NAMA : Georgene Suryani
KELAS : E1
Dapatkah Anda bayangkan bagaimana
rasanya sehari saja hidup tanpa adanya listrik dan televisi? Lalu, pernahkah
Anda merasa uring-uringan karena kehilangan smartphone
kesayangan Anda? Atau bagaimana jika Anda memiliki telepon seluler, tetapi
tidak ada sinyal yang menunjang komunikasi Anda?
Bisa jadi situasi-situasi seperti
yang disebutkan di atas membuat Anda bete
dan cemberut seharian. Memang perasaan semacam itu manusiawi. Akan tetapi, sebelumnya
ada baiknya kita melihat kehidupan orang Baduy, sebuah suku yang kental akan
aturan adat dan berusaha untuk bertahan di tengah terpaan badai teknologi. Konsep
kehidupan dari kacamata Anda kemungkinan besar akan berubah 180 derajat. Dan itulah
yang secara pribadi saya rasakan sewaktu berkunjung dan tinggal bersama orang
Baduy selama tiga hari.
Rencana perjalanan menuju Baduy
yang sempat tertunda beberapa kali akhirnya terealisasikan juga pada 14
Desember 2012 lalu ketika saya dan ketiga teman lainnya memutuskan untuk
berangkat ke wilayah di pedalaman Lebak, Banten itu. Sebuah perjalanan yang berjarak
kurang lebih 85 kilometer dari Gading Serping itu terasa begitu menyenangkan.
Tinggal di bawah satu atap yang sama, alas tidur yang sama, dan ruang yang sama
membuka mata saya bahwa kita harus bersyukur dengan segala karunia kehidupan
yang kita miliki saat ini. Sekalipun orang Baduy hidup dalam keterbatasan,
mereka menjalani dengan keikhlasan, tanpa ada keluhan sedikit pun.
Pagi itu sekitar pukul 11.15,
kami memulai perjalanan dari stasiun Serpong menuju Rangkas Bitung, kota
terdekat dari Baduy. Hanya dengan merogoh kocek sebesar Rp1500,00, kami akan
diantar sampai ke Rangkas. Namun, memang sesuai dengan harganya, jangankan
berharap untuk duduk nyaman dan sejuk, bau keringat bercampur dengan segala
jenis bau lainnya berkumpul jadi satu. Hawa panas, pengamen, dan pedagang
segala jenis baranglah yang menemani satu setengah jam perjalanan kami. Namun,
itu semua tidak mematahkan semangat kami. Rasa penasaran ingin melihat sendiri
uniknya budaya yang satu ini membuat saya tetap bersemangat.
Sesampainya di kota Rangkas, kami
pun melanjutkan perjalanan dengan mencarter sebuah angkot menuju ke Ciboleger,
perbatasan terluas dengan permukiman orang Baduy Luar. Untuk itu, setiap orang
harus membayar RP15.000,00.
Pukul 15.00, sampailah kami
berempat di Ciboleger yang terlihat begitu gersang di bawah teriknya sinar
matahari. Pemandangan pertama yang saya lihat di sana yaitu tugu selamat datang
yang di atasnya berdiri patung sebuah keluarga yang tampaknya menggambarkan
keluarga orang Baduy dengan mata pencaharian utamanya yaitu bertani dan
berladang. Selain itu, layaknya sebuah tempat wisata, sejumlah
bangunan-bangunan yang terlihat sedikit kumuh dimanfaatkan warga setempat untuk
berjualan, mulai dari sembako hingga oleh-oleh khas daerah sana yang dibuat
langsung oleh para pengrajin Baduy, seperti kaos, gelang, kalung, dan gantungan
kunci. Harganya pun cukup terjangkau, mulai dari Rp4.000,00 hingga Rp30.000,00.
Tidak lama setelah itu, Kang
Sarmidi dan Kang Sarwadi, orang Baduy Dalam yang akan memandu perjalanan kami
ke dalam selama tiga hari, datang menjemput kami. Sebelum memasuki wilayah
Baduy, kami diantar ke rumah Djaro Dainah (sebutan bagi Kepala Desa) untuk
mendaftarkan diri di sana.
Sejak zaman dahulu, orang Baduy
memang terkenal dengan ketaatannya pada aturan adat yang ditetapkan oleh Kepala
Adat yang disebut Puun. Hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Baduy
dibatasi oleh aturan adat, mulai dari tidak menggunakan listrik, peralatan
teknologi, sistem pendidikan, kepercayaan, pakaian, bahkan hingga urusan mandi
dan menggosok gigi pun diatur. Bagi kebanyakan orang, semua batasan itu
terkesan kuno dan aneh. Akan tetapi, masyarakat baduy tetap bertahan dengan
keyakinan mereka sekalipun menghadapi terpaan badai budaya modern.
Selama 3 hari 2 malam bersama
Kang Sarmidi, Kang Sarwadi, dan keluarga Baduy, ada banyak hal unik yang saya temui di sana.
Dalam beberapa hal, orang Baduy Luar dan orang Baduy Dalam sendiri memiliki
ciri orisinal mereka masing-masing yang menarik untuk dikulik bersama.
Kang Sarmidi - Babang - Me - Desy - Sintia - Kang Sarwadi |
SISTEM KEPERCAYAAN AGAMA
Mayoritas orang Baduy beragama
Sunda Wiwitan. Ada beberapa informasi yang saya peroleh mengenai kepercayaan
ini. Pertama-tama saya menanyakan itu langsung ke sang pemandu yang membawa
kami memasuki wilayah Baduy, Kang Sarwadi. Ia hanya mengatakan itu kepercayaan
pada leluhur.
Sewaktu di Baduy Dalam, saya
bertemu dengan seorang anak perempuan asal Cilegon bernama Caca. Ia sudah tiga
kali berkunjung ke Baduy untuk melakukan observasi budaya. Dan ia mengatakan bahwa Sunda Wiwitan pada
dasarnya mirip dengan agama muslim.
Bahkan, ada pula tradisi puasa yang mereka lakukan.
KELAHIRAN
Setiap proses kelahiran dan
kematian orang Baduy ditangani langsung oleh orang Baduy sendiri. Biasanya
setiap kampung memiliki dua orang dukun beranak atau yang biasa mereka sebut
sebagai paraji yang akan membantu proses persalinan mereka. Dengan segala
keterbatasan obat-obatan tradisional, kelahiran-kelahiran di Baduy itu biasanya
ditangani. Yang pasti, orang Baduy Dalam tidak boleh dibawa keluar dari
kampungnya untuk mendapat penanganan medis di luar yang sudah modern.
Namun, menurut cerita yang saya
peroleh dari salah satu warga Baduy, aturan adat tersebut pernah dilanggar oleh
salah seorang warga Baduy Dalam. Satu alasan yang diperbolehkan untuk melanggar
aturan adat yaitu untuk menyelamatkan nyawa. Setelah seorang ibu di Baduy dibantu
proses persalinannya oleh paraji setempat dan bayinya sudah lahir, ternyata
plasenta bayinya tidak keluar-keluar. Hal itu bisa mengancam nyawa sang ibu. Akan
tetapi, paraji setempat itu tetap berkukuh pada pendiriannya, menolak untuk
membiarkan sang pasien memperoleh
tindakan medis modern. Namun, belakangan si ibu itu terus menerus merasa
kesakitan dan sang suami tidak tega melihat
keadaan sang istri. Akhirnya dibuatlah keputusan untuk melanggar aturan adat
itu demi menyelamatkan nyawa istrinya. Syukurnya nyawa orang tersebut akhirnya
selamat. Setelah pengobatan dijalani, hukum pengasingan di luar Baduy harus
tetap dijalani oleh pasangan tersebut, yaitu selama 40 hari.
Ada beberapa kebiasaan menyambut
prosesi kelahiran bayi yang biasanya dijalani orang Baduy, baik Baduy Dalam
maupun Luar. Tiga hari setelah bayinya lahir, sebuah acara syukuran akan
diadakan. Dan seminggu setelah kelahiran, anaknya baru akan diberi nama.
Menurut pengamatan yang saya lakukan, nama adik kakak di dalam satu keluarga
biasanya hampir mirip. Contoh Sarwadi dan Sarmidi.
KEMATIAN
Sekalipun wilayah pemukiman orang
Baduy berada di kaki pegunungan yang dikelilingi hutan dan jurang-jurang,
tetapi lahan khusus untuk pemakaman sudah disediakan. Biasanya di hari ketiga
setelah kematian akan ada acara peringatan kematian. Pada masa-masa itu, makam
itu masih dianggap keramat. Namun, hari ketujuh setelah prosesi pemakaman,
tanah makam sudah boleh digunakan lagi sebagai lahan pertanian atau berladang.
Bahkan, sudah boleh diinjak-injak.
PERKAWINAN
Hukum adat Baduy mengatur bahwa
sistem pernikahan di Baduy Dalam didasarkan atas perjodohan. Biasanya seorang
perempuan yang berusia di atas 16 tahun sudah akan dinikahkan. Sedangkan
laki-laki biasanya pada usia 20 hingga 25 tahun sudah berkeluarga. Dan jodoh
yang dipilih biasanya masih berada dalam satu keluarga, namun tidak sedarah.
Jika seseorang ketahuan berpacaran atau menikah dengan orang yang bukan
dijodohkan dengannya, maka dia dapat dikenai sanksi diusir dari baduy Dalam.
Sedangkan di Baduy Luar,
seseorang bisa mencari jodohnya sendiri, tanpa harus dipilihkan oleh
orangtuanya. Prosesi pelamaran dilakukan dalam 3 tahapan.
Di dalam aturan orang Baduy,
poligami dan poliandri dilarang keras. Satu pria hanya boleh memiliki istri 1
orang. Demikian pula sebaliknya. Selain itu, perceraian tidak diperkenankan di
Baduy Dalam. Pernikahan boleh dilakukan kembali jika salah satu pasangan
meninggal dunia. Oleh karena itu, ikrar perkawinan memiliki nilai yang tinggi
di mata masyarakat Baduy.
Masyarakat Baduy dikenal sebagai
masyarakat yang berbudaya santun. Selama 3 hari tinggal bersama mereka, saya
merasa aman. Mereka menghargai lawan jenis. Sungguh berbeda sekali dengan
keadaan masyarakat sekarang.
BAHASA
Orang Baduy berkomunikasi
sehari-hari dengan menggunakan bahasa Sunda. Namun, dialek Sunda yang digunakan
adalah versi Banten, atau yang sering disebut Sunda Ngapak. Sekilas bahasa
Sunda orang Baduy terdengar lebih kasar, menurut Kang Sarwadi, orang Baduy
Dalam.
Namun, seiiring berjalannya
waktu, wilayah Baduy sering mendapat kunjungan, baik dari pemerintah maupun
para turis yang suka mengobservasi budaya di sana. Oleh karena itu, bahasa
Indonesia sudah mulai digunakan oleh orang Baduy meskipun memang beberapa orang
Baduy senior belum sepenuhnya bisa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Itulah
yang saya temukan pada saat menginap di Baduy Dalam. Ketika saya menanyakan di
mana tempat untuk buang air, mereka menjawab dalam bahasa yang sulit untuk
dipahami. Saya pun Cuma bisa membaca jawaban mereka dari gerak tubuh. Akan tetapi,
orang Baduy menunjukkan keramahan mereka terhadap para tamu yang datang
berkunjung.
Aturan adat melarang orang-orang
Baduy untuk mengenyam pendidikan formal di bangku sekolah. Bahkan, sekalipun
pemerintah sudah menawarkan untuk membantu, tawaran itu pun ditolak
mentah-mentah. Itulah sebabnya, masayarakat Baduy kebanyakan tidak mengenal
baca dan menulis. Akan tetapi, ada satu hal yang cukup mengejutkan. Ketika saya
akan pergi ke Baduy, saya mengontak Kang Sarmidi dan Kang Sarwadi melalui SMS.
Awalnya saya mengira mereka adalah orang Baduy Luar. Namun, ternyata mereka
adalah orang Baduy Dalam.
Sempat muncul tanda tanya besar
di benak saya, bagaimana mungkin orang Baduy Dalam bisa menggunakan teknologi
dan bisa ber-SMS. Ketika saya mewawancarai Kang Sarwadi, dia mengatakan bahwa
itu tidak menjadi masalah jika digunakan di luar kawasan Baduy Dalam. Lalu,
saya memancing kembali dengan pertanyaan lainnya: “Kalau begitu, apa yang
membuat seorang Baduy Dalam diusir keluar?”. Ia pun menjawab, jika ketahuan
melanggar aturan adat, misalnya naik kendaraan. Saya pun kembali mengajukan
pertanyaan: “Lho naik kendaraan kan di luar Baduy Dalam? Kenapa dianggap
melanggar aturan adat?”.
Mendengar pertanyaan saya itu,
Kang Sarwadi hanya tersenyum malu-malu. Kini, kecurigaan saya semakin bertambah
besar. Apakah orang Baduy masih mempertahankan kepatuhannya kepada aturan adat
secara utuh. Sejujurnya, saya tidak yakin akan hal itu.
TEMPAT TINGGAL
Pada waktu pertama kali
menginjakkan kaki di wilayah pemukiman Baduy Luar, bentuk tempat tinggal orang
Baduy Luar sudah jauh berbeda dengan tempat tinggal warga di Ciboleger.
Lumbung padi |
Rumah-rumah tradisional dengan
beratapkan rumbia menghiasi pemandangan kami saat itu. Tidak ada lagi bangunan
bertembokkan besi dan beton. Hanya saja, memang paku sudah boleh digunakan di
rumah-rumah orang Baduy Luar. Namun, halnya berbeda dengan rumah orang Baduy Dalam
yang hanya murni menggunakan kayu rotan dan ikat tali dari bahan alami.
Sekilas rumah orang Baduy
terlihat seperti rumah panggung. Rumah orang Baduy Dalam dibangun dengan lebih
tinggi (lebih panggung) ketimbang rumah orang Baduy Luar.
Penerangan yang digunakan di
rumah orang Baduy Luar yaitu lampu tempel dengan minyak tanah. Sedangkan di
Baduy Dalam hanya diperbolehkan lampu tempel dengan minyak kelapa yang alami.
Uniknya, jika kita berkunjung ke
Baduy Luar dan Dalam, hampir setiap rumah memiliki bentuk yang mirip. Hal ini
secara simbolik menggambarkan kesetaraan sosial yang dianut orang Baduy. Dengan
begitu, konflik pun dapat dikurangi.
PAKAIAN
Kang Sarmidi |
Kaum pria di Baduy Dalam biasanya
mengenakan baju berlengan panjang tanpa kerah dan kancing dan berwarna putih
ataupun hitam polos. Warna putih yang dipilih itu menjadi gambaran simbolis
tentang kesucian dan kebersihan. Mereka dilarang keras untuk mengenakan pakaian dengan
warna selain hitam dan putih. Dan pakaian yang mereka kenakan wajib ditenun
sendiri dari kapas, tidak boleh menggunakan mesin jahit. Kemudian, mereka juga
mengenakan sarung berwarna abu-abu kehitaman. Salah satu kelengkapan wajib yang
harus dikenakan pria Baduy Dalam yaitu ikat kepala berwarna putih dan sebuah
gelang kain.
Sedangkan kaum pria di Baduy Luar biasanya mengenakan
baju kampret (sekilas terlihat seperti baju silat orang Betawi) berwarna hitam.
Selain itu, dilengkapi dengan ikat kepala berwarna biru tua dengan variasi
corak batik. Namun, bagi orang Baduy luar yang dinilai sudah mulai terpengaruh
budaya luar, maka baju-baju yang berbau modern sudah boleh mereka kenakan.
Misalnya, kaos, celana panjang, dan sandal pun boleh dikenakan.
Biasanya kaum pria Baduy, baik Baduy Dalam maupun
Luar, selalu membawa golok saat berpergian. Golok itu disimpan di balik sarung
di pinggangnya. Biasanya golok itu akan digunakan untuk membuka jalur
perjalanan di hutan ataupun mengerjakan lahan ladang dan pertanian mereka.
Bagi kaum
wanita di Baduy Dalam, biasanya mereka mengenakan semacam kain kemben berwarna
abu-abu kehitaman. Bahannya pun sama seperti yang dikenakan kaum lelaki Baduy
Dalam, benang kapas yang ditenun sendiri. Sewaktu berada di Baduy Dalam, saya
sering kali berpapasan dengan ibu-ibu orang Baduy yang tampaknya sudah cukup
berumur dan mereka sering kali membiarkan buah dadanya terlihat, tidak ditutupi
pakaian. Namun, khusus jika akan pergi beraktivitas, kaum wanita di Baduy Dalam
biasanya mengenakan baju yang mirip dengan kebaya dengan bahan benang kapas
tenunan berwarna putih atau hitam.
Lalu,
bagaimana dengan gaya berpakaian di Baduy luar? Menurut yang saya amati selama
beberapa hari, kebanyakan wanita yang sudah dewasa gaya berpakaiannya hampir
mirip dengan wanita Baduy Dalam. Yaitu kebaya berwarna putih, hitam, atau
abu-abu kehitaman. Hanya saja, wanita Baduy luar juga mengenakan pakaian
berwarna biru tua bercorak batik. Sedangkan gadis-gadis remaja dan anak-anak
kecil di Baduy Luar biasanya sudah mengenakan baju-baju modern, seperti kaos,
tetapi masih dicocokan dengan rok ataupun sarung sebagai bawahannya.
PEKERJAAN
Orang Baduy bermukim di kaki
pegunungan Kendang di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak –
Rangkasbitung, Banten. Daerah itu dikelilingi oleh hutan-hutan yang asri dan
tanah yang subur. Tidaklah mengherankan jika bertani dan berladang menjadi mata
pencaharian utama orang-orang Kanekes (sebutan bagi orang Baduy). Beberapa
hasil pertanian yang dihasilkan, misalnya petai, durian, pisang, dan rambutan.
Kebetulan pada waktu saya
berkunjung ke Baduy kemarin, sedang berlangsung musim panen durian. Di beberapa
kesempatan, saya berpapasan dengan sejumlah anak berusia kurang lebih 7 tahun
sedang memikul buah durian. Dengan tubuh semungil itu, mereka seakan sudah
terbiasa memikul buah durian yang begitu berat. Meskipun medan perjalanan yang
mereka lalui begitu curam dan terjal, anak-anak kecil itu tetap bersemangat
untuk membawa hasil panenan keluarga mereka ke terminal untuk dijual di sana.
Namun, khusus untuk padi, aturan
adat melarangnya untuk dijual. Hasil panen padi orang Baduy akan disimpan di
lumbung padi sehingga orang Baduy tidak akan kekurangan persediaan makanan pada
musim paceklik.
Bagi masyarakat Baduy, roda
kehidupan bermula di pagi hari saat mereka bangun dan pergi bekerja. Dan segala
aktivitas orang Baduy berakhir pada malam hari saat mereka kembali
beristirahat. Pandangan itulah yang membuat masyarakat Baduy selalu bekerja
dengan rajin. Bahkan, nilai itu pun ditanamkan pada anak cucu mereka. Sejak
pagi-pagi buta, anak-anak kecil pun sudah bangun dan membantu orangtua mereka
bekerja.
Bagi anak laki-laki, mereka
biasanya akan diajar untuk bertani dan berladang dengan sang ayah. Sedangkan,
anak-anak perempuan biasanya akan membantu sang ibu di dapur, menumbuk padi,
ataupun menenun pakaian. Untuk selembar kain, butuh waktu sekitar dua sampai
tiga bulan pengerjaan, baru kemudian dijual. Lalu, uang hasil menjual hasil
pertanian dan kain, serta kerajinan tangan khas Baduy akan digunakan orang
Baduy untuk memenuhi kebutuhan hidup orang Baduy di pasar.
KONFLIK
Menurut hasil wawancara saya
dengan Kang Sarmidi, selama ini belum pernah terjadi masalah besar yang
mengakibatkan keributan antara orang Baduy Dalam dan Baduy Luar. Biasanya hanya
terjadi masalah-masalah kecil yang diakibatkan kesalahpahaman komunikasi. Dan jika
hal itu sampai terjadi, maka akan dibawa ke Djaro Adat (ketua adat) untuk
menengahi permasalahan tersebut.
Oleh karena pandangan terhadap
aturan adat yang tinggi, konflik kecil semcam itu biasanya dapat mudah
diselesaikan. Menurut yang saya amati selama tinggal di sana, jarang sekali
saya menemukan orang Baduy yang berteriak dan suka memotong percakapan. Mereka
sangat santun dalam berbicara. Dan ketika ada satu orang yang bicara, mereka
akan mendengarkan. Kemungkinan besar ini juga yang menyebabkan konflik tersebut
jarang terjadi.
Selain itu, kebanyakan orang
Baduy (baik di Luar dan Dalam) biasanya saling mengenal sekalipun mereka
tinggal saling berjauhan. Selama perjalanan dari Ciboleger ke Baduy Dalam, saya
sempat singgah di beberapa rumah penduduk dan mereka sangat ramah dalam menjamu
kami. Sekalipun hidup dengan keterbatasan materi, tetapi menjamu dengan makanan
dan minuman yang mereka miliki tampaknya adalah hal yang wajib. Waktu itu kami
dijamu dengan buah durian hasil panenannya dan saya pun menyicipinya. Sungguh
nikmat.
SISTEM KEPENDUDUKAN
Konon saya pernah mendengar bahwa
jumlah kepala keluarga sudah ditetapkan. Jika ada kepala keluarga baru, dia pun
harus keluar dari Baduy Dalam. Saya pun menanyakan hal itu kepada Kang Sarwadi.
Dia menjelaskan bahwa itu berkaitan dengan zaman Belanda. Untuk melindungi
keluarga-keluarga orang Baduy, Djaro Adat pun membuat semacam tipuan kepada
orang Belanda dengan mengatakan aturan itu. Padahal sebenarnya banyak
keluarga-keluarga lainnya yang juga bersembunyi di wilayah Baduy Dalam.
Kini warga Baduy pun sudah mulai mendaftarkan kependudukan mereka dengan membuat KTP. Bahkan wilayah Baduy luar pun sudah menjadi lahan kampanye para calon kepala daerah. Orang Baduy kini sudah mulai menerima pengaruh dari luar, meskipun memang belum sepenuhnya.
Dengan sejuta aturan hukum adat
yang wajib dijalani orang Baduy, apakah mereka pernah mengeluh? Sama sekali
tidak. Justru mereka menikmatinya. Kang Sarwadi berkata bahwa ia betah dengan
apa yang ia miliki sekarang. Tidak bisa menonton televisi, tidak ada gadget
mewah, tidak ada listrik, dan hanya dapat makan nasi dan ikan asin pun bisa
terasa nikmat jika kita mensyukurinya. Jadi, bagaimana pandangan Anda tentang
konsep kehidupan? Masihkah Anda akan mengeluh hari ini?
No comments:
Post a Comment