Nama : Johanes Agung Kurniawan
Kelas : E1
Rambut
Gembel dari Di Hyang
Rambut yang berbentuk gimbal ini,
atau yang masyarakat Dieng sebut anak gembel adalah sebuah fenomena unik yang
dapat ditemui di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah. Saya dan beberapa teman
mencoba untuk mengulik lebih dalam mengenai fenomena ini. Maka, pada tanggal 30
Desember 2012 kami bersembilan berangkat menuju salah satu desa di Dieng yakni
Desa Banteng.
Dieng sendiri merupakan sebuah
dataran tinggi yang terbagi menjadi 2 wilayah, yakni Dieng bagian Kabupaten
Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Perbatasan antara 2 kabupaten ini ditandai
dengan tugu dan sungai. Letaknya yang berada 2000 meter di atas permukaan air
laut, membuat Dieng bersuhu dingin. Di siang hari, suhu mencapai 15 – 20
derajat celcius, sedangkan di malam hari suhu bisa mencapai 10 derajat celcius.
Itu, tidak seberapa di bandingkan saat musim kemarau yang bisa mencapai 0
derajat celcius dan menyebabkan embun di pagi hari menjadi lapisan es.
Itulah megapa tidak mengherankan,
setiap saya melihat ke kiri dan kanan, selalu di isi dengan hamparan kebun
sayur dan buah – buahan. Memang sebagiaan warga Dieng adalah bertani sayur dan
buah. Komoditi utama mereka adalah kentang dan carica. Apakah anda kenal
carica? Terdengar asing bukan? Ya, carica adalah pepaya khas Dieng yang hanya
bisa tumbuh di Dieng saja. Bibit carica tidak akan berbuah apabila ditanam di
luar Dieng. Rasanya yang manis memang pas untuk dijadikan manisan, seperti yang
dijual para warga Dieng sebagai oleh – oleh khas.
Warga
Dieng sendiri mempunyai kebiasaan yang unik untuk mengatasi rasa dingin. Di
dapur rumah, akan tersedia karpet dan bangku kecil atau dalam bahasa Jawa
disebut dingklik. Masyarakat Dieng
akan duduk di sana dan mengitari sebuah tungku menyala berbahan bakar arang
kayu.
Kegiatan
ini disebut gegenen (diambil dari kata geni = api) dan biasanya lebih banyak
dilakukan oleh kaum pria. Ya kalau bahasa kerennya nongkrong. Saat gegenen
biasanya dibarengi dengan ngopi atau sekedar ngobrol saja. Ini merupakan
pengalaman pertama bagi saya dan dari sini dapat terlihat sifat kekeluargaan
warga Dieng. Bagi warga Dieng yang memang masih sangat kental denga budaya
Jawa, tamu adalah raja dan sebisa mungkin dijamu dengan sebaik – baiknya.
Itulah mengapa saya dan teman – teman sangat diperhatikan di sini dan sudah
dianggap bagian dari keluarga ini.
Selama
saya berada di Dieng, saya menginap di homestya dan betapa beruntungnya saya
ketika saya tahu bahwa saya menginap di rumah yang memiliki seorang anak
berambut gembel. Hal ini tentu saja akan mempermudah saya dalam melakukan
observasi dan membuat saya lebih mudah untuk meakukan pendekatan personal ke
anak gembel
Najwa : Aku mau embek dua...
Hari
pertama di homestaya saya justru tidak bertemu dengan si anak gembel itu.
Penasaran dengan dirinya, seperti apa rambutnya, bagaimana kesehariaanya harus
saya tahan sampai malam hari, karena begitu tiba di Dieng saya harus segera
bergegas menuju rumah dari pemangku adat. Setelah seharian meliput di rumah
pemangku adat dan rumah dari panitia acara ruwatan (pemotongan) rambut gembel,
saya pulang ke rumah dan beristirahat.
Hawa dingin di malam hari sedikit
terobati dengan segelas kopi hangat buatan Ibu homestay. Sembari menyeruput
kopi dan menyortir video dan foto di kamera, dari arah samping, tepatnya
sebelah kiri saya ada anak kecil berlari keluar dari kamar menghampiri ibunya
dan bener dugaan saya itu dia yang saya cari, anak berambut gembel, Najwa.
Najwa masih berusia 5 tahun dan
duduk di bangku taman kanak – kanak. Kesehariannya sama seperti anak kecil pada
umumnya, bermain dan senang bermanja dengan ayah ibunya. Yang membedakan secara
signifikan ya tumbuhnya rambut gembel di sela – sela rambut aslinya. Jadi,
ternyata rambut gembel itu tidaklah menyeluruh, melainkan hanya beberapa rambut
saja.
Tumbunya rambut gembel akan ditandai
dengan sakit panas dengan suhu tinggi bahkan disertai dengan kejang. Hal itu
juga dialami oleh Najwa ketika rambut gembelnya akan tumbuh. Sempat dibawa ke
dokter dan diberikan obat, tetapi tidak sembuh. Menurutn Ibu Najwa, saat mau
tumbuh gembel, beberapa kali Najwa terbangun dari tidurnya dan akan berjalan
sesuka hatinya. Setelah itu ia akan kembali tidur di tempat yang ia sukai, bisa
saja di ruang tamu, atau bahkan di dapur.
Demam, panas yang tinggi dan sering
terbangun dari tidur sembuh ketika rambut gembel Najwa tumbuh. Kala itu, sang
Ibu yang sedang memandikannya, menemukan ada gumpalan rambut gembel yang tumbuh
di sela – sela rambut aslinya. Memang tidak bisa diterima dengan akal
sehat, sakit panas tadi hanya akan
sembuh saat rambut gembel tumbuh.
Ibunda
Najwa mengatakan tidak ada perubahan yang drastis dari Najwa ketika ia belum
berambut gembel dan sesudah berambut gembel. “Ya paling cuma rewel – rewel aja,
masuk angin biasanya kalo lagi rewel. Dia anaknya mudah diatur, gak nangisan,”
ucapnya.
Pada
umumnya, anak berambut gembel akan cenderung lebih hiperaktif, lebih berani dan
bahkan lebih nakal dari anak biasa. Hal ini dikarenakan si anak gembel merasa
ada yang melindunginya. Masyarakat setempat percaya, bahwa ada sesuatu yang
tinggal di dalam rambut gembel dan si anak gembel dipercaya dapat berkomunikasi
dengan “isi” dari rambut gembelnya. Pantas saja, waktu saya bermain dengan
Najwa, beberapa kali saya mendapati Najwa seperti menggumam dan nampak sedang
berkomunikasi. Saya pikir, ya namanya juga anak kecil, tingkah lakunya masih
suka aneh – aneh.
Dalam
kesehariannya, Najwa adalah anak yang periang. Awalnya, ia diam seribu bahasa
ketika kami mencoba untuk bermain dengannya. Ia hanya mau menjawab ketika ada
sang Ibu di sampingnya. Karena saya ingin mencoba untuk lebih dekat dengan
Najwa, saya bertanya dengan Ibu Najwa, apa kegemaran sehari – hari Najwa.
Menurut sang Ibu Najwa dan teman – teman senang mewarnai.
Benar
saja ketika saya dan salah satu teman saya Ferlina membawakan buku gambar dan
pensil warna, ia asik dengan dirinya dan mulai terbiasa dengan kami. Namun,
tetap saja ia masih sering diam kalau ditanya. Iseng – isenga saya bertanya
dalam bahasa jawa, dan ternyat ia merespon. Jadi selama ini dia diam karena
memang ia tidak begitu familiar dengan bahasa Indonesia dengan logat orang
Jakarta.
Rambut
gembel haruslah dipotong, masyarakat percaya apabila memelihara rambut gembel
sampai usia diwasa akan membawa sial. Pemotongan rambut gembel atau dikenal
dengan istilah ruawatan memiliki aturan tersendiri. Acara ruwatan ini akan
dilaksanakan apabila si anak gembel sudah meminta atau dalam bahasa jawa jejaluk untuk dipotong. Sebelum si anak
meminta, rambut gembel tidak boleh di potong, karena nanti akan tumbuh kembali.
Selain
itu, keinginan anak gembel harus terpenuhi. Biasanya, setelah rambut gembel
tumbuh, orangtuanya akan bertanya mau minta apa. Beragam jawaban yang
mengejutkan muncul dari mulut seorang anak kecil, mulai dari
kambing,sapi,kerbau,telur ayam 600butir, atau minta cambuk dan bahkan minta
diselenggarakan pementasan reog ponorogo dan barongsai. Saya sendiri heran,
seorang anak denan rentan usia 7 – 15 tahun meminta hal – hal seperti di atas.
Di
zaman modern saat ini, kenapa tidak minta handphone? Atau laptop? Atau mobil –
mobilan ya? Najwa sendiri saat saya tanya, “ Najwa mau minta apa?” dengan muka
polosnya ia menjawab. “Mau embek, embeknya 2.” Masyarakat setempat mempercayai,
bahwa yang meminta bukanlah si anak melainkan sesuatu yang tinggal dalam rambut
gembel.
Aturan
dalam budaya rambut gembel :
1. Pemotongan
rambut gembel harus seijin si anak
gembel yang bersangkutan.
2. Pemotongan
dilakukan dalam acara ruwatan atau dilakukan secara pribadi dengan keluarga.
3. Pemotongan
rambut gembel dengan tujuan merapikan rambut si anak, rambut gembel yang
terpotong harus disimpan dan ikut dilarungkan pada prosesi pelarungan.
4. Setelah
diruwat/potong permintaan anak harus diberikan
5. Ritual
ruwat juga harus dilakukan mengikuti prosesi yang ada.
Prosesi
Pencukuran Rambut Gembel / Ruwatan
1. Napak Tilas
Pada
proses ini, anak gembel akan dibawa ke tempat – tempat yang di anggap suci oleh
masyarakat Dieng. Selai itu, anak gembel akan sowan (bertamu) ke rumah pemangku adat. Tujuan dari prosesi ini
adalah, untuk mengingat dan menghormati leluhur.
2. Kirab
Adalah
sebuah perjalanan arak – arakan menuju lokasi ritual. Dimulai dari rumah
sesepuh desa, pemangku adat dan berhenti di dekat kawasan Sendang Maerokoco
atau Sendang Sedayu. Dalam arak – arakan ini, anak gembe dikawal oleh para
sesepuh,pemangku adat, para tokoh masyarakat, kelompok seni tradisional dan
masyarakat setempat.
Barisan
depan diisi oleh pengawal utama yaitu dua tokoh sesepuh, yang disebut Cucuk Ing Ngayodya. Kemudian
dibelakangnya diisi oleh dua orang pembawa dupa (tungku penolak bala), yang
diteruskan oleh para prajurit pembawa tombak,keris dan pusaka lainnya. Barisan
berikutnya adalah para pembawa Bunga Cucuk Lampah.
Selanjutnya
adalah para pembawa sesaji sepeti jajan pasar, pisang raja emas, degan
hijau,kinang,alat rias dan cangkir dengan 14 macam minuman. Barulah diikuti
oleh rombongan anak gembel yang menaiki delman atau kendaraan tradisional
lainnya. Barisan belakang di isi oleh para rombongan kelompok seni tradisional.
3. Jamasan
Jamasan
adalah proses mengkeramasi si anak gembel. Sebelum dikeramas, anak gembel akan
disambut oleh para pejabat pemerintahan, tokoh masyarakat dan tamu undangan di
Dharmasala. Tempat ini, dulunya digunakan untuk tempat peristirahatan para
peziarah dan tempat para pemuka agama mengajarkan agama pada para muridnya.
Penyambutan ini diiringi dengan kesenian Janen, yang merupakan perpaduan antara
rebana dan Gending Jawa.
Setelah
selesai penyambutan, si anak gembel kemudian akan dianaungi dengan Payung
Rombyong dan kain kafan yang panjang di sekitar Sendang Maerokoco atau Sendang
Sedayu, tempat di mana mereka akan dikeramas oleh pemangku adat. Sebelum
dikeramas
4. Pencukuran
Pencukuran
di lakukan di depan Candi Arjuna atau Candi Puntadewa. Pencukuran boleh
dilakukan oleh siapa saja, asalkan harus didahului dan didampingi oleh pemuka
adat. Alasan mengapa pencukuran di lakukan di depam Candi Arjuna adalah, karena
kata Arjuna sendiri dalam bahasa Arab berarti pengharapan. Jadi, nantinya
setelah pencukuran, anak gembel diharapkan menjadi anak yang berbakti dan taat
beragama.
Pemakaian
Candi Puntadewa sebagai lokasi pencukuran baru dilakukan sekali, 2012 silam.
Alasannya adalah, tempatnya yang lebih luas dan dalam perwayangan Pandawa Lima,
Puntadewa adalah kakak dari Arjuna. Berangkat dari kisah itulah, masyarakat
Dieng ingin menghormati sosok yang lebih tua
5. Pelarungan dan Ngalap Berkah
Prosesi
terakhir adalah melarungkan rambut gembel ke Sungai Serayu atai di Telaga
warna. Kedua tempat ini dipercaya akan bermuara di Laut Selatan. Acara larungan
bertujuan untuk mengembalikan titipan. Masyarakat percaya, rambut gembel adalah
titipan dari Laut Kidul
Selanjutnya,
tidak jauh dari lokasi pencukuran akan dilakuan Ngalap Berkah, yakni perebutan
sesaji. Dipercaya, sesaji tadi bisa membawa berkah. Acara ruwatan juga
dimeriahkan beragam kesenian daerah, untuk menghibur si anak gembel,warga dan
wisatawan yang hadir.
Sejarah
Rambut Anak Gembel
Berbicara mengenai sejarah anak
gembel, Mbah Naryono adalah orang yang paham benar dengan masalah ini. Beliau
adalah pemuka adat di Dieng, yang selalu memimpin jalannya Prosesi Ruawatan
anak gembel. Semasa kecil, beliau juga berambut gembel. Mbah sendiri juga tidak
ingat benar bagaimana bisa menjadi gembel, atau ada tanda – tanda khusus selain
penyakit panas yang mengindikasikan akan tumbuh rambut gembel pada dirinya.
Kepercayaan
yang beredar di masyarakat, rambut gembel merupakan sebuah titipan dari Laut
Kidul. Bermula dari kisah Ki Kolodete dan Nini Roro Ronce, yang dipercaya
sebagai leluhur tanah Dieng. Mereka berdua adalah sosok yang melakukan babat Dieng atau yang membuka hutan
belantara yang kemudian menjadi Dieng sekarang ini. Kemudian keturunan dari Ki
Kolodete kemudian diberikan titipan untuk dijaga dan harus dikembalikan oleh
penguasa Laut Kidul. Maka dari itu, keturunan – keturunan berikutnya mulai
banyak yang berambut gembel. Si anak gembel ini diyakini adalah anak terpilih.
Mbah
juga mengatakan, bahwa di rambut gembel ada yang “menunggu” dan menjadi
pelindung bagi si anak gembel. Menurut Mbah, itulah mengapa si anak gembel akan
bertingkah lebih berani,lebih aktif dan dalam beberapa kejadian, anak gembel
menjadi kebal. Ia bercerita, pernah di desa sebelah, ada seorang anak gembel
yang tertabrak mobil, tetapi ia tidak luka sama sekali.
Seperti
yang sudah dijelaskan, bahwa keinginan dari si anak gembel juga harus
terpenuhi, apabila tidak, rambut gembel yang sudah dipotong akan kembali
tumbuh. “ Dulu, cucu saya minta dibelikan cambuk. Saya tanya kemudian, kenapa
minta cambuk? Mintanya, sapi, atau kambing gitu. Siapa yang minta? Nah, cucu saya
kemudian bilang, yang minta rambutnya gembel, tinggi besar, hitam.”
Mbah
sendiri tidak ingat pasti rasanya menjadi gembel. Ketika saya tanya, apa yang
dirasakan saat menjadi gembel, apakah ada hal – hal lain yang mbah rasakan,
Beliau hanya tersenyum sambil berujar, “Mbah udah lupa, sudah berapa tahun yang
lalu itu.”
Relevansi
dengan Konsep – Konsep Komunikasi Antar Budaya
Budaya Kolektivis: Buaya ini lebih terlihat pada masyarakat
sekitar. Ketika permintaan si anak gembel tidak dapat terpenuhi oleh orangtua
karena terbentur dengan keadaan ekonomi, maka permintaan anak gembel akan
ditanggung oleh panitia penyelenggara dan pemerintah daerah. Mereka akan
berupaya untuk bisa mewujudkan keinginan si anak gembel.
Komunikasi
Verbal : Pada fenomena anak gembel di Dieng, tidak ada
perbedaan komunikasi verbal dengan mereka yang tidak gembel. Bagaimana ia
mengucapkan, intonasi, pelafalan sama dengan anak pada umumnya
Komunikasi Non-Verbal: Sifat anak gembel berbeda dengan abak pada
umumnya. Mereka cenderung lebih aktif (bisa dikatakan hiperaktif), lebih berani
dibanding anak lain, semisal keluar sendiri pada malam hari dan kecenderungan
lebih manja. Ia ingin terus didampingi oleh Ibu atau ayahnya. Najwa sendiri
sebenarnya sudah bisa makan sendiri, tetapi ia selalu minta disuapi oleh Ayah
atau Ibunya
Ditinjau
dari karakteristik budaya
1.
Budaya
itu dipelajari
Fenomena
anak gembel sudah ada sejak dari dulu dan masyarakat Diengpun tahu akan hal
ini. Bagi mereka yang tidak mempunyai anak yang berambut gembel, tentu tata cara
dan bagaimana harus menangani anak gembel tidak terlalu dipelajari. Berbeda
dengan keluarga yang mempunya anak berambut gembel, tata cara dan aturan
mengenai rambut gembel tentu harus dipelajari
2.
Budaya
itu diturunkan dari generasi ke generasi
Melanjutkan
tradisi gembel memang tidak bisaa dipukul rata untuk diteruskan ke generasi
berikutnya. Pasalnya, masyarakat Diengpun tidak semua berambut gembel dan tidak
tahu apakah nantinya keturunan mereka akan berambut gembel atau tidak.Jadi,
budaya rambut gembel tetap diturunkan dari generasi ke generasi, hanya saja
bagi mereka yang mempunyai keturunan rambut gembel yang akan lebih
menjalakannya.
3.
Budaya
didasarkan pada simbol
Simbol
yang terdapat pada rambut gembel adalah rambut gembel itu sendiri. Tidak ada daerah
lain yang mempunyai simbol khas rambut gembel. Walaupunn bentuknya sama yakni
gimbal, tetapi rambut gembelpun ada jenisnya. Ada yang disebut gembel pari,
karena bentuknya panjang seperti padi, gember pare, yang berbentuk panjang dan
menyerupai buah pare dan gembel wedhus, rambut gember yang pendek dan
menggerombol seperti bulu kambing (wedhus = kambing *jawa)
No comments:
Post a Comment