Nama: Catherine
NIM: 11140110110
Kelas: B-1
|
Pemandangan Perkampungan Baduy. |
Hallo sobat blogger semua! Apa
kalian semua sudah punya rencana liburan setelah kita semua menjalani UAS?
Mungkin sekedar refreshing aja nih
setelah kita menjalankan kewajiban kita sebagai anak kuliahan gitu kan… Kalau
belum kayaknya kalian harus cobain deh wisata yang satu ini! Kali ini saya akan
memberikan review tentang salah satu tempat wisata di Banten yaitu perkampungan
Suku Baduy. Nahyooo pernahkah kalian mendengar tentang Suku Baduy? Saya sendiri
pun baru pertama kali mencobanya dan agak merasa ingin pergi kesana lagi untuk
kedua kalinya. Saya berangkat berlima dengan teman-teman saya yang tentunya
anak UMN dan juga mendapat tugas observasi dari mata kuliah Komunikasi Antar
Budaya ini. Kami menempuh perjalanan ke Baduy dengan menggunakan kendaraan umum
yaitu Bus. Pukul 07.00 kami sudah berada di terminal Kalideres-Jakarta Barat
untuk naik Bus ke arah Rangkas Bitung (maklum, memang tidak ada bus yang
langsung menuju Ciboleger) perjalanan dari Kalideres-Rangkas Bitung memakan
waktu sekitar 3jam. Perjalanan belum berakhir, kami sesampainya di terminal
Rangkas, kami harus naik kendaraan umum untuk sampai ke Desa Ciboleger lagi
yang memakan waktu kurang lebih 1,5 jam (belum lagi kendaraan berhenti dulu
untuk memuat penumpang) jadi total-total kami memakan waktu kurang lebih 5-6
jaman untuk sampai di terminal Ciboleger. Desa Ciboleger adalah desa terakhir
yang bisa dicapai dengan menggunakan kendaraan umum. Bila kita ingin
mengunjungi Suku Baduy maka Ciboleger lah yang menjadi patokan awal kita untuk
menuju ke perkampungan Suku Baduy. Setelah sampai di Ciboleger, kami memutuskan
untuk makan siang dulu karena kami belum makan, dan waktu juga sudah
menunjukkan pukul 13.00 waktu itu. Sesampainya disana, kami memang sudah
janjian sebelumnya dengan tour guide
kami yang bernama Kang Jaka yang akan menemani kita dan sekaligus menjadi
narasumber kita yang akan menuntun kita untuk sampai ke Baduy Luar atau Baduy
Dalam.
|
Tugu Desa Ciboleger. |
Sebelumnya untuk masuk ke Baduy dalam, kami harus melapor dulu dengan pimpinan adatnya yang disebut
Jaro. Ada beberapa Jaro yang mempunyai tugas masing-masing. Kita harus melapor
dengan Jaro yang tugasnya membina hubungan dengan kebudayaan luar atau disebut
juga dengan Jaro Pulung. Langsung saja deh saya ceritakan mengenai Suku Baduy.
Suku Baduy terbagi menjadi dua bagian yaitu Baduy Luar dan Baduy Dalam. Nanti
saya akan bahas mengenai dua macam Suku ini. Suku Baduy adalah salah satu suku
yang berada di provinsi Banten yang masih memegang adat istiadat dengan kuat.
Masyarakat Baduy umumnya bertempat tinggal di sektaran aliran sungai Ciujung di
Pegunungan Kendeng – Banten Selatan. Di daerah dataran tinggi yang masih asri
inilah suku Baduy bertempat tinggal.
Kenapa di namakan Baduy? Nama Baduy sendiri diambil dari nama sungai
yang melewati wilayah itu yaitu sungai Cibaduy.
|
Sungai yang mengaliri perkampungan Baduy. |
Masyarakat Baduy yang menempati
area sekitar 5.101,85 Ha ini memang dengan sengaja mengasingkan diri mereka
dari masyarakat luar dan menjadikan kebudayaan dan adat istiadat mereka sebagai
tempat suci atau keramat. Karena kemurnian budaya mereka inilah yang akhirnya
menjadikan perkampungan Suku Baduy menjadi salah satu objek wisata di Provinsi
Banten yang sering dikunjungi oleh wisatawan asing maupun lokal. Dalam memenuhi
kebutuhan hidup sehari-harinya, masyarakat baduy tidak pernah mengandalkan
bantuan dari luar. Mereka dapat bertahan hidup dengan cara bercocok tanam,
berladang, menenun kain selendang yang nantinya dijual pada para wisatawan atau
masyarakat luar, membuat kerajinan tangan seperti koja dan jarog (tas yang
terbuat dari kulit kayu), dan berburu.
|
Salah satu mata pencaharian warga Baduy: menenun kain. |
Intinya mereka mengabdikan hidupnya
kembali pada alam. Sebanyak 90% masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam memang
bertani. Kemandirian Suku Baduy dan konsep tetuah Suku Baduy memang pantas
dijadikan pelajaran oleh para wisatawan yang datang ke tempat ini.
Tempat yang dijadikan Suku Baduy sebagai
tempat pemukiman adalah daerah perbukitan, daerah yang paling rendah berada
800m diatas permukaan laut. Sehingga kalian dapat membayangkan hutan rimba di
pegunungan Kendeng akan menjadi spot yang menarik ketika kalian datang
mengunjungi Suku Baduy ini. Alam yang masih alami serta udara sejuk yang belum
tercemar polusi akan setia menemani perjalanan anda menuju perkampungan Suku
Baduy. Lokasi yang umumnya dijadikan tempat pemukiman oleh Suku Baduy adalah di
lereng-lereng gunung, celah bukit, serta lembah-lembah yang ditumbuhi pepohonan
besar yang masih dekat dengan aliran sungai. Dijamin, walaupun perjalanan
menuju perkampungan Suku Baduy khususnya ke Baduy Dalam ini membutuhkan tenaga
ekstra. Tapi semua itu akan terbayar ketika kalian melihat pemandangan alam
yang indah yang tentu masih bebas polusi di sekitar perjalanan anda menuju
perkampungan Suku Baduy.
|
Kami bersama anak-anak warga Baduy Luar. |
Suku baduy mempunyai dua kelompok
sosial yang berbeda, dimana masing-masing kelompok mempunyai peranannya
masing-masing. Dua kelompok itu biasa disebut dengan Baduy Luar dan Baduy Dalam
seperti yang sudah saya singgung di awal tadi.
Dimulai dari Suku Baduy Luar yang
sangat dekat karena posisinya yang berada bersebelahan dengan Desa Ciboleger,
sedangkan untuk Baduy Dalam sendiri, saya dan teman-teman harus menempuh jarak
sebanyak kurang lebih 12km dengan berjalan kaki, ya berjalan kaki karena untuk
sampai ke baduy dalam memang sudah tidak ada kendaraan dan memang masyarakat
disana hanya berjalan kaki sebagai alat transportasinya, bisa dibayangkan. Saya
dan teman-teman memutuskan untuk langsung segera berangkat hari itu ke Baduy
Dalam, awalnya Kang Jaka sudah mengingatkan bahwa cuaca bisa saja tidak bagus
dan berubah-ubah selama kita berada di perjalanan, karena mengingat bahwa
kondisi jalan yang akan licin karena kita akan melewati bukit-bukit, turunan
dan tanjakan yang cukup terjal tapi semangat saya dan teman-teman saat itu
sangat menggebu-gebu sehingga tidak memikirkan resiko apa yang akan terjadi,
kami merencanakan bahwa kami akan pulang hari dan tidak akan menginap disana,
karena kami baru berangkat jam 13.30 dan masih bisa untuk melanjutkan
perjalanan, akhirnya kami menaruh barang-barang dan hanya membawa barang
seperlunya saja untuk kami bawa selama perjalanan ke Baduy Dalam, di rumah Kang
Jaka yang berada di Desa Kanekes lah kami tinggal, Kang Jaka yang setia
menemani kami kemanapun kami pergi adalah masyarakat Suku Baduy Luar.
|
Foto dulu yuk di depan rumah Kang Jaka! |
|
Saya sewaktu tiba di rumah Kang Jaka. |
Wilayah
Baduy meliputi desa Cikeusik, Cibeo, Cikartawarna dan masih banyak desa
lainnya. Di desa ini tinggal suku Baduy Luar yang sudah banyak berbaur dengan
masyarakat Sunda lainnya. Baduy Luar yang biasanya mereka menyebutnya Urang Panamoing.
Cirinya, selalu berpakaian hitam. Rumah masyarakat Baduy didirikan diatas batu
(ini kepercayaan mereka bahwa rumah supaya kokoh harus berdiri diatas batu).
Umumnya orang Baduy Luar sudah mengenal kebudayaan luar (di luar dari
kebudayaan Baduy sendiri) seperti bersekolah sehingga bisa membaca dan menulis,
bisa berbahasa Indonesia. Selain kain tenunan,gula aren adalah hasil mata
pencaharian mereka, di daerah sana memang banyak terdapat pohon aren. Contohnya
ketika saya dan teman-teman saya memutuskan untuk berisitirahat sebentar di
rumah warga karena kondisi kami yang sangat lelah, salah satu warga Baduy Luar
memberikan kami segelas minuman yang dinamakan minuman Tuak Aren. Saya sempat
tertarik melihat gelas yang memang khas ciri khas orang Baduy yaitu yang
terbuat dari bambu, orang Baduy menyebutnya dengan Somong. Tuak Aren ini
tentunya berbahan baku dari aren yang dipetik langsung dari pohonnya, rasanya
enak dan manis seperti air kelapa. Mereka mengambilkan kami minuman tersebut
dengan menggunakan kale, dibuat dari bahan bambu juga. Akhirnya kami
melanjutkan perjalanan lagi karena itu masih ¼ perjalanan lagi dan masih sangat
panjang perjalanan kami. Saya tertarik karena setiap saya akan bertemu desa
saya melihat ada sebuah rumah kecil, tempat itu bernama lumbung padi. Karena
sebagian besar mereka adalah bertani biasanya mereka menyimpan beras di lumbung
padi itu.
|
Lumbung Padi yang saya maksud. |
Pakaian ciri khas Baduy Luar dan Baduy Dalam sendiri pun hampir
mirip, yaitu kalau Baduy Luar biasanya memakai pakaian hitam dan rok kain selutut
berwarna putih yang mereka buat sendiri tentunya, mereka memang mengandalkan
alam untuk segala hidupnya. Mereka selalu memakai ikat kepala, membawa tas
kain, memakai gelang dan membawa senjata semacam golok yang selalu diikatkan di
pinggangnya.
|
Kami dan teman-teman yang bertemu anak-anak kecil yang hendak pulang menuju Baduy Dalam. |
Akhirnya rasa penasaran saya hilang ketika saya bertanya apa
maksudnya dengan pakaian seperti itu, di mulai dari gelang kainnya yang selalu
dipakai oleh setiap warga Baduy yang mempunyai arti sebagai jimat pelindung,
menjadi salah satu kepercayaan mereka juga, sedangkan kenapa sering membawa
golok? Mereka menggunakan golok, senjata tajam sebagai alat pelindung untuk
melindungi dirinya, contohnya bila di hutan ada buah yang bisa mereka makan,
maka mereka akan membukanya dengan golok tersebut, juga bila ada binatang-binatang
yang akan mencelakai dirinya, intinya sebagai senjata pelindung. Suku Baduy
Luar memang tidak seketat Baduy Dalam, mereka masih bisa menggunakan bahan
elektronik seperti handphone. Baduy Luar maupun Baduy Dalam sama-sama belum
mengenal listrik. Itulah sedikit yang bisa saya ceritakan tentang Baduy Luar.
|
Saya sewaktu di Baduy Luar. | |
|
|
|
Saya mengalami kesulitan sewaktu mendaki, untung ada Kang Jaka! |
Sekarang saya mau certain tentang Baduy Dalam nih sama sobat blogger semua.
Akhirnya setelah menempuh waktu selama 4 jam dan perjalanan sejauh 12km dengan
melewati tanjakan, turunan dan 5 bukit dengan cuaca yang agak gerimis sehingga
tanah merah menjadi licin adalah makanan kita selama perjalalanan ke Baduy
Dalam, kebayang nggak sih? Ohya saya mau cerita lagi, selain Kang Jaka yang
udah nemenin kita selama perjalanan, tadi ketika kami ada di perjalanan kami
kebetulan ketemu warga Baduy Dalam lho! Namanya Kang Syarif, beliau baik juga
mau menemani, membantu kami ketika perjalanan melelahkan kami ke Baduy Dalam.
Akhirnya kami sampai juga di Baduy Dalam sekitar pukul 18.00 perjalanan kami
terbayar sudah dengan keindahan hutan, sungai, air bersih yang menemani kami.
Kami beristirahat sejenak di rumah Kang Syarif yang berada di Baduy Dalam,
mereka sekeluarga sangat ramah dan perhatian. Mereka ternyata orang yang sangat
baik-baik.
|
Ini adalah foto dari Kang Syarif, warga Baduy Dalam. |
Dalam peraturan di Baduy Dalam, para pengunjung luar yang berkunjung
ke Baduy Dalam hanya diperbolehkan semalam saja untuk menginap. Mengingat cuaca
yang sangat mendung pada waktu itu dan hujan pun turun rintik-rintik lama-lama
menjadi besar. Nampaknya Tuhan tau bahwa kita sudah sampai baru hujan
diturunkan-Nya. Seperti yang sudah saya bilang bahwa kami sama sekali tidak
mempunyai rencana apa-apa untuk menginap, pakaian, handuk, selimut, dan
semuanya kami tinggal di rumah Kang Jaka di desa Kanekes itu. Dengan keputusan
bulat kami putuskan untuk menginap mengingat kondisi yang tidak memungkinkan
kami untuk pulang hari, Kang Jaka juga sudah menyarankan kami untuk menginap
sehari saja di Baduy Dalam karena bila pulang hari akan banyak resiko dan akan
sampai pada malam hari. Ketika perjalanan dari Baduy Luar menuju Baduy Dalam,
pada perbatasan yang telah ditunjukkan pada kami bahwa bila sudah melewati
perbatasan tersebut maka segala barang elektronik, kimia, tidak bisa digunakan
lagi.
|
Sungai Cihujung. Perbatasan Baduy Luar dan Dalam. |
|
Perjalanan yang masih panjang. |
Serta menjaga mulut dan menjaga hati juga harus diperhatikan ketika
memasuki kawasan Baduy Dalam. Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan yang masih
terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. Kebudayaan mereka masih asli, dan
sulit sekali masyarakat lainnya yang ingin masuk apalagi tinggal bersama suku
Baduy Dalam, tidak bisa sembarangan orang yang masuk ke wilayah Baduy Dalam,
sampai tulisan ini saya tulis, saya dan teman-teman termasuk orang yang
beruntung bisa masuk sampai ke Baduy Dalam karena jarang sekali diizinkan
karena banyak hari-hari besar dan tidak bisa sembarangan. Orang Baduy Dalam
terkenal teguh dalam tradisininya. Mereka selalu berpakaian warna putih dengan
kain ikat kepala serta golok. Semua perlengkapan ini mereke buat dengan tangan.
Pakaian mereka tidak berkerah dan berkancing, ohya mereka juga tidak beralas
kaki. Mereka pergi kemana-mana hanya berjalan kaki tanpa alas dan tidak pernah
membawa uang, jadi mereka tidak pernah memakai kendaaan. Ketika saya
ngobrol-ngobrol dengan salah satu warga Suku Baduy Dalam bahwa ia pernah ke
Jakarta tepatnya ke MOI-Kelapa Gading, Cirebon, Bogor dengan berjalan kaki
untuk mengunjungi kerabat. Bayangkan! Mereka hanya berjalan kaki, memakai
mobilpun rasanya juga sudah lumayan jauh apa lagi berjalan kaki. Sekali lagi
saya tidak berbohong dan ini merupakan kisah nyata, saya yang mewancarainya
sendiri. Masyarakat luar sulit sekali masuk wilayah Baduy Dalam apa lagi
mengambil fotonya. Ada semacam ketentuan tidak tertulis bahwa ras keturunan
Mongoloid, Negroid, dan Kaukasoid tidak boleh masuk ke wilayah Baduy Dalam. Jika
semua ketentuan adat ini dilanggar maka akan kena getahnya yang disebut kuwalat
atau pamali adalah suku Baduy sendiri. Kepercayaan mereka sendiri adalah Sunda
Wiwitan, percaya ke gusti Allah juga cuma berbeda jalan.
|
Pemandangan indah rumah-rumah suku Baduy. |
Gusti nama suci Allah
yang maha kuasa. Mereka tidak mengenal sekolah, huruf yang mereka kenal adalah
Aksara Hanacara dan Bahasa sehari mereka ialah bahasa Sunda. Mereka tidak boleh
menggunakan peralatan atau sarana dari luar. Jadi bisa dibayangkan mereka hidup
tanpa menggunakan listrik, uang, dan mereka tidak mengenal sekolah. Waktu saya
nginap saya hanya tidur dengan menggunakan lampu minyak, bantal terbuat dari
anyaman bambu dan juga beralas lantai yang terbuat dari bambu. Badan kami
lumayan sakit-sakit ketika bangun dan ditambah cuaca yang sangat dingin. Salah
satu contoh sarana yang mereka buat tanpa menggunakan paku, untuk mengikat
batang bamboo mereka manggunakan ijuk, dan untuk menopang pondasi jembatan
digunakan pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi sungai.
|
Ini adalah jembatan yang Saya maksud. |
Satu lagi sedikit
perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar ialah mereka sudah mau menerima
beberapa bantuan atau pemberian para wisatawan yang datang ke tempat mereka.
Berbeda dengan Baduy Dalam yang memang tidak sama sekali menerima bantuan dari
luar, baik dari masyarakat maupun dari pemerintah.
Termasuk tempat wisata budaya yang
menarik bukan? Benar sekali, kearifan suku Baduy ini memang bisa kita jadikan
objek wisata budaya yang menarik agar kita bisa lebih mengenal suku-suku yang
ada di Indonesia dan akan menumbuhkan lagi dan lagi kecintaan kita pula
terhadap kebudayaan kita. Alam yang masih asri dan menjadikan sebuah spot yang
menarik untuk dikunjungi. Jadi tunggu apa lagi, jadilah orang selanjutnya
setelah saya untuk segera mempersiapkan liburan kalian untuk mengunjungi Suku Baduy
yang berada di provinsi Banten ini. Selamat berpetualang!
|
Foto bersama sebelum akhirnya kami pulang, |
|
Saya ketika mendaki. |
INI ADALAH VIDEO SAYA!! SELAMAT MENYAKSIKAN DAN TERIMAKASIH :))
http://www.youtube.com/watch?v=B8F-EDOjsBs&feature=youtu.be
HEBAT MEREKA
ReplyDelete