Nama : Erlin Runtik P
NIM : 11140110179
Kelas : B1
Salah satu karakter yang terpenting dari
budaya itu adalah bahwa budaya yang telah kita miliki memang seharusnya
dipelajari dengan sebaik-baiknya. Tak salah banyak orang mengatakan bahwa
Indonesia terdiri dari beberapa macam suku dan budaya yang beraneka ragam
disetiap pulaunya. Dari beberapa suku yang memiliki budaya tersebut, ada
beberapa suku-suku yang diantaranya masih sangat erat memegang aturan-aturan
peninggalan adat istiadat yang berlaku dari peninggalan para leluhurnya.
Seperti permukiman lainnya yaitu Badui, Kampung Naga saat ini telah menjadi
objek kajian penelitian mengenai lingkungan kehidupan warga masyarakat yang tinggal disekitar pedesaan
Sunda. Pada zaman masa peralihan yang awalnya memiliki unsur pengaruh Hindu dan
beralih menuju pengaruh Islam di daerah Jawa Barat. Saat ini mereka juga masih
menjalankan tradisi adat-adat para leluhurnya dan akan terus menjaganya sampai kapanpun agar tradisi yang diturunkan
tersebut tetap terjaga dengan baik.
Seperti yang
dinyatakan oleh Sowell melalui buku komunikasi lintas budaya milik Samovar dan
rekannya, ia mengatakan bahwa budaya ada untuk melayani kebutuhan vital dan
praktis manusia untuk membentuk masyarakat juga untuk memelihara spesies,
menurunkan pengetahuan dan pengalaman berharga ke generasi berikutnya, untuk
menghemat biaya dan bahaya dari proses pembelajaransemuanya mulai dari
kesalahan kecil selama proses coba-coba sampai kesalahan fatal.
Kampung Naga inilah yang menjadi salah satu
contoh suku budaya yang sampai saat saya mengunjungi tempat tersebut masih
patuh dan memegang erat adat istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyang
dan para leluhurnya. Dan akhirnya saya dan teman-teman memutuskan untuk
mengunjungi Kampung Naga yang berada tepat di wilayah Tasikmalaya. Kami
berangkat bersama-sama pada hari Sabtu tanggal 22 Desember 2012 lalu. Berawal dari berkumpul bersama di komplek
kost yang berada di ruko newton, kami berangkat dengan menaiki mobil yang telah
disewa sebelumnya pada pukul 3 pagi. Kami berangkat layaknya seperti rombongan
karena ada dua mobil yang berangkat hari itu menuju Kampung Naga. Selama
perjalanan kami senang dan terlihat sangat bersemangat mengunjungi tempat
tersebut dan sampai pada akhirnya kami tiba di tempat tujuan tepat pukul 11
siang. Waktu yang kami tempuh memng lumayan cukup lama yaitu sekitar 7 jam
karena diselang perjalanan kami juga sempat berhenti-berhenti untuk
beristirahat sejenak sambil bersenda gurau bersama. Setibanya disana kami disuguhkan
oleh pemandangan dan hawa yang belum pernah kami lihat dan rasakan sebelumnya
di Tangerang. Dengan disambut oleh tugu yang menjadi tanda khas dari kampung
tersebut, kami juga disambut oleh orang yang telah disediakan sebagai pemandu
perjalanan kami selama disana.
Indonesia
memang terdiri dari beberapa pulau, begitupun dengan mata pencahariannya.
Rata-rata penduduk Indonesia memang bermata pencaharian sebagai nelayan,
pedagang maupun petani. Nah, di Kampung Naga ini sebagian besar memiliki
pencaharian sebagai petani karena memiliki hamparan lahan dan sawah yang cukup
luas sekali. Masyarakat Kampung Nagasetiap harinya memang bekerja di sawah
maupun lahan ladang yang mereka miliki. Dari awal, menanam padi memang sudah
menjadi pekerjaan mayoritas di daerah yang mereka tinggali sekarang. Biasanya
panen memang terjadi 2 kali dalam setahun. Kemudian hasil dari panen tersebut
digunakan untuk kebutuhan pangan mereka sehari-hari selama kurang lebih 6 bulan
lamanya. Jika hasil panen mereka tersebut memiliki lebih atau sisa, maka hasil
lebihannya tersebut akan dijual dan hasil dari penjualannya digunakan untuk
membeli pupuk yang akan digunakan untuk kegiatan menanam mereka juga. Pada proses pengolahannya pun, masyarakat
disana masih menggunakan cara dan alat-alat yang masih sangat sederhana dan
tradisional. Seperti arit dan cangkul untuk proses penanaman dan pemilaharaan,
dan lumbung pada saat proses pengolahan padinya.
Berdiri pada tanah yang subur, kampung ini dibangun diatas tanah seluas 1,5
hektar yang masih kental dengan adat budayanya yaitu budaya Sunda. Keasrian dari
kampung yang terdapat di daerah Tasikmalaya ini masih tetap terjaga sampai saat
ini. Kampung Naga tepat berada di Desa Neglasari, kecamatan Salawu, kabupaten
Tasikmalaya – Jawa Barat. Daerah yang memiliki nama asli Kampung Nagawir ini
dijuluki sebagai Kampug Naga karena agar mudah disebut dan memiliki arti yaitu
desa yang tepat berada diantara tebing-tebing yang mengelilingi.
Kampung yang terdiri dari 113 bangunan tempat
tinggal ini secara keseluruhan dihuni oleh 108 kepala keluarga yang sudah
termasuk keseluruhan warga, yaitu baik anak kecil maupun yang telah lanjut usia
dengan jumlah 314 jiwa. Desa ini memiliki kepemimpinan yang dibagi menjadi dua
bagian yaitu kepemimpinan yang formal dan non formal. Yang formal terbagi
seperti kepala desa, Pak RH, Pak RT, dan
Pak RW. Masa jabatan dari masing-masing kepemimpinan tersebut dapat bertahan
hingga 6 tahun lamanya. Mereka memiliki mandat atau tugas yaitu perintah atau
informasi penting sejelas-jelasnya dari jabatan tertinggi sampai dapat diterima
oleh masyarakat Kampung Naga tanpa adanya kesalahpahaman antara satu sama lain.
Sementara pemimpin yang non formal terbagi menjadi 3 bagian, yaitu kuncen yang
memiliki tugas sebagai pemimpin yang memimpin ziarah makam, yang kedua ada yang
disebut pundu yang bertugas sebagai pemimpin yang mengayomi warganya dan yang
ketiga adalah lebe yang memiliki tugas utnuk mengurusi jenazah jika ada yang
meninggal, dari awal proses sampai dengan proses pengguburan jenazah dan juga
memimpin jalannya upacara-upacara adat yang akan dilakukan. Masa jabatan yang
berlaku pada pemimpin non formal berbeda dengan pemimpin formal. Jika pada
pemimpin formal ada kurun waktu tertentu, pada pemimpin non formal ini tidak
ada batasan waktu masa jabatan. Jika pemimpin yang bersangkutan masih mampu untuk
melaksanakan tugasnya dengan baik, maka masa jabatannya tersebut dapat berlaku
hingga seumur hidupnya tergantung dari kesanggupan mereka masing-masing. Tetapi
pemilihan calon pemimpin non formal juga berbeda dengan pemimpin formal. Calon
pemimpin non formal dipilih dan ditunjuk berdasarkan garis keturunan, yang berarti
alon pemimpin non formal yang baru harus memiliki hubungan darah atau keturunan
dengan pemimpin non formal sebelumnya.
Selain mata pencaharian yang disebutkan diatas
tadi, masyarakat Kampung Naga memiliki usaha lain yaitu menjadi pembuat
kerajinan tangan yang asli dibuat oleh mereka sendiri. Bahan-bahan yang
digunakan sangat brmacam-macam mulai dari kayu, bambu, rotan maupun kain batik.
Dari bahan-bahan itulah, mereka menyulap bahan tersebut menjadi berbagai macam
barang seperti asbak, tas, topi, maupun pajangan-pajangan yang dapata
melelngkapi hiasan dirumah. Oh ya, dari bahan itu juga mereka mampu mebuat
sebuah alat musik seperti gerinding dan angklung yang proses pembuatannya
memakan waktu yang sangat lama. Kemudian, disamping membuat kerajinan tangan tersebut, mereka
juga mengolah aren untuk dijadikan gula merah. Selain dapat dicampurkan kedalam
makanan ataupun minuman, gula merah yang mereka olah dapat langsung dimakan
untuk menjaga daya tahan tubuh pada saat tubuh dalam keadaan letih dan lesu.
Kemudian mereka juga memiliki hewan yang dipelihara untuk diternak yaitu
seperti kambing, ayam dan ikan. Di sekitar rumah penduduk banyak sekali
terdapat kolam ikan yang berisi ikan mas yang sangat besar-besar dan pengunjung
juga bisa memberi makanan ikan dengan hanya mengeluarkan seribu rupiah jika ingin memberinya karena telah disediakan
toples kecil yang berisi makanan ikan tersebut.
Mayoritas agama yang dianut oleh penduduk
Kampung Naga memang agama Islam. Pada
dasarnya di Kampung Naga juga tidak melarang agama apapun untuk datang
berkunjung dan ingin mengetahui sejarah dari Kampung Naga itu sendiri. Tetapi
memang khusus untuk warga Kampung Naga diwajibkan menganut agama Islam dan
mematuhi serta mengikuti aturan-aturan yang diajarkan oleh Islam. Contohnya
pada masalah pernikahan yang pasti terjadi. Warga Kampung Naga membebaskan
warganya untuk menikah dengan kampung manapun asalkan calon suami atau istri
dari mempelai tersebut haruslah beragama yang sama yaitu Islam. Kemudian selain
masalah pernikahan ada pula masalah pemakaman yang juga dilakukan sesuai dengan
hukum Islam. Yang pada dasarnya masyarakat Kampung Naga memang benar-benar
sangat taat dan patuh dengan aturan-aturan yang diajarkan. Seperti apa yang dikatakan oleh Daniel dan Mahdo dalam tulisannya
yang dikutip pada buku Komunikasi Lintas Budaya milik Samovar yang berbunyi,
Islam sendiri berarti tunduk pada Tuhan dan kehendakNya. Quran menekankan
keagungan Tuhan berulang kali, kemurahan hati yang ditunjukkannya pada manusia
secara khusus, ketaatan serta rasa syukur dan upah yang akan diterima karena
telah setia hingga akhir waktu. Tulisan tersebut sudah jelas bahwa mereka
menggambarkan sebagian kecil dari aturan Islam.
Bahasa yang digunakan oleh warga Kampung Naga sehari-hari
yaitu mereka selalu menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa umum untuk
berinteraksi dengan yang lain, baik itu sesama warga kampung maupun orang luar
yang berkunjung ke kampung tersebut. Mereka jarang menggunakan bahasa Indonesia
untuk melakukan interaksi dengan orang-orang karena mereka hanya paham
sedikit-sedikit jika menggunakan bahasa selain bahasa sunda. Agaknya kami
sedikit menemui kesulitan jika mereka berbicara menggunaka bahasa sunda, dan
juga sebaliknya mereka juga tidak begitu paham jika kita lontarkan pertanyaan
menggunakan bahasa Indonesia dengan logat orang kota Tangerang.
Oke lanjut, saya akan membahas sedikit tentang
kegiatan-kegiatan yang kami lakukan selama berada di Kampung Naga kemarin.
Selain kegiatan, saya juga akan membahas sedikit mengenai apa saja aturan
larangan yang berlaku di Kampung Naga dari dahulu hingga saat ini.
Barang-barang yang terdapat di dalam rumah pun
juga tidak sebanyak seperti yang kita lihat pada rumah baisanya, hanya ada
lemari pakaian dan lemari bufet kecil untuk meletakkan televisi dan radio
meskipun saya agak heran, mengapa mereka memiliki alat elektronik kalau listrik
saja sengaja ditiadakan. Ruangan yang ada didalamnya pun hanya terdapat dapur,
satu kamar tidur dan ruang tamu tanpa dilengkapi oleh sofa ataupun kursi-kursi
untuk duduk.
Kebetulan saya menginap dirumah Ibu Acih. Ibu
acih memiliki seorang kakak yang bernama Ibu Asih, akan tetapi dialah yang
menemani kami selama kami tidur semalaman dirumahnya. Warga Kampung Naga memang sengaja tidak ingin
menggunakan listrik karena mereka semua berpikir jika ada kerusakan pasti akan
menimbulkan kebakaran dan hal tersebut
akan merusak lingkungan yang telah mereka jaga dengan baik dari awal. Kemudian
kamar mandinya pun pintunya hanya terbuat dari bilik bambu dan air nya mengalir
langsung dari mata air pegunungan. Ada dua saluran untuk aliran airnya, yaitu
air yang sangat jernih dan yang satunya lagi air yang agak keruh warnanya yang
berasal dari kali. Begitupun dengan tempat mencuci piringnya, mereka memilki
tempat mencuci piring bersama yaitu diluar rumah dan letaknya dekat dengan
bilik kamar mandi.
Mang Nok yang menjadi pemandu kami saat disana
juga selalu senang jika kami bertanya-tanya sejarah kecil tentang Kampung Naga.
Mang Nok juga mengajak kami berjalan-jalan mengelilingi wilayah pemukiman di
Kampung Naga.Warga Kampung Naga sangat memelihara kerukunan
guna menjaga persatuan dan perdamaian yang telah tercipta. Ada 4 kalimat yang
menjadi senjata ampuh yang berasal desa Kampung Naga yaitu, yang pertama ada silih asah yang berarti saling memberi,
kemudian silih asih yang berarti
saling memberi, lalu silih asuh yang
berarti saling menghargai satu sama lain dan terakhir ada silih payungan yang berarti saling merangkul sesama, contohnya bila
ada masalah atau konflik yang terjadi dapat diselesaikan dengan cara damai dan
baik-baik. Kemudian kata-kata yang
sangat memiliki makna yang sangat berarti adalah amanat,wasiat, dan akibat.
Kata-kata tersebut bukan hanya sekedar kata-kata biasa melainkan berhubungan
satu sama lain. Ketiga kata tersebut memiliki makna yaitu, jika kita telah
diberikan amanat dan wasiat tetapi kita lalai dan melanggar hal tersebut maka
kita akan menerima akibat yang setimpal dari hal tersebut.
Banyak pelajaran yang dapat diambil dari
pengalaman kami selama di Kampung Naga ini. Kami belajar banyak tentang
ketergantungan hidup yang ada pada sesama makhluk hidup. Saling menjaga dan
melestarikan apa yang ada disekitar membuat kita sadar bahwa kita hidup di
dunia ini sebenarnya memang saling membutuhkan satu sama lain untuk melengkapi
apa yang kita butuhkan dalam hidup kita ini.
No comments:
Post a Comment