Kampung Naga lebih dari indah
Yogie Parmono
11140110161
Kampung Naga?? Dimanakah itu? Dan seperti apa keadaan
disana serta ada apa saja didalam sana??? Itulah yang terlintas sejenak
dipikiran kita dan masih ingin kita ketahui lebih lanjut, mungkin juga ada yang
berandai andai apa ada naga didalamnya dan lain lain hahaha.
Dan untuk pertama kalinya saya pun kesana untuk
mengetahui dan mengikuti aktivitas masyarakat dikampung Naga sekaligus
mempelajari budaya mereka sesuai dengan tugas akhir observasi KAB saya. Mau
tahu lebih lengkap??Baca artikel ane yah gan (:
Kampung Naga terletak di antara Tasikmalaya dan kota yang
terkenal dodolnya yaitu jeng jeng, kota Garut,
masih didalam lagi nii di Desa Neglasari, Salawu, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Tidaklah sulit menemukan perkampungan ini yang serta merta masih menjunjung
tinggi adatnya. Bukan berarti mudah juga kesananya apalagi kita mayoritas
tinggal dan beraktivitas didaerah perkotaan, kecuali yang asli orang sana yah
wkwk. Saya dan rombongan otw mulai dari jam 3 subuh dari Gading serpong, dimana
jam masih tidur nyenyak di pulau kapuk, dan kami semua tetap bertahan
*semangat* maksudnya !!
Dan kami pun tiba di kampung Naga sekitar pukul 10:30
pagi, setelah dicampur-campur dengan namanya transit di rest area. Dan satu
lagi, kami semua berterima kasih dengan GPS dari hape saya tentunya, tanpaNya
kita pasti bisa lebih siang sesampainya disana.
Daya tarik desa ini makin terbukti saat saya dan
rombongan mengunjunginya. Dan daya tarik itu tidak ada berhubungan dengan
legenda mengenai naga. Jika mengunjungi kampung ini, pengunjung harus ditemani oleh
pemandu lokal karena banyaknya peraturan yang terdapat di kampung Naga ini.
Arti nama Kampung Naga sesungguhnya adalah dimana jalan saat
menuju ke kampung ini menyerupai ular besar, berkelok-kelok. Tidak ada yang
menyeramkan di balik nama tersebut. Selanjutnya untuk menuju ke lokasi Kampung
Naga dari lokasi parkir kami harus menuruni anak tangga yang jumlahnya 360
buah, namun konon jika kita menghitungnya jumlahnya bisa berubah-ubah.
Ternyata bentuk asli dari kampung ini sangat berbeda dari
namanya, serta gambaran kita tentang hal-hal yang berbau naga, karena tak
satupun naga yang berada di sana. Kampung Naga hanyalah sebuah kampung kecil,
yang karena para penduduknya patuh dan menjaga tradisi yang ada, membuat
kampung ini unik dan berbeda dengan yang lain. Tak salah jika kampung ini
menjadi salah satu warisan budaya Bangsa Indonesia yang patut dilestarikan.
Keunikan dari rumah-rumah di
Kampung Naga adalah semuanya beratapkan ijuk, serta menghadap ke arah kiblat.
Letaknya itu berjajar dari atas ke bawah, sehingga saat melihat dari kejauhan
seperti putih dan hitam yang bertumpuk bagaikan tanaman jamur yang tumbuh
subur. Kesuburan dan kedamaian memang sangat terasa ketika kita mulai menuruni
tangga menuju kampung tersebut. Sebanyak 360 tangga harus kita tempuh untuk
sampai Kampung Naga ini, turunannya cukup tajam, so kalau hujan saat turun kita
harus cukup berhati-hati karena ngerinya terpeleset dan jatuh ke jurang-jurang
yang ada dibawahnya. Ketika menuruni tangga, sejauh mata memandang adalah sawah
terasiring menghijau, melalui sungai jernih melintas dan melingkar dibawahnya,
terasa sejuk sekali. Sesekali gemercik air itu terdengar, diiringi dengan tiupan
angin yang menusuk hati, seperti back to nature. Ketika berpapasan dengan
penduduk, mereka pun selalu tersenyum kepada para pengunjung. Sebagai tamu kita
harus menjaga kesopanan juga dan
mengikuti peraturan yang berlaku.
Tidak boleh berucap sembarangan, mematahkan
ranting-ranting pohon, atau menganggu semua hewan disekitar adalah kearifan
lokal yang harus kita dipatuhi sebagai pengunjung. Di seberang sungai adalah
hutan larangan, siapapun tidak boleh mengambil ranting pohon dan menebang
pohon, karena dapat dikenai sangsi adat,".
Logikanya adalah jika pohon-pohon ditebang kemudian akan sangat
berbahaya, kemungkinan longsor dan banjir bisa terjadi karena tekstur tanah
yang miring, lalu terjadi putusnya rantai kehidupan di wilayah tersebut. Dari
sisi lain kampung ini, yang berfungsi sebagai pembatas wilayah adalah adanya
dua air terjun kecil dari atas bukit, yang berfungsi sebagai pengairan pada
musim kemarau, dan mencegah erosi langsung dari perbukitan yang berada
diatasnya. Cerita lain nih gan dari keajaiban air terjun tadi, kita tidak diperbolehkan
mandi di air terjun tersebut saat menjelang waktu maghrib, katanya sih ya
bakalan kesurupan, boleh percaya atau tidak.
Ketika ada tamu datang, beberapa penduduk dewasa dan tua
keluar dari rumah dan melihat rombongan, kebanyakan dari mereka tidak bisa
berbahasa Indonesia. Dari keterangan mang Eno, guide kami, mereka bertanya
padanya," selamat datang dan menanyakan rombongan dari berasaal dari
mana," dalam bahasa sunda. Sore itu saat rombongan kami datang, terlihat
para penduduk sedang menganyam kerajinan tangan. Hasil kerajinan tangan
penduduk kampung ini jangan diremehkan gan, bisa penjualannya dijual ke berbagai
kota di Indonesia hingga ke luar negeri, karena setiap hari ada saja wisatawan
manca negara yang berkunjung ke sini. Lebih seru lagi, para pengunjung sangat diperbolehkan
menginap di kampung ini untuk ikut menyelami kehidupan masyarakat Kampung Naga.
Kita akan diajak kembali kepada kehidupan masa lalu. Bayangin saja, listrik
tidak boleh masuk ditempat ini, karena ditakutkan akan terjadi hubungan pendek
dan bisa menimbulkan kebakaran. Kalau malam hari lampu teploklah yang berjasa, kehidupan
malamnya betul-betul terasa sepi dan meredup.
Sistem pemimpin di kampung
Naga dibedakan menjadi 2 kepemimpinan gan, yaitu kepemimpinan formal dan non
formal. Kepemimpinan formalnya terdapat kepala dusun, Pak RT, Pak RH, dan Pak
RW, kepemimpinannya bersifat demokrasi dengan jangka jabatan lima hingga enam
tahun lamanya. Tugas mereka adalah menyampaikan pemerintahan yang diberikan
atasan hingga diterima ke masyarkat
kampung Naga itu sendiri guna tersalurkan semua informasi yang penting
diberitahukan kepada warganya sehingga mereka tidak terjadi kesalahpahaman.
Selanjutnya yang bersifat non formal terdapat 3 bagian, pertama Kuncen yang
bertugas menjadi pemimpin dalam ziarah makam, kedua Pundu yang bertugas mengayomi
warga dan yang terakhir Lebe yang bertugas untuk mengurusi jenazah dari awal
hsampai mengguburkan jenazah serta juga melakukan upacara-upacara keaagamaan
terhadap jenazahnya..
"Kita semua, masyarakat disini memegang semua
peraturan yang ditetapkan oleh Moyang kita," kata Mang Eno salah satu
guide yang menemani kami serombongan ke Kampung Naga. Walaupun dengan logat Bahasa
Indonesia yang kurang begitu lancar, mang Eno sangat bersemangat dan hangat
memberikan jawaban-jawaban dari pertanyaan yang kami ajukan serombongan. Mang
Eno berkata, jika ada salah satu warga Kampung Naga yang harus keluar dari
kampung tersebut, karena menikah dengan orang dari luar penduduk Kampung Naga.
Itulah konsekuensi salah satu peraturan yang ada di dalam kampung itu, bahkan
saat terjadi pernikahan antara muda-mudi dari kampung ini kemudian harus keluar
dari Kampung Naga juga jika tidak tersedia tempat tinggal. Seluruh rumah di
Kampung Naga jumlahnya dipertahankan, yaitu tidak boleh kurang dan lebih dari
118 bangunan. Dan dari 118 bangunan tersebut, sebanyak 108 bangunan adalah
rumah penduduk, sisanya adalah bangunan masjid, ruang pertemuan dan rumah agung
( rumah besar ) yang tidak boleh ditempati oleh siapapun.
Itu sekilas info dari mang Eno pada hari pertama kami
sesampainya disana, sekilas cuaca sudah mulai tidak bersahabat dan gelap
menjelang waktu Maghrib. Setelahnya kami mendapat beberapa info dasar tentang
kampung Naga tadi, kami serombongan pun diantar oleh pak RT disana yang
menyambut kami dengan senyuman hangat dan mengantar kami kerumah warga untuk
menginap disana dan tinggal bersama mereka. Menjelang malam, kami semua
berkumpul masing-masing dirumah warga yang kami tinggal, disamping itu karna
tidak adanya listrik dikampung ini saya merasa benar benar back to nature dan
kerasa banget seperti masa primitif, sampai sampai kami semua kebanyakan untuk
sedikit minum antisipasi keluar malam gelap dan jamban diluar kampung hehehe,
dan pada saat jam 9 malam waktu setempat pun semua warga enggan untuk keluar
rumah karna itu memang aturannya lanjutnya karena malam hari terdapat banyak
ular berkeliaran. Ya bukan menakuti, kampung Naga juga dikelilingi tempat yang
masih benar benar alam tok yang masih terdapat reptil kayak gitu. Setelah
menyantap makan malam bersama warga rumah yang kami tinggali kami
bercakap-cakap dengan pemilik rumah dan sebelum akhirnya kami tidur untuk
menjalani aktivitas pagi keesokannya.
Hari
esok pun tiba, pagi yang cerah disambut dengan angin melambai menhampiri kami
semua serombongan serta mang Eno juga, membuat kami semakin semangat untuk
mengikuti kegiatan bersama warga kampung Naga dan berkeliling sekitar uyeeaaa.
Eiiiiits, tapi sebelumnya kami tidak lupa sikat gigi serta sarapan dahulu
walaupun tidak mandi, sebenarnya bukan tidak mandi, mandinya setelah selesai
beraktivitas. Dan saya pun tidak luput dari bertanya, banyak pertanyaan dari
kepala saya. Mang Eno apa saja pekerjaan penduduk sekitar selain bercocok tanam
dan seperti yang dijelaskan kemarin mang?, mang Eno langsung menjawab dengan
nada sederhana. Pekerjaan sampingan mereka adalah membuat berbagai kerajinan
tangan dari bahan baku kain batik, kayu, bambu serta rotan dan biji-bijan. Dengan berbahan baku tersebut mereka dapat jadikan
berbagai macam tas, topi, alat masak, sandal bakiak, gantungan kunci, gelang
dan kalung, pajangan serta miniatur rumah adat mereka dan alat musik tradisional,
seperti angklung dan karrinding. Selain bertani dan membuat kerajinan, mereka
juga membuat gula merah. Dengan gula merah yang mereka olah tidak sekedar untuk
dimasak atau dicampur kedalam minuman, tetapi dapat dikonsumsi langsung saat
kita sedang dalam keadaan lemah dan letih.
Seluruh aktivitas penduduk kampung disini, warga
menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa kesehariannya sehingga mereka terkadang
kurang fasih dalam menggunakan bahasa Indonesia. Nah pastinya terdapat beberapa
kesulitan yang kami hadapi saat kami ingin berinteraksi dengan warga sektar,
karena tadi kami sendiri toh tidak mengerti mengenai bahasa sunda sampai-sampai
kami mengartikannya melalui bahasa non verbalnya.
Penduduk Kampung Naga beragama Islam, yang juga diMix
bahasa gaulnye dengan kebudayaan warisan dari nenek moyang dulu. Disini juga
diperbolehkan berpoligami loh, tetapi ni yang penting, bapak bapak disini dan
pemuda pemudinya semua adalah orang yang setia. Masyarakat. Dalam
halnya pernikahan, disini warga kampung naga tidak melarang warganya untuk
menikah dengan warga kampung lain, tapi dengan syarat calon mempelai beragama
Islam sehingga dinikahkan secara agama Islam juga. Kalaupun mereka juga ingin tinggal
dikampung naga, tentu diperbolehkan, mereka diharuskan mengikuti semua aturan
yang dan ikut melestarikan kampung naga.
Jumlah keseluruhan penduduk sekitar 325 orang, sebagian besar bertani dan
berternak ikan. Tanaman pertanian yang ditanam biasanya adalah padi, jagung,
sayur-sayuran dan apotik hidup.
Saling mempercayai satu sama lain untuk menciptakan perdamaian agar dapat hidup rukun itulah pedoman mereka. Lalu mereka juga menganut konsep budaya sunda, silih asah yang berarti saling menyayangi, silih asih yang berarti saling memberi, silih asuh yang berarti saling menghargai sesama, dan silih payungan yang berarti merangkul sesama, sehingga bila ada konflik semua masalah dapat diselesaikan dengan baik di kampung ini seperti musyawarah. Konsep lainya yang mereka anut adalah amanat, wasiat dan akibat. Jadi bila kita telah diberi amanat dan wasiat tetapi kemudian melanggar maka kita akan menerima akibat sesuai dengan perbuatan kita layaknya karma. Masyarakat kampung naga juga mempercayai namnya mitos. Terlihat dari jimat penolak bala, opak dan dupi yang menempel disetiap pintu rumah, fungsinya untuk menolak bala, sebagai pelindung dan keselamatan bagi penghuninya.
Dikampung Naga ini memiliki alat musik khas bernama
Karinding, Alat musik yang berukuran sekitar 8-10cm terbuat dari bambu yang
sudah 3 tahunan, cara memainkannya dengan dijepit dengan mulut lalu
dipukul-pukul ujungnya menggunakan satu jari, untuk pemula si gan pastinya
sulit untuk mengeluarkan suara sedikit pun, justru teman saya yang mencobanya
tidak dapat mengeluarkan suara sama sekali. Yaaa, memang dibutuhkan kesabaran
utnuk memainkannya agar menghasilkan nada yang merdu.
Dan satu lagi yang saya tanyakan bergegas ke kediamannya,
kepada Punduh kampung Naga sebelum saya dan rombongan pulang ke Jakarta,
pedoman seperti apa buat kami semua diluar sana yang masih muda, saya bertanya
dengan senyum ramah. Dan sang Pundu menjawab dengan tegas, “Kalian diluar sana
harus hidup jujur kedepannya”. Hanya itu yang dikatakan, dan sekilas saya pun
diam dan mencerna statement itu dengan berbagai ekspektasi saya sendiri
kedepannya !!!!
Karena tak jauh dari situ adalah sekumpulan penduduk yang
ketat dalam menjaga aturan Nenek Moyang, dan di shelter terakhir tempat masuk
dan keluar penduduk Kampung Naga kita akan banyak menemukan berbagai hal yang
berhubungan dengan globalisasi. Untuk itu masyarakat setempat, pemda dan
seluruh pihak terkait harus menjaga salah satu kekayaan budaya Bangsa Indonesia
ini.
Setelah
mengunjungi kampung Naga, dari materi yang terkait tentang Kab saya mendapat
beberapa diantaranya, dimana bagian bahasa dan budaya. Bahasa Sunda disini sebagai identitas masyarakat
kampung Naga itu sendiri dan menjad peta budaya. Dibagian komunikasi non
verbal, dari rumah adat mereka yang menggunakan atap ijuk dan berbahan kayu
mencerminkan komunikasi verbal bahwa itu cri khas milik kampung Naga.
Pengalaman kami disini banyak juga pelajaran yang diambil, seperti dalam
kehidupan tidak adanya perbedaan stratifikasi sosial walaupun terlihat secara
perekonomian tak usah ditunjukkan, sehingga tercipta kehidupan yang dapat
berdampingan apalagi dengan adanya pernikahan akulturasi dari luar daerah, tapi
dapat hidup bersatu dengan rukun sesuai peraturan yang berlaku.
Dan kami pun pulang, kembali pada kehidupan biasanya dan
mendapat pelajaran penting dari kampung Naga dari hal petuah dan pelajarannya
hingga tentang kampungnya sendiri. Thanks a lot KAMPUNG NAGA ..
No comments:
Post a Comment