oh iya videonya hanya 20 menit 38 detik tapi di youtubenya 41 menit 17 detik.. mohon maaf ya.. ^^v
Stereotype Pernikahan Antar Budaya
Nama : Yapriyansin
NIM : 11140110154
Kelas : B1
Jujur aja hanya terus terang bingung mau membuat apa untuk tugas Ujian Akhir Semester ini. Setelah melalui konsultasi yang cukup panjang mulai dari ingin ke Kampung Betawi, Kampung Naga, bahkan sampai ke daerah Dayak di Kalimantan. Akhirnya saya memutuskan untuk melakukan penelitian yang sedikit berbeda dengan teman-teman saya yang lain. Kalau teman-teman saya meneliti tentang budaya-budaya dalam sebuah daerah. Untuk tugas ini saya memilih meneliti tentang pernikahan.
Semua orang di dunia ini pasti ingin menikah, termasuk saya ingin mencapai jenjang tersebut. Namun kebanyakan pasangan suami dan istri ini sebagian berasal dari adat dan suku yang sama, misalnya : orang Jawa menikah dengan orang Jawa, orang Batak menikah dengan orang Batak, dan lain sebagainya, tetapi ada juga sebagian orang yang menikah dengan latar belakang adat dan suku yang berbeda, misalnya : orang Jawa dengan orang Batak, orang Cina dengan orang Manado, dan lain sebagainya. Sehingga menimbulkan sebuah persilangan budaya yaitu akulturasi budaya. Nah makanya, saya menjadi tertarik untuk meneliti hal tersebut karena berdasarkan fenomena yang terjadi di Indonesia dan mungkin di seluruh dunia juga mengalaminya.
Berikutnya di sini saya juga membahas tentang Stereotip, kenapa Stereotip ini saya kaitkan dengan pernikahan? Jawabannya adalah saya ingin melihat apakah terdapat benturan-benturan yang terjadi di dalam sebuah pernikahan karena sebuah stereotip dari masing-masing pihak baik dari suami, istri, pihak keluarga suami ataupun istri, serta mungkin dari sahabat atau kerabat juga dapat mempengaruhi hal tersebut.
Stereotip menurut Larry A. Samover dalam Buku Komunikasi Lintas Budaya adalah sebuah bentuk kompleks dari pengelompokan yang secara mental mengatur pengalaman Anda dan mengarahkan sikap Anda dalam menghadapi orang-orang tertentu. Sedangkan menurut Psikolog Abbate, Boca, dan Bocchiaro Stereotip merupakan susunan kognitif yang mengandung pengetahuan, kepercayaan, dan harapan si penerima mengenai kelompok sosial manusia. Stereotip dapat dalam bentuk yang negatif maupun positif, tetapi biasanya Stereotip itu muncul dalam bentuk negatif.
Dalam penelitian ini saya mewawancarai 2 keluarga yakni Bapak Erieck Tan dan istrinya bernama Ibu Melly. Namun sayang pada saat wawancara istri Pak Erieck sedang bekerja. Pak Erieck bekerja sebagai seorang pendeta di salah satu gereja di daerah Modernland keturunan Chinese sedangkan istrinya bekerja sebagai salah satu Marketing di sebuah perusahaan yang merupakan keturunan Batak. Keluarga berikutnya yang saya wawancara adalah Bapak Daniel dan Ibu Hadasah. Mereka bekerja sebagai pedagang di salah satu ruko di daerah Citra Raya. Bapak Daniel adalah seorang Padang sedangkan istrinya adalah orang Jawa.
Dalam wawancara ini saya mengusung tema yang sangat santai, sehingga terlihat suasana seperti teman. Dalam wawancara tersebut saya mencoba menggali informasi dan pengalaman mereka selama berumah tangga apakah terdapat stereotype selama menjalani hubungan baik ketika masih berpacaran maupun sudah menikah.
Pertanyaan pertama yang saya ajukan kepada Pak Erieck dan Pak Daniel sama yaitu tentang adat yang lebih dominan saat menikah. Pak Erieck memberikan jawaban bahwa pada saat mereka menikah mereka tidak menggunakan adat manapun dalam pernikahan mereka jadi pernikahan mereka menggunakan resepsi international yang biasa banyak di gunakan oleh orang-orang karena mereka sudah berkomitmen untuk tidak menggunakan adat manapun dalam pernikahan mereka, orang tua mereka dapat menerima hal tersebut, serta orang tua Ibu Melly yang tidak terlalu kaku (ortodoks) dengan mewajibkan anaknya menikah dengan cara Batak. Sedangkan dalam pernikahan pak Daniel dan ibu Hadasah mereka hanya menggunakan adat Jawa, tidak menggunakan adat Padang karena mereka tinggal di daerah Jawa maka mereka menikah dengan adat Jawa. Sempat terlintas di pikiran saya pada awalnya, mungkin ada keberatan dari pihak Bapak Daniel mengenai adat yang di gunakan dalam pernikahan mereka, tetapi dugaan saya salah karena orang tua Pak Daniel menerima resepsi pernikahan yang di lakukan hanya dengan adat Jawa.
Pertanyaan kedua yang saya berikan kepada kedua narasumber ini adalah “Apakah ada Stereotype yang muncul saat menjalin hubungan Pra Nikah?”. Jawaban Pak Erieck kepada saya adalah Stereotype itu muncul ketika ada orang Batak yang masih menjalankan adat Batak pasti akan menanyakan beberapa hal kepada Pak Erieck dan Ibu Melly seperti contohnya, “Kenapa tidak menggunakan adat Batak waktu menikah?”, “Marga Pak Erieck apa?” karena seharusnya Pak Erieck memiliki marga sendiri. Namun menurut penuturan Pak Erieck, semua itu dapat di atasi dengan baik, begitu juga ketika Ibu Melly masuk ke dalam keluarga besar Pak Erieck, keluarga mereka dapat menerima dengan baik Ibu Melly. Jadi tidak ada stigma-stigma negatif yang muncul dalam rumah tangga mereka baik dari segi keluarga. Sedangkan jawaban Pak Daniel kepada saya adalah hal tersebut ada terutama sebelum dia merantau karena ada pola pikir dari orang-orang Padang bahwa kalau bisa mencari pasangan hidup yang sama-sama dari suku Padang, tetapi Pak Daniel sendiri kurang setuju dengan hal tersebut karena menurut dia tidak ada sebuah jaminan yang pasti kalau kita menikah dengan satu suku yang sama akan lebih lama dengan suku yg berbeda, begitu pula yang di alami oleh Ibu Hadasah. Pada awal hubungan mereka sempat mendapat halangan dari orang tua dari Ibu Hadasah karena pemikiran mereka yang mengharapkan kalau bisa mendapat pasangan yang berasal dari suku yang sama dalam hal ini suku Jawa. Hal itu memerlukan waktu yang tidak sedikit, Pak Daniel untuk meyakinkan orang tua Ibu Hadasah membutuhkan waktu 1 tahun agar bisa di terima oleh keluarga Ibu Hadasah. Selama 1 tahun itu, Pak Daniel berusaha menjadi orang yang bertanggung jawab, misalnya pada saat pergi jalan-jalan harus minta ijin sama orang tuanya lalu membawa kembali anaknya ke rumah orang tuanya agar dapat terjadi kepercayaan dari pihak orang tua.
Pertanyaan ke tiga yang saya ajukan kepada kedua narasumber saya adalah “Apakah pernah terjadi Konflik Antar Budaya pada saat mereka sudah menikah?”. Pak Erieck menjawab bahwa konflik yang terjadi dalam rumah tangganya hanya merupakan masalah-masalah biasa yang sudah sering terjadi dalam rumah tangga, jadi tidak merembet sampai menghina-hina suku. Sedangkan dari Pak Daniel sendiri menjawab bahwa tidak ada konflik-konflik dalam rumah tangga yang berasal dari suku karena menurut Pak Daniel jangan jadikan perbedaan sebagai perpecahan.
Pertanyaan ke empat yang saya berikan kepada mereka adalah “Apa sikap yang di ambil ketika terjadi konflik dalam rumah tangga?”, di dalam buku Larry A Samover tentang manajemen konflik ada beberapa perspektif yaitu perspektif Amerika dan perspektif International yang terdiri dari beberapa cara mengatasi konflik dari beberapa Negara. Dalam perspektif Amerika ada 4 hal yang di lakukan dalam mengatasi konflik, yaitu : Menghindar, Akomodasi, Kompetisi, dan Kolaborasi. Dalam wawancara saya dengan Pak Erieck terlihat bahwa penyelesaian masalah yang di lakukan oleh Pak Erieck dan Ibu Melly adalah Kolaborasi karena mereka berusaha memecahkan masalah dengan melakukan komunikasi dan mencari jalan keluar dari masalah yang ada bersama-sama. Sedangkan dalam keluarga Pak Daniel dan Ibu Hadasah mereka cenderung menggunakan perspektif Menghindar karena dalam penuturannya jika salah satu pihak ada yg sedang emosi maka pasangannya akan cenderung diam untuk menenangkan diri, tetapi apabila sudah mulai tenang kondisinya maka mereka akan menggunakan Kolaborasi untuk menyelesaikan masalah mereka.
Pertanyaan ke lima yang saya ajukan kepada mereka adalah “Apakah ada ketidak-cocokan budaya dalam berumah tangga?” Menurut Pak Erieck selama menjalani hubungan berumah tangga dengan Ibu Melly tidak ada ketidak-cocokan budaya dalam berumah tangga karena menurut Pak Erieck suku dan adat istiadat tidak mempengaruhi pernikahan mereka. Sedangkan menurut Pak Daniel secara pribadi menyatakan ada budaya yang kurang di sukai dari budaya sang istri yaitu tentang prinsip kalau mencari pasangan itu jangan orang jauh yang bagi Pak Daniel itu merupakan semacam doktrin serta ada juga adat yang agak-agak aneh dan di luar akal sehat kita dan dari Ibu Hadasah sendiri mengaku tidak ada ketidak-cocokan budaya selama menjalankan rumah tangga.
Pertanyaan ke enam yang saya ajukan kepada mereka adalah “Apakah ada ketertarikan untuk mempelajari budaya pasangan?”. Jawaban Pak Erieck adalah hal itu pasti terutama mempelajari Bahasa Batak karena bagi Pak Erieck bahasa itu penting dan juga sebagai salah satu alat komunikasi karena mempelajari sebuah bahasa itu dapat memberikan sebuah dampak yang positif dan juga menambah pengetahuan dalam bidang bahasa supaya dapat bisa berkomunikasi dengan orang Batak. Sedangkan dari Pak Daniel dan Ibu Hadasah sendiri ketertarikan untuk mempelajari budaya pasangan ini keluar dari mulut sang istri, “Kalau saya yang mau di pelajari dari Padang itu masak, masaknya orang Padang.”, kata Ibu Hadasah sambil tertawa. Memang Padang terkenal sekali dengan Restoran Padang yang menjamur di hampir seluruh jalan-jalan yang ada di manapun kita berada.
Pertanyaan ke tujuh ini yang saya ajukan kepada Pak Erieck karena beliau merupakan seorang pendeta. Pertanyaan yang saya ajukan kepada Pak Erieck adalah “Apakah menikah campur itu sah-sah saja?”. Menurut Pak Erieck menikah campur itu sah-sah saja, kembali ke komitmen masing-masing pasangan. “Namanya jodoh kan siapa yang tahu.”, kata Pak Erieck. Karena menurut Pak Erieck tidak menjamin bahwa orang yang menikah dengan satu suku atau satu adat istiadat akan menjamin kebahagiaan? Belum tentu! Beliau juga menambahkan bahwa menikah itu harus satu kepercayaan dalam hal ini agama. Jadi bagi Pak Erieck menikah dengan orang yang budayanya berbeda dengan kita itu tidak masalah yang terpenting adalah harus memiliki kepercayaan yang sama agar ke depannya pola pikir dan pandangannya itu sama.
Pertanyaan ke delapan yang saya ajukan kembali kepada kedua narasumber saya “Pesan-pesan bagi orang yang menikah campur.”. Pak Erieck berpesan kepada orang-orang yang menikah campur adalah kalau misalnya sedang mengalami sebuah masalah dalam rumah tangga “Jangan mencampur adukkan suku dalam sebuah pernikahan” karena menurut Pak Erieck hal tersebut sangat tidak jantan dalam berumah tangga. Dalam berumah tangga pasti ada masalah dan masalah itu pasti ada jalan keluarnya, tidak ada sebuah masalah yang tidak meiliki jalan keluar. Oleh karena itu, Pak Erieck menyampaikan dasar dari sebuah pernikahan adalah kerohanian. Berikutnya “Komunikasi yang baik dapat memperkuat pernikahan” karena dengan komunikasi semua dapat berjalan dengan baik. Sedangkan dari Pak Daniel berpesan bahwa sebelum maju ke dalam sebuah jenjang pernikahan “Kita harus tahu tujuan kita menikah untuk apa karena tidak menjadi jaminan bahwa keluarga bahagia itu karena suka sama suka dan juga Pak Daniel memiliki sebuah prinsip bahwa menikah itu adalah untuk menggenapi Rencana Tuhan bukan cuma untuk memperoleh keturunan karena ada beberapa pasangan yang cerai ketika sulit punya keturunan.
Ketika saya hampir menyelesaikan wawancara saya dengan Pak Daniel dan Ibu Hadasah saya teringat akan sebuah pengakuan dari Ibu Hadasah bahwa sebelum menjadi seorang Kristen, dia adalah seorang Muslim, oleh karena itu saya tertarik untuk menanyakan lebih jauh mengenai pertanyaan ini. Saya bertanya kepada Ibu Hadasah “Apakah ada pandangan negatif terhadap budaya beragama yang lain?”. Kemudian Ibu Hadasah bercerita bahwa sebelum mengenal agama Kristen, terdapat sebuah pandangan negatif terhadap orang Kristen seperti contohnya : Orang Kristen itu Kafir tetapi setelah Ibu Hadasah mempelajari budaya orang Kristen akhirnya pandangan tersebut hilang. Kemudian Pak Daniel juga menambahkan sedikit bahwa ada hal yang perlu di pelajari dari orang Muslim kepada orang Kristen melalui pengamatan Pak Daniel kebanyakan orang-orang Kristen dalam hal berpacaran terlalu bebas sedangkan dalam prinsip orang Muslim ada terdapat batasan-batasan dalam hal berpacaran contohnya : jika sudah jam 10 malam kita masih pacaran di rumah, maka akan di datangi oleh pemuda-pemuda dan kita akan di tegur oleh mereka. Pak Daniel juga mengakui bahwa orang Muslim itu lebih baik dalam soal menjaga tata krama, sopan santun, penghormatan terhadap orang tua atau yang lebih dewasa mereka masih lebih baik di bandingkan dengan orang Kristen.
Dari wawancara yang saya lakukan ini, terlihat bahwa orang-orang di Indonesia masih memiliki stereotype negatif terhadap orang-orang yang berbeda dengan mereka, baik secara suku, agama, dan lain-lain. Mengapa demikian? Kalau saya mencoba untuk menjawabnya mungkin karena kurangnya pengetahuan dari masyarakat kita terhadap budaya-budaya yang berada di luar mereka sehingga muncullah sebuah stereotype negatif yang dapat membuat orang-orang merasa tidak nyaman jika berada di dekat mereka karena takut apa yang mereka pikirkan itu terjadi dengan mereka. Kemudian menurut saya stereotype juga bisa muncul karena sudah di doktrin secara kuat di dalam pemikiran mereka oleh orang tua mereka seperti yang di ceritakan oleh Pak Daniel dan Ibu Hadasah tadi bahwa stereotype atau pandangan itu muncul ketika waktu awal-awal menjalani hubungan, tetapi semua itu bisa di selesaikan dengan baik jika kita bisa menjaga kepercayaan yang di berikan serta di perlukan keterbukaan dari masing-masing pihak keluarga bahwa tidak harus kalau dalam melangsungkan pernikahan harus dengan orang yang memiliki kesamaan suku karena menurut ke dua narasumber saya, kebahagiaan tidak terjamin karena menikah dengan suku yang sama.
Demikian essai ini di buat, saya mengucapkan terima kasih kepada Tuhan yang Maha Esa dan teman saya Agin yang sudah membantu saya mengedit video untuk tugas KAB ini dan memberikan masukan-masukan yang dapat bermanfaat untuk interview berikutnya. Terima kasih atas perhatian kalian dan mohon maaf bila terdapat kesalahan dalam penulisan kata-kata dan juga mohon maaf bila ada pihak yang tersinggung dengan tulisan saya.. TERIMA KASIH! :D
No comments:
Post a Comment