dua teman saya kembali datang dan tiba di Taman Lawang sore hari, sekitar pukul 16.00. Sesampainya di sana, saya segera mengirimi Bang Opay pesan singkat, memberitahu dia bahwa saya dan dua teman saya sudah sampai di Taman Lawang dan siap untuk segera dibawa ke kos Tante Ajeng. Namun, apa daya, Bang Opay seperti hendak menipu saya. Dia membalas pesan singkat saya dengan meminta maaf tidak bisa menemani karena istrinya pendarahan dan masuk rumah sakit.
Saya dan dua teman saya pun berinisiatif untuk mendatangi kios ikannya karena kemarin dia mengatakan bahwa dia memiliki kios ikan di depan Taman Lawang itu. Orang-orang di kios pun tidak tahu ke mana perginya Bang Opay. Namun, untungnya dia masih berniat memberikan alamat kos Tante Ajeng dan menunjukkan arah jalannya menuju kos  Tante Ajeng.
Berlandaskan petunjuk melalui pesan singkatnya, saya segera mendatangi alamat tersebut dan untungnya lagi alamat tersebut tidak palsu. Kos Tante Ajeng berada di gang kecil dan sempit, tanpa halaman depan dan lantainya hanya beralaskan kayu papan saja. Kosan ini semua kamarnya diisi oleh waria. Di sinilah, saya dan dua teman saya baru bertemu Bunda.
Keanehan baru saja terbaca di sini. Ternyata, Bang Opay sama sekali belum menemui Bunda untuk meminta izin bagi kedatangan saya dan dua teman saya. Bunda terlihat bingung ketika melihat saya dan dua teman saya datang sambil membawa kamera.
Untungnya, Bunda welcome dan bersikap ramah terhadap kedatangan saya. Setelah menyampaikan maksud kedatangan, Bunda meminta salah satu anak kos untuk memanggil Tante Ajeng. Tante Ajeng pun turun hanya dengan mengenakan kain yang membalut tubuhnya sampai batas bahu dengan jaket hitam. Wajahnya masih terlihat amat laki-laki karena belum make up sama sekali.

Tante Ajeng sebelum make up.

Di sini bisa terlihat jelas bahwa Bunda dan para waria lainnya berusaha mengekspresikan dirinya melalui komunikasi nonverbal yang ditunjukkan dengan pakaian-pakaian yang mereka kenakan. Bunda sendiri hanya memakai daster dan salah satu anak kos yang disuruh Bunda tadi memiliki rambut yang amat panjang, memakai pakaian wanita yang ketat dan celana panjang, kukunya pun dipanjangi dan dicat.
Ternyata, saya dan dua teman saya ditipu oleh Bang Opay. Tante Ajeng mengatakan bahwa Bang Opay hanya memberikannya Rp100.000 kemarin malam. Kemanakah Rp200.000 lainnya? Saya benar-benar geram mengingat Bang Opay yang sudah berani menipu. Tante Ajeng sendiri tidak mau diobservasi jika hanya dibayar Rp100.000. Ia meminta Rp400.000 lagi supaya bisa dibagi dua untuk dia dan Bunda. Saya dan dua teman saya tentu saja keberatan dengan permintaan Tante Ajeng ini karena itu sudah melewati budget.
Di sini, waria yang berambut panjang tadi akhirnya menjadi penengah. Dia menyarankan agar saya dan dua teman saya mengeluarkan Rp200.000 lagi, Rp100.000 untuk Tante Ajeng dan Rp100.000 untuk Bunda. Bunda sendiri tidak keberatan asalkan Tante Ajengnya bersedia untuk diwawancara.
Akhirnya, setelah perdebatan yang cukup alot, Tante Ajeng menyetujui juga untuk membantu saya dan dua teman saya. Observasi pun mulai dilakukan. Saya diajak naik ke atas, ke kamar Tante Ajeng. Ada empat kamar di atas, salah satu kamar sedang diisi canda tawa dua orang waria yang sedang menonton TV sementara di ujung satunya lagi ada dua orang waria yang tengah saling membantu dalam berdandan.
Dalam gedung ini terdapat delapan kamar dan satu kamar bertarif Rp400.000 per bulannya. Fasilitasnya terbatas, hanya sebatas kamar mandi luar sementara barang-barang lain seperti kasur, lemari, meja rias, kipas angin, TV, dan lain-lain harus dibeli sendiri.
Berdasarkan pengamatan saya, di kosan itu budaya kolektivis terlihat jelas. Waria-waria di kosan ini tidak mencari nafkah secara individu melainkan secara kolektivis. Salah satu waria yang sedang berdandan itu tengah menyambung rambut atau extension dan hal itu dilakukan oleh temannya yang satu lagi.

Budaya kolektivisnya terlihat kental, saling membantu satu sama lain.

Saya dan dua teman saya disuruh menunggu terlebih dahulu karena Tante Ajeng ingin mandi. Selesai mandi, barulah wawancara dengan Tante Ajeng pun dimulai. Nama asli Tante Ajeng sendiri adalah Irwansyah dan dia sendiri berasal dari Medan. Sudah tujuh tahun dia menjadi waria di Taman Lawang. Perasaan berbeda dia rasakan semenjak umur enam tahun. Ketika diwawancara, Tante Ajeng atau Irwansyah mengaku bahwa tidak ada faktor lingkungan yang memengaruhinya karena dia sendiri anak pertama dari empat bersaudara dan kedua orang tuanya pun tidak pernah mengajarinya hal-hal yang berbau perempuan.
Tante Ajeng mengaku hal yang membuat dia memutuskan untuk pindah ke Jakarta adalah karena dia merasa terkekang dalam keluarga, dia merasa tidak bisa mengekspresikan jati dirinya sehingga dia memilih untuk pindah ke Jakarta.
Dari cerita Tante Ajeng ini bisa kita lihat betapa pentingnya peranan keluarga dalam membentuk jati diri. Keluarga merupakan unit paling mendasar dan merupakan lingkungan pertama di mana seseorang belajar untuk hidup dan mengajarkan nilai-nilai. Seperti yang dikatakan oleh Swerdlow, Bridenthal, Kelly, dan Vine: “Di sinilah tempat seseorang untuk pertama kalinya merasakan cinta, dan kebencian, pemberian, dan penyangkalan; dan kesedihan mendalam. Di sinilah harapan untuk pertama kalinya muncul dan bertemu atau kekecewaan terjadi. Di sinilah tempat seseorang belajar siapa yang harus dipercaya dan ditakuti. Di atas semuanya itu, keluarga merupakan tempat orang-orang memulai kehidupan mereka.”
Dalam keluarga, Tante Ajeng tentunya mengalami penyangkalan atas jati dirinya. Setelah itu, dia pasti mengalami kekecewaan dan kesedihan mendalam karena penyangkalan yang dilakukan keluarganya ini. Pengertian keluarga amat dibutuhkan untuk setiap manusia. Tanpa adanya pengertian dan dukungan yang berarti dari keluarga, maka semuanya akan terlihat sia-sia walau jika Tante Ajeng sudah mendapatkan dukungan dari teman-temannya, karena setelah semuanya, keluargalah yang paling penting.
Dalam melakukan pekerjaannya, komunikasi verbal dan nonverbal pun digunakan oleh Tante Ajeng. Untuk menarik pelanggan, dia memoles diri secantik mungkin agar pelanggan terpikat dan mau “menyewa”-nya. Sementara dalam komunikasi verbal, Tante Ajeng mengaku harus menggunakan kata-kata atau rayuan-rayuan juga agar ada orang yang mau “menyewa.” Ketika observasi, komunikasi verbal yang saya lihat secara langsung adalah dengan mengucapkan, “Hai, Sayang, mau ke mana?” atau “Sayang, sini dong!”
Kecakapannya dalam memoles diri dia pelajari dengan cara otodidak dan melalui LSM-LSM yang ada dalam komunitas waria se-Jakarta, seperti LSM Srikandi yang dibagi dalam beberapa wilayah dan memiliki unit tertentu lagi khusus untuk waria, yaitu Sanggar Waria. Dalam lembaga itu, diajarkan cara-cara berdandan dan juga setiap dua bulan sekali diadakan cek psikis dan HIV, serta seminar tentang bahaya HIV dan cara menghindarinya.
Untuk tarifnya sendiri, tergantung dari tempat dia dan pelanggannya “bermain.” Paling murah Rp50.000 jika bermainnya di Taman Lawang. Sementara tarif paling tinggi Rp200.000-Rp300.000. Kendaraan pribadi yang dibawa oleh pelanggan sendiri juga akan mempengaruhi tarif yang diberikan Tante Ajeng. Pendapatan yang biasa didapat Tante Ajeng per hari biasanya berkisar antara Rp300.000 hingga Rp500.000.
Menurut pengalaman Tante Ajeng, terkadang ada saja orang iseng yang menganggu waria di sekitar Taman Lawang. Namun, jika salah satu waria digoda atau diejek oleh orang, maka teman-teman waria lainnya tidak akan tinggal diam. Mereka pasti akan membela satu sama lain. Hal ini dikarenakan adanya perasaan persamaan nasib dan kekeluargaan yang tumbuh di antara mereka. Mereka mengalami keganjilan yang sama terhadap diri sendiri dan bisa saling berbagi satu sama lain sehingga mereka juga saling memiliki perasaan yang sama terhadap apa yang dihadapi.
Beralih kepada kegiatan sehari-hari Tante Ajeng, biasanya Tante Ajeng “keluar” pukul 22.00 sampai 05.00 sehingga siang hari pekerjaannya hanya tidur dan bermain di kosan saja bersama waria lainnya. Pembicaraan yang dilakukan antar waria juga memiliki argot yang biasanya tidak diketahui artinya oleh semua orang. Contohnya, aku disebut dengan akikah. Ratus disebut dengan retong (dua ratus ribu menjadi dua retong ribu). Bahasa slank juga tak kalah ketinggalan di kalangan waria, misalnya penambahan kata “bo” atau “say” atau “cin” di setiap akhir kalimat yang diucapkannya.

Suasana salah satu kamar kos waria yang dijadikan tempat ngumpul.

Waria-waria di Taman Lawang sendiri sikap dan perilakunya dibedakan dari wilayahnya. Untuk wilayah “depan”, yang dekat jalan raya, waria-waria yang ada di sana berasal dari Palembang dan menurut warga sekitar cenderung kasar dan galak. Sementara waria-waria yang “mangkal” di belakang, seperti Tante Ajeng, kebanyakan berasal dari Bandung sehingga cenderung lebih halus walaupun Tante Ajeng sendiri berasal dari Medan. Sementara untuk bagian yang di dekat jalan layang, sudah merupakan waria yang bertarif bule atau menggunakan dolar. Jika bukan bule yang berhenti untuk “menyewa”-nya, waria tersebut tidak akan mau.
Ketika wawancara di awal dengan Bang Opay, dia mengatakan bahwa banyak bule, pejabat, bahkan artis seperti Olga Syahputra yang sering main ke Taman Lawang. Sebelum datang ke Taman Lawang secara langsung, sering saya dengar cerita-cerita dari teman atau bahkan berita-berita di internet yang mengatakan bahwa waria Taman Lawang selalu jahat dan pasti akan menjadi sensitif dan galak jika ada perempuan yang datang. Perempuan yang datang akan dianggap mengambil “lapak” mereka untuk menggaet lelaki.
Namun, setelah datang mengobservasi langsung seperti apa lingkungannya, bertemu dengan Bunda, Tante Ajeng, dan waria lainnya di kosan Bunda, sepertinya cerita maupun berita di atas hanya rekayasa belaka. Mereka sangat ramah dan sopan dalam menyambut saya dan kedua teman saya yang notabene adalah perempuan tulen. Tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya bahwa saya akan dibenci dan tidak diterima untuk datang mewawancara ke sana.
Hal ini berhubungan juga dengan streotip, yaitu bagaimana kita menghadapi orang-orang tertentu yang didasarkan pada pengalaman. Kita sebagai manusia pasti selalu dipengaruhi oleh streotip yang nantinya akan mengarahkan sikap kita dalam menghadapi lingkungan sekitar. Untuk menghindari streotip ini, kita harus bisa bersikap terbuka terhadap hal-hal dan informasi baru serta waspada terhadap zona tidak nyaman yang kita miliki.
Menjadi seorang waria adalah pilihan hidup seorang Irwansyah atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Ajeng. Setiap orang mau untuk dihargai dan dianggap “ada” walaupun mereka berbeda dari yang lain. Begitu pula dengan waria-waria yang ada di Taman Lawang maupun yang berada di daerah lainnya. Mereka mau dihargai dan kita pun harus menghargai orang lain untuk menyatakan bahwa kita baik-baik saja dalam melakukan relasi antarbudaya. Seperti yang dinyatakan Burbulies, perilaku ini merujuk pada “hukum timbal balik” di mana kita mengembangkan “perilaku saling menghormati.” Dalam hal ini, kita harus bisa lepas dari budaya yang sudah melekat pada diri kita dan menerima budaya baru yang rasanya amat lain dan berbeda dengan budaya kita.
Tante Ajeng sudah memilih jalan hidupnya untuk menjadi seorang waria dan tidak mau berubah menjadi seorang pria lagi. Untuk keberaniannya ini, dia harus menerima tanggung jawab yang akan dia hasilkan akibat pilihannya itu. Keputusannya pasti mengalami pro dan kontra di masyarakat sekitar dan konsekuensi ini menurut Dalai Lama berhubungan dengan “tanggung jawab universal kita.” Kita pun sebagai masyarakat berperan besar untuk bisa saling menghargai perbedaan yang ada satu sama lain dan memperbanyak informasi agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap budaya yang ada. Tanpa adanya komunikasi antar budaya yang baik, kita tentu tidak akan bisa saling menghormati perbedaan yang ada J

Tante Ajeng udah siap bekerja nih setelah diwawancara :D

Sebelum kerja tadi, foto dulu sama Tante Ajeng *saya yang pake kaos biru, Pak*. Makasih ya, Tan atas waktunya!

NB : Sorry for the bad quality of the video ya guys karena saya ngerekamnya pake camera digital dan fotonya juga hasil capture karena udah gak ada kepikiran untuk foto2 lagiii *grogi* :D But at least, semoga ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari video ini. Terima kasihhhh ^^




5 comments:

  1. Terimakasih banyak udah sharing hasil penelitiannya, membantu sekali untuk saya yang lagi ngerjain tugas etnografi kebetulan ngangkat tema yang mirip, pertamanya saya bingung gimana mau wawancara mereka akhirnya jadi tahu pasaran mbayar berapa :) salam kenal ya

    ReplyDelete
  2. Di undang2 ada gan...
    Quote:

    UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (“UU Merek”) sendiri, hanya dikenal istilah barang palsu untuk menyebut barang-barang yang diproduksi dan/atau diperdagangkan dengan menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain.
    an sanksi bagi pembuat dan penjual produk palsu.

    wah,
    termasuk yg di taman lawang dong.....
    ◦нê◦нë◦нê◦нë◦нê◦°◦

    ReplyDelete
  3. jadi tau budget nya nih, wah terimakasih yaa info dr pengalamannya sangat membantu. klo budget nya segitu mah lebih baik buat tugas akhir dan kelompok :D

    ReplyDelete
  4. kerenn banget artikelnya, inspiratif sekali...

    ReplyDelete