NIM : 11140110264
Kelas : E1
Yogyakarta,
sebuah kota yang meninggalkan banyak kisah dibalik keberadaannya.
Sejarah-sejarah yang tidak akan dengan mudah dilupakan dan dilestarikan oleh
warga Yogyakarta itu sendiri. Dan setiap tempat yang ada hingga sampai saat ini
juga menjadi saksi bisu atas perjuangan Indonesia selama 4 zaman.
Kota Pelajar, Kota Budaya, panggilan untuk kota
Yogyakarta. Banyaknya universitas ternama di Indonesia dan banyaknya pendatang
dari berbagai bagian di Nusantara. Kota dengan berbagai warna dan karakter.
Meskipun begitu namun tidak menjadikan kota ini menjadi pusat keributan karena
perbedaan yang ada. Tapi menjadi kota yang penuh dengan keramahan dan keindahan
karena warganya sendiri.
Dalam rangka memenuhi tugas
Komunikasi Antar Budaya di semester 3 ini, saya melakukan kunjungan ke
Yogyakarta dengan teman saya Bunga. Kami mengunjungi beberapa tempat disana dan
juga melakukan beberapa wawancara singkat dengan turis dan pendatang yang
tinggal di Yogyakarta. Tempat-tempat yang kami kunjungi antara lain adalah Benteng
Vredeburg, Taman Sari, dan daerah tempat kost di Yogyakarta untuk melakukan
wawancara dan observasi singkat bagaimana pola hidup mahasiswa, khususnya
mahasiswa pendatang, karena Yogyakarta juga dikenal sebagai Kota Pelajar.
Pada tanggal 9 November 2012, saya
dan Bunga langsung melakukan perjalanan ke Yogyakarta usai menghadapi UTS. Ini
adalah kali pertamanya saya menginjakkan kaki ke kota itu, dan saya tidak
memiliki gambaran sedikitpun seperti apa itu kota Yogya. Dalam waktu 1 jam dan
15 menit pesawat kami mendarat di Bandara Adisutjipto. Dengan penuh rasa
penasaran dan ingin tahu, kami langsung menuju hotel tempat kami akan menginap
sambil melihat suasana di Yogyakarta.
Betapa kagumnya saya dengan kota
ini. Kota yang bisa terbilang kecil, namun bersih dan semua warga terlihat
sangat ramah dengan kesibukannya masing-masing. Meskipun perjalanan kami sempat
terhambat macet karena kurangnya koordinasi dijalanan, namun menurut sang supir
biasanya Yogyakarta adalah kota yang tidak pernah mengalami kemacetan.
Setiba di hotel, kami memutuskan
untuk langsung mencari tempat-tempat yang akan kami tuju, dan dengan bantuan
dari saudara Bunga yang memang tinggal di Yogyakarta akhirnya kami menentukan
tujuan kami yaitu ke Bentent Vredeburg dan Taman Sari. Pada hari pertama kami
di Yogyakarta, tidak banyak yang dapat kami lakukan karena berbagai hal. Jadi,
kami memutuskan untuk berkeliling kota dengan berjalan kaki sambil
melihat-lihat kota Yogyakarta secara langung.
Berjalan dibawah rindangnya pohon
yang ada dipinggir jalan diatas trotoar yang bersih dan terawat menambah
kekaguman saya dengan kota ini. Petugas-petugas kebersihan yang dengan telaten
membersihkan kota dan para pengguna jalan yang menaati peraturan sekitar. Betapa
Yogya merupakan kota yang indah dengan beribu kesibukan warganya.
Hari berikutnya, kami melanjutkan
perjalanan dengan mengunjungi Benteng Vredeburg. Benteng yang menjadi saksi 4
zaman. Di Benteng ini, kami dibantu oleh Bapak Suriyo sebagai narasumber dan
juga guide kami. Kami diceritakan tentang sejarah terbentuknya benteng ini
dikembangkan.
Benteng Vredeburg |
Benteng Vredeburg dibangun tahun
1760 hampir bersamaan dengan berdirinya Keraton Yogyakarta. Alasan berdirinya
benteng ini awalnya adalah untuk menjaga keamanan kota Yogyakarta, yang pada
kenyataannya adalah digunakan oleh kolonial belanda untuk mengawasi aktivitas
yang terjadi di keraton dan apakah keraton masih tunduk terhadap pemerintahan
belanda atau tidak. Pada awalnya, bangunan benteng ini masih bersifat semi
permanen, yang direnovasi pada tahun 1767 dan memakan waktu yang cukup lama,
yaitu 20 tahun. Hal ini terajdi karena pada waktu yang bersamaan, Keraton Yogyakarta
juga sedang mengembangkan bangunan keratonnya. Nama benteng ini memiliki arti
arafiah sebagai tempat peristirahatan. Dimana benteng ini juga digunakan tidak
hanya sebagai benteng pertahanan, tetapi juga sebagai pemukiman pertama bagi
orang-orang belanda.
Di benteng ini terdapat museum yang
menceritakan tentang sejarah perjuangan Indonesia yang terjadi di Yogyakarta.
Dan ini semua disampaikan dalam bentuk diorama yang dibuat pada tahun 1980.
Diorama dan miniatur-miniatur ini dibuat oleh seniman sekitar di Yogyakarta.
Pada saat kunjungan kami, banyak juga anak-anak SD sampai SMA yang melakukan
kunjungan kesana dan mempelajati tentang perkembangan sejarah yang terjadi di
kota asal mereka ini.
Miniatur ini terdiri dari berbagai
macam kejadian, mulai dari kisah perjuangan pemuda Indonesia dalam
memperjuangkan kemerdekaan. Hingga kejadian-kejadian penting lokal, seperti
kisah-kisah yang terjadi di alun-alun kota Yogyakarta. Hal ini dikarenakan pentingnya
kejadian sejarah ini bagi warga Yogyakarta. Sangat disayangkan jika hal itu
dilupakan begitu saja karena termakan oleh waktu.
Miniatur dari diorama di Museum Vredeburg |
Dalam buku Communication between
Cultures oleh Larry A. Samovar menyatakan bahwa : “Sejarah merupakan saksi yang
menyaksikan berlalunya waktu; mengiluminasi kenyataan, mementingkan memori, menyediakan
petunjuk dalam kehidupan sehari-hari, dan memunculkan pengetahuan tentang zaman
dahulu.” Sejarah merupakan bagian penting dalam pembelajaran mengenai budaya.
Perjalanan berikutnya kami lanjutkan
ke Taman Sari. Taman Sari adalah tempat peristirahatan atau villa raja. Di
dalam Taman Sari ada danau buatan untuk pemandian raja dan selir-selir. Taman
Sari pertama kali digunakan oleh Sultan pertama dari tahun 1758 – 1812. Tempat ini juga telah mengalami 3 kali
renovasi yaitu pada tahun 1970, 2004, dan 2006 yang dilaksanakan setelah erupsi
Merapi. Meskipun telah melakukan renovasi 3 kali, hal ini tidak merubah bentuk,
hanya menambahkan unsure-unsur seni dan memperbaiki kerusakan yang terjadi.
Jadi, hingga sekarang Taman Sari memiliki 5 unsur seni, yaitu dari Eropa,
Portugis, Cina, Hindu dan Jawa.
Taman Sari juga tidak hanya terdapat
kolah untuk permandian, ada juga tempat sauna dan loker yang digunakan oleh
raja. Sauna yang ada disana tidak sama dengan sauna yang sekarang kita kenali.
Ruang sauna di Taman Sari adalah ruangan tertutup yang terdapat tempat
berbaring sebagai alas dan dibawahnya terdapat tungku-tungku untuk tempat
pembakaran.
Para penduduk dan abdi dalem yang
tinggal disekitar Taman Sari tidak hanya bersama-sama menjaga dan melestarikan
Taman Sari, tapi juga melakukan kegiatan seni seperti membuat kerajinan wayang
dan melukis. Lukisan-lukisan yang ada disana sangat indah dan menceritakan
banyak hal. Ada lukisan yang menceritakan kisah-kisah legenda, dan banyak lagi.
Arsitektur Taman Sari yang unik
membawa kami lebih jauh lagi kedalam Taman Sari. Lorong-lorong bawah tanah yang
membawa kami menuju tempat beribadah. Lorong-lorong ini sangat menarik untuk
digunakan sebagai set tempat photo shoot.
Di Taman Sari kami juga bertemu
dengan sepasang turis yang berasal dari Jerman. Karena penasaran dan tertarik
dengan pilihan wisata mereka, kami pun melakukan sedikit wawancara mengenai
alasan mereka memilih Yogyakarta sebagai tujuan wisata di Indonesia. Dan kami
mendapati bahwa mereka baru saja tiba dari Bali dan langsung melakukan
kunjungan ke Keraton dan Taman Sari.
Kunjungan ini didasarkan atas saran
dari temannya yang memberitahu bahwa Yogyakarta adalah kota yang indah dan
patut untuk dikunjungi. Dan menurut mereka setelah mendatangi Yogyakarta, ini
adalah kota yang indah dan mereka sangat menyukai Yogyakarta.
Setelah mengunjungi 2 tempat ini,
saya masih belum merasa puas dengan hasil yang didapatkan, akhirnya kami
memutuskan untuk melakukan wawancara singkat dengan salah satu teman kakak
teman saya mengenai kehidupannya di Yogyakarta untuk mencari ilmu tersebut.
Yudha namanya, berasal dari
Palembang dan berkuliah di UGM (Universitas Gajah Mada). Menurut pengakuannya,
beradaptasi di Yogyakarta bukanlah hal yang sulit, karena memang warga Yogya
yang ramah dengan para pendatang. Yogyakarta adalah kota yang memberikan
suasana nyaman karena keramahannya dibandingkan dengan kota asalnya yang memang
memiliki dasar cuek dan keras.
Perbedaan ini tidak hanya berasal
dari sikap dasar, tapi juga dari cara komunikasi non-verbal dan verbal yang
disampaikan masing-masing orang. Saat saya berada di Yogyakarta, saya melihat
bahwa warga asli Yogyakarta yang memiliki latar belakang budaya Jawa
menggunakan bahasa yang halus, sangar ramah, dan bahkan ada yang memberikan
salam dengan menunduk dan penuh sikap hormat.
Bentuk komunikasi non-verbal lainnya
adalah ketika menunjuk suatu temapat, beliau tidak akan menunjuk dengan jari
telunjuk, melainkan dengan mengarahkan dengan telapak tangan terbuka. Cara
berbicara yang penuh sopan santun, ramah dan menggunakan bahasa formal menjadi
ciri-ciri yang sangat menonjol dari mereka.
Sedangkan Yudha yang memiliki latar
belakang budaya Palembang juga memiliki cara komunikasi yang khas. Cara
berkomunikasi yang lebih to the point
dan dengan suara yang lebih keras dibandingkan dengan yang berlatar belakang
budaya Jawa. Dan budaya ini juga terlihat lebih berani dalam menghadapi orang
baru dibandingkan budaya Jawa yang menghadapi orang dengan penuh rasa hormat.
Pada dasarnya tidak ada kendala
besar yang ia alami semenjak pindah ke Yogyakarta. Karena orang asal Yogyakarta
yang welcome. Namun, pindah ke
Yogyakarta memiliki tantangan tersendiri, dimana ia harus langsung berhadapan
dengan banyak orang dari berbagai macam budaya, ras, asal, suku, dll. Hal ini
memberikan Yudha kesempatan untuk belajar lebih lagi dalam menghadapi orang
dari berbagai macam suku.
Pandangan positif Yudha membuat saya
menyadari bahwa masih banyak orang yang memang masih menghargai perbedaan. Kota
Yogyakarta ini menjadi contoh yang sangat baik dalam menghargai perbedaan.
Meskipun warga atau penduduknya tidak sepenuhnya berasal dari Jawa asli, namun
mereka tetap welcome dalam menerima
dan bersama-sama membangun kota yang indah. Betapa indahnya dan damainya dunia
jika semua orang dapat memiliki pemikiran yang sama dalam menghargai setiap
perbedaan yang ada.
Perjalanan selanjutnya adalah ke
wisata belanja Malioboro. Disana kami mengunjungi toko batik yang cukup besar.
Tidak hanya menjual batik, tapi disana juga dijal berbagai macam kerajinan
tangan hasil buata di Yogyakarta sendiri. Hal ini menunjukkan seberapa tinggi
kecintaan warga Yogyakarta terhadap hasil seni dan budaya di kotanya sendiri
sehingga mengembangkannya menjadi usaha sehari-hari.
Tidak banyak yang kami lakukan
disana karena keterbatasan waktu. Hanya berbelanja beberapa keperluan kami dan
oleh-oleh. Lalu kami pun langsung mencari sebuah tempat makan. Hari itu adalah
malam minggu dimana sama seperti di Jakarta, malam minggu keadaan jalanan ramai
dan macet. Setelah mengisi tenaga dan sempat
terjebak macet cukup lama. Akhirnya kami sampai di hotel tempat kami
menginap dan dapat beristirahat.
Demikian perjalanan saya ke
Yogyakarta, Kota Indah, Kota Budaya, Kota Pelajar. Kota yang banyak memiliki
sejuta kenangan dan menjadi saksi bisu dari banyak kejadian penting untuk
Indonesia. Kota yang memiliki berbagai budaya dan kesenian yang menarik untuk
digali lebih lagi. Namun sayang, waktu kami tidak memungkinkan untuk
melanjutkan observasi lebih lagi.
Ingin saya kembali lagi ke kota itu
dengan mencari lebih banyak pengalaman dan pengetahuan. Betapa saya berharap
kota Jakarta dapat menjadi seperti Yogyakarta. Mengapa? Jakarta juga dapat
dikatakan sebagai kota yang memiliki banyak kebudayaan. Masyarakat yang
heterogen dikarenakan banyaknya pendatang yang ingin mengadu nasib di Jakarta.
Namun hal ini tidak membuat
masyarakat menerima perbedaan yang ada dan dapat menjaga kotanya. Mencintai tempat
tinggal kita sendiri, mencintai kota kita sendiri dan merawatnya hingga nyaman
untuk kita dan orang lain yang berkunjung ke kota ini. Meskipun berbeda budaya,
ras, etnis, suku, agama, kepercayaan, pemikiran, namun kita semua adalah satu
bangsa Indonesia. Dimana sudah layak dan sepantasnya kita bersama-sama bersatu
menghilangkan perbedaan itu dan memajukan Ibu Pertiwi. Menjadikan perbedaan
sebagai pelajaran dan kekuatan bukan malah saling menjatuhkan.
Yogyakarta Kota Budaya, inginku
kembali kesana, bersama sanak saudara dan keluarga. Menyenangkan untuk dapat
melihat perbedaan-perbedaan itu dan mempelajarinya untuk dapat menerima
perbedaan itu dan menjadikannya sesuatu yang berharga. Terima kasih Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment