Indonesia memiliki beragam budaya, suku, dan agama yang
begitu luas. Dari yang mudah dipelajari sampai sulit dicerna oleh masyarakat
lainnya. Maka itu kita harus mempelajarinya dengan konteks komunikasi antar budaya.
Apalagi menyangkut budaya yang sebagian masyarakat tidak mempercayainya.
Kebetulan saya dan teman-teman mendapat tugas untuk meneliti salah suatu budaya yang ada di Indonesia. Saya dan bersama empat orang teman saya memilih untuk mengujungi dan meneliti Gunung Kawi yang berada di dekat Malang, karena menurut saya dan teman-teman Gunung Kawi menantang untuk diteliti, mengingat banyak isu-isu miring yang tidak baik mengenai Gunung Kawi. Banyak yang mengatakan Gunung Kawi adalah “tempat meminta kekayaan”, “tempat pesugihan”, ataupun “tempat mencari tuyul dan meminta tumbal.” Kamipun sempat dikecam oleh teman-teman lainnya karena ingin meneliti Gunung Kawi yang mereka katakan sangat bahaya, meski begitu kami tetap berangkat untuk membuktikan kepada mereka bahwa isu-isu tersebut tidaklah benar.
Sebelum saya membahas lebih jauh mengenai perjalanan saya dan teman-teman saya, untuk yang belum tahu, Gunung Kawi itu merupakan tempat pesarean dan wisata yang bertema ritual yang ada di barat daya dari kota Malang sekitar 40 kilometer dan memiliki ketinggian 2.860 Meter serta luas 5 hektar yang diurus langsung oleh keturunan keluarga Imam Soedjono. Memiliki komunitas masyarakat yang ramah tamah dan memiliki adat istiadat yang masih terikat kuat disekitar Gunung Kawi. Didalam area pesarean Gunung Kawi terdapat dua makam yang dimiliki oleh tokoh penting yang konon katanya memiliki karisma yang sangat dikagumi oleh orang-orang Jawa dan Tionghoa.
Nah… setelah merencanakan dan mendiskusikannya bersama-sama dan menyiapkan segala sesuatunya, akhirnya kami pun berangkat terlebih dahulu ke Surabaya pada tanggal 13 Desember 2012 menggunakan penerbangan malam. Kamipun sampai pada dini hari dan langsung beristirahat untuk mempersiapkan perjalanan panjang keeseokan harinya. Tepat tanggal 14 Desember 2012, pukul 09.00 kami berangkat menuju Gunung Kawi. Tentu saja kami menggunakan jasa travel untuk mengantar saya dan empat orang teman saya menuju Gunung Kawi. Karena bertema Gunung Kawi tentu saja perjalanan kesana tentulah menanjak tajam dan berputar-putar karena menaiki gunung, tapi itu semua terbayar dengan hawa pegunungan yang sejuk dan dingin.
Sesampainya disana, hujan langsung menyambut kami untuk memasuki area pesarean Gunung Kawi. Per orang dikenakan Rp. 3000 untuk memasuki kawasan wisata ritual pesarean Gunung Kawi. Begitu mobil selesai parkir, kami langsung dikerumuni orang-orang yang bisa disebut “tour guide” Gunung Kawi dan ada juga yang memberikan penyewaan payung dengan tarif pulang pergi. Akhirnya kami memilih salah satu “tour guide” dan meminjam beberapa payung karena hujan sangat deras. Kebetulan kami sampai pukul 12.00 yang menunjukan jam makan siang, kami memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu disekitar kawasan Gunung Kawi sembari menunggu untuk memasuki area pesarean Gunung Kawi yang dibuka pukul 14.00. Oh iya.. sebelum kami kesini, ada yang memberitahukan kami bahwa jangan memakan makanan yang ada di Gunung Kawi, lantas kami jadi bertanya-tanya mengapa tidak boleh? Namun kami tetap memakan ayam bakar yang ada disekitar Gunung Kawi dan tentu saja rasanya sangat nikmat, mungkin juga karena kami kelaparan hehehe..
Akhirnya jam menunjukkan pukul 14.00, kami bersiap untuk memasuki Gunung Kawi. Sebelum kami memasuki kawasan pesarean Gunung Kawi, ada beberapa syarat yang harus dipatuhi seperti harus memiliki hati yang bersih lahir dan batin, memakai pakaian yang bersih dan sopan jika tidak disedikan kain penutup, bagi perempuan yang sedang berhalangan (menstruasi) tidak dapat berziarah ke makam, tidak boleh memiliki pikiran kotor, tidak boleh berkata kotor dan kasar, tidak boleh mengambil foto dan video di area makam tanpa seizin juru kunci, dan harus memiliki tujuan yang baik.
Untung saja, jarak dari gerbang masuk sampai area pesarean Gunung Kawi tidak terlalu jauh sekitar 500 meter dengan jalan yang menanjak dan bertangga-tangga. Begitu masuk jalan menanjak, disepanjang kanan kiri terdapat banyak orang-orang yang berjualan bunga-bunga untuk sesajen, kemenyan untuk berziarah dan berdoa didalam makam. Mereka begitu giat dalam menawarkan padahal hujan mengguyur Gunung Kawi.
Para penjual bunga |
Penjual bunga di pintu masuk |
Tidak lama setelah melewati orang berjualan, sampailah dipintu gapura pesarean Gunung Kawi.
Disebelah
kiri terdapat loket untuk orang-orang yang ingin melakukan selamatan dan
bernadzar tapi tidak membawa peralatan dan bahan-bahan juga disediakan di loket
tersebut dengan harga dan jadwal untuk melakukan selamatan dan nadzar seperti
dengan nanggap wayang kulit, melakukan tumpeng dan sebagainya.
Namun disebelah kanannya, atau diseberang loket tersebut ada
sebuah lapangan besar yang ternyata itu adalah Vihara Dewi Kwan Im yang dahulu
pernah terbakar. Sebelumnya disana ada patung Dewi Kwan Im yang besar setinggi
8 meter, yang didirikan oleh tokoh pengusaha Tionghoa Alm. Sudono Salim atau
yang akrab dipanggil dengan nama Chinese Liem Sioe Liong.
Namun sayang
sekali kejadian naas menimpa Vihara besar tersebut, sehingga Vihara tersebut
dipindahkan secara darurat sementara ke sebelah kiri pintu masuk Gunung Kawi.
Tidak terlalu besar, namun cukup untuk melakukan sembahyang secara agama Buddha
disana dan tidak dipungut biaya sama sekali. Di dalam Vihara ini terdapat satu
dewa dan Dewi Kwan Im, yaitu Dewa Bumi. Saya pun tidak melewati kesempatan ini
untuk ikut bersembahyang dengan menggunakan enam hio, yang pertama-tama dibakar
terlebih dahulu, setelah itu barulah saya bersembahyang ke Dewa Langit dahulu
atau yang disebut Tikong lalu ke arah sebaliknya yaitu kepada Dewi Kwan Im.
Tidak jauh dari Vihara Dewi Kwan Im, kira-kira berjarak 500
meter, ada Masjid bernama Masjid Agung Imam Soedjono yang diresmikan pada
tanggal 4 Februari tahun 1985 dan masih bediri kokoh sampai sekarang. Disini
layaknya seperti Masjid pada umumnya, tempat untuk berbibadah umat Islam.
Yang unik menurut saya di Gunung Kawi
ini, sifat toleransi mereka sangatlah besar. Terbukti dari dua bangunan tempat
beribadah yang menurut saya sangat berbeda dan suka ‘beradu’ yaitu Masjid dan Vihara
tadi. Namun, khususnya di Gunung Kawi ini, Masjid dan Vihara tersebut seperti
saling melengkapi satu sama lain dan sama-sama dalam menjaga dan mengurusnya.
Apalagi di Gunung Kawi ini pengurusnya menggunakan bahasa Jawa dan secara Islam
saat berdoa di makam, namun orang Tionghoa dan agama manapun terbukti dapat
menerimanya dengan baik. Sungguh luar biasa bukan?? Saya dan teman-teman saya
pun berdecak kagum. Hal ini patut dicontoh di lapisan daerah Indonesia manapun.
Seperti yang ditulis dalam buku Komunikasi
Lintas Budaya oleh Larry A. Samovar, “dengan menumbuhkan kesadaran
toleransi, akan memperoleh perspektif etika
kultural.”
Setelah hujan kiranya sudah cukup
reda, kamipun melanjutkan perjalanan kami menuju tempat utama dari Gunung Kawi
tersebut yaitu dua makam dari tokoh penting yaitu yang pertama bernama Kanjeng Kyai Zakaria II alias Raden Mas Kromodirejo alias
Raden Mas Soerjokoesoemo alias Mbah Jugo (Mbah Djoego) dan yang kedua
itu ialah murid kesayangan dari Mbah Djoego bernama Mbah RM. Iman Soedjono yang merupakan keturunan seorang bangsawan
Ngayogyokarto Hadiningrat (Yogyakarta). Pada semasa hidupnya, Mbah Djoego
memberikan wasiat bahwa meminta dirinya ingin dimakamkan di lereng Gunung Kawi
jika meninggal, begitu juga dengan muridnya Mbah Iman Soedjono, ingin
dimakamkan disebelah gurunya Eyang Jugo bila meninggal. Sehingga diperingati
tiap tahun, seperti acara budaya Khol Raden Mas Iman Soedjono yang diperingati
setiap tanggal 12 Suro bulan Jawa dan Khol Kanjeng Eyang Jugo alias Kyai
Zakaria II yang diperingati setiap tanggal 1 Selo bulan Jawa. Adapun acara
tahunan besar 1 Suro yang biasanya didatangi oleh 10.000 pengujung dari
berbagai daerah yang rutin dilakukan secara turun temurun seperti yang
dikatakan Larry A. Samovar dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Lintas
Budaya, dimana dituliskan budaya itu
dibagikan, bisa melalui keluarga, teman, dan sebagainya menjadikannya
sebagai tradisi.
Akhirnya
kami masuk kedalam ruangan dengan menaiki beberapa anak tangga yang tidak
begitu tinggi, karena memang ruangannya seperti panggung yang lebih tinggi
daripada ruangan lainnya. Ruangan tersebut bisa dibilang begitu khusuk dan
sunyi. Ruangannya tidak begitu besar, kira-kira 10 meter x 4 meter.
Tentu saja sebelum masuk, semua pengunjung dan
penziarah diharuskan melepaskan alas kaki dan mensucikan diri termasuk saya dan
teman-teman. Begitu kami masuk, saya merasakan hawa yang berbeda dari semua
tempat di area pesarean Gunung Kawi, entahlah apa itu, tapi cukup membuat hati
saya berdegup kencang. Didalam sana banyak orang-orang sedang berdoa dibelakang
sebuah tirai. Awalnya saya bingung dimana letak makamnya. Namun, tour guide saya menjelaskan bahwa mereka
terlebih dahulu berdoa setelah itu tidak beberapa lama, tirai itu dibuka, dan
dibelakang tirai itu terdapat dua makam tokoh tersebut. Jadi, sebelumnya para
penziarah memberikan sesajen berupa bunga dan kemenyan serta air untuk ikut
didoakan dengan dibantu oleh anak buah dari juru kunci, setelah itu air dan
bunga tersebut dikembalikan sebagai khasiat dapat menyembuhkan sakit dengan
cara diminum atau diusapkan kepada bagiah tubuh yang sakit dan bunganya untuk
dimandikan, namun harus untuk diri sendiri dan keluarga. Seperti yang dikatakan
dalam buku Komunikasi Lintas Budaya
miliki Larry A. Samovar, mereka menggunakan sesajen berupa bunga dan kembang
sebagai tanda mereka berdoa yang termasuk dalam komunikasi non-verbal. Tour
guide kami juga menjelaskan bahwa air dan bunga yang sudah didoakan
tersebut tidak boleh dilangkahi, diinjak, maupun di taruh di sembarangan
tempat, karena katanya air dan bunga tersebut sudah suci. Setelah beberapa
saat, akhirnya kami meminta izin untuk bertemu dengan sang juru kunci.
Namun sebelumnya tour
guide kami menawarkan kami untuk berdoa atau berziarah di dua makam
tersebut. Awalnya saya agak ragu dan takut, maklum karena ini pertama kalinya.
Akhirnya kami memutuskan untuk membeli sesajen berupa bunga dan mengisi air
didalam botol. Kami dipersilahkan masuk lewat pintu samping, yaitu untuk berdoa
langsung dihadapan kedua makam tersebut. Atmosfer yang berbeda lagi yang saya
rasakan, bau menyan yang begitu berasa dan hati saya berdegup kencang. Diawali
dengan berlutut kepada makam Mbah Jugo, kami menyekar bunga dan berdoa, namun
tentu saja berdoa kepada Tuhan dan menurut kepercayaan agama masing-masing,
begitu pula selanjutnya kepada makam kedua yaitu makam Mbah Iman Soedjono.
Entah bagaimana bisa, pada waktu saya berdoa, tubuh saya bergetar dan saya
hampir mengeluarkan air mata, saya bingung ini memang saya berlebihan atau apa,
sampai sekarang masih jadi misteri untuk diri saya sendiri.
Setelah
kami selesai berziarah, ternyata sang juru kunci duduk disamping kedua makam
tersebut sembari menunggu kami. Tour
guide kami mengatakan kami sangat beruntung bisa langsung dengan mudah
bertemu dan melakukan wawancara privasi dengan beliau, biasanya orang-orang
susah menemui dirinya. Beruntung sekali bukan? Percakapan kami boleh direkam
namun tanpa menggunakan blitz. Beliau
bernama HR. Tjandra Jana, beliau orangnya sangat asik diajak ngobrol dan
diwawancarai, serasa ngobrol sama teman sendiri deh. Awalnya saya pikir juru
kunci itu sosok yang menyeramkan dan mirip seperti dukun atau paranormal. Namun
dugaan saya dan teman-teman salah besar. Beliau ternyata memiliki sebuah
apartemen di kawasan Jakarta, dan dahulu pernah kuliah di Australia, bisa
dikatakan juru kunci gaul, karena sudah menggunakan internet dan juga email
serta memiliki blackberry. Jujur saya
memang agak kaget mendengarnya, tapi tidak heran karena budaya yang berkembang
begitu cepat sekarang ini. Oh iya… Juru
kunci ialah hanya bertugas menyampaikan pesan atau doa para penziarah untuk
disampaikan kepada kedua makam tersebut dan yang lalu disampaikan lagi kepada
Tuhan. Beliau banyak bercerita mengenai pesarean Gunung Kawi. Ia mengatakan
bahwa disini bukanlah tempat pesugihan meminta kekayaan dan uang secara cuma-cuma
seperti yang diisukan orang-orang selama ini. Disini adalah tempat untuk
berziarah bagi orang-orang yang percaya, kedua makam tersebut hanyalah sebagai
perantara doa dan permohonan untuk disampaikan kepada Tuhan YME di atas.
Seperti yang dikatakan Larry A. Samovar dalam bukunya berjudul Komunikasi Lintas Budaya, “Kepercayaan
berkerja sebagai sistem penyimpanan bagi pengalaman masa lalu, termasuk
pemikiran, ingatan, dan interpretasi terhadap suatu peristiwa. Kepercayaan
dibentuk oleh budaya seseorang.” dan karena kepercayaan “diterima sebagai suatu kebenaran”. Karena efek-efek media lah,
yang menanyangkan sebuah film mengenai Gunung Kawi yang meminta tumbal yang
disiarkan oleh salah satu stasiun televisi di Indonesia sehingga membentuk
opini publik yang tidak benar. Seperti ora
et labora, beliau berpesan untuk tidak hanya berdoa saja namun juga
berusaha kalau ingin segala sesuatunya lancar. Untuk berdoa disini tidak ada
resiko atau kerugian apapun, namun janganlah berjanji atau disebut bernadzar
jika tidak bisa menepatinya, ibarat berjanji kepada Tuhan tapi tidak
menepatinya itu baru bisa beresiko. Beliau juga mengatakan disini bukan mengutamakan
Islam ataupun agama lainnya, namun lebih mengutamakan budaya. Budaya Jawa dan
Chinese yang beralkulturasi menjadi satu. Para penziarah disini kebanyakan juga
orang Chinese, hal itu juga disebabkan karena salah satu murid Mbah Jugo memang
merupakan orang Tionghoa. Beliau juga sempat meceritakan pengalaman ia selama
menjadi juru kunci Gunung Kawi, ada
beberapa orang yang datang ingin meminta tuyul atau bahkan rela menumbalkan
anaknya agar dirinya menjadi kaya, namun sudah yang dikatakan diatas tadi,
pesarean Gunung Kawi bukanlah tempat hal-hal semacam itu. Disini memang murni
hanya untuk berziarah dan melakukan selamatan atau syukuran kepada Tuhan atas
apa yang diperoleh melalui kedua makam Mbah Jugo dan Mbah Iman Soedjono. Tak
terasa kami berbincang-bincang dengan beliau sudah cukup lama sekitar 30 menit.
Lantas kami pamit dengan diberikan kartu nama oleh dirinya.
Sebelum
kami meninggalkan area makam, tidak lupa kami membawa air dan bunga untuk
dibawa pulang. Kami juga minum dan mencuci muka sebanyak tiga kali dari gelas
bekas kami minum sambil menghadap makam. Air tersebut berasal dari guci
peninggalan Mbah DJogeo yang dinamakan “Jan Jam”. Pada waktu masih hidup, kedua
guci tersebut digunakan Mbah Jugo untuk mengobati orang-orang sakit sehinggal
guci tersebut terkenal dikalangan masyarakat sampai saat ini.
Setelah
itu Mbah Iman Soedjono pun mempunyai banyak koleksi tamaman, namun hanya satu
saja yang memiliki keistimewaan yaitu sebatang pohon berjenis cerme. Pohon itu
telah ditanam di sebelah kanan pendopo agung pesarean. Masyarakat setempat
menyebutnya pohon “Dewan Daru”. Konon katanya jika kejatuhan buah dari pohon
tersebut akan mendapat keberuntungan, buahnya harus dimakan dan bijinya
disimpan. Orang Tionghoa menyebutnya pohon SHIAN THO (pohon dewa) artinya pohon
yang sering ditanam oleg dewa. Betu atau tidaknya pohon tersebut hanyalah
tergantung dari kepercayaan orang-orang saja, semua berserah kepada Tuhan YME.
Selanjutnya ada Pemandian Sumber
Manggis, pada awalnya merupakan sumber mata air untuk mencuci, mandi dan wudu
untuk dusun Wonosari. Karena jauh dari dusun, Mbah Iman Soedjono menanam biji
manggis didekat mata air tersebut, makan terkenal dengan sebutan “Sumber
Manggis”.
Tidak jauh dari area makam, ada
Rumah Padepokan RM. Iman Soedjono yang sekarang diwarisi oleh Bapak Sukarno.
Rumah ini berciri khas dengan rumah Joglo atau Tajug mentaraman. Didalamnya
terdapat satu guling dan dua buah bantal Raden Mas Iman Soedjono yang dibuat
dari glugu atau batang pohon kelapa, juga sebuah pusaka yang terbentuk tombak, yang
merupakan suatu andalan RM Iman Soedjono pada saat menjadi seorang Senopati
Laskyar Diponegoro.
Tidak terasa sudah kurang lebih
empat jam kami menelusuri Gunung Kawi. Tidak lupa sebelum kami meninggalkan
area pesarean Gunung Kawi, kami melakukan Ciamsi di Vihara Dewi Kwan Im tadi,
Ciamsi itu sangat menarik perhatian para pengunjung untuk mengetahui perihal
peruntungan nasib seseorang. Surat peruntungan nasib atau yang disebut Ugom
tersebut klasifikasinya sama dengan astrologi, ilmu pengetahuan mengenai
peruntungan dan tabiat seseorang berdasarkan perhitungan perbintangan. Maka
tidak heran jika pengujung yang beragama lain ikut memanfaatkan kesempatan
untuk melakukan Ciamsi tersebut.
Berakhir sudah perjalanan kami
menguak isi tentang pesarean Gunung Kawi. Menurut kami ini adalah pengalaman
yang tidak terlupakan dalam hal belajar antar budaya. Kami baru tahu dan sadar
bahwa Gunung Kawi tidaklah seperti yang dikatakan orang-orang, sehingga kami
mendapat pengetahuan dan manfaat yang besar dan tentunya sambil berdoa juga,
sehingga saya dapat menceritakannya kepada para pembaca semua dan berharap
pikiran kalian terbuka mengenai Gunung Kawi. Sekian dan terimakasih =D
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
ReplyDeleteKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.