NIM: 11140110146
KELAS: B1
Berbicara mengenai Kampung Naga, awalnya
saya tidak mempunyai bayangan seperti apa Kampung Naga itu. Ketika mendengar
teman-teman saya ingin observasi kesana, saya ikut saja, karena saya sendiri tidak
tahu ingin observasi kemana untuk tugas KAB saya hehehe.
Rombongan saya menuju Kampung Naga
berjumlah 17 orang yang diangkut oleh dua mobil yang jalannya beriringan. Saya
dan rombongan melakukan observasi ke Kampung Naga pada Sabtu 22 Desember 2012. Rencananya
kami hanya berkunjung kesana selama dua hari semalam saja. Jadi, Minggu siang
diperkirakan kami sudah tiba di rumah masing-masing. Kami start dari Gading Serpong
jam 03.00 pagi karena kami berfikir kalau pergi kesana terlalu siang, maka kami
akan kehilangan banyak moment disana.
Perkiraan semula, kami akan tiba di Kampung Naga jam 08.00, karena salah satu
dari kami sudah survey terlebih
dahulu dan hanya menempuh perjalanan selama 5 jam. Ternyata perkiraan itu
salah, kami tiba di Kampung Naga jam 11 siang dikarenakan kami terlalu banyak
berhenti di rest area.
Tugu Kujang Pusaka |
Setelah menempuh perjalanan selama 7
jam, akhirnya kami tiba juga di Kampung Naga. Kampung Naga terletak di Desa
Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Awalnya saya
bingung, mengapa tempat ini dinamakan Kampung Naga, sedangkan di tempat kami
memarkir mobil hanya ada warung-warung dan tugu yang berbentuk seperti keris.
Mungkin pertanyaan saya ini akan dijawab nanti oleh warga sini hehehe.
Mang No', tour guide saya selama di Kampung Naga |
Ketika kami turun dari mobil, ada
seorang laki-laki yang memakai kain di kepalanya menghampiri kami. Beliau
berkata, bahwa jika ingin melakukan kunjungan ke Kampung Naga, harus izin
terlebih dahulu di koperasi. Albert, salah satu dari kami yang mewakilinya.
Setelah perizinan selesai, laki-laki tadi ternyata adalah tour guide kami selama di Kampung Naga, namanya Mang No’. Setelah
dirasa aman meninggalkan mobil di terminal (begitulah kata Mang No’), kami pun
berjalan menuju Kampung Naga yang sesungguhnya. Untuk sampai disana, kami harus
melewati anak tangga yang jumlahnya tidak main-main, ya 439 anak tangga harus
kami lalui. Konon katanya, jumlah anak tangga ketika kita turun dan ketika kita
naik akan berbeda jumlahnya. Sayangnya, saya sendiri tak ada niatan untuk
menghitungnya hohoho. Justru ada pikiran yang berkecamuk didalam diri saya,
“bagaimana nanti naiknya ya?”
Pengunjung Kampung Naga yang berlawanan arah dengan rombongan saya |
Larry A. Samovar
(2010), identitas merupakan hal yang dinamis dan beragam. Artinya, identitas
itu bukanlah merupakan suatu hal yang statis, namun berubah menurut pengalaman
hidup Anda. Identitas etnis berasal dari warisan, sejarah, tradisi, nilai,
kesamaan perilaku, asal daerah, dan bahasa yang sama.
Inilah pemandangan selama perjalanan menuruni anak tangga |
Ketika memulai menelusuri anak
tangga, ternyata rombongan kami tak sendiri. Banyak pula rombongan lain yang
akan berkunjung ke Kampung Naga. Karena jumlah anak tangganya tak sedikit,
banyak rumah warga yang disulap menjadi tempat peristirahatan untuk para
wisatawan yang lelah seperti yang saya lihat sepanjang perjalanan. Di tempat
peristirahatan itu menyediakan makanan dan minuman seperti mie instan, snack, minuman hangat dan dingin, bahkan
air kelapa asli. Selain itu ada pula warung yang menjual berbagai buah tangan
khas Kampung Naga. Ada yang berkunjung bersama keluarga, anak murid dengan
gurunya, dan ada pula mahasiswa, karena saya melihat rombongan ini memakai jas
almamater bewarna sama hehehe. Di sepanjang perjalanan pula saya melihat
pengunjung duduk di pinggiran tangga, mungkin karena kelelahan menaiki tangga
yang begitu banyak. Awalnya saya mengira, tangga yang harus saya lalui itu
masih berupa tanah merah yang ketika hujan sangat licin, ternyata perkiraan
saya salah. Tangga-tangga ini sudah rapih, sudah disemen, tetapi tetap saja
kita harus berhati-hati melewatinya.
Rasa lelah terbayar sudah dengan
melihat hamparan sawah dan suara gemercik air dari sungai yang mengalir. Udara
sejuk yang tak akan saya temui di perkotaan. Dan saya pun berkata di dalam
hati, “saya akan merindukan tempat ini suatu hari nanti”.
View Kampung Naga dari atas |
Sesampainya kami di penghabisan anak
tangga, barulah terlihat perumahan Kampung Naga yang sesungguhnya. Atap rumah yang
bewarna hitam yang saling berhadapan menjadi ciri khas Kampung ini dari
kejauhan. Saya dan rombongan masih harus berjalan kaki menelusuri jalan
bebatuan yang bersebelahan dengan sungai yang airnya mengalir cukup deras.
Kami dibawa Mang No’ menuju Balai
Desa yang ada di Kampung Naga. Disini kami dipertemukan oleh salah satu sesepuh
Kampung Naga yang kami panggil Pak Punduh. Setelah rombongan saya sudah lengkap,
barulah beliau memberikan sedikit penjelasan mengenai Kampung Naga. Namun,
sebelum itu, kami harus menjelaskan maksud dan tujuan kami melakukan kunjungan
kesana kepada beliau. Oh iya, Pak Punduh juga sempat meminta maaf kepada kami
karena beliau kurang fasih menggunakan bahasa Indonesia. Masyarakat Kampung
Naga lebih fasih menggunakan bahasa sunda walaupun mereka sedikit memahami
bahasa Indonesia yang biasa kita gunakan untuk berkomunikasi.
Pak Punduh, salah satu sesepuh Kampung Naga |
Menurut penjelasan Pak Punduh, luas
Kampung ini sekitar 1,5 ha. Lahan tersebut terdapat 113 bangunan, yang terdiri
dari 108 kepala keluarga. Sebelah timur Kampung Naga adalah sungai Ciwulan yang
tadi sempat saya lewati bersama anak-anak. Lalu sebelah barat, selatan, dan
utara kampung ini berbatasan dengan tebing. Jumlah penduduk dari usia 0-lanjut
usia berjumlah 314 orang. Oh iya, seluruh warga disini menganut agama Islam
loh. Mata pencaharian utama penduduk Kampung Naga adalah petani, yang hasil
panennya setahun dua kali. Hasil panen tersebut diutamakan untuk dikonsumsi
para warga Kampung Naga. “Bilamana ada lebihnya, baru dijual”, tutur Pak
Punduh. Tak heran ketika saya datang pun ada warga yang sedang menggarap
sawahnya. Selain bertani, beternak hewan seperti kambing, kerbau, biri-biri,
serta ikan pun dipilih warga. Walaupun ada saja warga yang merantau ke kota
untuk mencari nafkah, atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Bertani adalah mata pencaharian utama Kampung Naga |
Alat Lumbung Padi milik warga |
Menurut Larry A.
Samovar dalam buku Komunitas Lintas
Budaya, hal yang menarik dari agam adalah bahwa hal tersebut telah mengikat
orang bersama-sama dalam dan memelihara cara pandang budaya mereka selama
ribuan tahun. Lalu ada peribahasa Latin mengatakan, manusia tanpa agama sama
halnya seperti kuda tanpa tali kekang.
Berhubung di Kampung Naga tak ada
bangunan sekolah, maka jika anak-anak disini ingin sekolah, orang tua mereka
mendaftarkan anaknya di sekolah yang berada di atas kampung. Maka anak-anak
harus melewati anak tangga yang banyak itu, lalu jalan kaki sekitar 50-100
meter dari terminal menuju ke sekolah mereka. Begitulah mereka setiap hari,
ingin pintar harus berjuang dahulu. Sayangnya, banyak dari mereka yang tidak
melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Ada dari mereka yang lulus
SD lalu tidak melanjutkan SMP dan langsung menikah. Ada juga yang tidak lulus
SD, dikarenakan orang tuanya kesulitan biaya. Jadi bagi kalian yang orang
tuanya mampu menyekolahkan kalian hingga ke jenjang yang lebih tinggi,
manfaatkanlah dengan baik. Karena disini banyak dari mereka yang ingin
melanjutkan sekolah tetapi kesulitan biaya. Tetapi jangan salah, disini tak
semua warganya berpendidikan rendah. Menurut penjelasan Mang No’, disini juga
ada warga yang berhasil melanjutkan pendidikan hingga SMA di Kampung Naga, lalu
melanjutkan kuliah di kota lain.
Di Balai pula Pak Punduh menjelaskan
alasan pemberian ‘Kampung Naga’ pada kampung ini. Kampung Naga berasal dari
bahasa sunda, kampung na gawir, yang
artinya kampung di lembah. Karena gawir
dalam bahasa sunda berarti lembah atau tebing. “Jadi ‘naga’nya diambil,
‘wir’nya dibuang”, begitulah kata Pak Punduh kepada kami dengan logat sundanya.
Larry A. Samovar
(2010), penggunaan bahasa berperan untuk mengatur orang dalam kelompok sesuai
faktor-faktor, seperti usia, jenis kelamin, dan bahkan level sosial-ekonomi.
Istilah yang digunakan seseorang dapat dengan mudah menandakan ia muda atau
tua.
Sama seperti halnya di perkotaan, di
Kampung Naga juga terdapat Ketua RT yang dipilih para warga secara demokrasi
untuk memimpin kampung. Masa jabatannya sekitar 5-6 tahun. Namun ada pemimpin
lain yang menjadi pembeda antara Kampung Naga dengan tempat yang lain. Jika
pemimpin formal dipimpin oleh Ketua RT yang dipilih warga secara demokrasi, lain
halnya dengan pemimpin nonformal yang jabatannya secara turun-temurun sesuai
keturunan pemimpin terdahulu. Yang pertama ada Pak Kunsen yang bertugas
memimpin warga untuk ziarah ke makam. Yang kedua, Pak Punduh tugasnya adalah
mengayomi warga. Yang terakhir ada Pak Lebe. Tugas beliau antara lain mengurus
jenazah dari awal hingga dimakamkan, dan segala sesuatu yang berbau keagamaan.
Jabatan mereka adalah seumur hidup selama mereka masih mampu untuk melakukan
tugas-tugasnya. Jika ketiga sesepuh ini tidak memiliki keturunan, maka saudara
dekatnya lah yang berhak menggantikan posisi mereka untuk melanjutkan tugas-tugas
mereka.
Dalam bukunya yang
berjudul Komunikasi Lintas Budaya,
Larry A. Samovar menulis bahwa Thoreau pernah berkata “Semua masa lalu ada di
sini.” Menurut pandangan budaya, Thoreau itu benar. Budaya itu dibagikan. Akan
tetapi, jika suatu budaya ingin dipertahankan, harus dipastikan apakah
pesan dan elemen penting budaya tersebut
tiddak hanya dibagikan, tetapi juga diturunkan pada generasi yang akan datang.
Dengan cara ini, masa laku menjadi masa kini, dan menolong untuk mempersiapkan
masa yang akan datang. Selin itu, Samovar juga mengutip pandangan Charon,
Budaya adalah pewarisan sosial yang mengandung pandangan yang sudah
dikembangkan jauh sebelum kita lahir.
Setelah tanya-jawab sesaat dengan Pak
Punduh di Balai Desa, Mang No’ pun membawa kami menuju rumah warga yang akan
kami tempati selama di Kampung Naga. Karena kami berjumlah 17 orang, maka kami
pun dibagi menjadi tiga kelompok. Saya, Niza, Erlin, Amanda, serta Melinda
menempati rumah warga bernama Ibu Acih. Sesampainya disana, kami sudah disambut
hangat oleh makan siang yang baru matang. Kami yang pada dasarnya memang sudah
kelaparan, langsung menyantap dengan lahap makanan yang sudah tersaji di depan
mata. Makanan yang disajikan tidak berbeda jauh dengan makanan ibu saya di
rumah. Siang itu Ibu Acih menyediakan menu sayur asem, ayam goreng, tahu
goreng, sambal, dan tak lupa pula kerupuk udangnya. Yang membuat beda adalah
nasinya yang berasal dari sawah warga sini. Tentu saja ini adalah beras
organik, beda dengan beras-beras yang dijual di pasar.
Menu yang disediakan Ibu Acih kepada saya dan seisi rumah |
Ketika menikmati masakan ‘ibu baru’
saya ini, mata saya tak berhenti berputar melihat isi rumah Ibu Acih yang
merupakan adik dari Ibu Asih. Rumah yang sangat sederhana. Lantai yang terbuat
dari kayu, dindingnya pun serupa, namun pada bagian dapur, dindingnya terbuat
dari bilik bambu. Walaupun warga disini mampu membangun rumah berdindingkan
batu bata dan semen, namun karena mereka masih memegang teguh adat istiadat
nenek moyang mereka, maka mereka pun mempertahankan itu semua. Rumah harus
berbentuk panggung yang terbuat dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari
ijuk, atau alang-alang, yang menurut pengakuan Mang No’, material atap ini
dapat bertahan hingga 20 tahun lamanya. Rumah juga tidak boleh dicat, agar
tidak ada perbedaan antar warga yang satu dengan warga yang lain.
Dapur Ibu Acih |
Alat memasak yang sangat sederhana |
Inilah alasan mengapa Kampung Naga
tak memakai aliran listrik. Bahan material semua rumah disini mudah terbakar.
Selain itu, letak Kampung Naga yang jauh dari pusat pemadam kebakaran, sehingga
jika terjadi kebakaran, Kampung Naga akan cepat hangus dan habis tak bersisa.
Tetapi ada yang janggal di rumah Ibu Acih, disini saya melihat ada sebuah
televisi yang ditutupi kain. “Itu tv sudah tidak pernah dipakai lagi. Sudah
bertahun-tahun saya tidak menonton tv. Kalau mau menonton, pakai aki, bukan
pakai listrik,” saya hanya mengangguk-anggukan kepala saja saat mendengarkan
penjelasannya. Selain itu, alasan lain warga Kampung Naga tidak menggunakan
listrik agar tidak terjadi kesenjangan sosial diantara mereka.
Hal ini yang menarik perhatian saya adalah,
di rumah ini tidak ada kursi maupun meja layaknya di rumah saya. Ketika saya
tanyakan pada Mang No’, beliau menjawab, “karena semua manusia di mata Allah
itu sama, jadi itu semua menandakan bahwa semua manusia sederajat”.
Masjid di Kampung Naga |
Ini adalah satu-satunya masjid yang
ada di Kampung Naga. Karena disini tidak ada listrik, maka saya tidak pernah
mendengar suara adzan disini.
Dengan tradisi dari nenek moyang yang
turun termurun, warga Kampung Naga memiliki beberapa larangan untuk dilakukan
semua warganya maupun para pengunjung yang menginap disini. Yang pertama adalah
yang paling simple, yaitu tidak boleh
buang air kecil atau besar menghadap ke arah barat. Hal ini dilakukan pula oleh
semua warga Indonesia yang beragam Islam. Kedua, ketika kita tidur, kaki kita
tidak boleh lurus ke arah barat juga. Dalam setahun ada sekitar 30 hari yang
diyakini masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal tertentu seperti yang
dilakukan orang-orang terdahulu mereka. Diantaranya tidak boleh melakukan
ziarah ke makam serta tidak boleh menceritakan silsilah Kampung Naga. 30 hari
itu yakni hanya bulan Safar dan Ramadhan (kalender Islam), lalu tiga hari dalam
satu minggu, yakni selasa, rabu, dan sabtu. Tetapi kegiatan lain seperti
menikahkan, khitanan, membangun rumah, atau bahkan kunjungan seperti yang saya
lakukan sekarang itu boleh-boleh saja. Jika ada warga yang melanggar
pelanggaran tersebut, maka warga ingat tiga hal, yakni amanat, wasiat, dan
akibat.
Kali Ciwulan |
Selanjutnya ada hutan keramat yang
letaknya bersebrangan dengan sungai Ciwulan. Konon katanya hutan tersebut
terdapat makam-makam para leluhur Kampung Naga. Lalu ada Bumi Ageung yang terletak di sebelah barat Kampung Naga, rumah ini
juga dilingkari oleh pagar. Jika pengunjung ingin mengambil gambar dua tempat
tersebut, maka harus ada jarak sekitar 10-20 meter.
Ketika di Balai Desa, Pak Punduh
berpesan bahwa kami harus berada di dalam rumah ketika sudah jam 9 malam dan
tidak boleh kemana-mana lagi. Katanya sih
banyak ular berkeliaran di sekitar kampung. Untuk menghindari kejadian yang
tidak diinginkan, kami pun menaati peraturan tersebut. Oh iya, jika malam hari,
Kampung Naga sangat gelap loh. Di dalam rumah Ibu Acih hanya bercahayakan lampu
petromax dan lampu minyak tanah.
Tidur malam saya hanya diterangi oleh lampu minyak tanah ini |
Dalam hal kesehatan, warga Kampung
Naga mengutamakan pengobatan tradisional. Seperti yang ada didalam video, Mang
No’ mempraktekkan menelan belut yang masih hidup. Menurut kepercayaan warga
sini, menelan belut seperti itu dapat menyembuhkan penyakit. Jika sudah
menggunakan pengobatan tradisional tetapi penyakit tak kunjung pergi, maka ke
puskesmas atau ke dokter adalah solusi terakhir yang diambil warga. Dalam
proses melahirkan saja, warga memilih melahirkan ditolong oleh seorang bidan
ketimbang pergi ke rumah sakit.
Dalam hal pernikahan, warga Kampung
Naga bebas memilih pasangan. Boleh dari Kampung Naga asli, maupun
kampung-kampung yang lain. Tetapi tetap diutamakan memilih pasangan yang
beragama Islam, tidak boleh agama yang lain. Jika sudah menikah dan memutuskan
untuk tinggal Kampung Naga, pasangan baru ini harus melihat apakah Kampung Naga
masih tersisa tempat untuk tinggal apa tidak, jika sudah penuh, pasangan ini
harus tinggal di luar Kampung Naga seperti di dekat terminal atas misalnya.
Ini adalah salah satu tempat untuk
membuang air kecil atau besar yang hanya ditutupi oleh anyaman bambu yang tidak
full menutupi badan orang dewasa jika
berdiri. Pijakan kakinya terbuat dari batang bambu yang kokoh.
Keesokan paginya Mang No’ mengajak
saya dan rombongan anak UMN menuju persawahan milik warga. Disini Mang No’
mengajak kami untuk terjun langsung menginjak persawahan yang sedang dibajak
dan ditanam bibit padi. Setelah itu kami pulang ke rumah warga yang kami
tumpangi selama disini untuk makan siang lalu berpamitan pulang menuju Gading
Serpong.
Minggu pagi yang cerah ;) |
Satu hal yang perlu diteladani dari
prinsip Kampung Naga, yakni “jika kita tidak merusak alam, maka alam tidak akan
marah kepada kita”. Karena seperti yang sudah saya bahas diatas, Kampung Naga
terletak diantara lembah-lembah. Tetapi kalian tau? Kampung ini tidak pernah
mengalami tanah longsor. Subhanallah.....
Perjalanan menuju dan selama di
Kampung Naga adalah pengalaman baru bagi saya. Semoga dilain waktu saya dapat
berkunjung kesana lagi ya hehehe. See you again, Kampung Naga!
Saya yang paling depan pak :) |
Keren banget... aku mau kesana... indah banget kehidupan yg membaur sama alam... jauh dari kepenantan fikiran. rileks, ga crowded. Jauh dari kebisingan dan polusi.
ReplyDelete