Oleh: Desy Hartini - 11140110059 - F
Indonesia sungguh kaya akan
berbagai suku, mulai dari suku Betawi, suku Asmat, suku Batak, suku Baduy, dan
sebagainya. Nah, pada tulisan saya kali ini akan dibahas mengenai salah satu
suku di wilayah Kabupaten Lebak, Banten, yaitu suku Baduy.
Tugu Khas di Desa Terluar Baduy |
14 Desember 2012. Berawal dari
Tugas Observasi Komunikasi Antar Budaya, akhirnya saya dan kedua teman saya
memutuskan untuk memilih Desa Kanekes, Suku Baduy sebagai tempat observasi
kami. Selain itu, observasi menuju suku Baduy ini ikut diramaikan oleh salah
seorang teman kami, Randy Hernando atau yang biasa disapa dengan Babang.
Akhirnya dengan hanya berjumlah empat orang, kami siap untuk memulai
perjalanan.
Kami pun berangkat menuju
stasiun Serpong pukul 09.55 dengan angkutan umum. Rasa khawatir dan deg-degan
menghampiri kami karena kereta menuju Rangkas Bitung akan berangkat pukul 11.00
WIB.
Akhirnya sampailah kami di
Stasiun Serpong! Waktu telah menunjukkan pukul 11.05 dan dari kejauhan sudah
terdengar bahwa informan di stasiun menyebutkan, kereta menuju Stasiun Rangkas
Bitung akan segera berangkat. Akhirnya, dengan sekuat tenaga, kami berlari
menuju ke dalam stasiun dan segera membeli tiket di loket. Namun, Indonesia
tentu tak lepas dengan predikatnya sebagai “Jam Karet”. Menunggulah kami di
depan rel kereta jalur dua. Akhirnya 15 menit kemudian, kereta pun datang.
Sumpek. Panas. Gerah. Itulah
suasana kereta ekonomi jurusan Rangkas Bitung yang kami naiki pada siang hari
itu dengan harga tiket yang hanya seharga Rp 1.500,00. Lalu lalang berbagai
pedagang membuat kereta semakin padat dan gerah.
"Tisu pak, tisu om, tisu
kak. Neng, keringetan tuh, beli dong tisunya!"
"Tahu, pempek, cimol
goreng,"
"Pulsa xL, mentari,
simpati ada,"
“Goceng 25.. Goceng 25”
(Jualan salak maksudnya. Rp 5.000,00 dapat 25 buah)
Kira-kira suara seperti itulah
yang terdengar di setiap gerbong kereta dari ujung hingga ujung dan
ujungnya lagi. Berbagai aktivitas pun dilakukan oleh para penumpang, mulai dari
merokok, dengerin lagu, nyanyi-nyanyi sendiri, tidur, bahkan terlihat salah
seorang penumpang pun sempat-sempatnya menulis puisi di tengah kesumpekan di
dalam kereta tersebut.
Georgene-Desy-Sintia |
Tiga puluh menit. Satu jam.
Dua jam.
Jreng....Jreng.... akhirnya sampai
juga kami di stasiun Rangkas Bitung. Rupanya perjalanan kami, belum berhenti
sampai di sana saja. Kami pun harus naik angkutan umum dengan rute Rangkas
Bitung - terminal Aweh dan harus disambung pula dengan metro mini menuju desa
terluar Baduy, Ciboleger. Kami pun sampai di desa terluar Baduy tersebut pukul
15.00.
Kami pun disambut oleh Kang Sawardi dan Kang Samirdi yang merupakan dua kakak beradik dari Baduy Dalam.Ternyata pikiran saya mengenai orang Baduy yang seram dan menakutkan itu sama sekali salah. Mereka, penduduk Baduy sangatlah ramah, apalagi kepada mereka yang datang berkunjung. Penduduk Baduy pun sangat khas dengan pakaiannya yang biasanya hanya dibuat sendiri dengan ikat kepala yang harus selalu dikenakan.
Berikut akan dijelaskan
terkait Baduy Luar dan Baduy Dalam berdasarkan hasil wawancara dengan Kang Sawardi, Kang
Samirdi, dan para penduduk di Baduy. Baduy Luar terdiri dari desa Cikadu,
Kaduketuk, Kadukolot, Cisagu, Gajeboh, dan sebagainya.
Mungkin banyak yang bertanya-tanya mengapa ada sebutan untuk Baduy Luar dan Baduy Dalam. Yap… Baduy Luar merupakan
orang-orang yang telah keluar dari Baduy Dalam lantaran melanggar adat-adat
yang ada. Namun, adapula sebagian dari mereka yang menyebutkan bahwa apabila keluarga di Baduy Dalam
telah melebihi kapasitas, maka mereka diharuskan keluar dari Baduy Dalam
tersebut ke luar.
Komunikasi yang dilakukan
oleh Baduy Luar adalah mereka memang diperbolehkan untuk menggunakan teknologi,
seperti handphone. Alat tersebut digunakan untuk memberi kabar kepada
pengunjung yang akan datang, berkomunikasi dengan orang-orang Non-Baduy. Berbeda dengan Baduy Dalam yang memang tidak diperkenankan untuk menggunakan teknologi apapun. Namun, nyatanya, ternyata penduduk Baduy Dalam boleh meminjam handphone kepada penduduk di Baduy Luar. Hal inilah yang juga dilakukan oleh Kang Sawardi untuk berkomunikasi dengan kami.
Namun, komunikasi saling membentuk identitas diri kami masing-masing. Ketika Kang Sawardi dan Kang Samirdi berbicara dengan teman-temannya, maka mereka akan menggunakan bahasa sunda yang mungkin tidak saya dan lainnya mengerti. Hal ini berbeda ketika mereka berbicara dengan kami, mereka menggunakan bahasa Indonesia walaupun bercampur dengan bahasa Sunda tersebut.
Rumah (tempat tinggal) di Baduy Luar boleh menggunakan paku dan alat-alat tukang lainnya. Rumah Baduy Luar akan terlihat lebih rendah dibandingkan Baduy Dalam. Biasanya rumah di Baduy Dalam terbuat dari bahan-bahan yang sangat mudah diurai oleh tanah, di
mana berbentuk rumah panggung
dengan ketinggian kurang lebih satu meter. Atapnya terbuat dari rumbia (sapu
ijuk) sedangkan rangka rumah dari kayu pohon kelapa. Pintunya pun hanya satu
tanpa ada pintu belakang. Jarak rumah yang satu dengan rumah yang lainnya
berdekatan. Mereka tidak diperkenankan untuk menggunakan paku dan alat-alat
tukang lainnya. Semuanya harus dikerjakan menggunakan tangan mereka sendiri
yang dipotong dengan golok. Namun, biasanya setiap rumah dikerjakan secara
bergotong royong di mana diawali dengan doa bersama dengan mengundang pu’un dan
seluruh warga Baduy.
Contoh kamar mandi di luar rumah |
Bahasa
yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa Sunda tetapi lebih
kasar. Namun, beberapa dari masyarakat di sana, umumnya dapat berbahasa
Indonesia, terutama ketika berkomunikasi dengan orang luar dan orang-orang yang
datang untuk berkunjung ke Baduy.
Sunda Wiwitan merupakan agama Baduy itu
sendiri. Agama tersebut berakar pada pemujaan arwah nenek moyang. Masyarakat Baduy
sungguh mematuhi dan mengikuti seluruh adat-istiadat yang telah diberlakukan sejak
zaman nenek moyang karena jika dilanggar mereka akan kena getahnya yang biasa
disebut dengan kuwalat atau pamali. Namun, selain itu, mereka yang melanggar pun
akan dikenakan sanksi penjara. Maksudnya, mereka akan ditahan selama 40 hari di
Baduy.
Tokoh utama masyarakat Baduy
terbagi atas dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional yang mengikuti
aturan Negara kesatuan republik Indonesia dan mengikuti sistem adat istiadat yang
dipercaya oleh masyarakat baduy. Secara nasional, desa kanekes dipimpin oleh
kepala desa yang biasa disebut dengan djaro, sedangkan secara adat tunduk pada
pimpinan adat kanekes yang tertinggi, yaitu pu’un. Pu’un merupakan ketua adat
yang juga menangungi Baduy Luar. Jabatan puun pun berlangsung secara turun-temurun
tetapi tidak selalu otomatis dari ayah ke anak melainkan dapat juga dari
kerabat lainnya. Jangka jabatan pu’un pun tidak dapat ditentukan seberapa lama,
ia dapat menjabat sesuai dengan keinginannya dan hingga ia sudah tidak mampu
memegang jabatan tersebut.
Ketika orang luar akan
berkunjung ke Baduy Luar dan Baduy Dalam, maka ia harus melapor kepada Djaro
(Kepala Desa). Hal ini juga termasuk bagi kami, sebelum kami memasuki kawasan Baduy
Luar, kami dibawa ke Djaro Dainah untuk melapor terlebih dahulu. Setelah
menulis nama dan asal kami, kami dipersilakan untuk masuk. Namun, sebelumnya
kami juga harus membayar seikhlas mungkin. Akhinya, kami memberikan uang
sebesar Rp 5.000,00. Hal ini tidak berlaku pada warga keturunan asing (luar
negeri), mereka tidak diperizinkan untuk menginap di kawasan Baduy Luar dan Baduy
Dalam, namun diperbolehkan jika hanya untuk berkunjung ke Baduy Luar saja.
Bermain bola adalah salah satu aktivitas anak-anak Baduy |
Ketika pagi tiba, seluruh penduduk di Baduy diwajibkan untuk memulai aktivitas-aktivitas mereka. Anak-anak di sana pun tidak mengenal pendidikan sama sekali. Biasanya waktu mereka dihabiskan untuk bermain bola ataupun untuk membantu orang tuanya. Sebagai desa yang terkenal dengan desa yang dikelilingi oleh hutan dan sawah.
Maka, tak heran jika kebanyakan dari mereka bekerja sebagai petani dan peladang. Anak laki-laki pun ikut diajarkan bagaimana cara berladang, menanam padi, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya.Biasanya hanya dilakukan pada pagi hari saja |
Namun, hasil panen mereka (padi) dilarang untuk dijual. Padi tersebut harus disimpan di dalam lumbung padi sebagai persediaan pada musim panceklik.
Tempat menyimpan hasil panen (padi) |
Tidak pernah ada sedikitpun keluhan dan rasa malas yang keluar dari tiap bibir mereka. Mereka senang menjalani aktivitas tersebut guna terus menyambung hidup mereka dan bagi anak cucu mereka kelak. Hal inilah yang kemudian terus berkembang, anak cucu mereka juga mengikuti adat istiadat yang ada, yaitu terus bekerja. Selain itu, mata pencaharian mereka lainnya adalah, biasanya sang ibu menenun kain batik yang dikerjakan selama dua minggu hingga sebulan. Harga batiknya pun mencapai Rp 300.000,00 - Rp 500.000,00 dan biasanya pendatang asing pun tertarik membelinya. Selain itu, menurut adat istiadat di Baduy, menenun hanya boleh dilakukan bagi mereka yang telah menikah saja. Apabila, mereka yang masih perawan terkena alat tenun tersebut, maka mereka tidak akan mendapatkan jodoh.
Membuat satu batik mencapai dua minggu hingga sebulan |
Nenek-nenek yang tidak sanggup menenun kain batik,maka mereka dapat menggulung benang yang kemudian akan digunakan sebagai dasar untuk membuat kain batik tersebut. Biasanya benang tersebut dapat dijual atau pun diberikan langsung kepada anak-anak mereka yang memang masih sanggup untuk membuat kain batik.
Mulai dari bapak-bapak hingga anak-anak yang masih kecil, mereka akan mengambil durian ataupun hasil panen lainnya yang kemudian akan dibawa ke stasiun untuk dijual di sana. Bayangkan
betapa berat pikulan yang mereka bawa di tanah yang curam dan licin
tersebut. Namun, dengan semangat yang menggebu-gebu, mereka membuktikan
bahwa mereka bisa
Lihat betapa berat bawaan mereka di tanah yang berbatu |
Alat musik mereka adalah
angklung, digunakan pada saat-saat tertentu, yaitu ketika upacara adat dan penyambutan
tamu. Selain itu, mereka juga mengenakan asesoris seperti anting, cincin,
kalung, dan gelang yang semuanya terbuat dari bahan-bahan alam nonlogam.
Adat-istiadat yang diterapkan
dalam Baduy Luar dan Baduy Dalam pun beragam dan hampir sama. Mulai dari kelahiran.
Apabila ada seorang ibu yang hendak melahirkan maka ia akan dibawa ke dukun
beranak, biasanya lebih disebut dengan Paraji. Di dalam setiap kampong, hanya
ada dua orang paraji saja. Setelah tiga hari melahirkan maka akan
dilangsungkann selametan bagi si keluarga bayi yang baru lahir. Kemudian
setelah tujuh hari, baru diperbolehkan untuk memberi nama kepada si bayi
tersebut. biasanya, nama-nama yang diberikan kepada si bayi tidak akan berbeda
jauh dengan nama orang tua. Jika bayi laki-laki, maka nama namanya akan hampir
mirip dengan sang ibu, berbeda jika bayi perempuan, maka nama untuk sang bayi
akan hampir sama dengan sang ayah. Di Baduy, setiap keluarga diperbataskan
untuk memperoleh anak, biasanya maksimal hanya empat anak saja.
Kematian. Apabila ada sanak saudara, keluarga, maupun
teman yang meninggal maka akan dikubur di tempat yang telah disediakan oleh
masyarakat sana. Selain itu, akan diadakan upacara adat yang
biasanya dipimpin oleh seorang pu’un. Setelah tiga hari meninggal, maka keluarga tersebut akan
mengadakan selametan, sama seperti kelahiran anak. Kemudian setelah tujuh hari
berlalu, mayat tersebut tidak akan dipedulikan. Keluarga ataupun masyarakat di
sana berhak untuk merusak kuburan tersebut, biasanya pun lahan tersebut ditanami tumbuh-tumbuhan.
Jika penduduk Baduy Dalam meninggal di kawasan Baduy Dalam,
maka upacara akan segera dilangsungkan. Berbeda jika meninggalnya di luar
kawasan Baduy Dalam atau di Baduy Luar, maka jasad akan disimpan dahulu di sebuah bangunan,
biasanya disimpan di lumbung padi.
Perjodohan di Baduy Luar dan
Dalam memang sama, mereka akan dijodohkan oleh kedua orangtua mereka masing-masing
dengan sesama orang Baduy. Biasanya mereka akan dijodohkan dengan satu darah
(kebanyakan sesama sepupu). Apabila seorang anak wanita sudah
menginjak umur 16 tahun maka si orang tua akan segera menjodohkannya dengan
laki-laki yang ada. Berbeda dengan kaum laki-laki, sebelum dijodohkan,
mereka memiliki hak untuk bebas memilih perempuan mana yang akan menjadi
istrinya nanti. Namun, apabila ia belum juga menemukan pasangan, maka ia harus
menurut terhadap jodoh yang pilihan orang tuanya ataupun pilihan pu’un.
Rata-rata setiap keluarga di Baduy hanya memiliki 4-5 anak, padahal
mereka tidak mengenal Keluarga Berencana (KB) sama sekali.
Selain itu, Baduy juga
mengenal “puasa” yang lebih dikenal dengan istilah kawulan yang ditentukan
sendiri oleh seorang pu’un. Biasanya puasa tersebut dilakukan ketika ayam mulai
berkokok hingga petang saat matahari tenggelam. Ketika bulan febuari hingga
april, Penduduk di Baduy tidak boleh menerima tamu dari luar tetapi diperbolehkan
jika menerima tamu di siang hari dan itupun tidak boleh menginap.
Konflik (Perpecahan). Menurut hasil wawancara saya dengan kedua pemandu kami, Kang Sawardi dan Kang Samirdi, mereka menjelaskan bahwa di Baduy tidak pernah ada konflik dengan sesema penduduk Baduy maupun dengan penduduk di luar Baduy itu sendiri. Mereka mengaku sangat menjaga keharmonisan dan hubungan kekerabatan yang ada. Selain itu, kebanyakan dari mereka pun saling mengenal satu dengan yang lain. Hal ini terbukti dengan ketika kami berjalan menuju Baduy Dalam, mereka saling berpapasan.
Jadi, menurut Samovar, Komunikasi Antar Budaya merupakan komunikasi yang melibatkan interaksi antara orang-orang yang persepsi budaya dan sistem simbolnya cukup berbeda dalam hal komunikasi. Hal inilah yang saya rasakan, saya berjumpa dengan budaya yang belum saya tahu dan kenal sebelumnya, saya harus menyesuaikan budaya saya dengan budaya mereka sehingga hal tersebut lah yang akan memunculkan suatu keharmonisan dalam kehidupan dalam budaya yang berbeda. Apalagi saya yang merupakan keturunan Chinese tidak membuat mereka merendahkan bahkan menghina suku saya.
Komunikasi merupakan konteksual, sebagaimana komunikasi yang terjadi pada situasi atau sistem tertentu yang memengaruhi apa dan bagaimana kita berkomunikasi dan apa arti dari pesan yang kita bawa. Jadi selama di sana, penduduk di sana mencoba menyesuaikan cara berbicara saya, yaitu menggunakan bahasa Indonesia. Saya pun juga ikut menyesuaikan cara berkomunikasi di sana, bagaimana jika berkenalan dengan orang lain harus bersalaman dan sedikit menunduk.
Selain itu, yang dapat saya ambil dan pelajari adalah bahwa budaya itu dipelajari, budaya itu dibagikan, budaya itu diturunkan dari generasi ke generasi, budaya itu didasarkan pada simbol, dan budaya itu sistem yang terintegrasi.
Jadi, selain mempelajari budaya sendiri, maka kita juga harus dapat mempelajari budaya orang lain, menjelaskan dan membagi pemahaman terkait budaya kepada orang lain sehingga semua orang dapat mengerti budaya yang satu dengan yang lain. Budaya itu diturunkan dari generasi ke generasi sehingga apa yang telah menyatu pada budaya tersebut harus tetap dijalankan, seperti adat istiadat di Baduy tersebut. Budaya itu juga menggunakan simbol karena dalam berkomunikasi tidak hanya bahasa verbal saja yang dibutuhkan, melainkan juga bahasa nonverbal. Selain itu, budaya merupakan satu kesatuan yang berhubungan satu sama lainnya sehingga apa yang ada pada suatu budaya tersebut akan terintegrasi dalam diri seseorang.
Jadi, selain mempelajari budaya sendiri, maka kita juga harus dapat mempelajari budaya orang lain, menjelaskan dan membagi pemahaman terkait budaya kepada orang lain sehingga semua orang dapat mengerti budaya yang satu dengan yang lain. Budaya itu diturunkan dari generasi ke generasi sehingga apa yang telah menyatu pada budaya tersebut harus tetap dijalankan, seperti adat istiadat di Baduy tersebut. Budaya itu juga menggunakan simbol karena dalam berkomunikasi tidak hanya bahasa verbal saja yang dibutuhkan, melainkan juga bahasa nonverbal. Selain itu, budaya merupakan satu kesatuan yang berhubungan satu sama lainnya sehingga apa yang ada pada suatu budaya tersebut akan terintegrasi dalam diri seseorang.
AKHIRNYA! Seperti yang kita tahu bahwa budaya dan adat istiadat yang ada pada suku Baduy telah melekat erat dalam diri mereka masing-masing sehingga apa yang ada di luar sana, yang merupakan hal terpenting manusia lainnya, seperti gadget, televisi, mobil, dan lainnya tidak mereka butuhkan sama sekali. Mereka mengaku sangat nyaman dan begitu menikmati dengan apa yang telah mereka miliki selama ini. Hal itulah yang kemudian mengubah mereka bagaimana cara berpikir, berperilaku, dan bersikap.
Hidup ini akan semakin indah jika kalian dapat mengenal dan mau menghargai budaya-budaya lainnya! :)
Sekian,
No comments:
Post a Comment