NIM : 11140110122
Kelas : E1
Cirebon ! Itulah yang tersemat dalam pikiran
penulis ketika mendapatkan tugas untuk melakukan observasi kebudayaan. Mengapa
harus cirebon ? Mungkin dalam benak pembaca bertanya-tanya mengapa harus
Cirebon. Namun, penulis memiliki alasan lain mengapa Cirebon yang menjadi
tempat pilihan. Penulis memilih Cirebon karena sejarah kota Cirebon yang pada
jaman dahulu kental akan akulturasi budaya, terkenal dengan wali sanga ( 9 wali
) dan juga sebagai pusat pengembangan ajaran Agama Islam di Pulau Jawa.
Perjalanan menuju Cirebon
Dalam perjalanan menuju Cirebon, penulis
menggunakan transportasi darat. Bukan bus melainkan kereta. Perjalanan kali ini
sangat mengesankan bagi penulis karena ini kali pertama penulis menggunakan
kereta sebagai alat transportasi. Penulis tidak berangkat sendiri dalam
observasi ini. Penulis pergi bersama rekan-rekan lainnya yang juga mengemban
tugas observasi. Penulis dan rekan berangkat dari Stasiun Gambir pada pukul 6
pagi. Waktu tempuh kereta api dari Jakarta menuju Cirebon memakan waktu kurang
lebih sekitar 3 jam. Setibanya kami di stasiun Cirebon, penulis beserta rekan
langsung melanjutkan perjalanan ke Keraton Kasepuhan karena memang keraton itulah
tujuan utama kami berangkat ke Cirebon.
Stasiun kereta di Cirebon |
Sebelum sampai ke Keraton Kasepuhan, penulis
dan rekan sempat mampir terlebih dahulu ke warung nasi jamblang untuk memakan
nasi jamblang yang merupakan salah satu makanan khas di daerah Cirebon ini.
Selama di Cirebon, penulis dan rekan juga mencoba nasi Lengko yang juga
termasuk makanan khas Cirebon. Singkat cerita, penulis dan rekan sampai di
Keraton Kasepuhan. Sesampainya kami disana, kami sudah ditunggu oleh seorang
guide yang merupakan abdi dalam keraton.
Perlahan namun pasti, penulis dan rekan
menelusuri setiap sudut di Keraton Kasepuhan. Alangkah terpesonanya kami ketika
Keraton yang sudah lama berdiri ini masih kokoh walau terjangan arus modern
kian kencang berhembus. Masyarakat sekitar keratonpun terlihat masih memegang
nilai-nilai teguh dalam kehidupannya.
Nilai-nilai kebuadayaan Keraton Kasepuhan
Seperti masyarakat pada wilayah kerajaan umumnya,
kehidupan masyarakat disana sangatlah high context. Masyarakat sangat menjaga
kesantunan dalam bicara dan bertindak. Hal itu terlihat dalam wawancara penulis
dengan guide. Guide terlihat sangat lembut dan santun dalam menceritakan tiap
detail kisah mengenai keraton ini. Tidak hanya itu, masyarakat sekitar keraton
ini pun memiliki gerakan non-verbal tertentu dan untungnya merekapun tidak
pelit untuk memberitahukan arti dan definisi dari setiap gerakan non-verbal
tersebut
Salah satu keraton di dalam lingkungan Kasepuhan |
Selain itu, pandangan Samovar dan rekan dalam
buku Komunikasi Lintas Budaya mengenai bahasa dan budaya memang sangat cocok
dengan kehidupan di Keraton Kasepuhan. Mengapa demikian ? Dalam buku Komunikasi
Lintas Budaya dijelaskan bahwa bahasa merupakan salah satu cara untuk
menggambarkan tinggi atau rendahnya konteks budaya masyarakat disana.
Masyarakat Keraton sangatlah memperhatikan bahasa ketika melakukan percakapan
sehari-hari. Kesantunan dalam berbicara dan menyampaikan informasi sudah
dipegang teguh oleh masyarakat sekitar keraton dari masa kemasa.
Interior dalam keraton Kasepuhan |
Enkulturasi
menitik beratkan pada suatu proses dimana budaya ditransmisikan dari satu
generasi ke generasi selanjutnya. Kita mempelajari budaya, bukan mewarisinya.
Budaya ditransmisikan melalui proses belajar, bukan melalui gen.
Hal inilah yang ada dalam Keraton Kasepuhan. Masyarakat yang berada di
lingkungan Keraton diajarkan untuk mempelajari budaya asing. Karena seperti
yang kita ketahui bahwa kota Cirebon merupakan kota yang terbentuk karena
adanya pencampuran budaya.
Sejarah Cirebon
Cirebon
merupakan salah satu kota yang berada di Jawa Barat. Kota yang berada di
sekitar pesisir utara Jawa ini ternyata menyimpan ragam budaya didalamnya.
Salah satunya adalah adanya Keraton Kasepuhan. Sebelum kita membahas lebih
lanjut mengenai perjalanan penulis untuk menelusuri budaya yang ada di Keraton
Kasepuhan, alangkah lebih baiknya jika kita mengenal terlebih dahulu sejarah
mengenai kota Cirebon itu sendiri.
Cirebon merupakan kota yang berada pada koordinat
6°41′S 108°33′E / 6.683°LS
108.55°BT pantai Utara Pulau Jawa, bagian timur Jawa Barat, memanjang dari barat ke timur 8 kilometer,
Utara ke Selatan 11 kilometer dengan ketinggian dari permukaan laut 5 meter
(termasuk dataran rendah). Kota Cirebon dapat ditempuh melalui jalan
darat sejauh 130 km dari arah Kota Bandung dan 258 km dari arah Kota Jakarta. ( sumber : wikipedia )
Sebelum terkenal dengan nama Cirebon. Kota
ini dahulu disebut dengan sebutan Caruban yang berarti campuran ( karena budaya
Cirebon merupakan campuran dari budaya Sunda, Jawa, Tionghoa, dan unsur-unsur budaya Arab ). Kemudian berganti nama lagi menjadi
Cerbon kemudian menjadi Cirebon hingga sekarang. Konon, pada jaman dahulu kota
ini dijadikan sebagai tempat persinggahan untuk para saudagar-saudagar dan
pedagang asing dari dalam maupun luar negeri sehingga kota ini disebut dengan
sebutan Caruban.
Jika melihat paragraf diatas, Cirebon
merupakan salah satu kota di Indonesia yang sarat akan unsur akulturasi
didalamnya. Salah satu contoh akulturasi budaya adalah adanya wayang kulit dan
wayang topeng. Perbedaan yang umumnya aneh dikalangan kota tertentu malah
menjadi suatu nilai lebih untuk kota Cirebon ini. Keharmonisan antara
masyarakat Jawa, Sunda, Tionghoa, dan Arab bagai bumbu pelengkap dalam nuansa
kehidupan di Cirebon.
Selain itu, ada sumber lain juga yang
mengatakan bahwa asal muasal dari nama Cirebon merupakan campuran dari Ci yang artinya air atau sungai dan Rebon
yang artinya udang dalam bahasa Sunda.
Menurut Manuskrip Purwaka
Caruban Nagari, Pangeran Walangsungsang yang merupakan putra Prabu
Siliwangi ditunjuk
sebagai Adipati Cirebon dengan Gelar Cakrabumi.
Pangeran Walangsungsang inilah yang mendirikan Kerajaan Cirebon, diawali dengan tidak mengirimkan barang
atau upeti kepada Raja Galuh. Keputusan untuk tidak memberikan upeti membuat
Raja Galuh berang. Oleh karena itu Raja Galuh mengirimkan bala tentara ke
Cirebon Untuk menundukkan Adipati Cirebon. Namun, dalam pertempurannya ternyata
Adipati Cirebon terlalu kuat bagi Raja Galuh sehingga ia keluar sebagai
pemenang.
Seiring dengan kemenangan Pangerang Walangsungsang maka berdirilah
kerajaan baru di Cirebon dengan Raja bergelar Cakrabuana. Berdirinya kerajaan Cirebon menandai diawalinya
Kerajaan Islam Cirebon dengan pelabuhan Muara Jati yang aktivitasnya berkembang
sampai kawasan Asia Tenggara.
Kemudian pada tanggal 7 Januari 1681 Cirebon secara politik dan ekonomi berada dalam pengawasan pihak asing
yakni VOC, setelah penguasa Cirebon waktu itu menandatangani
perjanjian dengan VOC.
Pada masa kolonial pemerintah Hindia Belanda, tahun 1906 Cirebon disahkan menjadi Gemeente Cheribon dengan luas 1.100
ha dan berpenduduk 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370).
Kemudian pada tahun 1942, Kota Cirebon diperluas menjadi 2.450 ha dan tahun
1957 status pemerintahannya menjadi Kotapraja
dengan luas 3.300 ha, setelah ditetapkan menjadi Kotamadya tahun 1965 luas wilayahnya menjadi 3.600 ha.
Pada tanggal 15 April 2011, Kota Cirebon diguncang dengan
bom bunuh
diri. Lokasi
pengeboman berada di masjid Mapolresta Cirebon. Pada peristiwa tersebut, pelaku bom bunuh diri tewas seketika,
dan terdapat beberapa orang luka parah.
Keraton Kasepuhan
Setelah mengetahui asal mula dari Cirebon.
Sekarang penulis mengajak pembaca untuk mengetahui hal-hal mengenai Keraton
Kasepuhan. Keraton Kasepuhan merupakan simbol dari kebudayaan di Cirebon.
Keraton Kasepuhan ini merupakan keraton terbesar dan terawat di Cirebon
dibandingkan dengan keraton lainnya. Adapun makna di setiap sudut dan arsitektur dari keraton inipun dikenal
sebagai yang paling bersejarah. Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo didalamnya.
Keraton Kasepuhan ini ternyata memiliki museum yang bisa dikatakan cukup lengkap dan berisi
benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Dari sekian banyak koleksi, ada salah satu
koleksi yang dikeramatkan yaitu kereta Singa Barong. Kereta ini saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada
tiap 1 Syawal untuk dimandikan.
Lokasi bangunan Keraton Kasepuhan membujur
dari utara ke selatan atau menghadap ke utara, karena keraton-keraton di Jawa
semuanya menghadap ke Utara yang artinnya menghadap magnet dunia, arti
falsapahnya sang raja mengharapkan kekuatan.
Kereta Singa Barong
Jika pada paragraf sempat disinggung mengenai
Kereta Singa Barong. Kini penulis ingin mengajak pembaca mengetahui lebih jauh
mengenai kereta yang dikeramatkan ini. Singa Barong
merupakan sebuah nama kereta pusaka di Keraton Kasepuhan Cirebon. Kereta ini berbentuk
barong, sejenis binatang mitologis atau ajaib. Keajaiban wujudnya tersebut bisa
kita lihat dari adanya berbagai unsur yang merupakan penggabungan antara singa
atau macan (tubuh, kaki, mata), gajah (berbelalai), garuda (bersayap), dan naga
(mulut yang menyeringai dengan lidah menjulur). Nama atau istilah barong itu
sendiri banyak terdapat dalam kesenian di Pulau Jawa dan Bali. Barong memiliki
makna “ajaib”, yaitu seekor binatang bukan yang nyata ditemukan dalam realita
kehidupan.
Dalam hal Singa Barong, pengambilan keempat
jenis binatang itu mungkin terutama berdasar pada makna kekuatan atau
keperkasaannya. Hal itu dipertegas dengan belalai yang melingkar ke atas
keningnya itu “memegang” senjata trisula (tiga mata-tombak, terdapat di kedua
ujung depan dan belakang), yang menambah ekspresi atas kekuatan dan
keangkerannya. Kereta Singa Barong ditarik oleh kerbau bule (kerbau
putih). Kereta Singa Barong ini terakhir di gunakan pada tahun 1942.
Jika
kita kaitkan dengan teori pada buku yang dibuat Samovar dan rekan “ Komunikasi
Lintas Budaya”. Adanya Kereta Barong ini merupakan salah satu bentuk budaya
yang mempercayai unsur mistik didalamya. Atau dalam buku akan lebih jelas
diterangkan pada bagian elemen Worldview mengenai adanya kekuatan dan
kepercayaan manusia terhadap hal-hal supranatural.
Kereta
Barong ini hanyalah salah satu contoh dari sedemikian banyak koleksi keramat yang
ada pada Keraton Kasepuhan. Selain Kereta Barong, Keraton Kasepuhan juga
memiliki koleksi keramat seperti Sumur Upas , Keranjang Kencana dan koleksi
lainnya.
Sejarah Keraton
Kasepuhan
Pada abad XV, Pangeran Cakrabuwana Putra dari Mahkota Pajajaran
membangun Keraton yang kemudian diserahkan kepada putrinya Ratu Ayu Pakungwati.
Maka keratonnya dinamai Keraton Pakungwati ( hingga sekarang dikenal dengan
panggilan Dalem Agung Pakungwati).
Ratu Ayu Pakungwati kemudian menikah dengan sepupunya Syech
Hidayatullah ( putra Ratu Mas Larasantang adik Pangeran Cakrabuwana ) lebih
dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Kemudian, Sunan Gunung Jati
dinobatkan sebagai pimpinan atau Kepala Negara di Cirebon dan bertempat tinggal
di Keraton Pakungwati. Semenjak itu Cirebon merupakan pusat pengembangan agama
Islam di Jawa dengan adanya Wali Sanga yang dipimpin Sunan Gunung Jari dan
peninggalan-peninggalannya diantaranya Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Pada abad XVI Sunan Gunung Jati wafat. Kemudian, Pangerang Emas
Moch Arifin cicit dari Sunan Gunung Jati bertahta menggantikannya. Kemudian
pada tahun candra sangkala Tunggal tata Gunaning wong atau 1451 Saka yaitu
tahun 1529 beliau mendirikan Keraton Baru di sebelah barat daya Dalam Agung
Pakungwati, Keraton ini dinamai Keraton Pakungwati dan beliaupun bergelar
Panambuha Pakungwati I.
Keraton Pakungwati mengambil dari nama Ratu Ayu Pakungwati Putri P
Cakrabuwana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati; Putri ini cantik rupawan dan
berbudi luhur dapat mendampingi suami di bidang pembinaan Negara dan Agama juga
penyayang rakyat.
Pada tahun 1959 Masjid Agung Sang Cipta Rasa kebakaran, Ratu Ayu
Pakungwati yang sudah tua itu turut memadamkan api, api dapat dipadamkan.
Namun, Ratu Ayu Pakungwati kemudian wafat. Semenjak itu nama/sebutan Pakungwati
dimulyakan dan diabadikan oleh nasab Sunan Gunung Jati.
Pada tahun 1678 didirikanlah Keraton Kanoman oleh Sultan Anom I (
Sultan Badridin ) maka semenjak itu Keraton Pakungwati disebut Keraton
Kesepugan hingga sekarang dan sultannya diberi gelar Sultan Sepuh. Kasepuhan
itu sendiri memiliki arti tempat yang sepuh/tua. Jadi antara Kasepuhan dan
Kanoman itu awalnya yang tua dan yang muda ( bisa dikatakan kakak beradik ).
Keistimewaan Keraton
Kasepuhan
Berkunjung ke Keraton Kasepuhan laksana mengunjungi Kota Cirebon
pada jadul atau jaman dahulu. Adanya Keraton Kasepuhan memperkokoh bukti bahwa
di kota Cirebon pernah terjadi akulturasi. Akulturasi yang terjadi tentunya
tidak saja terjadi antar kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Sunda, melainkan juga
dengan berbagai kebudayaan di dunia, seperti Cina,India, Arab, dan Eropa. Hebat
memang ! Akulturasi inilah yang pada akhirnya membentuk identitas dan tipikal
masyarakat di kota udang dewasa ini, yang bukan Jawa dan bukan Sunda. Kesan
tersebutlah yang sudah mulai terasa sedari awal memasuki lokasi keraton.
Adanya dua patung macan putih yang terpampang di gerbang, selain
melambangkan simbol Kesultanan Cirebon merupakan penerus Kerajaan Padjajaran,
juga memperlihatkan betapa peranan pengaruh
agama Hindu sebagai agama resmi Kerajaan Padjajaran. Gerbangnya pun ternyata menyerupai
pura di Bali, ukiran daun pintu gapuranya yang bergaya Eropa, pagar Siti
Hingilnya dari keramik Cina, dan tembok yang mengelilingi keraton terbuat dari
bata merah khas arsitektur Jawa, merupakan bukti lain terjadinya akulturasi.
Nuansa akulturasi kian kentara saat memasuki ruang depannya yang berfungsi
sebagai museum.
Selain terisi dengan pernak-pernik khas kerajaan Jawa pada
umumnya, seperti kereta kencana singa barong, dua tandu kuno, dan berbagai
jenis senjata pusaka berusia ratusan tahun, di museum ini pengunjung juga dapat
memanjakan mata dengan melihat berbagai koleksi cinderamata berupa perhiasan
dan senjata dari luar negeri, seperti senapan Mesir, meriam Mongol, dan zirah
Portugis. Singgasana raja yang terbuat dari kayu sederhana dengan latar
sembilan warna bendera yang melambangkan Wali Songo.Hal ini membuktikan bahwa
Kesultanan Cirebon juga terpengaruh oleh budaya Jawa dan agama Islam.
Kesimpulan
observasi
Demikian penjelasan mengenai Kota Cirebon dan Keraton Kasepuhan.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa Kota Cirebon merupakan kota dimana terjadi
akulturasi budaya didalamnya. Tidak hanya akulturasi dengan budaya sekitar
Indonesia saja, melainkan budaya dari luar negeri pun mampu berjalan secara
harmonis di kota ini. Hal senada juga terjadi pada Keraton Kasepuhan,
aksitektur keraton yang penuh dengan nuansa akulturasi dengan masyarakat
sekitar yang sangat menghargai arti perbedaan mengajarkan kepada kita betapa
indahnya perbedaan.
Selain itu, nilai-nilai yang tertanam pada masyarakat Keraton
Kasepuhan masih dipegang teguh dari jaman ke jaman. High Context yang merupakan
dasar dari kehidupan keraton, seringnya melakukan interaksi non-verbal, hingga
enkulturasi masih mendarah daging dalam nuansa keindahan Keraton Kasepuhan ini.
Perlu kita ingat dan renungkan sekali lagi, perbedaan bukanlah
sesuatu yang harus kita hindari, karena terkadang perbedaan juga dapat membuat
hidup kita lebih berwarna. Seperti yang ada pada semboyan negeri kita, Bhinekka
Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu dan bukan berbeda-beda
dipaksa satu.
Sekian dari penulis, terima kasih telah membaca artikel ini.
Semoga bermanfaat. Salam Satu Jiwa J
No comments:
Post a Comment