Nama : Thomas Himawan S.
NIM : 11140110125
Kelas : G1
Ucapkan "Sampurasun" |
Papan Marketing Office |
Warga di Kampung Budaya atau Kampung
Adat Sindangbarang banyak menggunakan Bahasa Sunda yang merupakan warisan dari
leluhur mereka. Namun, di sektiar Kampung Sindangbarang ada pula yang
menggunakan Bahasa Betawi karena cukup banyak pendatang yang dulunya orang
betawi. Jadi bisa dikatakan Berbahasa Sunda adalah salah satu ciri dari Kampung
Budaya ini yang membedakan dengan Kampung Budaya lain. Bahasa Sunda juga membawa
identitas bagi orang-orang di Kampung Sindangbarang, menjadi pemersatu, alat
untuk bertukar ide, dan untuk mewariskan nilai-nilai para leluhur kepada
generasi-generasi di bawahnya. Di Kampung Budaya ini, mulai dari rumah-rumah,
peralatan masak, hingga ke aksesoris pakaian yang digunakan mempunyai nama
dalam Bahasa Sunda.
Sedikit
cerita Kampung Budaya Sindangbarang
Sampai di Bogor hawanya sejuk,
kanan-kiri jalan diisi pohon-pohon besar yang menghalangi sinar matahari masuk.
Jalanan di Bogor cukup nyaman walau terkadang ada angkutan umum yang langsung
menyerobot untuk menaik-turunkan penumpang. Jalan menuju Kampung Budaya ini
cukup sempit dan sulit. Kita harus memasuki gang yang hanya cukup untuk dua
mobil kecil dan itu pun pas sekali. Jalannya menanjak dan berliku karena Kampung
Budaya ini terletak di bukit. Jadi, siap-siap saja bagi yang memakai mobil
manual jika ada mobil dari arah berlawanan.
Langsung
saja jika Anda ingin ke sana, ini alamatnya, Jalan E. Sumawijaya Sindangbarang
Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Anda harus
melewati Alun-alun Empang dulu kemudian masuk ke Gang Nurkim. Setelah memasuki gang kita akan melihat
sawah-sawah dan itu pertanda, Anda sudah dekat Kampung Sindangbarang. Akan ada persimpangan
di sana. Ambilah yang kiri, lalu ikuti jalan saja maka Anda akan melihat jalan
masuk yang terjal di kanan jalan. Jalan terjal itulah pintu masuk Kampung
Budaya Sindangbarang. Kampung budaya ini tersembunyi di balik pohon dan
dikelilingi oleh sawah-sawah terasering.
Globalisasi
yang menjadi tantangan dalam melestarikan kebudayaan Indonesia juga terasa
sampai ke Kampung Budaya Sindangbarang lho.
Jika tidak dijadikan Kampung Budaya, mungkin tanah itu akan dijadikan perumahan,
kata seorang pejabat Kampung Budaya Sindangbarang yang kemudian saya kenal
dengan Pak Ukad. Pak Ukad bercerita
banyak mengenai sejarah dan cerita pribadinya yang melukiskan sampai terbuatnya
kampung ini. Kampung Budaya ini masih baru sebenarnya, tahun 2004 baru dibangun.
Namun, Kampung Sindangbarang sendiri tentu sudah lama sekali ada.
Sekilas
sejarah Kampung Budaya Sindangbarang
Awal
pendirian Kampung Budaya ini sebenarnya cukup unik. Ini bermula dari Pak Maki
yang sekarang menjadi Kepala Suku Kampung Budaya Sindangbarang. Waktu itu
beliau sedang berada di Manado dan melihat televisi. Di televisi itu Ia melihat
perlombaan Tari Jaipong yang kontestannya para bule. Lalu beliau pun mulai
berpikir, “Ini budaya sendiri kalau tidak dilestarikan bisa hilang. Bisa-bisa
kita mesti belajar budaya kita sendiri ke luar negeri.” Maka dari itu Pak Maki
langsung pulang ke Sindangbarang dan menemui Pak Ukad untuk membangun sanggar.
Dari tahun itu, 2003 akhir hingga 2012 belajar Tari jaipong tidak dipungut
biaya apa pun di Kampung Budaya Sindangbarang.
Pak
Ukad sebenarnya sudah diberitahu oleh para tetua pada 1979. “Suatu saat nanti zaman
bakal berubah. Kita jaga budaya!” kenang Pak Ukad. Namun, Pak Ukad saat itu
masih “ngeyel” dan masa bodoh. Kalau pegang ilmu orang dulu, suka miskin,
pikirnya. Lalu Ia merantau ke Jakarta. Ia bertemu dengan Orang Kalimantan dan
dididik olehnya untuk membuka usaha. Wakil Kepala Suku Kampung Budaya
Sindangbarang ini berhasil dengan mempunyai usaha sepatu di Jakarta dan mulai
merambah di luar kota. Pak Ukad pun sempat pulang ke Sindangbarang beberapa
kali dan beberapa kali itu pula kakeknya selalu mengingatkan untuk menjaga
budaya leluhur. “Jangan menyesal nanti kamu kalau tidak menjaga budaya leluhur.
Kamu bakal terkena musibah di umur 40 tahun. Cuma kalau nanti kamu kena musibah
ga kuat, kamu ziarah malam selasa.” Cerita Pak Ukad. Peringatan itu masih Pak
Ukad abaikan dan Ia kembali lagi ke Jakarta.
Ternyata
benar, tiba-tiba usaha Pak Ukad tidak jalan sama sekali bahkan usaha di luar
kotanya tiba-tiba tidak laku. Untungnya, Beliau ingat akan apa yang kakeknya
bilang. Akhirnya Pak Ukad pulang ke Sindangbarang dan memulai ziarah di malam
selasa. Di peziarahannya, Ia sempat tertidur dan bermimpi ada layangan jatuh di
depan rumah di Gunung Salak. Beliau pun mulai berpikir arti dari layangan jatuh
tersebut. Tiga tahun lamanya, mulai dari mencari arti mimpinya, mencari
layangannya hingga melakukan hal-hal lain yang dianggap tidak waras oleh warga
sekitar. Karena kelakuannya itu, warga sekitar sempat menyebut Pak Ukad “stres”.
Sampai akhirnya Pak Ukad dipanggil oleh Pak Maki untuk membantunya mendirikan
Kampung Budaya ini. Pak Ukad menceritakan banyak kisah pribadinya padaku.
Awalnya
yang dibangun adalah sanggar. Setelah sanggar mulai dicari budaya-budaya lain.
Pak Ukad dan Pak Maki akhirnya mencari tetua-tetua yang masih hidup untuk
menceritakan budaya apa saja yang ada. Ada yang mengatakan Seren Taun dari
zaman Padjajaran. Mulai dicari Seren Taun itu apa dan bagaimana. Seren Taun
adalah bentuk puji syukur bagi masyarakat Sindangbarang akan hasil bumi, yaitu
panen. Jadi Kampung Budaya ini bukan langsung dibangun semua sesuai rencana,
tetapi satu-satu. Jadi seperti menyusun puzzle
yang akhirnya menjadi satu potret yang indah.
Akhirnya kerja keras mereka untuk
melestarikan budaya terdengar sampai ke Gubernur Jawa Barat. Lalu mereka
dipanggil dan ditanya macam-macam oleh Pak Gubernur. Pak Maki dan Pak Ukad
tidak bisa menjawabnya. Kemudian mereka dibantu Budayawan Jawa Barat, Bapak
Anis Djatisunda. Beliau yang menjelaskan kepada Pak Gubernur bahwa ada Pantun
Bogor versi Padjajaran Seren Papan yang menceritakan Rancamaya dan
Sindangbarang, ditulis Aki Buyut Baju Rambeng saat abad 16 akhir pas Padjajaran
akan jatuh. Setelah mendengar banyak cerita, Pak Gubernur akhirnya membantu
biaya pembangunan dan meresmikannya pada 2006.
Kampung Budaya atau Kampung Adat
Sindangbarang? Dua-duanya benar, Kampung Budaya Sindangbarang adalah tempat
untuk menggali potensi-potensi budaya-budaya yang sudah tiada sedangkan Kampung
Adat Sindangbarang terletak satu kilometer dari Kampung Budaya Sindagbarang di
mana di Kampung Adat Sindangbarang terdapat peninggalan sejarah seperti Taman
Sri Bagenda Dan Mata Air Jatalunda. Kampung Adat itu tempat di mana warga
langsung atau suku asli tinggal. Pak Ukad dulu tinggal di kampung adat bersama
para tetua-tetua.
Kegiatan di
Kampung Budaya Sindangbarang
Kegiatan
yang pertama adalah nandur. Di Jawa Tengah nandur berarti menanam, entah itu
menanam padi atau tanaman lainnya. Namun, di Sindangbarang nandur identik
dengan menanam padi dan nandur sendiri adalah sebuah singkatan dari Nanem
Mundur. Nandur dilakukan supaya tanaman tertanam dengan rapi dan bibit padi
yang sudah tertanam tidak mungkin terinjak karena menanamnya sambil berjalan
mundur.
Bakiak |
Kegiatan
berikutnya adalah permainan bakiak. Bakiak sendiri menggambarkan masyarakat
harus kompak dan berkomunikasi. Jika tidak kompak dan berkomunikasi, akan terjatuh
sama-sama. Mereka harus saling berinteraksi supaya bisa berjalan dengan baik
dan mencapai tujuan mereka.
Selanjutnya
adalah Egrang. Permainan menggunakan bambu panjang dan kayu di bagian bawah,
tempat untuk kaki. Ada nilai-nilai yang diturunkan juga dalam permainan ini. Egrang
itu permainan tingkatan atas, artian hidup yang sudah mapan. Jika diibaratkan zaman
sekarang itu seperti pimpinan. “Ketika bermain egrang jangan coba melihat ke
atas karena pasti jatuh. Bermain egrang harus melihat ke depan dan ke bawah
supaya tidak jatuh dan berhati-hati. Artinya, jika nanti kita sudah menjadi
pimpinan, jangan selalu lihat ke atas, tetapi melihatlah ke depan dan ke bawah,
lihatlah ke rakyat dan masa depan.
Permainan
batok kelapa. Jadi permainan ini menggunakan setengah batok kelapa dan di
tengahnya terdapat tali untuk pegangan. Permainan ini bisa disebut juga egrang
batok kelapa. Jadi kita berjalan diatas batok kelapa itu dan memegang talinya.
Batok kelapa dijadikan seperti sandal.
Permainan Batok Kelapa |
Saya bersama pemain Angklung Gubrag dan Dok-dok Lonjor |
Angklung Gubrak |
Tari
Jaipong. Tarian rakyat ini diiringi dengan suara musik gamelan. Gamelan di sini
kurang lebih masih sama seperti di Jawa Tengah. Tarian ini lebih cenderung ke
arah hiburan walau selalu ada di Upacara Seren Taun sebagai bentuk ritual.
Menyumpit.
Seni alat bela diri yang masih dilestarikan di Sindangbarang. Adalah alat bela
diri yang menggunakan bambu seperti pipa dan ada jarum di dalamnya untuk ditiup
meluncur ke arah lawan. Zaman dulu menyumpit digunakan untuk alat perang.
Sekarang, sasaran menyumpit bukan lagi manusia melainkan buah pepaya muda yang
digantung.
Ternyata
alat tumbuk-menumbuk padi saat saya kecil dulu masih ada di sini! Bunyi saat
menumbuk padi sangat merdu menurut saya. Inilah peralatan tersebut, semuanya terbuat
dari kayu.
Alat Penumbuk Padi |
Saya datang ke sana sebenarnya sudah
merupakan komunikasi lintas budaya. Saya berasal dari Jawa Tengah dan mereka
berasal dari Jawa Barat. Sebenarnya kegiatannya mirip-mirip seperti di Jawa Tengah,
tapi menjadi perbedaan yang sangat terlihat adalah bahasanya. Bahasa Sunda
sangat berbeda dengan Bahasa Jawa. Bahasa Sunda lebih cepat dan lugas.
Untungnya masyarakat di Kampung Sindangbarang bisa menggunakan Bahasa Indonesia
sehingga saya bisa mempelajari budaya mereka. Bahasa Indonesialah yang menjadi
alat untuk menyebarkan budaya mereka kepada saya.
Secara tidak sadar budaya itu
disebarkan melalui observasi yang saya lakukan. Pembelajaran informal mengenai
Budaya Sunda di Kampung Sindangbarang saya dapatkan melalui observasi. Saya menjadi mengerti peranan berdasarkan gender dan interaksi mereka.
Peranan gender masih sama seperti pada umumnya, wanita memasak di dapur,
menyiapkan makanan, sedangkan pria mencari nafkah. Kepala suku harus dipimpin
oleh seorang pria. Interaksi mereka tidak menggunakan tangan. Mereka berbicara
dengan langsung, dalam artian menanyakan langsung tidak basa-basi dan
non-verbal menggunakan gerakan tangan cenderung sedikit.
Warga di
Kampung Budaya Sindangbarang sendiri mayoritas beragama Islam. Mereka
mengamalkan nilai-nilai yang diajarkan dalam agamanya. Jadi nilai-nikai dalam
agama Islam yang mereka gunakan sebagai petunjuk tetntang bagaimana mereka
seharusnya bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Namun, kepercayaan akan
alam juga tetap mereka jaga. Pak Ukad juga memegang kegiatan berzikir dengan
teguh. Ia percaya dengan berzikir kita akan lebih tenang dan bijaksana. Selain
itu di Kampung Sindangbarang sendiri, warga aslinya masih memakai ritual
sebelum menanam, ketika mau panen, dan sesudah panen. Semuanya mereka fokuskan
untuk memohon dan meminta izin pada yang Mahakuasa, sebab mereka hanya menanam
dan yang memberi kenikmatan adalah Tuhan.
Saya juga
mempelajari Budaya Sunda melewati mitos mereka. Saat saya ke sana, saya
diceritakan sebuah mitos. Mitos tentang se’eng. Se’eng adalah alat memasak
untuk merebus air, terbuat dari tembaga. Se’eng disimbolkan oleh warga asli
Sindanbarang sebagai kejayaan bagi laki-laki. Jadi, kalau pria ingin
mempersunting wanita, harus bawa se’eng zaman dulu karena se’eng juga menjadi
jati diri calon istrinya. Tidak membawa se’eng sama dengan tidak menghargai
jati diri sang calon istri. Itu adalah harga mati. Walaupun seorang pria itu
kaya, bisa membeli ini itu, tetapi ketika mau memersunting tidak membawa
se’eng, sama saja dengan menghina perempuan.
Mitos
se’eng dahulu, yaitu ketika air sedang mendidih, orang yang sedang menceri
seseorang harus mengucapkan mantra setelah itu menyebut namanya siapa,
alamatnya dimana, dan binti siapa sehingga orang yang dicari itu merasakan
rindu dengan orang rumah hingga ke perasaan yang paling dalam dan ingin pulang.
Mantranya itu berasal dari syahadat Sunda. Itulah salah satu mitos di Budaya
Sunda ini. Mitos itu sendiri mengandung pengalaman dan nilai budaya. Nilai
budayanya atau pesan moral yang ingin disampaikan itu menurut saya adalah
berserah pada Tuhan dan memohon dengan tulus. Selain itu pesan moral yang ingin
disampaikan adalah kekeluargaan, jangan sampai lupa orang tua jika kita sudah
merantau.
Budaya itu
dibagikan dan diturunkan dari generasi ke generasi. Contoh yang paling dekat
adalah penurunan nama keluarga atau marga. Di Kampung Sindangbarang sendiri
sayangnya marga itu hilang karena Belanda menyebarkan budaya tentang titel
(Raden). Jadi, ketika warga Suku Sunda ingin bersekolah SMA harus mempunyai
sertifikat Raden dulu baru bisa sekolah. Mendapat titel ini ada dua macam.
Pertama didapat dari keturunan kerajaan. Kedua, harus membeli ke pemerintahan
Belanda. Oleh karena itu, hingga saat ini di Kampung Sindangbarang sendiri
tidak ada marga. Namun, nilai-nilai tetap terus diajarkan mulai dari kecil.
Sejarah tentang nilai-niali terus diturunkan supaya perspektif suatu budaya
tidak hilang. Nilai-nilai kehidupan Suku Sunda di Kampung ini berasal dari
sejarah yang panjang dan sejarah itu menjadi petunjuk untuk bertingkah laku,
berpola pikir, berperilaku.
Pak Ukad, Wakil Kepala Suku |
Sekian.
Terima
Kasih.
No comments:
Post a Comment