Nama : Ayu Nofi Liana
NIM : 11140110169
Kelas : F-1
NIM : 11140110169
Kelas : F-1
Jem
udah hampir jem 03.00 dan perjalanan kita dimulai pada tanggal 22 Desember 2012
dengan menggunakan dua mobil dan jumlah anggota yang pergi adalah 17 orang. Kita
memutuskan untuk pergi subuh-subuh agar waktu kita untuk observasi di Kampung Naga tidak terbuang banyak. Lama perjalanan untuk sampai ke Tasikmalaya adalah
6 jam tapi jika kena macet dapat mencapai 8-10jam. Tapi karena kita perginya
ramai-ramai, perjalanan yang memakan waktu lama ini menjadi sangat menyenangkan
karena kita satu sama lain saling bercanda dan bernyanyi-nyanyi.
Saya memutuskan untuk melakukan
observasi ke Kampung Naga karena Kampung Naga memang masih tradisional dan
budayanya masih memegang kuat adat istiadat yang dianut masyarakatnya. Apalagi
budaya Kampung Naga masih belum seutuhnya tersentuh budaya modern sekarang ini.
Struktur bangunan, kepercayaan, mata pencaharian, dan tradisi kampung inilah
yang menjadi suatu keunikkan bagi saya. Karena saya lebih ingin melakukan
pendekatan observasi dengan masyarakat dan budayanya maka saya dan teman-teman
saya memutuskan untuk tinggal 2hari 1malam di kampung tersebut.
Kampung Naga terletak di desa
Neglasari, kecamatan Salawu, kabupaten Tasikmalaya, provinsi Jawa Barat. Luas
perkampungan ini 1.5Ha dan ada 100 bangunan. Di kampung Naga ini ada 108 kepala
keluarga dan terdapat 314 jiwa orang. Lokasi kampung naga sendiri berbatasan
dengan: sebelah Timur dan Utara berbatasan dengan sungai Ciwulan dan sebelah
Barat berbatasan dengan hutan keramat
(leuweng keramat).
Then, THE STORY is……
Selama
perjalanan enam jam lamanya, sampailah saya di Kampung Naga. Ketika turun dari
mobil, terdapat tugu yang menandakan bahwa kita sudah sampai di Kampung Naga,
eits..tapi jangan senang dulu karena untuk menjangkau kampung naga hanya bisa
berjalan kaki dan menuruni tangga 439 tangga. Konon katanya jumlah anak tangga
yang dihitung per-tangga berbeda-beda tidak selalu sama jumlahnya. Saya juga
bingung kenapa bisa seperti itu, lalu saya mencoba menghitung dalam keadaan
ketika turun dan naik, dan ternyata benar jumlah kedua nya berbeda. Hal ini
bukan dikarenakan adanya hal mistis tapi mungkin karena perjalanan yang membuat
saya lelah sehingga saya sudah tidak konsentrasi lagi untuk menghitung maka itu
jumlah nya selalu berbeda.
Tugu Kujang Pusaka |
Menuruni tangga untuk mencapai Kampung Naga |
Saya berbicara kepada Mang No (pemandu wisata
kita) apa masyarakat kampung Naga tidak lelah selalu naik dan turun tangga ini,
apalagi masyarakat selalu beraktifitas di luar kampung naga ini. Mang No bilang
kalau masyarakat sini sudah terbiasa, lagipula dengan naik atau turun tangga
ini dapat melatih diri sesorang karena seseorang itu jangan mau enak saja
ketika pada saat turun tapi juga harus bersusah payah ketika pada saat naik.
Dengan mendengar ini benar juga perkataan Mang No bahwa untuk mencapai sesuatu
yang kita inginkan harus didasari dengan perjuangan.
Mang No |
Sampailah saya di kampung Naga ketika sudah
melewati tangga tersebut. Betapa asri nya kampung ini, benar-benar masih
suasana desa sekali disini dan saya merasakan cuaca yang menyejukkan. Terlihat
keindahan yang bagus dan masih alami yang biasanya saya lihat hanya di
televisi. Banyak orang berlalu lalang, meliputi masyarakat yang sedang bekerja
maupun orang-orang yang datang dari luar kampung yang ingin berwisata di
kampung ini. Banyak juga anak-anak sekolahan dan anak kuliah bahakan sampai
bule-bule yang datang untuk melihat kampung Naga ini, ternyata kampung ini
benar-benar sungguh terkenal dalam kebudayaannya.
Dari pertama kali sampai saya dapat melihat
deretan-deretan rumah yang tersusun berurutan dan rumah-rumah tersebut saling
berhadap-hadapan. Bentuk semua rumah pun sama yaitu selalu ada dua bagian yaitu
pintu masuk utama dan sebelahnya lagi pintu masuk untuk bagain dapur. Semua
rumah di Kampung Naga juga terbuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar seperti
ijuk dan tidak diperbolehkan terbuat dari dinding atau beton. Pemasangan
listrik juga tidak ada di kampung ini jika pemasangan listrik tidak rapih takut
terjadi korsleting dan kebakaran apalagi ditambah lokasi Kampung Naga yang jauh
dari gambir pemadam kebakaran. Tidak adanya listrik menjadikan masyarakat dapat
hidup lebih sederhana karena tidak terpengaruh dari dunia luar seperti adanya
televise.
Dua bagian pintu yang bersebelahan |
Posisi rumah yang saling berhadapan |
Semua rumah di Kampung Naga tidak memilik kursi dan meja
karena masyarakat beranggapan bahwa semua manusia itu sederajat jadi jika ada
tamu yang datang maka akan duduk semua di lantai kalau tidak pasti ada yang
duduk di kursi dan ada juga yang dibawah. Perabotan untuk memasak pun juga
masih terbilang tradisional masih menggunakan kayu bakar dan tungku. Setiap
rumah tidak memiliki kamar mandi sendiri, kamar mandi disediakan di setiap
sudut rumah tersebut. Semua aktifitas dari mandi, buang air kecil dan besar,
dan mencuci semua dilakukan di kamar mandi bersama. Kamar mandinya pun juga
masih tradisional tidak seperti kamar mandi pada umumnya dan airnya mengalir
langsung dari jalur bambu yang sudah dibuat. Terdapat dua saluran air yaitu
saluran air bersih dan saluran air sungai.
Dapur yang masih sederhana |
Kamar mandi yang terbuat dari bambu |
Yang
saya perhatikkan ketika sedang keliling kampung ini adalah setiap pintu rumah
pasti ada sebuah gantungan. Saya dijelaskan oleh Mang No bahwa gantungan
tersebut disebut Tolak Bala yang terbuat dari opak dan dupi yang dipercayai
untuk keselamatan setiap rumah.
Tolak Bala |
Setiap para wisatawan yang berkunjung sangat diharapkan
untuk meminta izin kepada sesepuh kampung. Menurut saya hal ini untuk membuat
kami para wisatawan untuk bersikap sopan dengan meminta izin bahwa kita akan
melakukan observasi di kampung ini.
Di Kampung Naga memang berbeda dengan budaya luar sana
karena disini terdapat dua pimpinan yaitu pimpinan formal dan nonformal.
Pimpinan formal terdiri dari kepala dusun dan pak RT dan pemilihan ini dipilih
secara demokrasi oleh masyarakat. Masa jabatan juga terbilang lama yaitu 5-6 tahun. Tugasnya adalah menyampaikan pemerintahan
dari atasan sampai ke masyarakat.
Pimpinan nonformal terdiri dari tiga
orang, yaitu Pak Kunsen yang tugasnya memimpin ziarah ke makam, kemudian Pak
Punduh yang tugasnya mengayomi warga, lalu yang terakhir pak Lebe yang mengurus
jenazah yang meninggal sampai menguburkan dan sebagai sarana keagamaan. Masa
jabatan ketiga pimpinan nonformal ini adalah seumur hidup atau semampunya.
Pimpinan ini terpilih karena memang keturunan nenek moyang. Jika suatu saat
salah keturunan tidak memiliki anak maka pergantian pimpinan ini dapat
digantikan dengan saudara keturunan tersebut yang memiliki anak.
Pak Punduh |
Kebanyakkan masyarakat Kampung
Naga menggunakan bahasa Sunda, tidak terlalu lancar
menggunakan bahasa Indonesia. Pekerjaan utama masyarakat adalah bertani dengan
melakukan penanaman padi setahun dua kali yang disebut dengan Janli yaitu
penanaman dilakukan pada bulan Januari dan bulan July. Disamping itu, tidak
hanya bekerja sebagai petani tapi masyarakat kampung Naga juga membuat kerajinan
tangan dari bambu; berternak biri-biri, kambing, kerbau dan ikan.
Ikan-ikan
tersebut juga dapat digunakan untuk melakukan pengobatan. Tidak hanya
masyarakat dalam Kampung Naga yang menggunakan tapi banyak juga wisatawan yang
melakukan pengobatan ini dengan menyemplungkan kakinya kedalam kolam. Kita juga
dapat memberi makan ikan-ikan tersebut dengan makanan ikan yang sudah
disediakan hanya membayar Rp.1000 saja.
Kesenian yang terkenal di Kampung Naga ada tiga yaitu angklung, kembang-kembung, dan arinding. Tetapi alat music arinding ini yang menurut saya sangat unik dan khas. Baru pertama kali saya melihat dan mendengar alat music ini. Cara memainkannya dengan menaruh alat music tersebut di mulut kita lalu di pukul-pukul sisi bagian kanan. Hanya orang-orang yang sudah ahli yang dapat memainkannya sehingga dapat menimbulkan nada yang tidak sumbang salah satunya yaitu Pak Yusup Abah Arinding.
Arinding |
Pak Yusup Abah Arinding |
Tidak hanya para wisatawan yang datang untuk melihat keindahan Kampung Naga ini tapi banyak juga para penjual makanan yang berasal dari luar kampung ini datang untuk berjualan karena mereka melihat adanya peluang untuk mencari nafkah. Maka itu kita tidak perlu takut jika lapar di waktu senggang, cukup berjalan kaki kearah luar kampung maka kita dapat menemukan banyak penjual yang sedang berjualan.
Untuk
pengobatan di kampung ini yang diutamakan adalah obat-obat tradisional terlebih
dahulu tapi jika sudah mendesak atau sakit semakin parah baru pergi ke
puskesmas atau dokter. Masyarakat kampung Naga tahu banyak biji-bijian yang
dapat menyembuhkan sakit. Salah satunya biji ini yang saya coba, rasanya pahit
pedas mint dan dapat langsung dimakan. Pertama bijinya tersebut kita buka
terlebih dahulu kulitnya lalu isinya kecil berwarna putih ke pink-an. Kata Mang
No, biji ini dapat menyembuhkan sakit pusing.
Biji-bijian tradisional |
Tidak
hanya dari biji-bijian tapi obat tradisional juga dipercaya berasal dari hewan
seperti belut.
Belut yang dijadikan obat |
Belut dipercaya dapat menyembuhkan sakit, tapi
bagi orang yang tidak sakit boleh juga memakan belut ini. Belut yang sudah
ditangkap direndam diair bersih seharian agar kotoran-kotoran yang menempel di
belut tersebut hilang. Belut ini tidak dibunuh dan dimasak tapi langsung
ditelan hidup-hidup. Masyarakat kampung Naga mempercayai bahwa kita tidak
boleh membunuhnya terlebih dahulu.
Lalu
bagi yang melahirkan lebih diutamakan menggunakan dukun beranak baru dibantu
oleh bidan untuk melaksanakan pelahiran. Salah satunya nenek yang saya tinggali
rumahnya bersama teman-teman saya. Beliau ini selain bekerja di sawah membantu
anak laki-lakinya, beliau juga membantu dalam proses melahirkan. Karena nenek
bekerja dari pagi sampai sore maka kita mengobrol dan diurusi dengan cucu nenek
yaitu ibu Cucu dan kedua anak-anaknya yang masih kecil. Ketika makan malamnya
baru kita bertemu dengan nenek yang mempunyai rumah, Nenek berbincang-bincang
dengan saya dan teman-teman saya yang tinggal di rumahnya bahwa selama ini
banyak sekali orang-orang yang pernah menginap di rumah beliau salah satunya
orang Papua dan seorang bidan. Nenek juga bercerita bahwa terkadang beliau
sangat kesepian jika orang yang menginap di rumahnya sudah pulang.
Nenek yang tinggal bersama saya dan teman-teman |
Pernikahan di kampung Naga juga
tidak harus dilakukan sesama warga Kampung Naga, orang dalam dapat melakukan
pernikahan dengan orang luar kampung. Jika setelah menikah memutuskan untuk
tinggal di dalam kampung Naga maka agama yang dianut adalah agama Islam, tidak
boleh diluar agama tersebut karena semua warga di kampung ini menganut agama
Islam. Tetapi setelah menikah boleh keluar dari kampung ini dengan syarat calon
mempelai dari pihak luar ketika mengambil istri atau calon suaminya harus
mengikuti jejak langkah dikampung ini (adat istiadat. Untuk masalah poligami di
kampung ini, tentu diperbolehkn tapi di sini belum ada yang poligami karena
ketika seseorang sedang mencari jodoh, mereka mencari pasangan sejati.
Menurut Rogers dan Steinfatt
dalam buku yang berjudul Komunikasi Lintas Budaya, kepercayaan adalah suatu sistem penyimpanan bagi pengalaman masa
lalu, termasuk pemikiran, ingatan, dan interpretasi terhadap suatu peristiwa.
Karena kampung Naga tergolong masih masyarakat tradisional tentu ada pantangan
yang harus dilakukan baik warga maupun wisatawan yang datang yaitu pada hari selasa,
rabu, sabtu , dan pada bulan safar dan bulan siam tidak diperbolehkannya
melakukan ziarah makam, dan tidak boleh menceritakan silsilah kampung naga.
Kegiatan seperti menikahkan, membangun rumah, kunjungan kampung Naga masih
diperbolehkan.
Ada juga pantangan yang harus
dilakukan yaitu:
- Ketika tidur, arah kaki tidak boleh menghadap ke arah kiblat
- Pada saat buang air kecil tidak boleh juga menghadap arah kiblat
- Kaki tidak boleh selonjoran menghadap arah kiblat
- Pada saat jem Sembilan malam, tidak boleh ada yang berkeliaran lagi di luar rumah
- Ngadu yang artinya mengadu makhluk hidup
- Nyawadon yang artinya bermain wanita
- Nyamadat yang artinya berjudi
Alasan kenapa tidak boleh
mengarah ke Kiblat karena umat Islam melaksanakan ibadah sholat ke kiblat maka
itu kita menghargainya dengan kaki tidak
mengarah ke kiblat dan buang air kecil tidak ke arah kiblat. Kalau kita
melanggar pantangan tersebut dengan tidak sengaja, maka tidak apa-apa. Tetapi
jika kita sudah mengetahui tapi tetap saja dilanggar maka akan pelanggar
tersebut akan mendapatkan sanksi yang
dipercayai warga kampung Naga yaitu Amanat, Wasiat, dan Akibat.
Ada beberapa tempat larangan yang
tidak boleh dikunjungi secara sembarangan, yaitu:
- Hutan larangan yang lokasinya berada di sebelah Timur sungai Ciwulan. Huta ini dipercaya berisi makhluk-makhluk halus. Jangankan para wisatawannya, warga Kampung Naga juga dilarang keras untuk menginjakkan kaki di hutan ini.
- Selanjutnya Bumi Ageung yang merupakan tempat makam para leluhur yang terletak di sebelah Barat kampung. Untuk memasuki wilayah ini tidak boleh sembarangan orang yang masuk, bahkan para keturunnya juga tidak boleh masuk secara sembarangan. Tempat ini dibatasi pagar dan jika kita ingin mengambil photo harus berjarak sekitar 15 meter.
Menurut Larry A. Samovar dalam
bukunya yang berjudul Komunikasi Lintas Budaya, cara pandang merupakan orientasi budaya terhadap Tuhan, kemanusiaan,
alam semesta, kehidupan, kematian, penyakit, dan isu filosofis lainnya mengenai
keberadaan sesuatu. Saya diceritakan oleh Pak Punduh mengenai kehidupan di
Kampung Naga bahwa selama kampung ini berdiri belum pernah terjadinya
pertengkaran sesama kampung bahkan antar warganya sendiri karena warga kampung
Naga mempercayai dan mempraktekkan cara pandang yang dipercayainya, yaitu:
- Sili Asah yang mempunyai arti saling menyayangi
- Sili Asih yang mempunyai arti saling memberi
- Sili Asuh yang mempunyai arti saling mengharg
- Silih Payungan yang mempunyai arti merangkul sesama
Yang saya dapat pelajari dari Kampung
Naga ini bahwa setiap masyarakat di kampung ini dapat hidup rukun dan tentram
tanpa adanya konflik. Kampung Naga lebih mengutamkan kesederhanaan dan hidup
gotong royong. Bagaimana kampung ini tetap menjaga adat istiadat yang ditinggalkan
nenek moyang dan juga pelestarian kerajinan tangan menjadi ciri khas kampung
ini.
Tanpa adanya budaya modern yang
masuk kampung ini tidak menjadikan kampung ini mengalami keterbelakangan.
Masalah ini juga tidak dipeributkan oleh warga Kampung Naga bahwa budaya modern
harus masuk ke kampung ini. Terhindar dari kepusingan dan hiruk pikuk kehidupan
kota yang menurut saya sangat baik bagi masyarakatnya.
Saya merekomendasikan Kampung
Naga ini sebagai suatu tempat untuk mempelajari kehidupan dan budaya sana bersama
keluarga dan teman-teman. Boleh lah sekali-kali kita mengunjungi Kampung Naga
ini, jangan hanya mau berlibur keluar negeri saja.
Terima kasih :D |
No comments:
Post a Comment