NIM : 11140110166
Kelas : B-1
Sebagai Negara Bhineka Tunggal Ikha, Indonesia tidak
terbatas kepada satu suku dan budaya saja. Dari Sabang sampai Merauke berjajar
pulau-pulau yang didalamnya diwarnai dengan keberagaman kebudayaan, mulai dari
suku-suku besar yang sudah sering terdengar ditelinga kita seperti Suku Batak,
Sunda, Padang, Manado, Jawa, Papua, Kalimantan, dan masih banyak lagi. Ternyata
Indonesia tidak terbatas kepada suku-suku besar itu saja, masih ada suku-suku
lainnya yang tidak kalah menarik. Misalnya ada suku Badui dan Dayak yang porsi
penduduknya tidak sebanyak suku-suku
seperti Batak dan lain-lainnya namun kebudayaannya begitu menarik untuk
dipelajari. Sebagai masyarakat Indonesia alangkah baiknya jika kita mengetahui
setiap suku yang ada didalamnya.
Pada kesempatan kali ini saya akan berbagi kepada
kalian semua tentang salah satu suku yang ada di tanah bagian barat Jawa
tepatnya di wilayah Tasikmalaya. Suku ini sangat berada jauh dari kemewahan dan
hingar bingar kota. Kesederhanaan menjadi landasan kehidupan mereka. Kehidupan
didalamnya begitu asri dan menyatu dengan alam. Hal itu benar saya rasakan saat
saya mendapat kesempatan untuk bermalam di kampong tersebut bersama 16 teman
saya yang lainnya. Dipandu oleh Mang Nok (warga setempat yang sudah biasa
menjadi tour guide jika ada wisatawan) dan bermalam di rumah Mak Acih, saya
terjun langsung ke lapangan mengamati kehidupan mereka.
papan selamat datang |
Adalah Kampung Naga. Ups, mendengar namanya jangan
langsung anda berfikiran bahwa kampung ini ada hubungannya dengan hewan-hewan
dongeng bernama naga. Tidak ada hubungan sama sekali antara nama Kampung Naga
dan hewan naga. Ada alasan tersendiri mengapa kampung yang terletak di wilayah
Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat
ini diberi nama Naga. Penasaran? Yuk disimak penjelasannya dengan baik-baik.
Kata naga sebenarnya diambil dari kata dalam bahasa Sunda, yaitu nagawir yang
jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mempunyai arti lembah karena memang wilayah Kampung Naga
sendiri berada di lembah. Kata nagawir dinilai oleh penduduk setempat waktu itu
kurang populer dan dulit untuk diucapkan, akhirnya mereka semua berembuk
memtuskan mengambil kata “naga”nya saja agar nama ini kedepannya tidak sulit
untuk diingat dan disebutkan.
Mengingat kampung ini terletak di kawasan lembah,
untuk sampai ke wilayah permukiman warganya kita perlu menuruni anak tangga
yang jumlahnya cukup fantastis untuk dilewati, yaitu sebanyak kurang lebih 400
anak tangga. Selama menuruni ratusan anak tangga tersebut indera penglihatan kita
akan dimanjakan dengan pemandangan alam yang indah. Kita bisa melihat bentangan
sungai Ci Wulan, areal persawahan yang hijau yang jarang bisa kita temui di
kota besar, rumah-rumah khas Kampung Naga yang tampak bertumpuk-tumpuk dilihat
dari atas, dan juga areal perhutanan. Salah satu dari hutan tersebut ada yang
dinamakan hutan terlarang oleh seluruh warga Kampung Naga. Hutan yang terletak
disebelah timur tersebut
tidak boleh dimasuki oleh orang sembarangan karena berisikan makam-makam para
sesepuh mereka sehingga hutan tersebut dianggap sakral.
400 anak tangga menuju kampung naga |
wilayah kampung naga dilihat dari atas |
sungai ci wulan |
rumah-rumah di kampung naga |
Oh iya….semua rumah di Kampung Naga
tidak dilengkapi oleh kamar mandi. Barangsiapa yang ingin mandi, buang air
kecil atau besar, mencuci baju, dan mencuci piring sekalipun dilakukan di satu
tempat yang sama bernama “jamban” yaitu kamar mandi tradisional yang
menggantung diatas kolam dengan alas bamboo yang diberi lubang dan dilengkapi
air yang mengucur dari pipa bamboo. Yang tidak terbiasa mungkin akan sulit
dengan hal yang satu ini.
tempat mencuci piring |
jamban untuk mandi dan buang air |
Bentuk tanah di Kampung Naga yang
bertangga-tangga membuat saya bertanya kepada Mang Nok, apakah kampung ini
pernah terkena longsor atau tidak. Dengan bangga Mang Nok menjawab bahwa kampung
ini sama sekali tidak pernah terkena longsor karena mereka tidak pernah melukai
alamnya.
Kampung Naga tidak dilengkapi dengan
listrik. Ini menjadi kebijakan bersama. Alasannya masih sama dengan alasan
mereka membangun rumah dengan model yang sama, yaitu agar tidak tercipta
kesenjangan sosial. Menurut Pak Punduh (Kepala Desa Kampung Naga) keberadaan
listrik bisa menjadi pemicu munculnya kesenjangan tersebut. Misalnya listrik
masuk, sebagian warga bisa membeli televisi dan menontonnya sementara sebagian
lagi tidak mampu membeli. Hal tersebut dinilai memicu adanya kesenjangan
sosial. Alasan berikutnya adalah karena material bangunan di sana mudah
terbakar, takut kalau misalnya terjadi korslet listrik dan pemukiman bisa
terbakar. Yang terakhir adalah untuk menjaga akhlak anak-anak karena ditakutkan
jika listrik masuk dan bisa menonton televisi, anak-anak terpengaruh dengan
acara-acara televisi yang kini dianggap tidak bernilai moral baik.
Hampir seluruh penduduk Kampung Naga saling mengenal
satu sama lain dan begitu menjaga keramah tamahan. posisi rumah mereka yang saling
berdekatan satu sama lain, bahkan hampir menempel, mungkin menjadi salah satu
faktornya.
A. PEMERINTAHAN…
Kampung Naga dipimpin oleh seorang
kepala desa dan rumah-rumah disana dibagi dalam wilayah-wilayah kecil yang
disebut Rukun Tangga. Pemerintahan Kampung Naga berjalan secara demokrasi yang
artinya dari dan untuk rakyat. Kepala pemerintahan seperti kepala desa dan RT
dipilih langsung oleh warganya sendiri. Ada pemimpin selain kepala desa dan RT,
yaitu kuncen. Kuncen tidak dipilih secara demokrasi karena mereka yang menjadi
kuncen harusnya mereka yang mempunyai keturunan kuncen. Terdapat 3 kuncen di
Kampung Naga, ada kuncen untuk memimpin acara ziarah ke makam, kuncen yang
khusus untuk mengayomi warga, dan yang terakhir kuncen yang bertugas untuk
mengurus jenazah.
B. ELEMEN-ELEMEN PEMBENTUKAN BUDAYA
B.1 SEJARAH…
Tidak ada cerita jelas mengenai
asal-usul terbentuknya kampung ini. Namun seluruh warganya biasanya menyebut
sejarah pembentukan kampung mereka dengan sebutan “Pareum Obor” yang artinya
matinya penerangan. Mengapa demikian? Konon katanya pada waktu itu pada waktu itu, DI/TII menginginkan terciptanya sebuah negara Islam di Indonesia. Kampung Naga saat itu mendukung
Soekarno dan kurang simpatik dengan DI/TII. Karena hal tersebut, DI/TII yang tidak mendapatkan simpati warga
Kampung Naga membumihanguskan wilayah Kampung Naga dan dikejadian itulah arsip-arsip sejarah
terbentuknya kampung tersebut terbakar.
B.2 BAHASA…
Bahasa melupakan salah satu elemen
pembentukan budaya dan pembentukan identitas suatu budaya. Tanpa bahasa budaya
tidak akan tercipta karena tidak akan ada komunikasi. Kampung Naga menjadikan
bahasa Sunda sebagai bahasa yang mereka pakai untuk berkomunikasi antar warga.
Namun karena sudah banyaknya wisatawan baik asing maupun domestic tidak sedikit
warga Kampung Naga yang sudah bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia.
Mang No’k bercerita, memang kedatangan wisatawan ke Kampung Naga membuat dia
lama kelamaan mengerti bahasa Indonesia. Melalui bahasa itulah Mang No’k
akhirnya mampu untuk menyampaikan kebudayaan Kampung Naga kepada saya dan
teman-teman yang berasal dari budaya berbeda. Disinilah terjalin apa yang
dimaksud dengan komunikasi antar budaya, yaitu komunikasi yang terjadi diantara
orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda.
B.3 AGAMA…
Agama adalah elemen pembentukan
budaya selain bahasa. Seperti yang dikatakan oleh Parkes, Laungani, dan Young,
“Semua budaya memiliki agama yang dominan dan terorganisasi di mana aktivitas
dan kepercayaan mencolok (upacara, ritual, hal tabu, dan perayaan) dapat
berarti dan berkuasa”. Hanya ada satu agama yang dianut di Kampung Naga. Adalah
agama Islam. Agama Islam sudah menjadi turun temurun di sana mulai dari jaman
nenek moyang mereka. Bentuk rasa menghormati dan menghargai masyarakat setempat
kepada agama Islam salah satunya adalah dengan menhgormati kiblat yang menjadi
arah ibadah bagi umat Islam. Mereka mempunyai peraturan tidak boleh beristirahat
(tidur) dan menyelonjorkan kaki kearah kiblat karena dianggap tidak sopan.
Barangsiapa yang melanggar dipercaya dapat terkena akibatnya sendiri.
satu-satunya masjid di kampung naga |
C. AMANAT, WASIAT, AKIBAT…
Seluruh warga Kampung Naga
menjalankan kehidupannya dengan berpegang kepada tiga prinsip yaitu amanat,
wasiat, dan akibat. Mereka melakukan semua kegiatan selalu mengingat ketiganya.
Warganya selalu mengingat amanat atau pesan dari yang mempunyai peran penting
serta mengingat wasiat dari nenek moyang mereka. Setiap hal yang tidak boleh
dilakukan mereka jaga untuk tidak dilakukan untuk mencegah datangnya akibat
buruk bagi kelangsungan hidup mereka. Dengan berpegang kepada ketiga hal ini
mereka percaya kehidupan mereka akan baik-baik saja.
D. LAIN-LAIN
Masih banyak hal-hal lain yang bisa diceritakan
dari kampung yang masih sangat menyatu dengan alam ini. Beberapa aspek
didalamnya seperti ekonomi dan kesehatan masih sangat bergantung kepada alam.
Ekonomi mereka rata-rata diperoleh dari hasil bertani, beternak, dan bercocok
tanam. Semua memang masih hidup bersama alam maka dari itu mereka sangat
mencintai dan menjaga alamnya karena alamlah yang menghidupi mereka.
Perekonomian terbesar warga Kampung Naga adalah panen padi yang dilakukan
setiap 2 kali dalam setahun yang biasa disebut “janli” yaitu Januari dan Juli.
Sebagian dari hasil panen mereka jual dan sebagian lagi mereka pakai sendiri.
sedang bertani |
Untuk masalah kesehatan, mereka juga
masih bergantung dengan pengobatan-pengobatan tradisional yang diperolah dari
tumbuh-tumbuhan atau hewan. Contohnya adalah buah tekoka dan belut sawah yang
masih berukuran kecil sekitar 7-8 cm. Tekoka dipercaya dapat menjaga stamina
tubuh kaum lelaki. Sedangkan belut sawah yang penggunaannya langsung dimakan
hidup-hidup dipercaya dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Jarang dari
warga Kampung Naga yang bisa berobat ke dokter karena keterbatasan biaya.
Proses melahirkan para ibu di Kampung
Naga dipercayai untuk dibantu oleh dukun beranak. Pendidikan yang dijalankan
anak-anak berjalan sama seperti paada umumnya di sekolah-sekolah biasa yang ada
di luar kampung, namun biasanya tidak dapat berjalan lancer kembali karena
keterbatasan materi. Untuk peraturan pernikahan dilakukan secara Islam maka
mereka juga menghalalkan adanya poligami.
belut yang akan dimakan hidup-hidup |
Ada satu lagi yang menjadi ciri khas
di kampung ini, namanya tolak bala. Tolak bala adalah alat yang juga dibuat
dari beberapa jenis tumbuhan yang telah ditentukan lalu diikat dan digantungkan
didepan setiap rumah. Tolak bala dipercaya dapat mengusir hal-hal buruk dan
gaib sekalipun yang bisa menganggu keselamatan warga. Tradisi ini sudah ada
sejak jaman nenek moyang mereka. Budaya memang tercipta karena turun temurun
dan sudah lama dilakukan.
tolak bala |
Dalam satu minggu, ada tiga hari
dimana warga kampung tidak boleh berbicara tentang sejarah kepada siapapun.
Adalah hari selasa, rabu, dan sabtu.
Ada kegiatan lain yang benar-benar
harus dijauhi oleh seluruh warga, yaitu:
- Ngadu : Mengadu makhluk halus
- Nyawadon : Bermain wanita
- Nyamadat : Bermain judi
Kehidupan warga Kampung Naga
dijalankan secara kolektivisme terlihat dari 4 cara hidup mereka kepada
sesamanya, yaitu:
-
Sili asah :
saling menyayangi
-
Sili asih :
saling memberi
-
Sili asuh :
saling menghargai
-
Sili payungan :
saling merangkul
E. PENGALAMAN LANGSUNG
Saya bersama rombongan teman-teman berkesempatan langsung untuk menginap
tinggal di rumah penduduk selama 2 hari 1 malam. Begitu banyak pengalaman
berharga yang didapat. Mak Acih sebagai tuan rumah menyambut baik kehadiran
saya dan teman-teman. Sosok Mak Acih memang sangat mencerminkan keramahan warga
Kampung Naga.
mak Acih |
Jalan sempit dan suasana lembab mengantar saya dan teman-teman menuju
rumah Mak Acih. Rumah panggung nan sederhana yang semuanya mirip. Disitulah
kami akan bermalam. Rumah kecil tanpa bangku dan meja didalamnya hanya
beralaskan lantai kayu berselimut tikar. Ketika kami berada didalamnya, tawa
segera memenuhi rumah tersebut. Bersama 4 teman lain dan Mak Acih, kami saling
bercerita. Mak Acih menunjukan kepada kami dapur tempatnya memasak. Untuk
memasak pun ternyata mereka begitu sederhana dan benar-benar memanfaatkan sumber
daya alam disekitar mereka, misalnya saja bahan bakar mereka memasak adalah
kayu bakar.
suasana jalan sempit |
suasana depan rumah |
dapur |
Hari pertama di Kampung Naga yang tenang ini saya isi dengan jalan-jalan
berkeliling menikmati suasananya. Menyusuri jalan-jalan sempit untuk bisa
menembus ke teras desa. Disana terdapat Masjid dan balai desa serta beberapa
penduduk yang berjualan kerajinan khas Kampung Naga. Pada kesempatan itu saya
beruntung ada seseorang yang sedang bermain alat musik khas Kampung Naga
bernama kerinding. Diakuinya, tidak semua orang bisa memainkan alat musik ini
walaupun terlihat sederhana saja.
kerajinan yang dijajakan |
bedug di depan masjid |
pemain kerinding |
Malam hari tiba, suara jangkrik menemani gelapnya perkampungan karena
ketidakadaannya listrik. Setiap rumah hanya dibantu penerangannya dengan lampu
minyak tanah. Mak Acih bercerita bahwa kampungnya tidak seperti di kota yang
selalu ramai setiap saat. Ya memang benar saja, saya menengok kearah jam tangan
dan jam menunjukan pukul 19:00 WIB tapi rasanya sudah seperti tengah malam. Mak
Acih juga cerita kepada kami bahwa kalau sudah jam Sembilan malam tidak lagi
ada yang boleh di luar rumah, karena menurut warga kampung jam segitu banyak
ular-ular besar berkeliaran dan dapat membahayakan.
bantuan penerangan malam hari |
Suara ayam membangunkanku pagi hari berikutnya. Terlihat sudah banyak
ibu-ibu yang melewati rumah Mak Acih untuk menjalani kegiatan mereka
masing-masing. Ada yang akan berangkat ke sawah, berangkat memberi makan
kambing, atau ada yang hanya sekedar mencuci. Perjalanan hari ini akan dimulai
dengan turun ke sawah kemudian dilanjutkan dengan memberi makan kambing sampai
pada akhirnya tidak terasa bahwa kami harus segera kembali pulang ke Jakarta.
hiijaunya sawah |
Banyak pelajaran yang dimabil dari kehidupan di Kampung Naga.
Kesederhanaan dan penghargaan mereka terhadap alam rasanya sangat patut kita
contoh agar kehidupan kita bisa menjadi lebih baik lagi, agar alam tidak mudah
marah dan mendatangkan bencana. Terimakasih banyak Kampung Naga J
No comments:
Post a Comment