Nama : Jessica Putri Leona S
NIM : 11140110213
Kelas : B1
SEJARAH
Nama dari Keraton Kasepuhan diambil dari
kata ‘sepuh’ sesuai dengan kedudukan Keraton Kasepuhan yang merupakan keraton
tertua di Cirebon. Keraton Kasepuhan merupakan salah satu pusat pengajaran
Islam pada jaman dahulu. Keraton ini terpisah menjadi dua bagian, yaitu Keraton
Pakungwati dan Keraton Kasepuhan. Keraton Pakungwati didirikan oleh Pangeran
Walangsungsang yang merupakan putra dari Prabu Siliwangi. Pada masa itu,
Cirebon masih merupakan bagian dari Kerajaan Hindu Padjajaran, Prabu Siliwangi pun
berasal dari Kerajaan Hindu Padjajaran tersebut. Kala itu, Prabu Siliwangi yang
tertarik dengan ajaran agama Islam, kemudian keluar dari Kerajaan Hindu
Padjajaran dan menganut agama Islam.
Awalnya Islam di Cirebon merupakan kaum
minoritas, karena pada masa itu seluruh Indonesia dipengaruhi oleh
Kerajaan-kerajaan Hindu Buddha yang tersebar di seluruh Nusantara. Sehingga
pada masa itu, setiap orang belum memiliki kebanggaan atas identitas pribadi
mereka yang beragama Islam.
Nama Keraton Pakungwati diambil dari nama
puteri dari Pangeran Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana). Ratu Ayu Pakungwati
kemudian menikah dengan Sunan Gunung Jati yang merupakan sepupunya sendiri,
yang kemudian membangun Keraton Kasepuhan. Setelah menikah, Sunan Gunung Jati
kemudian menjadi Sultan dari Keraton Kasepuhan tersebut. Sunan Gunung Jati juga
merupakan bagian dari Wali Songo, maka Keraton Kasepuhan dijadikan tempat
penyebaran dan pengajaran agama islam.
Selain Ratu Ayu Pakungwati, Sunan Gunung
Jati juga memiliki beberapa istri lain, salah satunya yang cukup terkenal
adalah Nyi Mas Ong Tien. Putri Ong Tien membawa cukup banyak pengaruh atas
bangunan dan kebudayaan di Keraton Kasepuhan tersebut. Putri Ong Tien merupakan
seorang putri dari salah satu kerajaan di dataran China, yang kala itu
berkunjung ke Indonesia.
Dikisahkan bahwa Ayah dari Putri Ong Tien
menemui Sunan Gunung Jati. Beliau menguji kesaktian Sunan Gunung Jati dengan
meminta Sunan Gunung Jati menebak apakah Putri Ong Tien sedang mengandung atau
tidak. Kesaktian Sunan Gunung Jati terbukti. Putri Ong Tien yang tertarik akan
kharisma dari seorang Sunan Gunung Jati itupun akhirnya dinikahkan dengan Sunan
Gunung Jati.
BUDAYA
Ada beberapa hal yang bisa kita soroti
dari budaya di Keraton Kasepuhan baik masa lampau maupun masa kini. Dari
sejarah dapat kita ketahui bahwa terbentuknya budaya Islam pada Keraton
Kasepuhan diawali oleh Prabu Siliwangi yang adalah ayah dari Pangeran
Cakrabuana. Beliau tadinya merupakan bagian dari Kerajaan Hindu Padjajaran,
namun kemudian beliau memisahkan diri dan memeluk agama Islam. Ketika hal itu
terjadi terbentuklah sebuah identitas baru di antara identitas sosial yang
identik dengan agama Hindu Buddha saat itu.
Seperti menurut Gardiner dan Komitzki,
“identitas dilihat sebagai definisi diri seseorang sebagai individu berbeda,
dan terpisah, termasuk perilaku, kepercayaan dan sikap.” Identitas tersebut
bersifat dinamis, dan setiap orang dapat memiliki lebih dari satu identitas
dalam pribadi mereka, tetapi yang terjadi ketika Prabu Siliwangi menganut agama
Islam adalah beliau melepaskan identitas dirinya sebagai bagian dari penganut
Agama Hindu dan kemudian membentuk suatu identitas diri baru sebagai pemeluk
agama Islam. Kemudian dari identitas dirinya, hal tersebut berkembang menjadi
sebuah identitas sosial yang menjadi pembeda antara kelompok sosial tertentu
dengan kelompok sosial lain.
Namun sebelum identitas diri dari Prabu
Siliwangi berkembang menjadi identitas budaya, dapat kita lihat adanya sebuah
proses yang sudah dilewati terlebih dahulu hingga sebuah identitas pribadi
dapat menjadi identitas budaya, yaitu proses penyebaran dan pewarisan budaya
itu sendiri. Menurut pendapat beberapa ahli, sebuah budaya itu dapat menyebar
karena proses-proses tertentu seperti, budaya itu dipelajari, budaya itu
dibagikan, budaya diturunkan dari generasi ke generasi. Hal tersebutlah yang
dilakukan oleh Prabu Siliwangi, Beliau menurunkan budaya dan kepercayaan yang
ia anut kepada anak dan cucunya dan terus berlanjut seperti itu.
Selain itu pembuktian bahwa budaya itu
dibagikan dan dipelajari, dapat kita lihat dari peranan Wali Songo sebagai
penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Para Wali Songo membagikan dan mengajarkan
ajaran dari agama Islam tersebut kepada setiap orang yang mereka temui dan
bersedia untuk mendengarkan mereka, yang berujung pada hasil di mana budaya
yang mereka ajarkan, mereka bagikan dan mereka turunkan dari generasi ke
generasi menjadi suatu budaya yang utuh yang termasuk pula identitas sosial di
dalamnya. Seperti yang dikatakan oleh Charon dalam tulisannya, “Budaya adalah
pewarisan sosial yang mengandung pandangan yang sudah dikembangkan jauh sebelum
kita lahir, masyarakat kita, misalnya, memiliki sejarah yang melampaui
kehidupan seseorang, pandangan yang berkembang sepanjang waktu yang diajarkan
pada setiap generasi dan kebenaran dilabuhkan dalam interaksi manusia jauh
sebelum mereka meninggal.” Dan semua hal dalam pewarisan budaya tersebut
terwujud melalui komunikasi antar budaya sehingga dapat mengubah persepsi dan
cara pandang seseorang akan suatu hal.
Keberhasilan Wali Songo dalam menyebarkan
agama Islam dan menjadikan Keraton Kasepuhan sebagai pusat penyebaran agama
Islam tidak luput dari pengaruh identitas yang dinamis yang dimiliki oleh Wali
Songo, seperti Sunan Gunung Jati yang pada dasarnya masih memiliki akulturasi
budaya Hindu dan Islam, memudahkan dirinya untuk berinteraksi dengan orang yang
beridentitas Hindu dan menarik mereka untuk memeluk agama Islam atau
keberhasilan Sunan Gunung Jati dalam menjalin relasi dengan berbagai Negara
seperti China, Mesir dan Eropa (dapat dilihat dari peninggalan sejarahnya),
seperti yang dikatakan oleh Collier bahwa untuk dapat berkomunikasi secara
efektif dalam situasi antarbudaya, identitas budaya yang diakui seseorang serta
gaya komunikasinya harus sesuai dengan identitas dan gaya yang ditampilkan
padanya oleh lawan bicaranya.
Dan ternyata hal ini pula yang saya
rasakan ketika saya berkunjung ke sana. Setiap pengunjung di Keraton Kasepuhan
Cirebon akan ditemani atau dipandu oleh pemandu yang merupakan ‘abdi dalem’
maupun ‘abdi luar’ keraton. Para pemandu tersebut umumnya tinggal di satu daerah
khusus yang mayoritasnya adalah abdi dari Keraton Kasepuhan tersebut. Mereka
akan memandu dan menemani setiap pengunjung Keraton Kasepuhan untuk berkeliling
serta menghindarkan kita dari tempat-tempat yang tidak boleh dikunjungi oleh
pengunjung umum.
Para pemandu tersebut juga menerapkan hal
yang sama. Saat itu Mas Ferry (pemandu saya) berusaha menempatkan dan
memproyeksikan dirinya sesuai dengan identitas yang saya proyeksikan kepada
nya. Yang paling saya rasakan adalah karena Mas Ferry dapat melihat dari
perawakan dan wajah saya dan teman-teman saya, bahwa kami berasal dari etnis
Tionghoa, beliau selalu menyoroti semua hal yang berhubungan dengan etnis
Tionghoa dalam Keraton Kasepuhan ketika memandu kami, seperti menunjukkan
keramik-keramik yang berasal dari China hingga berulang kali bercerita dan
menekankan pada kisah Putri Ong Tien yang merupakan Putri dari Negara tirai
bambu tersebut. Hal itu tanpa sadar memunculkan ketertarikan dan simpati saya
terhadap apa yang sedang ia jelaskan. Beliau berhasil menempatkan dirinya dan
berkomunikasi dengan baik kepada saya dengan kultur yang berbeda baik dari segi
etnis, kepercayaan, maupun persepsi.
Kehidupan
di Keraton Kasepuhan pada masa dahulu telah banyak membuktikan bahwa sebuah
komunikasi antar budaya dapat berlangsung dengan baik sejak dahulu kala, bahkan
ketika masyarakat belum mengenal kajian ilmu komunikasi antar budaya tersebut.
Seperti perkawinan anatara Sunan Gunung Jati dengan Putri Ong Tien, yang
merupakan perkawinan antar budaya berhasil menyatukan dua budaya tanpa adanya
bentrokan budaya di dalamnya.
AKULTURASI
Di dalam area wilayah Keraton Kasepuhan
juga terdapat rumah tinggal dari Sultan Sepuh (Sultan dari Keraton Kasepuhan),
serta keluarga dari Sultan. Mungkin ketika kita harus membayangkan tempat
tiggal seorang Sultan, kita akan terbayang sebuah tempat yang indah dan mewah,
namun hal tersebut sepertinya tidak berlaku untuk Keraton Kasepuhan. Baik rumah
kediaman Sultan maupun rumah dari keluarga Sultan sangatlah sederhana dan tidak
mencolok.
Bagian depan dari komplek Keraton
Kasepuhan adalah Alun-Alun, Masjid Agung, dan Siti Inggil. Namun tampaknya kali
ini saya kurang beruntung. Ketika saya datang ke sana, beberapa bangunan dan
bagian dari komplek Keraton Kasepuhan ini sedang direnovasi dan dipugar,
beberapa diantaranya adalah Masjid Agung, Siti Inggil, Musium Benda Kuno, dan
Musium Kereta Barong.
Bangunan
Siti Inggil sangat menampilkan akulturasi yang terjadi pada Keraton Kasepuhan
tersebut. Gapura atau gerbang depan pada Siti Inggil mirip sekali dengan
gapura-gapura pada pura yang sama-sama dibangun dengan menggunakan bata merah.
Hal tersebut merupakan bukti nyata bahwa Keraton Kasepuhan dibangun masih
berdasarkan atau terpengaruh dari budaya sebelumnya yaitu budaya Hindu.
Dari Siti Inggil, jika kita berjalan masuk
ke dalam pusat keraton, kita akan melewati Kalaman Kemandungan dan Langgar
Agung. Kalaman Kemandungan adalah tempat singgah atau kalau sekarang kita
menyebutnya dengan tempat parkir bagi pengunjung-pengunjung keraton sejak jaman
dahulu, bahkan sampai sekarang pun, fungsi dari Kalaman Kemandungan itu tidak
berubah. Halaman tersebut menjadi lahan parkir untuk tamu istimewa Sultan (bukan pengunjung wisata biasa).
Selain tempat parkir, di Kalaman Kemandungan tersebut kita juga dapat menemukan
sebuah sumur, yang konon katanya digunakan sebagai tempat mencuci
peralatan perang setiap tanggal 1-10 Muharam jaman dahulu. Dulu di atas tanah Kemandungan ini berdiri sebuah
bangunan Kemandungan yang digunakan untuk menyimpan peralatan perang, namun
sekarang bangunan Kemandungan tersebut sudah tidak ada.
Di seberang Kalaman Kemandungan, ada
bangunan yang dinamakan dengan Langgar Agung, atau musholah. Musholah tersebut
digunakan sebagai tempat sholat bagi orang-orang dalam keraton, di depan
langgar agung, masih berdiri dengan gagah, bedug yang dinamakan Sang Magiri,
yang sudah ada di sana sejak awal Keraton ini didirikan, yang konon katanya
kulit pada bedug tersebut belum pernah diganti hingga sekarang. Langgar
Agung hingga sekarang masih dipergunakan untuk pelaksanaan Slamatan bubur
slabuk pada tanggal 10 Muharam, apem pada tanggal 15 Syafar, Mauludan pada
tanggal 12 Rabiul awal, tajilan pada bulan Romadhon, selamatan Lebaran pada
tanggal 1 Syawal dan penyembelihan Qurban pada Idul Adha oleh pihak Keraton.
Masuk
lebih ke dalam lagi, kita akan melalui gerbang Gledegan (yang konon katanya
jika orang masuk ke sana akan diperiksa dan menimbulkan bunyi seperti Geledeg),
dan kita dapat melihat beberapa bangunan dalam Keraton. Berdiri dari gerbang
Gledegan, saya dapat melihat papan petunjuk, di mana di sebelah kanan saya
terdapat sebuah musium benda kuno, sebelah kiri saya terlihat musium kereta
barong, dan di depan saya terdapat Taman Bunderan Dewan Daru.
Taman
ini ditanami 8 buah pohon Dewan Daru, sehingga dinamakan menjadi Taman Bunderan
Dewan Daru. Di taman itu terdapat Nandi, patung lembu kecil yang melambangkan
kepercayaan umat Hindu, 2 ekor macan putih yang melambangkan Padjajaran, Meja
dan bangku batu seperti yang terdapat pada Siti Inggil, dan dua buah meriam
pemberian Prabu Kabunangka Pakuan. Meriam tersebut dinamakan Ki Santoma dan Nyi
Santomi.
Pagoda Graken dan Cermin |
Jika
kita menginjakkan kaki di Musium Benda Kuno, kita dapat menemukan beberapa
benda bersejarah seperti barang kerajinan dari luar negeri, alat upacara adat, dan
juga senjata sebagai koleksi, diantaranya seperangkat gamelan degung, gamelan
berlaras slendro, peninggalan Putri Ong Tien seperti Pagoda Graken untuk
menyimpan jamu, Peti Kandaga untuk tempat perhiasan dan Kaca Rias yang dihiasi
ukiran-ukiran khas China, selain itu juga ada senjata dari Mesir dan Portugis,
dan masih banyak lagi. Tetapi lagi-lagi saya kurang beruntung, karena ketika
saya berada di sana kedua musium tersebut sedang dipugar, sehingga apa yang
bisa saya lihat sangat terbatas.
sangkar yang digunakan untuk upacara turun tanah anak 7 bulan |
Di
seberang Musium Benda Kuno, kita dapat melihat bangunan tempat di mana Kereta
Singa Barong disimpan. Kereta ini juga salah satu bukti nyata akulturasi yang
terjadi di dalam Keraton Kasepuhan di masa kejayaannya. Kereta Singa Barong
dibuat atas permintaan dari Panembahan Pakungwati I. belalai gajah melambangkan
persahabatan dengan India yang menganut agama Hindu. Kepala Naga Buroq
melambangkan persahabatan dengan Mesir yang menganut agama Islam. Dan trisula
pada belalai gajah tersebut melambangkan tajamnya alam pikiran manusia yaitu
Cipta, Rasa, dan Karsa. Bentuk bangunan dari kedua musium ini mirip dengan
struktur bangunan-bangunan Eropa.
Tepat di belakang Taman Bunderan Dewan Daru, kita dapat melihat sebuah gapura yang dinamakan Gapura Kutagara Wardasari. Pada Gapura yang berdiri dengan gagahnya ini, terukir Wadasan yang menggambarkan manusia harus memiliki pondasi yang kuat, serta bagian atasnya berukir Mega Mendungan yang melambangkan jika sudah menjadi Raja, harus dapat mengayomi rakyatnya. Kedua ukiran ini menggambarkan kebudayaan Cirebon yang khas, seperti yang bisa kita temui dalam setiap batik khas Cirebon yang berpola awan mega mendung.
Di
belakang Gapura, terdapat sebuah bangunan yang dinamakan Jinem Pangrawit. Jinem
Pangrawit ini berfungsi sebagai tempat penerimaan tamu oleh Pangeran Patih atau
Wakil Sultan.
Jika
kita memasuki bangunan utama Keraton melalui pintu depan, maka kita harus
melewati Jinem Pangrawit ini terlebih dahulu, kemudian masuk ke bangunan tanpa
dinding bertiang putih yang disebut dengan Loos Gajah Nguling. Loos ini
menghubungkan Jinem Pangrawit dengan Bangsal Pringgadani. Konstruksi Loos ini
menurut saya cukup unik, karena bentuk Loos ini tidak lurus, melainkan miring.
Menurut keterangan dari Mas Ferry, Loos ini berbentuk miring atas pengaruh Feng
Shui China yang menyatakan bahwa pintu depan dengan pintu belakang tidak boleh
berada dalam satu garis lurus, untuk menghindari sifat boros oleh orang-orang
yang tinggal di dalamnya.
Loos Gajah Nguling |
Bangsal Pringgadani |
Ukiran kembang kanigara |
Ternyata
semua itu punya tujuan masing-masing. Menurut keterangan dari Mas Ferry, semua
benda-benda yang berasal dari luar Indonesia tersebut memang sengaja dibiarkan
mempengaruhi konstruksi Keraton Kasepuhan. Tentu kita semua bertanya-tanya,
kira-kira kenapa semua itu digunakan? Konon katanya, ini merupakan salah satu
taktik dari Keraton Kasepuhan agar tidak diruntuhkan atau diserang. Dengan
mengadopsi kultur Belanda melalui barang-barang peninggalannya di sana, Keraton
Kasepuhan cenderung terhindar dari serangan Belanda, karena perlu kita ingat,
masa-masa di mana Keraton ini dibangun adalah masa-masa di mana kita, Bangsa
Indonesia dijajah oleh Belanda. Dan ternyata semua taktik tersebut berhasil!
Keraton Kasepuhan masih berdiri dengan gagahnya hingga sekarang, tidak seperti
kerajaan-kerajaan lain yang ada pada masanya.
Piring keramik dari China |
Selain
keramik, di dalam Bangsal Pringgadani juga dapat kita lihat beberapa
lukisan-lukisan tua, guci-guci China, dan meja rias dengan sentuhan etnik
China. Kemewahan Bangsal Pringgadani masih dapat kita rasakan di sana.
Lebih
ke dalam lagi, terdapat simbol kekuasaan Keraton Kasepuhan, yaitu Bangsal Agung
Panembahan. Di Bangsal tersebutlah terdapat singgasana Gusti Panembahan atau
singgasana Sultan. Di belakang singgasana tersebut terdapat Ranjang Kencana,
tempat Sultan beristirahat siang. Di
Bangsal Agung Panembahan juga terdapat kursi dan meja yang berasal dari Eropa.
Kursi tersebut dahulu digunakan sebagai tempat Permaisuri dan Putera Mahkota
jika berkenan hadir. Dahulu, area Bangsal Agung Panembahan boleh dimasukki oleh
pengunjung, namun sejak kursi singgasana Sultan pernah patah, Bangsal Agung
Panembahan hanya bisa dilihat dari Bangsal Pringgadani.
Dari
samping Bangsal Pringgadani terdapat Langgar Alit yang digunakan untuk Tadarus
setelah Sholat Terawih. Selain itu kita juga akan menemui Gerbang Buk Bacem,
suatu gerbang yang sangat kokoh dan tebal beratap tembok dengan pintu daun
kayu. Dinamai Buk Bacem, karena konon kayu yang digunakan untuk membangun pintu
ini direndam terlebih dahulu dengan ramuan khusus (atau bahasa yang kita
gunakan sekarang dibacem). Gerbang
Buk Bacem ini dihiasi dengan warna-warni keramik dari China.
Bagian
luar Gerbang Buk Bacem, terdapat sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat
Staff harian yang bertugas melayani tamu yang ingin menghadap Sultan. Bangunan
tersebut disebut Lunjuk yang artinya Petunjuk.
Selain
itu, di dalam kompleks Keraton Kasepuhan ini, kita juga dapat menemui
puing-puing dari Keraton Dalem Agung Pakungwati, yang di dalamnya terdapat 3
buah sumur, yang salah satunya adalah sumur racun atau sumur opas, terdapat 2
tempat mandi yang konon dipergunakan untuk tempat mandi para puteri kerajaan
dan para pangeran, serta dinding-dinding yang tersusun atas batu merah. Jika
dapat kembali ke beberapa ratus tahun silam, saya rasa saya dapat membayangkan
betapa indahnya bangunan-bangunan yang ada di dalam Keraton Dalem Agung
Pakungwati pada jaman itu, sayang sekali
beberapa usaha pemerintah dalam memugar situs-situs peninggalan Keraton
Kasepuhan dan Keraton Dalem Agung Pakungwati, sedikit mengurangi keindahan
alami dari situs-situs peninggalan tersebut.
Satu hal yang sangat unik dari bangunan-bangunan dalam Komplek Keraton Kasepuhan ini adalah bagaimana cara mereka membuat bangunan Keraton ini jika jaman dahulu belum ada semen? Dan mengapa bangunan tersebut dapat berdiri dengan kokohnya hingga sekarang ini? Saya cukup penasaran, dan ketika saya mendapatkan jawabannya, saya sulit untuk mempercayainya bahwa bangunan ini dulunya dibangun dengan menggunakan telur sebagai perekatnya.
Dari semua yang saya dapatkan setelah saya berkunjung ke Cirebon dan ke Keraton ini, satu hal yang dapat saya highlight. Baik budaya Cirebon maupun Keraton ini, mengambil dan terpengaruh oleh beberapa budaya yang cukup berbeda, dan menyatukan budaya-budaya tersebut menjadi budaya mereka sendiri yang menjadi berbeda pula dengan budaya-budaya yang mempengaruhinya. Seperti Cirebon yang awalnya merupakan perbatasan antara Budaya Jawa dan Budaya Sunda, kini telah diakui menjadi Budaya Cirebon secara utuh.
bersama pemandu Keraton |
Thank You Jessica, saya terkesan sekali dengan tulisannnya, saya baru tour ke tempat tempat bersejarah di Cirebon, apakah saya boleh bertanya ?
ReplyDelete