Taman Lawang, Legalitas yang Ilegal
11140110044 - MERRY - E1
Experience in HD : http://www.youtube.com/watch?v=jsYM6m7ejv4
Apa
yang terlintas di pikiran kita jika kita mendengar kata Taman Lawang? Pasti ada
rasa deg-degan juga mengerikan mendengar nama itu. Taman Lawang merupakan salah
tempat terkenal di daerah Jakarta. Tentu saja, bagi orang yang tinggal di
Jakarta nama tersebut tidak asing bagi telinga mereka. Taman Lawang itu sendiri
terletak di Jakarta Pusat.
Bagi
mereka yang sering melalui jalan tersebut pasti akan merasakan takut, deg-degan
serta ingin buru-buru melalui jalan tersebut. Mereka yang buru-buru itu bukan
takut karena tempat itu angker atau ada setan. Tetapi, Taman Lawang itu
terkenal dengan salah satu profesi yang tentu saja cukup sangat sering kita
dengar dimanapun.
Yah,
Pekerja Seks yang menghadirkan suasana berbeda di sepanjang Jalan Taman Lawang
tersebut. Berbeda dengan pekerja seks lainnya, pekerja seks yang ada di Taman
Lawang ini tentu saja, Pekerja Seks Komersial transgender. Kenapa disebut
transgender? Karena di Taman Lawang itu terkenal dengan warianya yang transgender
lohh.
Banyak
dari masyarakat yang ada di desa berbondong-bondong ke Jakarta. Kenapa ? Tentu
saja untuk mengadu nasib mereka di Jakarta. Konon katanya, Jakarta adalah
tempat dimana bisa menjanjikan keinginan mereka terpenuhi. Mendengar hal itu,
masyarakat desa tentu saja ingin mencicipinya. Iya
jika mereka yang datang itu memang memiliki kemampuan untuk mencari pekerjaan
di Jakarta. Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki kemampuan sama
sekali? Sebagian dari mereka yang tidak mempunyai kemampuan tentu saja akan
tinggal di bawah jembatan dengan mencari uang di lampu merah atau bisa saja
sebagai pengamen.
Pekerjaan
itu lebih baik jika dibandingkan mereka mencuri atau merampok. Yahh.. Itu semua akibat dari pemberitaan
di media yang selalu memberikan pencitraan yang baik tentang Ibukota Jakarta
ini. Tidak hanya sebagai pengamen atau apapun itu, banyak gadis belia yang baru
datang ke ibukota sudah ditawari dengan pekerjaan yang mungkin tidak baik bagi
mereka.
Masyarakat
desa itu, belum mengetahui bagaimana rasanya tinggal di Jakarta. Semua yang
mereka dapatkan dari pembicaraan orang lain tentu saja akan membuatnya
penasaran apalagi dengan dukungan di lingkungan sekitarnya. Mungkin bagi orang
desa, jika belum ke Jakarta itu belum keren atau apapun itu. Tapi, mereka tidak
tahu bahwa kehidupan Jakarta itu keras dan berat jika seseorang tidak mempunyai
kemampuan. Di Jakarta itu, perlu kemampuan dan penuh dengan persaingan demi
mendapatkan uang.
Pekerja
Seks merupakan salah satu pekerjaan bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan
apapun. Pekerja Seks ini selalu di pandang sebelah mata oleh masyarakat pada
umumnya. Pekerjaan yang tidak halal dan kadang orang pun melihat pekerjaan itu
sebagai pekerjaan yang haram.
Yahh.
Itu bagi masyarakat yang tentu saja bisa mencari uang dengan cara lain. Tetapi
bagaimana dengan mereka yang tidak mempunyai kemampuan di bidang apapun? Daripada
mereka pulang lagi ke desa tanpa membawa apa-apa pasti mereka lebih memilih
lewat cara itu. Gampang, mudah, dan cepat mendapatkan uang. Pekerja
yang ada di Taman Lawang tidak hanya wanita saja, tetapi juga
ada waria. Nah, Taman Lawang merupakan tempat bersarangnya para PSK waria. Di
sana bisa ditemui, para waria menjajakan dirinya di sepanjang Jalan Barito
sampai Latuharhary SH. Taman Lawang terletak sepanjang perlintasan rel kereta
api di Stasiun Sudirman.
Taman
Lawang, sebenarnya mirip dengan jalanan biasa lainnya. Hanya saja yang
membedakannya pekerja yang ada di daerah sana. Pekerja Seks transgender. Di
sana pula, tempat mereka “bekerja”. Apa yang PSK transgender lakukan? Tentu
saja, mereka menjajakan diri mereka. Menjajakan dirinya kepada setiap pengguna
jalan tersebut.
Pada
malam hari, tempat itu akan ramai dengan para waria. Para waria yang berpakaian
seksi dengan menjual dirinya. Masyarakat Jakarta pasti mengetahui apa sih Taman Lawang itu, karena Taman
Lawang itu terkenal di Jakarta. Demi
kebutuhan hidup yang semakin tinggi dan dengan pendidikan yang minim di
dapatkan. Itulah yang menjadi faktor banyak orang yang mencari jalan cepat
untuk mendapatkan uang. Pekerja Seks transgender adalah salah satu banyak yang
diminati. Transgender sudah tidak asing lagi bagi telinga kita. Transgender
merupakan proses dimana laki-laki memutuskan untuk berubah menjadi wanita karena
hormon atau sifatnya yang menyukai laki-laki atau sesama jenis.
Baik
transgender maupun pekerja seks itu selalu dianggap sebelah mata bagi
masyarakat umum. Ada kalanya masyarakat melakukan penghakiman sendiri kepada
orang yang menjadi PSK. Tidaklah heran dengan kejadian yang seperti umum. Pada
dasarnya, manusia hanya dibedakan berdasarkan satu jenis kelamin saja,
laki-laki ataupun wanita.
Waria
yang ada di Taman Lawang selalu mendapatkan kesan yang negative bagi mereka
yang sering menggunakan jalan tersebut. Kesan nekat dan garang lah yang
menghampiri para waria yang ada di Taman Lawang itu. Berhati-hatilah bagi kaum
Adam yang melewati jalan itu. Karena kaum Adamlah yang menjadi sasaran utama
para waria yang bekerja di Taman Lawang. Tutup
jendela dan kunci pintu mobil. Itulah pesan yang sering didapatkan jika kita
ingin pergi ke sana. PSK transgender kadang melakukan hal-hal yang aneh, salah
satunya yaitu berjoget sensual di pinggiran jalan. Saya pun melihatnya sendiri
ketika pergi ke sana.
Pada paper ini, untuk memenuhi Ujian Akhir
Semester. Saya melakukan observasi para waria yang ada di Taman Lawang dengan
pertimbangan yang cukup lama. Sekitar satu jam dari Tangerang. Jam Sembilan
malam dari rumah dan sesampainya di sana sekitar jam sepuluh malam. Ketika
sampai disana, terlihat sepi di sepanjang jalan. Tempat mangkal atau sebutan
warianya “Tempat Mejeng” tersebut dihiasi dengan rumah-rumah mewah di
belakangnya.
Taman
Lawang memang terkenal di Jakarta, terkenal karena warianya dan terkenal karena
tempatnya yang remang-remang. Setelah sampai di sana dan tidak menemukan para
waria di pinggiran jalan. Saya pun berkeliling di dekat daerah sana dengan
melihat kondisi dan situasi sekitar.
Penampilan
dari para wariapun dapat dinilai berdasarkan klasifikasi komunikasi non-verbal,
yang terdiri dari perilaku tubuh, ekspresi wajah, kontak mata dan tatapan,
sentuhan, parabahasa, ruang dan jarak, waktu, dan sikap diam. Tetapi, saya akan
lebih perilaku tubuh terlebih dahulu. Dalam observasi yang saya lakukan, saya
melihat dari beberapa waria yang ada di pinggiran jalan itu ada yang berkulit
putih, ada yang berkulit hitam, ada yang berpakaian yang agak tertutup tetapi
tetap seksi, dan ada juga yang berpakain sudah seksi dengan memakai baju yang
terbuka. Dari penilaian yang seperti itu, saya menganggap bahwa waria yang
berkulit hitam itu dari Nusa Tenggara yang rata-rata orang sana itu berkulit
agak hitam dan itu membuat saya beranggapan bahwa mungkin orang itu agak galak
ditambah dengan mukanya yang sedikit seram.
Kemudian,
dari gerakan tubuh maupun postur tubuh para waria. Misalnya saja pada gerakan
tubuh, waria tersebut akan marah jika mereka dibilang aneh sehingga dia bisa
melakukan apapun sesuka dia, seperti melempari mobil dengan sepatu mereka.
Sedangkan postur tubuh para waria itu beragam. Ada yang masih bertubuh seperti
laki-laki ada juga yang sudah seperti wanita, bahkan tidak akan menyangka jika
dia adalah waria. Bertubuh
kurus, kekar, berambut panjang, pendek, bermuka seram, cantik itulah ciri-ciri
para waria di sana. Bahkan bagi yang awam melihat waria, pasti akan terkejut
dengan muka para waria. Kenapa? Ternyata para waria di sana itu lebih cantik loh dibandingkan wanita asli pada
umumnya. Tidak percaya? Silahkan di buktikan dengan pergi ke sana.
Tidak
putus asa ketika sampai di sana tidak menemukan waria satupun. Menurut orang di
sekitar sana, akhir minggu-minggu itu adanya razia dari pihak kepolisian
setempat. Entah benar apa tidak. Atau mungkin jam sepuluh malam itu masih
terlalu pagi untuk para waria “bekerja”. Di
Taman Lawang terbagi menjadi dua jenis
waria, yaitu waria Palembang dan waria Bandung. Banyaj yang bilang kalau waria
Palembang itu seram dan galak beda dengan waria Bandung yang katanya sih baik. Tidak hanya di Taman Lawang
saja yang ada warianya. Ternyata di jalan Setiabudi pun juga terdapat waria
yang menjajakan dirinya.
Berbeda
di Taman Lawang, di Setiabudi warianya lebih sedikit dibandingkan dengan di
Taman Lawang. Di Setiabudi hanya dua atau tiga waria saja yang ada. Pada saat
kendaraan yang saya gunakan berhenti, tidak ada waria yang menghampiri
kendaraan saya. Berbeda dengan persepsi orang yang katanya warianya akan
menghampiri kendaraan yang berhenti di pinggiran jalan. Melihat
waria yang sedikit di Setiabudi. Saya memutuskan untuk kembali lagi ke taman
Lawang. Sekarang sudah terlihat beberapa waria yang mulai menggoda para
pengguna jalan. Berpakaian seksi dan berdandan cantik guna untuk menarik
perhatian para pelanggan dan pengguna jalan.
Setelah
melihat beberapa waria yang sudah mangkal. Saya memutuskan untuk mencoba
memanggil satu waria yang ada di pinggiran jalan tersebut dengan perasaan takut
dan deg-degan tentu saja. Setelah memanggil dan melakukan transaksi. Saya mulai
mewawancarainya di dalam mobil dan waria itu membawa saya dan yang lainnya ke
tempat yang tidak jauh dari sana untuk melakukan wawancara.
Wawancarapun
dilakukan di sekitar rumah-rumah yang mewah di sekitar daerah sana. Ternyata oh
ternyata yang saya masuki itu adalah tempat waria Palembang mangkal. Mendengar
hal itu sayapun agak sedikit panik.
Kita
pasti sering mendengar kata Stereotip. Apa sih
yang dimaksud dengan stereotip? Menuru Larry A.Samovar, Richard E.Porter,
dan Edwin R.McDaniel dalam bukunya Komunikasi Lintas Budaya pada halaman 50.
“Stereotip
merupakan sejumlah asumsi salah yang dibuat oleh orang di semua budaya terhadap karakteristik anggota
kelompok budaya lain.”
Sedangkan arti dari “orang di
semua budaya”, menurut Peoples dan Bailey.
“Setiap masyarakat memiliki stereotip mengenai
anggota, etika, dan kelompok rasial dari masyarakat lain.”
Sebenarnya
stereotip itu muncul karena adanya asumsi atau pandangan yang negative terhadap
sesorang atau kelompok atau lebih dapat disimpulkan stereotip itu menyudutkan
seseorang atau sekelompok dengan pandangan yang negative.
Mendengar
hal itu, kita pasti beranggap bahwa ada saja orang yang selalu menganggap
pekerja seks itu haram atau selalu mendapatkan pandangan yang buruk mengenai
sesuatu hal dan hal itu akan kita ingat terus menerus. Buktinya, ada saja yang
tidak bisa menerima para waria itu sekalipun di tempat mereka biasanya mangkal.
Pada
saat ingin mewawancarai waria itu. Ada seorang nenek yang rumahnya di sekitar
sana dan selalu saja menghalangi para warianya memasuki daerah gang di
rumahnya. Nenek itu akan keluar dengan membawa selang air jika para waria
melewati gang rumahnya. Dengan tatapan yang sinis dari sih nenek itu membuat
para waria selalu meledekinya dengan cara berjoget-joget di hadapan neneknya.
Itulah yang saya lihat.
Kehidupan
malam, memang tidak pernah ada akhirnya. Ada yang lokasinya tetap dan ada juga
yang berpindah-pindah. Baik resmi, maupun tidak resmi. Kehidupan waria ialah
salah satu bagian dari kehidupan malam di kota-kota besar, tidak terkecuali
kota Jakarta. Para
waria tersebut keluar untuk “bekerja” terbagi menjadi dua, yaitu yang pertama berkisar antara jam sepuluh malam sampai jam
dua pagi dan yang kedua dari jam dua pagi sampai subuh dini hari ketika
aktivitas masyarakat kota akan di mulai.
Waria
yang hendak “bekerja” itu berdandan layaknya wanita asli. Wanita dengan
dandanan menor ala waria itu sendiri. Tidak sedikit pula yang berpakaian seksi bak model majalah panas dan yang cukup
mencengangkan adalah KTP mereka masih berjenis kelamin laki-laki. Para pengguna
jalan yang lewatpun seolah tidak peduli dengan keberadaan mereka, kecuali yang
memang menjadi pelanggan. Kehidupan
mereka sangat tidak menentu. Kadang dapat pelanggan, kadang tidak. Kadang
banyak, kadang sedikit. Kehidupan yang seperti itulah yang membuat mereka
menjadi pekerja seks atau menjadi waria. Mereka masing-masingpun memiliki
pelanggan tetapnya.
Ketua?
Kepala? Apa di tempat seperti tempat para waria ada ketuanya juga? Jawabannya
tentu saja iya. Dengan dibuktikan dalam buku Komunikasi Lintas Budaya, Larry
A.Samovar dan teman-temannya. Pada buku itu tertulis.
“Struktur
sosial merefleksikan budaya kita, misalnya, apakah kita raja dan ratu atau
presiden dan perdana menteri. Dalam struktur sosial, lebih lanjut, memberikan
peranan pada berbagai pemain – harapan bagaimana masing-masing individu
bertingkah laku, apa yang mereka wakili, dan bahkan bagaimana mereka akan
berpakaian.”
Ternyata,
dalam kehidupan para waria juga ada yang menjadi ketua atau oknum-oknum
tertentu yang berkuasa di wilayah tertentu. Tidak
semudah yang kita pikirkan, dalam bekerja sebagai pekerja seks ternyata juga
ada kepalanya dari setiap waria yang ada. Tugas kepalanya atau yang biasa
dikenal dengan sebutan mami ini hanya tinggal menerima uang dari para warianya
yang di pegangnya dalam daerah tersebut. Tidak hanya sekedar mami saja, tetapi
ada pula kelompok lebih kuat yang terintegrasi secara baik dan melakukan suatu
perkumpulan tahunan dengan mengadakan seminar-seminar yang mendukung, seperti
latihan make-up, merias pengantin,
pekerjaan salon, serta seminar tentang HIV Aids-pun mereka dapatkan sehingga
merekapun mendapatkan banyak pengetahuan yang ia terima dengan bergabung dalam
komunitas tersebut.
Tidak
hanya yang mengharuskan mereka menyetor kepada ‘mami’-nya saja, tetapi mereka
yang menjadi waria selalu memiliki suka dan duka dalam menjalankan kehidupannya
tersebut. Dukanya yaitu ketika mereka ditipu dan di turunkan di tengah jalan
dan kadang pula mereka tidak di bayar, tetapi yang paling menyakitkan adalah
pada saat mereka diejek dan di hina-hina. Seringkali, ada pulayang melewati
mereka dan meledeknya sehingga tak jarang merekapun kesal dan melempari batu.
Dan, sukanya adalah ketika mereka mendapatkan uang yang cukup banyak dalam
sehari dan bagi mereka yang menyenangkan yaitu ketika mendapat pelanggan yang
ganteng. Waria tersebut biasanya tidak keluar hanya pada waktu tertentu saja,
biasanya ketika menjelang hari raya.
Hasrat
untuk menjadi perempuan biasanya sudah disadaro sejak mereka kecil. Orang tua
merekapun hanya bisa mengelus dada dan menerima kenyataan. Saat mereka kecil,
mereka tak berbeda dengan anak laki-laki seusianya, yaitu berpakaian layaknya
anak laki-laki dan mulai berubah ingin menjadi wanita ketika menjelang remaja
dan dewasa. Pada saat itu juga mereka akan berpakaian seperti wanita dan secara
nurani berperilaku seperti wanita pada umumnya, yaitu menyukai para lelaki.
Tapi terkadang muka mereka masih terlihat seperti laki-laki dan suaranyapun
masih berat da nada juga yang sudah mirip dengan perempuan, bahkan suaranyapun
sudah halus layaknya perempuan.
Rata-rata
dari para waria menyesali pekerjaannya sebagai pelacur. Mereka sebenarnya ingin
sekali berubah. Berubah bukan berarti berubah kelaminnya, tetapi ingin merubah
hidupnya. Untuk merubah menjadi laki-laki sewajarnya, banyak di antara mereka
yang menolak atau tidak menginginkannya. Mereka ingin tetap menjadi sama
seperti itu hanya saja dengan kehidupan yang lebih baik dari yang sebelumnya.
Tidak
semua waria itu buruk atau selalu dianggap rendah. Banyak dari mereka itu
sebenarnya baik tidak seperti apa yang di katakan orang maupun apa yang ada di
pandangan orang lain tentang mereka. Tetapi, banyak oknum waria yang berbuat
kasar kepada para waria dan sering meresahkan. Itu semua yang menjadikan waria
mendapatkan cap jelek dari masyarakat umum, seperti orang yang menyimpang
dengan tingkah lakunya serta berpakaian yang sangat tidak senonoh di jalan raya
maupun menggoda para pengguna jalan, dan sebagainya. Sedangkan
ada pula waria yang baik. Mereka dapat beradaptasi dengan masyarakat umum,
bahkan ada di antara mereka bisa hidup di lingkungan normal, yaitu di
tenagh-tengah masyarakat biasa. Semua itu dapat terwujud dengan syarat mereka
tidak mengganggu warg sekitar dan warga sekitarpun akan terbuka menerima para
waria dan masyarakat yang tinggal di sekelilingnya tahu dengan pekerjaan para
waria tersebut.
hello, aku tertarik untuk mengangkat kasus transgender juga, aku boleh minta contact mbak yang diwawancarai? :)
ReplyDeletemy e-mail: leonita_nerisa@yahoo.com