NAMA: ANGELIA
NIM: 11140110180
KELAS: F-1
Kota Singkawang atau
kota yang sering kali disebut- sebut kota seribu kuil adalah sebuah kota kecil
di daerah Kalimantan Barat. Kota ini begitu kental dengan budaya Chinesenya,
seperti chinanya Indonesia.sekitar 165 ribu warga Singkawang, 58% diantaranya
beretnis Tionghoa. Beragam budaya terdapat di Kota kecil ini, seperti Budaya
suku Dayak, budaya suku Melayu dan Budaya suku Chinese. Perpaduan tiga budaya
suku merupakan suatu kelebihan bagi kota Singkawang. Mereka bisa hidup
berdampingan tanpa ada masalah dalam perbedaan budaya dan kepercayaan.
Budaya
Chinese kota singkawang sangat kental bisa dilihat di perkampungan kaliasin
atau yang bisa disebut Jam Thang.salah satu perkampungan tertua di daerah
Kalimantan Barat. Berlokasi di daerah pinggiran kota Singkawang selatan. Kampung
Kaliasin adalah bukti sejarah masuknya China dari wilayah Hong Ciu, Tiongkok
pada awal abad XVII. Pada saat itu, sejumlah orang Tiong Hoa sengaja didatangkan Raja Sambas
untuk bekerja sebagai buruh tambang emas di Monterado Kalimantan Barat.
Kedatangan mereka juga turut membangun permukiman yang diberi nama Jam Thang ( Kaliasin), setelah
mereka tidak lagi bekerja sebagai
penambang emas, mereka menghidupi diri mereka dengan memilih membuat garam
untuk dijual. Permukiman tersebut terletak di tengah sebuah kali dan pekerjaan
sebagian orang di sana adalah membuat garam untuk dijual, sehingga nama kaliasin pun menjadi pilihan sebagai
nama kampung atau permukiman mereka.
Sebagian
warga etnis Tionghoa yang hidup di kampung ini tidak dalam taraf ekonomi yang
baik. Mereka rata- rata kurang mampu dan bekerja juga sebagai buruh tani di
kawasan kota Singkawang. Pendapatan sehari- hari mereka juga kebanyakan jauh
dari normal, bisa dikatakan pendapatan mereka hanya cukup untuk makan seadanya
dan dilihat dari kondisi rumah mereka cukup memprihatikan karena termakan usia
bangunan disana. Rata- rata beretnis Tiong Hoa dan beragama Kong Hu Cu sehingga
warga disana mempunyai budaya Chinese yang masih kental seperti salah satunya
adalah sembahyang tiap tanggal satu dan tanggal lima belas kalender imlek Chinese.
Mungkin
di daerah perkotaan sekarang ini sulit ditemukan ada warga Tiong Hoa yang masih
rajin untuk sembahyang, apalagi rutin setiap tanggal satu dan lima belas imlek Chinese(
Cap It Gwee). Berbeda dengan masyarakat Tiong Hoa diperkotaan, Keluarga kakek
Afung atau yang biasa dipanggil kakek Ajin. Keluarga kakek ini adalah warga
kampung kaliasin dalam yang masih memegang teguh kepercayaan budaya Chinese dan
agama Tiong Hoa. Sembahyang tanggal satu dan lima belas imlek adalah sesuatu yang wajib untuk mereka.
Selain diajarkan dari dulu oleh leluhur mereka untuk sembahyang, mereka sendiri
juga percaya bahwa akan ada dewa yang selalu melindungi dan memberkati keluarga
mereka. Hal ini juga ditunjukkan sebagai tanda terima kasih dan juga hormat
kepada dewa yang selama ini telah memberkati mereka.
Tanggal
satu dan lima belas imlek Chinese selain wajib sembahyang, berarti dalam
sebulan ada dua kali mereka melakukan sembahyang kepada dewa atau
leluhur.mereka juga wajib makan bebas daging atau yang biasa di sebut makan
vegetarian. Sembahyang cap it gwee juga dapat dilakukan pada tanggal tiga puluh
malam atau tanggal satu pagi dan tanggal empat belas malam juga tanggal lima
belas pagi. Sembahyang ini dilakukan dengan menyembah altar dewa menggunakan
dupa atau hio. Sebelum sembahyang mereka harus membasuh tangan, kaki dan muka
dengan air yang sudah diberkati sama seperti
halnya dalam agama Islam. Selain sembahyang didepan altar, mereka juga
menyembah ke arah langit dengan dupa tersebut. Setelah itu, dupa atau hio
tersebut di simpan di tempat hio yang biasa disebut “Hiong low” dalam bahasa
Tionghoa.
Mengikuti
budaya sembahyang agama Kong Hu Cu ternyata banyak pantangan yang harus
diikuti. Setelah mengikuti pada tanggal lima belas imlek, kembali saya
mengikuti pada tanggal tiga puluh tengah malam menjelang tanggal satu imlek
kalender Chinese. Di sana saya diperbolehkan untuk mengikuti ritual sembahyang
mereka meskipun saya berbeda agama dengan mereka, itu merupakan bentuk
penghormatan saya terhadap agama Kong Hu Cu. Dan ternyata saya baru tahu kalau
dalam sembahyangnya sendiri ada peraturan tersendiri. Untuk pemula seperti
saya, banyak kesalahan- kesalahan yang saya perbuat seperti cara membakar hio.
Seharusnya hio itu dipegang menggunakan kedua tangan dan digabungkan menjadi
satu, tetapi saya sendiri memegangnya seperti menyalakan kembang api dengan
asal. Bagi saya, yang penting hio itu bisa nyala. Ternyata saya salah besar
karena itu sama saja arti tidak menghormati dewa mereka. Saya benar- benar minta maaf akan kesalahan yang
saya perbuat.
Kesalahan
saya yang lainnya adalah cara memegang hio, urutan kepada dewa mana terlebih
dahulu yang akan disembah Karena mereka mempunyai banyak dewa yang harus disembah
sesuai dengan urutannya, dan cara saat sujud sembah
kepada dewa- dewanya sendiri.
Bagi
umat yang telah sembahyang, harus membunyikan gong sebagai tanda ibadah telah
selesai.
Bagi
masyarakat tionghoa Kong Hu Cu yang lebih mampu dalam hal ekonomi mereka selain
menggunakan hio/ dupa mereka juga membawa uang kertas dan juga buah. Buah
diletakkan di depan altar dan membakar uang kertas untuk persembahan setelah
mereka sembahyang.
Setelah
sembahyang, mereka diwajibkan untuk makan bebas daging atau vegetarian dengan
maksud untuk menyucikan diri, menjauhi diri dari hal- hal yang bersifat duniawi
. tetapi makanan vegetarian disajikan dengan sedemikan menariknya, seperti
sate, daging merah, tapi itu semua terbuat dari olahan tepung, dan jamur.
Meskipun
kehidupan ekonomi mereka tergolong cukup sederhana, mereka tidak pernah
mengeluh. Sosok satu ini bisa menjadi panutan
bagi kita semua, dengan usia yang terbilang tua, kakek Ajin masih tetap
tekun dalam bekerja untuk menghidupi istri dan cucu- cucu dia.
Pekerjaan
sebagai buruh tani sudah lama ia tekuni, tetapi karena faktor usia yang telah
menginjak kepala 9, bekerja sebagai buruh tani tentu sangat melelahkan.
Beruntung kakek Ajin masih mempunyai seorang cucu besar yang masih tinggal
bersama mereka sehingga beban kakek Ajin menjadi lebih ringan. Cucunya sendiri
bekerja sebagai montir sepeda. Penghasilan mereka sendiri juga tidak menentu.
Untuk urusan masak- memasak, kakek Ajin menyerahkan ke cucu perempuannya yang
bernama Aling. Karena istri tercinta tidak kuat lagi untuk berdiri lama.
Satu
kehormatan bagi saya dapat diterima dengan baik disana. Kehangatan dan
kesederhanaan keluarga kakek Ajib begitu
terasa setelah mengikuti keseharian mereka. Mereka sama sekali tidak menggangap
saya orang asing sejak pertama kali kali saya tiba dirumah mereka.
Kesederhanaan mereka dapat terlihat dari kondisi rumah mereka, seperti
peralatan masak mereka yang masih menggunakan tungku api yang begitu sederhana.
Kegiatan masak- memasak pun terasa mengasyikkan bagi saya.
Menyalakan
api diatas tumpukan kayu dan sampai api membesar. Sulit memang untuk
membesarkan api hanya dengan meniup pipa ke arah kayu bakar. Apalagi kayu yang
didapatkan pada musim hujan adalah kayu yang masih basah. Untuk membuat api
menjadi besar benar- benar sangat sulit. Yang keluar hanya asap hitam yang
mengisi seluruh pelosok rumah.
Butuh
proses yang lama tentunya untuk menyalakan api diatas kayu bakar yang basah. Asap
yang menganggu pernapasan. pipa yang harus ditiup terus menerus membuat masakan
terasa begitu nikmat.
Budaya
Chinese selain dilihat dari agama, dapat juga dilihat cara makan mereka. Yaitu
masih menggunakan mangkok dan sumpit. Dapat dilihat di video, kakek Ajin dan
kelurga masih menggunakan teknik makan orang Chinese. Ternyata bukan hanya
sekedar makan tetapi ada tata cara dan kepercayaan juga. Seperti pada saat makan mereka tidak
banyak banyak bicara, cara memegang sumpit juga tidak boleh silang pada kedua
ujung sumpit, pada saat mengambil sayur tidak boleh menyilang tangan satu
dengan tangan lain, tidak boleh menancapkan sumpit atau sendok diatas nasi,
karena jika kita menancapkan sumpit secara lurus itu untuk makanan orang
meninggal, dan juga karena orang Chinese yang begitu percaya bahwa setiap
barang mempunyai dewanya sendiri sehingga ada mitos jika kita makan, tidak
boleh sampai memukul mangkok dengan sumpit karena dewa disananya akan pergi dan akan itu juga bisa memanggil hantu-
hantu yang sedang kelaparan datang menghampiri panggilan bunyi ketokan kita.
Ada juga yang percaya bahwa saat makan janganlah kita menggoyang- goyang kaki
kita, karena selagi makan menggoyangkan kaki itu berarti membuang rejeki yang
datang. Percaya atau tidak, inilah tradisi atau kepercayaan orang Chinese dalam
hal makan.
Dalam
kalender imlek Chinese pada tanggal satu dan lima belas selain sembahyang rutin
sebulan dua kali, banyak perayaan- perayaan yang dilakukan, seperti pada
tanggal 1 kalender Chinese ada perayaan imlek( Chinese New Year). Tahun baru Chinese
(Chinese New Year) dirayakan sangat meriah setiap tahunnya. Perayaan tahun baru
bukan hanya ritual imlek semata tetapi juga dapat menarik para wisatawan
domestik maupun manca Negara. Perayaan imlek di Singkawang setiap tahunnya
dirayakan dengan berbagai atraksi dan acara- acara yang sangat menarik, seperti
Naga Lampion Terpanjang 138 Meter yang masuk dalam Rekor MURI, kue keranjang
terbesar di Indonesia dan juga lampion raksasa. Kue keranjang merupakan salah
satu makanan yang menjadi khas imlek Chinese. Acara tersebut dirayakan di
lapangan Kridasana, tentunya juga terbuka secara umum bagi siapa saja.
Pada
tanggal lima belas setelah Chinese new year ada perayaan Cap Go Meh. Cap Go Meh dilambangkan sebagai hari
ke lima belas tahun baru Chinese. Cap Go meh secara harafiah yang berarti Cap =
sepuluh, Go = lima, Meh = hari. Perayaan Cap Go Meh di Singkawang ditandai
dengan arak- arakan singa, naga, kilin, dan tatung. Tatung adalah orang yang
menyiapkan dirinya berpuasa selama tiga hari tiga malam makan tanpa daging,
Agar roh dewa bisa masuk ke dalam tubuhnya dan bisa melakukan aksi ritual
tatung.
Pagi
hari ke 15, para Tatung berkumpul untuk sembahyang kepada Langit di altar yang
sudah disiapkan dan juga di kuil- kuil yang ia lewati. Para tatung akan ditandu
dengan tandu yang beralaskan benda-
benda tajam seperti pedang , beling dan paku yang tajam. Ada juga yang menusuk
pipinya dengan jarum besar, antena dan lain sebagainya. Tidak hanya demikian,
para tatung sering kali melakukan aksi diluar akal sehat. Mereka bisa makan
ayam, anak anjing hidup- hidup di depan sekian banyak penonton dan menusuk
badan mereka sendiri dengan menggunakan benda- benda tajam tanpa ada meninggalkan luka sedikit pun.
Aksi- aksi yang dilakukan para tatung akan berakibat fatal, jika ada pantangan
yang dilanggar. Jika hal tersebut terjadi, dewa yang masuk ke dalam tubuh orang
itu bisa pergi kapan saja sehingga dapat mengakibatkan orang tersebut terluka
jika sedang melakukan aksi berbahaya.
Pada
tanggal satu bulan tujuh kalender imlek Chinese
ada yang namanya sembahyang kubur “cheng beng”. Sembahyang kubur merupakan
sebuah penghormatan dari keluarga yang
masih hidup kepada leluhurnya. Ramai-ramai mereka menuju makam leluhur mereka,
mengirim bekal untuk mereka yang sudah pergi terlebih dahulu menghadap yang
kuasa. Uang perak, uang kertas, baju kertas, sepatu kertas, mobil kertas, aneka
hidangan makanan seperti ayam, daging babi,nasi putih& sayur- sayuran
berserta buah- buahan, dan minuman seperti arak putih tradisional Singkawang
dan teh, beberapa batang garuh atau dupa berpadu tersusun di depan nisan
leluhur.
Sebagai
penghormatan kepada mereka yang pergi terlebih dahulu, keluarga mereka dalam
setahun penuh tidak diperbolehkan untuk berpesta atau mengadakan acara meriah
seperti perkawinan/ ulang tahun. Percaya atau tidak, pantangan seperti tidak
boleh membuat kue saat ada keluarga yang baru saja meninggal, benar adanya.
Karena sering kali mereka mencoba,sering kali juga kue buatan mereka gagal atau
tidak bisa matang.
Sembahyang kubur bisa dilakukan selama lima
belas hari dari tanggal satu imlek hingga lima belas imlek Chinese. Pada
tanggal lima belas bulan tujuh imlek Chinese
tersebut diartikan sebagai hari terakhir sembahyang kubur, dan pada hari itu
ada yang namanya sembahyang rebut. Sembahyang rebut “Chiong Si Ku”. Ini
merupakan salah satu adat kepercayaan masyarakat Tionghoa, bahwa tanggal
tersebut pintu akherat terbuka lebar. Arwah- arwah akan bergentayangan di
dunia. Arwah- arwah tersebut merupakan arwah yang terlantar dan tidak terawat.
Sehingga masyarakat akan menyiapkan ritual khusus yang disebut sembahyang rebut
untuk mereka berupa pemberian bekal
makanan, pakaian kertas, uang kertas dan hio dikuil- kuil dan melakukan doa
agar para arwah- arwah tidak menggangu manusia atau masyarakat sekitar.
Masyarakat
Tionghoa Singkawang mempunyai kepercayaan secara turun temurun yaitu tidak
boleh melangsungkan pernikahan pada bulan tujuh kalender Imlek Chinese.
Dipercaya jika melangsungkan pernikahan pada bulan tersebut, pasangannya
merupakan jelmaan makhluk halus. Bulan tujuh merupakan bulannya para hantu.
Masyarakat kota Singkawang juga jarang keluar rumah karena ada mitos mengatakan
orang- orang disekitarnya adalah arwah- arwah genyangan. Terutama pada hari ke
lima belas bulan tujuh, masyarakat sekitar bahkan tidak berani tidur awal
karena takut diajak pergi oleh arwah- arwah jahat.
Inilah
semua kepercayaan masyarakat Tionghoa Kong Hu Cu kota Singkawang. Masih begitu
kental dengan kepercayaan- kepercayaan yang dibawa secara turun temurun.
Read
more :
No comments:
Post a Comment