Nama : Ivan Linggo
NIM : 11140110063
Kelas : E1
Jika
kita berbicara tentang kata “gimbal”, pastinya secara cepat yang langsung
tergambar di benak banyak orang adalah sebuah gaya rambut. Panjang dan terlihat
agak kurang dipelihara menjadi ciri khas yang menempel di benak sebagian besar
orang kepada mereka yang memiliki rambut gimbal. Selain itu, model rambut yang
begitu tidak biasa di masyarakat luas ini sangat melekat dan umumnya menjadi
tanda utama orang yang mencintai musik reggae. Bob Marley, seorang tokoh
panutan dibidang permusikan reggae dan pemilik model rambut gimbal ini lah yang
menjadi salah satu penyebab model rambut ini mulai disukai dan diminati banyak
orang. Mereka yang telah terpengaruh gaya ini akan memanjangkan rambutnya dan
secara sengaja membuat rambutnya itu hingga tampil menjadi gimbal.
Kejadian
serupa juga terjadi ketika kita membicarakan sebuah kata lain yaitu “gembel”.
Memang arti dari dua kata tersebut itu berbeda. Namun, ada kemiripan fenomena
di masyarakat yaitu munculnya pemikiran langsung atau presepsi spontan di
pikiran ketika kata “gembel” itu kita ucapkan. Hampir seluruh orang akan
langsung mengidentikkan kata “gembel” dengan masyarakat yang memiliki ekonomi
rendah. Khalayak ramai menganggap kata ini selalu sebagai penanda atau
pelambangan untuk orang-orang yang mengemis, mengenakan pakaian compang
camping, memungut sampah untuk hidup,
tidur di kolong jembatan, tinggal dalam rumah kardus, dan lainnya.
Namun,
kata “gimbal” dan “gembel” dipandang dari sudut pandang berbeda oleh masyarakat
yang hidup, tinggal, serta menetap di desa Dieng, Jawa Tengah. Desa ini
terletak cukup jauh dari kota besar karena berada pada ketinggian diatas seribu
delapan ratus meter diatas permukaan laut. Akibat letak geografisnya yang dapat
dibilang tinggi, temperature suhu udara di kawasan ini pun dapat terbilang
dingin. Bagi mereka yang menyukai atau bahkan terbiasa dengan udara pegunungan
yang notabene lebih dingin, tentu ketika datang ke Dieng tidak akan mengalami
masalah dengan suhu udara disana. Satu hal yang tidak mungkin diingkari dan
pasti semua orang setuju adalah air. Sesuka apapun atau bahkan seterbiasa
apapun diri orang itu dengan suhu udara dingin, mereka tidak akan bisa berkata
tidak dingin ketika mandi di pagi hari.
Mari
kita kembali ke topik kita sebelumnya yaitu tentang kata “gimbal” dan “gembel”.
Keunikan masyarakat Dieng terhadap kedua kata tersebut menarik perhatian saya
dan delapan orang teman lainnya untuk datang kesana. Kedua kata yang jika dalam
kehidupan bermasyarakat umum merupakan dua kata yang sangat jauh berbeda arti
maupun penampakan nyata. Namun, di depan warga Dieng, kedua kata ini adalah dua
buah kata yang memiliki arti sama. Tidak hanya arti tetapi juga bentuk nyata
yang sama. Arti yang mereka percayai sebagai kesamaan dari kata tersebut adalah
sebuah model rambut yang menyerupai rambut si bintang reggae terkenal kita
yaitu tidak lain dan tidak bukan adalah Bob Marley.
Eits,
tapi model rambut gimbal ini bukan seperti model rambut gimbal yang sudah biasa
kita temui atau pun yang pada paragraph pertama tadi sudah kita bicarakan. Keunikan
utama pada rambut gimbal di Dieng ini adalah rambut gimbal yang dimiliki oleh
masyarakat di daerah itu bukanlah sebuah model rambut yang dibuat secara
sengaja. Knapa, sudah mulai bingung? Model rambut gimbal ini tumbuh dengan
sendirinya secara alami dan tidak ada campur tangan manusia sama sekali. Rambut
ini akan tumbuh secara tiba-tiba dan terjadi peleketan atau penggumpalan secara
alami. Faktor tambahan yang menjadikan rambut gimbal atau gembel ini semakin
unik adalah orang-orang yang bisa mendapatkan model rambut ini hanyalah mereka
yang masih tergolong anak-anak. Tidak ada orang yang berada pada jenjang usia
remaja, dewasa, maupun lansia yang secara tiba-tiba tumbuh rambut gimbal di kepala
mereka. Maka dari itu, keunikan budaya di wilayah Dieng lebih dikenal bukan
dengan “orang gembel” melainkan dengan “anak gembel”.
Sebenarnya
jika kita pelajari lebih dalam, rambut gembel ini juga kurang pas rasanya jika
dikatakan tumbuh secara tiba-tiba. Ada ciri-ciri atau gejala awal sebelum
rambut gembel ini muncul pada anak-anak. Gejala yang akan timbul bukanlah
sebuah kejadian yang sangat unik dan berbeda dari hal yang sudah ada. Gejala
itu adalah sakit demam. Biasanya demam tinggi dialami oleh anak-anak yang akan
ditumbuhi gembel. Namun, yang hingga sekarang masih menjadi permasalahan bagi
warga khususnya orang tua anak yang akan ditumbuhi gembel adalah tidak ada
perbedaan antara sakit demam biasa dengan sakit demam awal kemunculan gembel.
Kebanyakan orang tua tekadang
bingung dan mengira demam yang menimpa anak mereka adalah penyakit biasa yang
bisa disembuhkan dengan tindakan medis tetapi ketika sudah dilakukan, sang anak
malah tak kunjung sembuh dan tetap menderita demam tinggi. Para orang tua pun
menjadi panik dan berusaha kesana kemari mencari cara untuk menyembuhkan anak
mereka. Ketika semua cara yang terpikirkan sudah dilakukan dan si anak belum
juga sembuh, biasanya yang terjadi
adalah muncul gumpalan kecil baik satu ataupun lebih di kepala si anak pada
pagi hari. Hal itu menjadi pertanda bagi orang tua bahwa anak mereka menjadi
anak gembel. Kekhawatiran secara cepat menghilang karena anak yang sudah mulai
tumbuh rambut gembelnya pasti akan mengalami kesembuhan secara alamiah tanpa
perlu tindakan lanjutan dari pihak medis. Setelah sembuh, anak yang telah
dikaruniai gembel ini akan menjadi lebih aktif disbandingkan dengan anak lain
ataupun pribadi anak itu sendiri saat masih normal. Selain itu, dipercaya bahwa
anak yang telah mendapat gembel akan lebih kebal terhadap kejadian merugikan
yang ada di sekitar mereka.
Walaupun hanya anak-anak yang bisa
memiliki rambut gembel tetapi tidak semua anak yang berada di desa Dieng bisa
memilikinya. Bahkan, besarnya wilayah Dieng yang terbagi atas beberapa kampung
lagi ini dapat dihitung jumlah anak yang menjadi anak gembel. Selama ini jumlah
anak gembel terbanyak dari satu kampung yang pernah dimiliki kurang lebih
sekitar lima orang. Anak yang menjadi gembel pun tidak memiliki riwayat
keturunan langsung sebagai gembel. Kakek nenek dan orang tua dari si anak
gembel ini biasanya hanyalah masyarakat biasa. Leluhur yang amat jauh dari anak
gembel ini yang umumnya pernah menjadi seorang anak gembel.
Seorang pemangku adat yang biasanya
dipanggil Mbah Naryono oleh warga setempat memaparkan bahwa kisah anak gembel
ini memiliki sebuah mitos. Dikatakan bahwa gembel ini adalah sebuah titipan
dari laut kidul. Penitipan ini bisa sampai ke warga Dieng melalui dua orang
leluhur yaitu Mbah Agung Kolodete dan Ninik Dewi Roro Runcing. Akibat dari posisinya
sebagai titipan, maka tidak semua anak yang ada di Dieng menjadi anak gembel.
Masyarakat pun meyakini anak gembel merupakan anak-anak pilihan yang layak
menerima gembel dengan segala konsekuensinya yang akan terjadi walau itu baik
atau buruk.
Walau rambut gembel terlihat seperti
sebuah berkah, tapi ada satu ritual yang harus mengakhiri masa seorang anak
menjadi anak gembel. Ritual yang dimaksud itu adalah ritual ruwat. Ruwat adalah
sebuah ritual dimana rambut gembel akan dipotong dari anak gembel. Ritual ini
wajib dijalani oleh semua anak gembel. Namun, anak gembel hanya bisa menjalani
prosesi ruwat ini ketika memenuhi dua persyaratan. Syarat pertama adalah si
anak gembel sudah meminta atau sudah mengetahui persembahan apa yang mereka
inginkan ketika menjalankan prosesi ruwat. Persembahan yang diminta pun
diyakini bukanlah keinginan yang berasal dari anak gembel itu sendiri. Persembahan
yang diutarakan oleh anak gembel diyakini warga berasal dari rambut gembelnya
yang memiliki penunggu. Hipotesis itu bisa muncul dikarenakan dari masa dahulu
hingga sekarang, anak gembel tidak pernah meminta persembahan berupa mainan
atau barang elektronik yang sesuai dengan trend serta perkembangan jaman.
Persyaratan kedua yang harus
digenapi sebelum seorang anak gembel terlibat dalam prosesi ruwat adalah si anak
gembel harus sudah memiliki gigi tetap. Karena yang dianugrahi gembel ini
adalah anak-anak, maka mereka pasti masih memiliki gigi susu. Gigi susu mereka
harus sudah tanggal dan sudah digantikan oleh gigi asli. Kedua persyaratan yang
dibutuhkan untuk prosesi ruwat sangat harus digenapi sebelum menjalaninya. Salah
satu saja persyaratan tidak digenapi hanya akan membuat si anak gembel itu
menderita. Penderitaan yang dimaksud adalah sakit demam yang cukup panjang
harus dialami kembali oleh anak gembel akibat rambut gembel mereka itu akan
kembali tumbuh dan jika tidak melakukan ritual ruwat hingga dewasa maka si anak
gembel yang telah dewasa ini akan mengalami stress yang cukup berat. Maka,
melaksanakan persyaratan tanpa terkecuali adalah sebuah keharusan untuk melakukan
ritual ruwat agar berjalan lancar sesuai yang semestinya.
Prosesi ruwat yang dijalani oleh
anak gembel sebagai kewajiban tentu juga ada tata cara yang harus diikuti. Prosesi
akan dimulai dari komplek sedang sedayu. Dalam komplek ini anak gembel yang
mengikuti prosesi ruwat akan berarak masuk mengikuti pemangku adat. Sang pemangku
adat berjalan menuju sebuah sumur yang ada di pojok komplek sedang sedayu. Sesampainya
di sumur, pemangku adat akan mengucapkan mantra dan doa yang harus digunakan. Setelah
itu, sumur ini akan menjadi lokasi dimana anak gembel akan dimandikan oleh
pemangku adat menggunakan air yang berasal dari dalam sumur bersama dengan
kembang tujuh rupa.
Ritual ruwat kembali dilanjutkan
dengan meneruskan pengarakan dari sumur menuju kawasan komplek candi arjuna. Terdapat
lima candi berbeda di dalam komplek ini. Sesampainya di komplek candi arjuna
yang letaknya tidak begitu jauh dari komplek sedang sedayu, pemangku adat akan
berhenti di depan salah satu candi untuk masuk ke dalamnya lalu kembali
mengucapkan mantra serta doa. Seperti sebelumnya, pemangku adat yang selesai
mengucap mantra dan doa akan memanggil anak gembel satu persatu secara
bergantian. Ini adalah saat ketika rambut gembel akan dipotong dan berpisah
dari kehidupan anak gembel. Selanjutnya, potongan rambut gembel akan dibungkus
dengan kain mori yang berwarna putih seperti dikafankan. Potongan rambut gembel
yang sudah dibungkus dengan kain mori ini akan dibawa ke sbuah tempat yang
bernama telaga warna. Ditempat ini ptonga rambut gembel akan dihanyutkan atau
yang masyarakat Dieng sebut dengan pelarungan. Pelarungan di telaga warna yang
terhubung dengan laut kidul ini bukan bermaksud untuk membuang potongan rambut
melainkan untuk mengembalikan titipan kepada alam.
Kentalnya kepercayaan masyarakat di
Dieng ini masih sangat jelas terlihat dengan sikap dan perilaku yang menyikapi
peristiwa anak gembel ini. Percaya bahwa rambut gembel merupakan titipan dari
laut kidul yang melalui leluhur dan adanya penunggu pada rambut gembel yang
seakan menemani serta melindungi anak gembel membuat peristiwa ini sangat erat
dengan hal mistis. Hal-hal yang telah ada dan masih terlaksana hingga sekarang
ini membuat masyarakat Dieng menjadi kelompok yang tergolong animisme. Animisme
merupakan perilaku hidup dimana masyarakatnya masih percaya akan hal-hal mistis
dan kehadiran roh para leluhur yang dapat melindungi mereka.
Keyakinan akan kehadiran rambut
gembel yang memiliki campur tangan dari dewa-dewa akibat kisah mitos yang
bermula pada masa kerajaan Hindu Budha ini juga membuat masyarakat Dieng masuk
ke dalam golongan kelompok politeisme. Namun, masyarakat di desa Dieng tidak
menganut sistim animisme dan politeisme secara seratus persen. Mereka tetap
percaya akan adanya agama dan sebagian besar dari warga Dieng saat ini menganut
agama Islam. Mungkin kejadian ini memang terkesan aneh jika dilihat oleh
masyarakat di daerah perkotaan yang lebih berpihak kepada kepercayaan agama
dibandingkan kepada animisme ataupun politeisme, terlebih jika mengingat kita
sudah berada pada abad ke dua puluh satu dimana dunia modern yang lebih
berkuasa.
Akulturasi atau penyesuaian terhadap
budaya baru juga terjadi di wilayah desa Dieng ini. Tanda nyata dari akulturasi
yang paling mudah terlihat terdapat pada prosesi ruwatan. Dalam ritual ruwat,
keseluruhan prosesi dari awal hingga selesai dilakukan dengan tata cara dan
budaya Isalm. Namun, tempat-tempat yang terlibat bahkan menjadi lokasi penting
dalam ritual ruwat itu sendiri merupakan peninggalan dari kerajaan yang
bercorak Hindu Budha. Contoh yang paling mudah adalah ketika tahap pemangku
adat berdoa dan mengucap mantra sebelum memotong rambut gembel. Doa dan mantra
yang digunakan berlandaskan hukum Islam, tetapi lokasi pastinya adalah salah
satu candi dar komplek candi arjuna yang merupakan peninggalan kerajaan Hindu
khususnya aliran pemuja dewa Siwa.
Jika ingin dikulik secara lebih
spesifik lagi, masyarakat Dieng juga menerapkan sikap integrasi pada kegiatan
yang dilaksanakan oleh mereka baru-baru ini. Integrasi adalah sebuah sikap
dimana orang atau kelompok tetap mempertahankan budaya asli mereka tetapi
berinteraksi dengan budaya lain dalam kehidupan sehari-hari dan mengambil nilai
positif dari budaya lain yang mereka temui tersebut. Dipelopori oleh Mas Alif
yang merupakan ketua pelaksana ritual ruwat sekaligus acara Dieng Culture
Festival, masyarakat dieng memperkenalkan budaya mereka kepada dunia dan
mempersilahkan siapapun yang ingin melihat serta menerima budaya mereka dengan
interaksi yang terjadi ketika pengunjung tersebut hadir ke acara Dieng Culture
Festival.
Hal ini secara sadar maupun tidak
sadar membuat warga desa Dieng menjadi kelompok masyarakat yang terbuka. Pemikiran
dalam benak pribadi bahwa budaya diri sendirilah yang paling luar biasa terus
menjauh dan semakin memudar. Kebesaran hati dan kebijakan yang perlahan mulai
tumbuh ini membuat masyarakat Dieng menjauh dari sifat Etnosentrisme yang dapat
menjadi penghambat dan penghalang dari kegiatan yang bertujuan melakukan tindak
akulturasi.
No comments:
Post a Comment