nama : Norita
Kelas : B1
NIM : 11140110014
Komunikasi merupakan kemampuan seseorang untuk berbagi kepercayaan, nilai, pandangan dan perasaan yang merupakan inti dari hubungan manusia. Sedangkan budaya adalah hal yang dapat dijumpai dimana-mana, kompleks, persuasif, dari yang paling penting, sulit untuk diartikan. Istilah ‘budaya’ tentu saja mempunyai banyak arti dalam disiplin ilmu serta konteks yang berbeda. Jadi pengertian dari komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi ketika anggota dari satu budaya tertentu memberikan pesan kepada anggota budaya lain. Komunikasi antarbudaya melibatkan interaksi antara orang-orang yang persepsi budaya dan sistem simbolnya cukup berbeda dalam suatu komunikasi.
Jika terjadi kesalahpahaman dalam komunikasi antarbudaya maka akan memicu konflik. Jadi jika kita ingin berkomunikasi dengan orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kita, maka kita harus mempelajari budaya orang tersebut. Karena budaya itu memang harus dipelajari, tapi bukan berarti jika kita berbeda budaya maka kita tidak bisa berkomunikasi. Saya merupakan keturunan dari budaya Tiong hoa dan saya ingin mengetahui lebih dalam kebudayaan orang lain, dan saya memilih kampung Sindang Barang dalam pembelajaran komunikasi antarbudaya saya.
Kampung Sindang Barang
Kampung Sindang Barang adalah sebagai salah satu daerah penting kerajaan sunda dan pajajaran. Tempat ini juga merupakan tempat wisata untuk orang yang ingin mengetahui lebih dalam budaya sunda, karena kebanyakan warga Kampung Sindang Barang adalah budaya sunda.Hal ini disebabkan di sindangbarang terdapat salah satu keraton kerajaan tempat tinggalnya salah satu istri dari prabu Siliwangi yang bernama Dewi Kentring Manik Mayang Sunda. Sedangkan penguasa sindangbarang saat itu adalah Surabima Panjiwirajaya atau Amuk Murugul. Bahkan Putra Prabu Siliwangi dan Kentring manik mayang sunda yang bernama Guru Gantangan lahir dan dibesarkan di Sindangbarang. Sampai saat ini masih ada peninggalan purbakala berupa Taman Sri bagenda di Sindangbarang, yaitu taman yang berupa kolam dengan panjang 15 X 45 meter, dan 33 buah titik Punden Berundak.
Sindang Barang adalah kampung tertua yang ada di daerah Bogor. Berjarak sekitar 5 km dari Kota Bogor, Sindang Barang konon sudah berdiri sejak zaman kerajaan Sunda pada abad XII.Memasuki areal perkampungan yang sesungguhnya hanya sepetak dengan tanda jalan yang tidak terlalu besar, pertama kali anda akan disuguhkan dengan rumah yang besar biasa disebut dengan imah gede yaitu bangunan utama di kampung adat tersebut dan merupakan tempat bermukimnya ketua adat atau orang yang ditokohkan untuk melestarikan adat sunda bogor.
Sumber kuno yang menyebutkan tentang kampung ini adalah Naskah Pantun Bogor dan Babad Pajajaran. Konon, dari kampung inilah budaya dan adat Sunda Bogor bermula.Menurut catatan sejarah, dulu di kampung ini, tinggal seorang putri yang bernama Dewi Kentring Manik Mayang Sunda. Beliau adalah salah satu istri dari Prabu Siliwangi. Sang putri dan anak lelakinya, Guru Gantangan, lahir dan dibesarkan disini.
Selain nilai historis dan budayanya, Kampung Sindang Barang juga menyimpan peninggalan purbakala. Berupa taman kolam Sribagenda dengan luas 15×45 meter persegi dan 33 buah punden berundak. Ada juga tempat berdoa warga-warga sekitar yang percaya di situ jalatunda. Banyak juga orang dari luar kota dan pejabat yang datang dan berdoa disni. Sayang sekali, tidak sembarangan kita bisa mengambil foto di lokasi ini sehingga data yang terekam dalam bentuk foto sangat sedikit.
Di Sindang Barang, pengunjung bisa bermalam. Para tetua kampung sudah menyediakan lokasi menginap bagi wisatawan yang berminat. Dalam situs resmi Kampung Sindang Barang disebutkan bahwa seluruh biaya yang dikenakan saat berkunjung dan menginap akan dikembalikan lagi pada warga untuk mengurus kelestarian adat budaya unik mereka. Warga-warga sekitar lokasi ini pun ramah-ramah dan masih sangat tradisional gaya hidupnya. Masih ada seorang ibu rumah tangga yang mencuci alat dapurnya di sungai dekat sawah.
Itu ada sekilas sejarah dari Kampung Sindang Barang yang saya ketahui dan mendengar ceritanya dari abah. Saya diberikan tugas akhir Komunikasi Antar Budaya dari kampus Universitas Multimedia Nusantara untuk meliput budaya-budaya di tempat yang kita kunjungi. Saya memilih Kampung Sindang Barang sebagai tempat yang ingin saya liput dan kunjungi. Kampung Sindang Barang ini berada di Jawa Barat yang letaknya 5km dari kota Bogor.
Mengubah Gabah ini menjadi beras dengan cara ditumbuk
Saat saya sampai di Kampung Sindang Barang saya sangat kaget dan terkesan sekali karena orang-orang sekitar kampung ini dan juga orang yang menemani saya selama saya disini itu sangat ramah dan kekeluargaan yaitu abah. Disini juga abah banyak mengajarkan saya hal-hal yang belum pernah saya lakukan sebelumnya, seperti membuat padi menjadi beras, ternyata beras yang biasa saya tinggal masak atau pergi beli di pasar terdekat cara membuatnya sangat susah dan banyak prosesnya. Pertama padi yang sudah kering dan menguning ditumbuk, setelah ditumbuk nanti akan keluar menjadi beras. Ada yang beras putih dan ada juga yang menjadi beras berwarna merah. Setelah ditumbuk berasnya disrangsang menggunakan tampa agar kotoran-kotorannya hilang. Saya baru tahu betapa sulitnya pekerjaan para petani itu, sedangkan saya sendiri kadang sering sekali membuang nasi sisa di rumah atau jika makan tidak habis. Kata abah yang menemani saya disana, dulunya jika kita membuang nasi maka akan ada dewi yang menangis karena sedih. Makanyan dulu waktu saya kecil mama saya sering sekali bilang jangan buang nasi nanti petani nangis. Saya pikir itu hanya candaan mama saya, tapi faktanya benar.
Proses membuat beras
Saya juga diajak berkeliling kampung sindang barang yang di sekelilingnya masih sawah, sungai dan pemandangan yang indah. Jalanannya pun sangat sulit dilewati karena tanahnya gembus dan jalanannya sempit. Saya diajak melewati sawah, ternyata melewati sawah sangat sulit karena jalanannya tidak rata, banyak batu dan naik turun. Tapi si abah jalan dengan tidak ada rasa kesulitan sama sekali, mungkin karena si abah sudah terbiasa jalan melewati sewah dan sungao-sungai. Sebenarnya menurut saya juga tidak terlalu sulit jalan di sekitar sawah tapi mungkin karena jalanannyan sempit dan tanahnya basah itu yang membuat saya kesulitan. Di sekitar sawah juga masih hutan-hutan liar tetapi tidak ada binatang buasnya
SAWAHHHHH !!!!
Setelah sawah sudah terlewati oleh saya, saya sampai di perkampungan tempat warga sindang barang tinggal. Rumahnya masih kecil-kecil dan sangat tradisional sekali, beda sekali jika harus dibandingkan dengan rumah-rumah di jakarta dan gaya hidup warga Jakarta. Di dekat perkampungan ini banyak sekolah-sekolah tempat warga sindang barang menuntut ilmu. Fasilitas sekolahnya pun saya lihat sangat sedikit, bahkan tidak ada aula atau lapangan basket dan bola seperti di sekolah-sekolah Jakarta. Nampaknya anak-anak disana menikmati saja keadaan mereka yang seperti itu, mereka masih pulang sekolah dengan ceria dan berjalan pulang ke rumah bersama teman-temanya.
Saat melewati sekolah ini, saya melihat ada jajanan-jajanan semasa saya SD dulu, karena saya sangat kangen dengan jajanan semasa saya SD dan sekarang sangat susah saya dapatkan di kota, jadi saya beli deh. Saya sangat kaget karena harga jajanannya juga masih sangat murah dan rasanya pun enak, sama saja rasanya saat saya beli semasa SD dulu. Jajanannya ada sate telur, cimol goreng dan bakso goreng. Makanan-makanan di warungnya pun sangat murah-murah, satu botol fanta atau coca-cola saja masih Rp. 3000,00 dan jajanan-jajanan kecilnya sekitar Rp. 500,00 – Rp. 1.000,00.
Anak-anak Sindang Barang pulang sekolah
Bersama salah satu pedagang di depan sekolah
Mata pencaharian warga sindang barang adalah memproduksi sepatu. Banyak warga sekitar sindang barang yang pengrajin sepatu dan ada tempat produksinya yaitu di rumah mereka sendiri. Cara pembuatan mereka masih sangat tradisional dan mudah. Dalam pembuatannya bagian-bagiannya sudah ada masing-masing. Ada yang mencetak ukuran kakinya, ada bagian yang mengelem, bagian menjahit dan bagian menyusun sepatunya sesuai size. Ternyata mereka membuat sepatu-sepatu ini tidak dijual di kampung ini sendiri, tapi sepatu-sepatu yang sudah mereka buat itu mereka kirim ke Jakarta karena itu pesanan orang dan tinggal dipasang merk yang memesan dan dijual di mall-mall Jakarta. Saya menanyakan harga per sepatunya, ternyata harganya cuma Rp. 30.000. beda jauh sekali harganya ketika di mall, kalau di mall harganya bisa berkisar Rp. 100.000 – Rp. 200.000. Jadi sepatu yang biasa saya beli di mall yang bertulis produksi Italia atau apapun itu bisa jadi merupakan salah satu produksi warga sindang barang.
Hasil sepatu buatan warga Sindang Barang
Selesai saya melihat tempat produksi sepatu saya mendatangi tempat berdoa atau bersemedi warga sindang barang, namanya Sumur Jalatunda.Merupakan sumber air dari jaman Kerajaan Sunda, airnya bening dan bersih. konon dahulu kala calon Raja-raja harus bertapa selama 40 hari di dalam sumber air ini sebelum menjadi Raja. Mata air Jalatunda merupakan lubang sumur yang dangkal, ukuran lubang air sekitar 2 x 1 m dengan kedalaman tidak lebih dari 1,5 m, namun sampai sekarang masih mengeluarkan air dari sela-sela susunan balok batunya, walaupun alirannya kecil tetapi terus-menerus mengalir, konon selama ini tidak pernah mengering sekalipun di musim kemarau.
Oleh penduduk sekeliling sumur sekarang telah di tembok semen untuk menjaga kebersihan mata air tersebut. Air dari sumur Jalatunda kemudian dialirkan melalui parit kecil ke arah timur sepanjang lebih kurang 20 m menuju suatu bentuk kolam buatan yang dinamakan Taman Sri Bagenda. Yang pada setiap tahunnya Taman Sribagenda ini hanya dikuras 1 tahun sekali, dan ikan-ikan yang berada di kolam ini harus dibuang semua dan diiklaskan oleh warga. Karena nantijuga setelah dikuras ikan-ikannya akan ada lagi di dalam kolam ini, ini merupakan keajaiban dari Taman Sribagenda yang diceritakan oleh abah.
Sumur Jalatunda
Selain itu air dari sumur Jalatunda juga dialirkan ke kali kecil Cipamali. Pada batu datar di dekat lubang sumur, dijumpai adanya batu-batu lainnya dan sebuah batu yang berbentuk bulat seperti bola. Batu tersebut dalam khasanah megalitik lazim dinamakan dengan batu pelor. Hingga sekarang ini belum dapat diketahui secara pasti apa fungsi batu pelor. Batu terdebut tidak boleh diinjak oleh pengunjungnya, jika diinjank maka akan datang bencana terhadap orang yang menginjak batu tersebut. Tetapi jika orang yang baru pertama kali datang kesana dan belum tau tentang batu tersebut tidak apa, asal jangan menginjaknya secara sengaja.
Menurut kepercayaan warga sindang barang air sumur ini bisa menyembuhkan penyakit jika koita percaya. tempat ini tidak hanya untuk warga sindang barang saja, tetapi dibuka untuk umum juga, yang memang benar-benar ingin berdoa dan percaya akan sejara di sumur ini. Setelah selesai berdoa orang yang berkunjung ke sumur ini bisa mengambil airnya dan dibawa pulang untuk diminum atau dibasuh ke muka kita agar penyakit yang kita derita bisa sembuh. Saya disana pun ikut mencoba dan membasuh muka di sumur itu, airnya sangat segar. Sebelum saya membasuh muka disana, sumur tersebut didoakan dulu oleh abah dan dibacakan mantra-mantra khusus.
Setelah mendatangi sumur Jalatunda, saya lanjut ke Taman Sri Bagenda. Taman Sri Bagenda merupakan kolam ikan yang besar. Kolam ini pun konon tidak pernah kering, karena airnya diperoleh terus menerus dari aliran sumur Jalatunda.Ikan yang ada di kolam ini pun milik warga sindang barang. Sawah-sawah yang ada di kampung ini juga dikelola bersama-sama, jadi panennya juga bisa mereka nikmati bersama, makanya mereka saling menjaga pertumbuhan sawah di kampung ini.
Warga Sindang Barang tidak semuanya berbudaya Sunda, tetapi saat saya nerjalan mengelilingi kampung ini, ada satu rumah yang keturunan Chinese. Karena di depan rumahnya ada tempat sembahyang dan patung-patung budha. Kebetulan saat saya melewati rumah ini, orang yang memiliki rumah twrsebut sedang berdiri di depan rumahnya sambik minum kopi dan saya ajak ngobrol sebentar, ternyata memang dia keturunan Chinese dan memang sudah lama tinggal di Kampung Sindang Barang.
Selesai sudah saya berjalan-jalan dan melihat kehidupan sehari-hari warga sekitar. Ternyata kehidupan mereka masih sangat sederhana sekali, tetapi mereka sangat menikmati kehidupan mereka ini dengan setiap senyuman yang mereka lukiskan dari wajahnya. Saya melihat seperti tidak ada beban dalam setiap mimik wajah meraka, beda dengan mimik wajah warga Jakarta yang kesannya selalu mimik wajah penuh kecemasan, dan selalu mencari materi untuk kebahagian hidup mereka. Pokoknya mimik warga Jakarta seperti banyak sekali pikiran yang ada di dalam otak mereka, mungkin kurang bersyukur akan apa yang sudah Tuhan berikan selama mereka hidup. Selalu ingin mendapatkan lebih dari apa yang sudah mereka miliki, merasa takut gagal dalam apapun yang mereka lakukan ( menurut saya serakah merupakan ciri khas dari kebanyakan warga Jakarta ). Hubungan antar warga Sindang Barang sangat erat, mereka sangat kekeluargaan antar satu dengan yang lainnya.
“Gudykunst menyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab dari kegagalan komunikasi pada situasi antar kelompok. Terdapat dua penyebab dari mis-interpretasi yang berhubungan erat, kemudian melihat itu sebagai perbedaan pada ketidakpastian yang bersifat kognitif dan kecemasan yang bersifat afeksi- suatu emosi”.
Terimakasih abah
Sekian cerita saya tentang Kampung Sindang Barang, pengalaman yang tak akan pernah saya lupakan semasa hidup saya. Karena disini saya benar-benar menikmati keindahan Kampung Sindang Barang dan sambutan dari warga sekitarnya sangat baik dan ramah. Hal yang paling mengesankan bagi saya adalah saat berjalan megelilingi sawah dan hutan liar, dan juga saat menanam padi dan belajar proses pembuatan beras. Banyak yang bisa saya pelajari dari Kampung ini, kehidupannya yang begitu sederhana dan mereka sangat menikamatinya dengan senang hati. Ketulusan warga dan abah yang dengan senang hati bersedia menemani saya dan kawan-kawan berkeliling kampung ini sangat terkesan di hati saya.
“Jangan pernah mencari dan berharap mendapat yang terindah dalam hidup, tapi berharaplah mendapat yang tulus. Sebab yang terindah belum tentu tulus, tapi ketulusan selalu berakhir di keindahan.”
Terima kasih abah atas waktunya, atas semua kesederhanaan, dan kasih sayang yang abah berikan selama saya berkunjung di kampung Sindang Barang. Semua pengalaman yang telah abah berikan akan selalu melekat di dalam hidup saya, karena pengalaman ini memang sangat berkesan dan tak terlupakan.
No comments:
Post a Comment