Jessica Hayadi
11140110151
F1
Kampung Naga adalah kampung
kebudayaan yang terletak di Tasikmalaya. Saya memutuskan kesana karena menurut
saya kampung ini cukup unik. Jadilah saya beserta beberapa teman saya, yang
berjumlah 17 orang, pergi ke kesana pada tanggal 22 Desember dan menginap
selama 1 hari. Perjalanan dimulai pada jam 3 subuh jadi sudah kebayang kita
tidak tidur menunggu jam 2 subuh agar bisa beres-beres kemudian langsung
berangkat. Selama perjalanan ini sungguh saya tidak tahu apa yang akan saya
hadapi di kampung naga sana, pokoknya saya selalu berdoa agar perjalanan kita
dan pengalaman kami semua berjalan lancar.
Setelah kira-kira 8 jam perjalan,
akhirnya tibalah kami ditempat tujuan. Ketika pertama kali masuk ke daerah
Kampung Naga tidak terlihat tanda-tanda kampung yang tradisional menurut saya
Kampung Naga sama seperti rumah rumah penduduk disepanjang jalanan di
gunung-gunung.Kemudian berdirilah Tugu Kujang Pusaka menyambut kedatangan kami
semua. Selain tugu tersebut, tiba tiba datang seorang berpakaian tradisional
dan blangkon yang memperkenalkan diri sebagai tour guide kami dengan
keramahannya. Beliau bernama Nok dan saya kadang memanggilnya mas Nok atau mang
Nok. Pertama tama kami diberi kata sambutan dan setelah itu saya harus menuruni
490 anak tangga yang dituntun oleh Mang
Nok. Setengah perjalanan berlalu kaki ini pun mulai gemeteran. Walau hanya
turun tetapi ternyata sulit juga ya. Tetapi begitu sampai saya pun langsung
merasa perjuangan tersebut setimpal, di jalanan beratu itu saya temukan
disebelah kiri saya terbentang hutan yang memiliki air terjun kecil, hanya
sawah lah yang memisahkan saya dengan air terjun tersebut kemudian di kanan
saya ada sungai lebar dan berarus yang bewarna coklat bernama Sungai Ciwulan.
Kata Mang Nok sih karena lagi musim hujan makanya seperti itu, biasanya sungai
tersebut tenang dan lumayan jernih.
Setelah melewati keindahan alam
tersebut, sampailah kami di Kampung Naga, hal yang pertama kali saya lihat
adalah lapangan luas yang kemudian diujungnya terdapat balai desa. Untuk balai
desa, saya harus melewati kira-kira 5 anak tangga yang dibuat dari batu. Disitu
saya menyadari bahwa unsur dari pembangunan Kampung Naga ini antara lain batu,
bambu, dan kayu.
Sesampainya di balai desa, Mang
Nok memperkenalkan kami dengan Punduh dimana beliau adalah narasumber kami dan
salah satu pejabat lembaga adat disana (sesepuh). Setelah menyampaikan maksud
dan tujuan, Pak Punduh memeberikan kata sambutan yang didominasi oleh Bahasa
Sunda, dimana memang di Kampung Naga lebih banyak digunakan Bahasa Sunda
daripada Bahasa Indonesia. Punduh berkata bahwa mereka sangat terbuka untuk
mengajarkan budaya mereka. Sebelum memulai sesi tanya jawab, kami pun
mengucapkan “Bismilah” karena di Kampung Naga ini juga semua warganya pemeluk
agama Islam. Kampung Naga berada di tengah tengah jalan dari Garut menuju
Tasikmalaya, Jawa Barat. Kampung Naga hanya memiliki area sebesar 1,5 hektar dan termasuk dalam Desa Neglasari. Kampung Naga mempunyai 112 bangunan adat
dengan 109 kepala keluarga dan total semua penduduk di dalam Kampung Naga
adalah 314 orang. Menurut Pak Punduh, warga Kampung Naga kebanyakan mengikuti
semua ritual agama Islam, contohnya seperti upacara pernikahan dan upacara
orang meninggal. Namun ada beberapa peraturan khusus yang masih kental dengan
takhayul di dalam Kampung Naga ini, seperti tidak boleh menceritakan sejarah
Kampung Naga di hari Selasa, Rabu, Sabtu dan bulan Safar dan bulan Ramadhan. Kemudian
adanya hutan adat sebelah timur yang tidak boleh dimasuki turis dan sangat suci
serta hutan sebelah barat untuk makam para leluhur. Warga Kampung Naga
melaksanakan peraturan tersebut karena pamali.
Pertanyaan yang paling bikin saya penasaran adalah, mengapa
Kampung Naga menolak adanya listrik? Jawaban yang diberikan Punduh adalah agar
tidak adanya kesenjangan sosial lagipula rumah warga Kampung Naga dari dulu
terbuat dari bambu, kayu, ijuk, dan alang-alang yang mudah terbakar. Jadi yang
saya simpulkan daripada harus merubah tradisi yang sudah turun-temurun dan
sangat dihormati mendingan warga Kampung Naga hidup sederhana saja. Namun bukan
berarti teknologi tidak ada disana, Kampung Naga sudah mengenal TV yang
dinyalakan menggunakan aki serta handphone yang sangat memudahkan mereka untuk
berkomunikasi. Konsep ini juga berlaku dalam hal ketiadaan meja kursi di dalam
rumah, agar siapapun yang bertandang bisa sama-sama sejajar duduk beralaskan
tikar dan tidak ada yang berdiri kalau semisal kursinya habis serta konsep
mengapa semua rumah harus sama ukurannya, sama bahan-bahan yang dipakai untuk
membuat, tidak boleh dicat, dll? Agar semua warga Kampung Naga sejajar dan sama
rata. Tidak ada yang menonjol dan sangat tidak individualis.
Hal lain yang sangat saya kagumi
dari Kampung Naga ini sendiri adalah kedamaian dan kerukunan warganya. Mengapa
rumah- rumah dibangun hadap-hadapan? Agar sesama tetangga bisa salang
melindungi dan mendukung. Terlihat sekali budaya
kolektivis yang sangat kental. Dasar mereka adalah Sili Asah (menyayangi), Sili
Asih (memberi), Sili Asuh
(menghargai), Sili Payungan
(merangkul sesama). Terbukti juga dari gotong royong mereka membanggun rumah.
Padahal hanya untuk satu warga, tidak seperti di Jakarta yang kalo mau bangun
ya bangun sendiri, tapi bagi mereka satu membangun rumah yang lain ikut
membantu. Walaupun kata Punduh sudah tidak ada lagi rumah yang dibangun karena
lahan 1,5 hektar sudah penuh dengan bangungan.
Orang-orang dalam Kampung Naga
ini boleh pindah dari Kampung Naga namun jarang, orang yang kuliah pun sedikit.
Namun yang pindah dari Kampung Naga biasanya karena ingin listrik dan boleh
membangun rumah menggunakan semen dan juga boleh mengecat rumahnya. Bukan
berarti mereka jadi musuhan, tetapi budaya kolektivisnya tetap tinggi. Orang
yang berada diluar 1,5 hektar tersebut sering silahturahmi. Selang beberapa
lama kita sudah menjalani sesi tanya jawab kami, tiba tiba bunyi handphone
berkumandang di balai desa, dan tak disangka Punduh yang mengangkat telepon
gengam tersebut sambil permisi untuk melayani telepon tersebut sebentar. Kami
pun langsung tertawa dan memepersilahkan. Saya pikir untuk yang satu ini,
maksud teknologi komunikasi, Kampung naga sudah maju dan mau menerima perubahan
yang mempermudah mereka karena bagaimanapun komunikasi sangat esensial bagi
kehidupan manusia.
Tanya jawab kami pun berakhir,
ditutup dengan “Alhamdulilah” yang artinya mengucap syukur acara yang
diselenggarakan di balai desa berjalan dengan lancar. Ketua RT pun datang untuk
menunjukan kepada kami rumah yang akan kita inapi. Letak rumah yang akan kami
tinggali selama satu malam itu tidak jauh dari balai desa, hanya perlu melewati
beberapa gang kecil yang ada di tengah satu rumah dengan rumah lainnya. Sesampainya
kita, Ibu Cucu beserta anak-anaknya, Teguh dan Rido, sudah menunggu. Dengan
ramahnya kami berkenalan dan dipersilahkan masuk. Rumahnya pun cukup unik yaitu
rumah gadang yang didepannya terletak dapur dan langsung ruang keluarga atau
ruang tamu baru dibagian belakang terdapat kamar tidur. Rumah ini mempunyai
pintu didepan dan tidak ada pintu dibelakang karena warga Kampung Naga
mempercayai rejeki yang masuk tidak akan keluar. Rumah rumah ini pun tidak ada
yang menghadap kiblat karena pamali bahkan untuk menyelonjorkan kaki ke arah
kiblat pun tidak boleh karena cara pandang mereka yang menganggap tindakan
tersebut tidak sopan. Nah untuk kamar kecil, warga Kampung Naga mempunyai kamar
mandi yang umum diluar rumah mereka. Mereka gunakan bersama-sama terlihat kan
kekompakan mereka? Kamar mandi ini tidak bisa disebut hanay kamar mandi saja,
karena tempat tersebut juga digunakan untuk mencuci piring dan sebagainya. Yang
unik dari kamar mandi ini adalah bambunya yang hanya setengah badan, pertama
kali saya lihat saya kaget, akhirnya ibu Cucu pun menejelaskan bahwa mereka
mandi dengan cara duduk dan kalau sudah ada
handuk yang digantung berarti ada ornagnya dan tidak boleh mengintip.
Kepercayaan mereka satu sama lain sangat terbukti dari sini. Hal lain yang
membuat saya cukup tercengan adalah air dari mata airnya sangatlah bersih
tetapi ketika kita melihat kebawah, jangankan keramik. Kamar mandinya hanya
terbuat dari babu dan dibawah kamar mandi tersebut sudah ada ikan ikan yang
menunggu di kolam .
Ibu Cucu pun langsung menyuguhi kita makanan
yang berisi ayam goreng, tahu, dan sambal terasi yang enak. Cara makan mereka
sudah menggunakan sendok dan garpu dan piring keramik tetapi cara masaknya yang
masih tradisional. Warga Kampung Naga yang tidak menerima gas ataupun listrik
jadi mereka masih memakai tungku yang dibawahnya dimasukan kayu bakar yang
nantinya akan dinyalakan oleh api. Tungku tersebut mempunyai 2 “kompor” yang
satu adalah wadah untuk memanaskan nasi dan kemudian yang satu untuk memasak
lauk pauk. Setelah itu Mang Nok pun mengajak kita berkeliling untuk melihat
lihat Kampung Naga. Pertama ia memperkenalkan kita pada kerinding yaitu alat
musik tradisional Kampung Naga. Kerinding dibuat dari bambu dan digunakan
secara ditiup. Setelah itu kami pun pergi melihat rumah keramat Kampung Naga
yang tidak boleh difoto karena alasan adat isitiadat turun temurun. Mang Nok
mengajak kami pergi ke terapi ikan dekat waduk yang dibuat oleh warga setempat
dari semen. Lumayan unik karena kalau terapi ikan biasa menggunakan ikan kecil,
kali ini ikan koi yang besar-besar disuruh menggigiti kulit mati kita. Selain
untuk terapi ikan tersebut juga bisa kita beri makan pelet, namun pelet
tersebut harus dibeli dengan harga seribu rupiah per plastik. Betapa senangnya
saya karena ikan-ikan tersebut sangat lahap memakan sampai harus mencipratkan
air kepada kaki kita, walaupun mereka sudah besar besar namun tetap saja setiap
peleet yang dilemparkan selalu dimakan samapai berebutan. Hal-hal seperti
inilah yang menurut saya sudah memperjelas fungsi pariwisata di dalam Kampung
Naga.
Sore
pun tiba dan kami pun sudah berkeringat dan lengket hal berikutnya yang harus
kita lakukan adalah mandi. Namun karena tidak terbiasa dengan kamar mandi yang
setengah badan dan air yang sedang kotor karena curah hujan yang tinggi, saya
pun menapaki anak tangga untuk naik agar
bisa mandi di tempat permandian umum hanya dengan dua ribu rupiah. Itu adalah
pengalaman pertama saya naik begitu banyak tangga, betul betul sangat capek
untunglah disepanjang tangga-tangga tersebut ada tempat peristirahatan kecil
yang bisa digunakan untuk berisitirahat. Tidak sia-sia temoat tersebut
digunakan penduduk lokal untuk mejual berbagai minuman dan makanan ringan.
Sesamapainya diatas harus saya akui saya pusing, mungkin memang saya kurang
berolahraga. Ketika mandi tentu saja bisa ditebak kalau airnya jernih dan
dingin maklum lah air tersebut langsung dari air mata pegunungan asli. Saya
merasa sangat segar beda sekali dengan air jakarta yang memakai PAM.
Kami
pun bersantai dan mengobrol dengan penduduk di atas pemukiman Kampung Naga,
disinilah saya bertemu beberapa warga Kampung Naga yang “ngungsi” ke atas
dikarenakan keinginan mereka untuk memiliki listrik, untuk mempunyai TV namun
mereka tetap memegang teguh adat istiadat Kampung Naga seperti walaupun rumah
mereka sudah semen tetapi tolak bala yang dipasang disetiap pintu rumah tetap
mereka pasang, isi tolak bala pun masih sama seperti warga Kampung naga yang
berada di bawah.
Ketika
jam setengah tujuh sudah tertera pada bb saya, saya beserta teman-teman pun
memutuskan untuk balik lagi kerumah tempat kediaman kami, melewati anak tangga
tersebut lagi saya kali ini tidak merasa capeknya tapi lebih ke takut, karena
dipinggir kami semuanya hutan dan sudah malam matahari sudah terbenam. Sangat
gelap kalau kita tidak memakai senter. Saya pun bergandengan dengan salah satu
teman saya agar rasa takut bisa sedikit menghilang dan agar lebih hati-hati.
Sesudah masuk ke dalam kawasan Kampung Naga dan tiba dirumah kediaman kami, Ibu
Cucu pun langsung menyambut dan menyuguhi kita makanan. Karena sudah capek dan lapar tentunya kami pun
makan ditemani anak- anak Ibu Cucu. Teguh bercerita kalau ia selalu ranking
satu dan terlihat sekali Ibu Cucu bangga dengannya kemudian ada Rido, umur 3
tahun, yang meniru gaya Olga di TV sambil berteriak “Buat Elo!” yang
mengkukuhkan kalau media berpengaruh kepada masyarakat dan keinginan Rido yang ingin mempunyai HP.
Bapak pun bilang wah gara-gara TV nih.
Kemudian
kami pun bertemu dengan nenek dari Ibu Cucu, beliau sangat ramah dan kami pun
mengobrol walupun adanya keterbatasan bahasa maklum nenek tidak lancar
berbahasa Indonesia. Ini menunjukan perbedaan budaya dalam bahasa yang bisa
menghambat komunikasi kita tetapi walau begitu kami masih berusaha
bercakap-cakap dan tertawa dengan humor sang nenek.
Nah
ketika sudah malam nenek pun sudah tidur kami semua ngobrol dan teringat kata
Mang Nok dan Ibu Cucu mengenai ular yang sering terlihat di kampung Naga. Kami
semua diperingatkan untuk tidak berjalan-jalan karena ularnya belum mengenal
kita. Ini salah satu hal unik, kampung Naga yang sudah mengenal ular akan
terbiasa melihat ular tersebut mencaplok ayam ayam yang berkeliaran dan mereka tahu ular
tersebut tidak akan mencelakakan mereka. Setelah itu kami pun merasa ingin
pipis karena gelapnya kampung naga kami pun rada-rada antara mau dan tidak
namun karena sudah kebelet akhirnya kami bela bela memakai senter dan setiap
kami pipis ada satu orang yang mensenteri sambil melihat ke arah lain sekalian
memegangi karung goni untuk menutupi bilik kamar mandi. Menurut saya pengalaman tersebut adalah
pengalaman yang tidak akan terlupakan.
Setelah
itu, kami pun memutuskan tidur dan keesokan paginya saya dibangunkan dengan segar
dan dinginnya udara. Jam enam kami gosok gigi dan cuci muka setelah itu
sarapan, saya pun membantu Ibu Cucu mencuci kentang karena pada hari itu Ibu
Cucu memutuskan untuk membuat perkedel kentang. Pada saat Ibu Cucu ditengah
proses memeasak tiba-tiba ia keluar karena penasaran saya pun keluar alhasil
beliau keluar karena mendengar suara pesawat terbang dan ingin melihatnya kata
beliau kebanyakan rakyat Kampung naga senang melihat pesawat terbang apalagi
anak-anak Kampung Naga, betul juga saya lihat dan para tentangga pun sudah
keluar rumah dan sedang melihat ke langit. Saya pun mengobrol banyak dan
kemudian bercerita bagaimana dulu rumah Bapak dan Ibu berdekatan dan ibu sering
dijenguk dan diajak nonton layar tancap dan untuk “menyuap” Ayah Ibu Cucu,
bapak suka membawakan rokok. Sangat romantis ya? Teringatlah saya akan
pertanyaan salah satu teman kepada Mang Nok, poligami dibolehkan gak mang? Lalu
beliau menjawab, boleh secara agama namun belum ada di Kampung Naga karena
ketika mencari, kami mencari cinta sejati.
Setelah
makan, kami pun pergi beserta Mang Nok melihat kambing besar dan beliau
bercerita sejarah Kampung Naga tidak diketahui pastinya karena dulu DI/TII
Kartosoewiryo sempat membakar Kampung Naga karena Kampung Naga menolak tidak
mendukung program mereka pada tahun 1956. Peristiwa ini dinamakan Pareum Obor
yang artinya matinya penerangan. Menurut saya sejarah ini sangat berpengaruh
pada budaya Kampung Naga. Masa lalu dijadikan dasar pemikiran karena Budaya
yang memiliki filososfi terorientasi masa lalu cenderung menggunakan masa lalu
dengan situasi yang baru. Mungkin bisa dibilang kebetulan namun dari sejarah
Pareum Obor membuat Kampung Naga hanya mengandalkan penerangan biasa saja dan
menolak listrik dengan alasan takutnya mereka listrik bisa menyebabkan
kebakaran.
Kemudian
kami diajak melihat kegiatan bapak-bapak Kampung naga dalam bersawah. Kebetulan
ini adalah masa-masa mereka mempersiapkan penanaman padi. Jadi tahpa pertama
adalah tentu saja mencangkul dan yang kedua bagaimana mereka menginjakan
tanahnya kembali agar bisa ditanami padi. Setelah itu Mang Nok menunjukan
kepada kita bagaimana ia memakan belut hidup hidup agar bisa menambah stamina
pria dewasa. Belut ini biasanya banyak ditemukan di sawah sawah. Selain belut
ada juga tanaman pakokak yang memiliki fungsi yang sama, saya sempat mencoba
pakokak dan rasanya pahit.
Saat saya dalam perjalanan pulang saya melihat anak kecil sedang bermain masak masakan say baru mengetahui dari Mas Nok bahwa bakul yang dia pakai itu sengaja dibuat oleh warga agar dari kecil mereka sudah mnegrti cara memakai bakul nasi, ini menunjukan bahwa kebudayaan diturunkan melalu generasi ke generasi lain.
Setelah
itu pun kami balik lagi ke rumah Ibu Cucu untuk beres-beres karena waktu sudah
menunjukan untuk kita pulang. Sempat dihiasi dengan beberapa air mata karena
Ibu Cucu dengan sederhana berkata maaf ya kalau rumahnya tidek enak. Dan kita
semua sedih karena kebaikan Ibu Cucu. Setelah berpamitan kami pun pulang dan
pengalaman ini tidak akan pernah saya lupakan. Terima Kasih Kampung Naga untuk mengajarkan kebahagiaan dalam kesederhaan.
makasih critanya, jadi sedikit tahu soal kampung naga.. kami dari bandung tgl 2-3 mau berkunjung kesana.. salam kenal. :)
ReplyDelete