NIM : 11140110073
Kelas : E-1
Budaya dapat terbentuk dari banyak aspek, bisa dari agama yang kita anut, keadaan politik di sekitar kita, pakaian, bangunan, hingga bahasa yang kita dan lingkungan sekitar kita pergunakan semua turut andil dalam membangun budaya dalam diri kita. Budaya itulah yang akan nantinya mempengaruhi sifat dan perilaku komunikasi kita. Setiap orang pasti memiliki budaya masing –masing yang berbeda antara satu dengan yang lain. Budaya sendiri merupakan suatu cara hidup atau kebiasaan yang berkembang dan akan terus diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Budaya setiap individu pasti berbeda-beda itu karena setiap orang hidup dan berkembang di lingkungan yang berbeda-beda yang akan membangun diri seseorang juga berbeda dari yang lain.
Komunikasi
tidak selamanya berupa pembicaraan dengan suara antara kita dengan orang lain.
Pakaian, bentuk rumah, perilaku itu juga merupakan suatu bentuk komunikasi yang
memiliki arti, dan biasa dikenal dengan komunikasi non-verbal. Komunikasi
seperti ini yang sering tidak kita sadari, karena kita hanya terpaku pada
komunikasi verbal. Pesan yang disampaikan secara non-verbal juga biasanya lebih
dalam dibandingkan dengan pesan non-verbal.
Menyadari
betapa banyaknya budaya di Indonesia mau tidak mau kita harus mau mengenal dan
mempelajari tentang budaya saudara-saudara kita yang lain. Ini penting karena
sekarang ini tidak jarang terjadi perselisihin yang dikarenakan perbedaan
pemahaman karena masing-masing memiiki latar belakang budaya yang berbeda. Di
Universitas Multimedia Nusantara kami diajari betul betapa pentingnya kita
mempelajari budaya lain, maka dari itu diadaka kelas Komunikasi Antar Budaya
yang khusus mengajarkan kami segala sesuatu yang berhubungan dengan budaya dan
cara menghadapinya.
Kali
ini kami diberi tugas untuk mencari dan meliput kebudayaan yang berbeda dari
kebudayaan kami masing-masing. Pertama kali mendapat tugas ini saya sedikit
kewalahan karena bingung harus meliput budaya apa dan siapa. Saya berpikiran
untuk meliput ke luar pulau yang saya pikir pasti memiliki kebudayaan yang beda
dengan saya yang berlatar belakang budaya chinese. Saya mulai mencari-cari
melalui internet daerah-daerah yang sekiranya memiliki budaya yang unik dan
berbeda dengan saya. Ketika itulah saya menemukan Kampung Sindangbarang. Dari
foto yang saya lihat kampung ini masih begitu asri dan sangat menjaga
kebudayaan warisan nenek moyang.
Akhirnya,
saya beserta 4 teman saya memutuskan untuk mengunjungi Kampung Sindangbarang.
Kampung ini terletak di desa Pasir Eurih, kecamatan Tamansari, kabupaten Bogor,
Jawa Barat dan berjarak lebih kurang 5 km dari pusat kota Bogor. Kampung
Sindangbarang ini tercatat sebagai kampung tertua di Bogor karena menurut
cerita yang ada kampung ini sudah ada sejak lebih kurang abad XII atau
bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Sunda.
Perjalanan
menuju kampung Sindangbarang memakan waktu sekitar 2 jam dari Jakarta. Tidak
terlalu sulit mencari kampung ini karena letaknya yang tidak terlalu jauh dari
pusat kota Bogor. Meski letaknya tidak terlalu jauh tapi saya dapat merasakan
perbedaan suasana ketika saya berada di kota Bogor dengan ketika saya sampai di
Sindangbarang.
Beginilah keadaan ketika kami sampai... |
Dengan
berjalan kaki kami masuk lebih dalam ke daerah rumah warga. Kami bertemu dengan
kang Sule yang kemudian membawa kami berkenalan dengan Abah. Abah merupakan
salah satu panatua di kampung Sindangbarang, disini abah disebut sebagai
kokolot (yang dituakan). Lagi-lagi kesan pertama kali betemu dengan abah adalah
abah sangat ramah menyambut kami di rumahnya. Abah terus melemparkan senyum
sembari menanyakan asal tempat tinggal kami. Abah juga sedikit bercerita
tentang keadaan kampung Sindangbarang yang sengaja dijadikan sebagai kampung
budaya karena para kokolot di kampung Sindangbarang ingin tetap melestarikan
warisan budaya sunda yang sekarang ini sudah mulai banyak terkikis oleh
modernitas.
Abah
kemudian mengajak saya dan teman-teman untuk berkeliling kampung sembari
mengunjungi warisan budaya Sunda yang berupa cagar alam yang masih dijaga oleh
masyarakt sekitar. Pertama abah akan mengajak saya ke sumur Jalatunda.
Perjalanan menuju situs sumur Jalatunda sangat menyenangkan. Abah menjelaskan
pakaian yang digunakan oleh abah saat itu yang ternyata merupakan pakaian
tradisional masyarakat sunda tempo dulu. Nama pakainnya yaitu baju kampret dan celana pangsi, bentuknya menyerupai kemeja lengan panjang hitam tanpa
kerah yang dipadukan dengan celana panjang bahan yang juga berwarna hitam. Abah
bilang setiap hari dia sengaja memakai baju itu, supaya suasana sunda tetap
terasa dan terjaga di kampungnya. Ternyata bukan hanya abah seorang yang
memakai baju seperti itu, ketika kami berjalan menuju situs Jalatunda, beberapa
kali kami berpapasan dengan orang-orang yang menggunakan baju kampret seperti
abah, dan kata abah mereka juga sama seperti abah, yaitu sudah kokolot di
kampung Sindangbarang. Warga di Sindangbarang sangat menghargai para kokolot
yang ada. Mereka dianggap sebagai pemimpin di kampung tersebut.
Selama
perjalanan abah sering kali bertegur-sapa dengan warga sekitar. Aku sungguh
kagum melihat kedekatan antar warga di Sindangbarang ini, semua anggota kampung
ini saling mengenal satu dengan yang lain. Rasa kekeluargaan terasa sangat
kental di kampung ini. Abah bilang memang warga di kampung ini 90 persen memang
masih asli keturunan Sindangbarang, yang lahir dan besar disana jadi pastilah
saling mengenal satu dengan yang lain.
Abah
mengatakan bahwa Indonesia memang terkenal dengan berbagai macam budayanya yang
bevariasi. Semua kebudayaan di Indonesia berhubungan dengan keramahan
masyarakatnya, begitu pula yang terjadi di kampung abah ini. Sedari dulu
masyarakatnya memang akrab satu dengan yang lain, ramah menyapa dan halus dalam
bertutur kata, itulah yang diwariskan nenek moyang mereka hingga saat ini. Itu
juga yang akan abah dan rekan-rekannya di Sindangbarang coba untuk jaga dan
lestarikan. Abah dan para kokolot lain ingin agar budaya Sunda di kampung
Sindangbarang tetap mempertahankan eksistensinya karena dengan begitulah
keramahan, kedamaian, serta sikap rendah diri yang diajarkan secara turun
temurun oleh nenek moyang akan tetap tinggal di hati warga Sindangbarang.
“Budaya berisi tentang bagaimana kita berhubungan
dengan orang lain, bagaimana kita berpikir, bagaimana kita bertingkah laku dan
bagaimana kita melihat dunia.” –Rodriguez-
Setelah
berjalan cukup lama akhirnya kami sampai di Sumur Jalatunda, saah satu situs
budaya yang masih dijaga masyarakat sekitar hingga sekarang. Setelah
menceritakan kisah asal mula sumur tersebut abah menyuruh kami mencoba mencuci
muka dengan air sumur. Menurut kepercayaan Sindangbarang, bila kita
menginginkan sesuatu dan dengan sepenuh hati percaya dengan kekuatan sumur ini,
cukup membilas muka kita dengan air sumur keinginan kita akan terkabul.
Akhirnya karena untuk menghargai kebudayaan abah dan warga, kami semua mencoba
untuk membilas muka.
Sindangbarang... |
Kami bersama abah ... |
Karena matahari mulai tinggi abah mengajak kami kembali ke rumah. Ketika perjalanan pulang, kami heran melihat rumah warga yang dipenuhi kardus-kardus serta ptongan karet dimana-mana. Abah kemudian memberitahu kalau memang sebagian warga disini membuka rumah mereka untuk dijadikan pabrik sepatu. Kami semua yang notabene perempuan langsung mengajak abah untuk melihat-lihat. Kami masuk ke empat rumah warga yang berbeda untuk melihat sepatu-sepatu yang ada. Untunglah karena warga Sindangbarang ini saling mengenal, semua jadi mengenal abah dan dengan senang hati mempersilahkan kami untuk melihat-lihat, bahkan kami masing-masing disuruh mengambil satu sepatu tanpa perlu membayar. Keramahan ini tidak mungkin kita temui di perkotaan seperti Jakarta, ya kan?
Selesai
melihat-lihat hasil kerajinan warga, kami melanjutkan perjalanan kembali ke
rumah abah. Perjalan pulang terasa lebih menegangkan, karena abah mengajak kami
berjalan melalui pematang sawah serta hutan-hutan kecil. Perjalanan kami terasa
amat sangat panjang, tetapi semua rasa lelah tergantikan dengan pemandangan
yang kami lihat sepanjang perjalanan. Langit biru dengan udara bersih tanpa
polusi, pohon-pohon rindang, hamparan sawah yang berwarna hijau bagaikan
permadani, memang indah negeri kita Indonesia.
Sesampainya
di rumah abah, kami semua duduk di teras sambil melepas lelah. Tak lama istri
abah yang kami panggil emak datang sambil membawa nangka. Ternyata emak sengaja
mengambil nangka di kebun untuk kami makan bersama. Emak benar-benar ramah dan halus
dalam berbicara, ciri khas masyarakat sunda.
Kami beristirahat sembari menunggu nangka dari emak :3 |
Pertarungan
melawan lumpur membuat kami sadar bahwa abah ingin mengajarkan pada kami untuk
selalu rendah hati. Ternyata menanam padi tidak semudah yang saya bayangkan,
tapi kita terkadang suka membuang-buang makanan begitu saja tanpa tahu jerih
payah para petani. Setelah puas bermain-main di lumpur, kami semua segera
membersihkan diri.
Melihat
kami masih bersemangat abah kembali mengajak kami untuk masuk ke dapurnya,
tempat dimana emak masak. Dapur abah masih benar-benar tradisional, dengan atap
dan dinding dari kayu. Peralatan memasak di dapur abah juga tidak kalah
tradisional, semua masih berbahan kayu dan aluminum yang sudah menghitam.
Abah
mulai menjelaskan satu persatu kegunaan dari alat dapur yang ada. Abah juga
menjelaskan bagaimana orang jaman dulu memasak nasi dengan menggunakan peralatan
tradisional, tidak seperti sekarang yang menggunakan magic jar, ternyata dahulu
memasak nasi membutuhkan waktu yang lama dan kesabaran yang ekstra karena
peralatan yang digunakan juga masih seadanya. Abah bilang nasi yang dimasak
dengan menggunakan cara lama akan terasa lebih nikmat dibandingkan nasi yang
dimasak dengan menggunakan magic jar seperti sekarang. Proses memasak yang lama
membuat masyarakat jaman dahulu sangat menghargai nasi. Sungguh salut dengan
perempuan-perempuan jaman dahulu yang tahan berada di dapur dalam jangka waktu
yang lama.
Setelah
abah menjelaskan seluk beluk dapur miliknya abah mengajak kami ke gubuk kecil
tempat menumbuk gabah. Ditempat ini biasanya abah mengajarkan orang-orang
bagaimana gabah bisa berubah menjadi beras. Gubuk abah hanya kecil dan
didalamnya terdapat lesung dan alu. Keduanya terbuat dari kayu dan sangat
berat. Lesung bentuknya mirip seperti peti lonjong, dimana nanti gabah akan
dimasukan kedalamnya dan di tumbuk dengan menggunakan alu yang berbentuk
tongkat panjang.
Proses
menumbuk gabah ini ternyata sangat panjang dan melelahkan. Kita harus menumbuk
gabah berkali-kali sampai kulit arinya terlepas dari biji beras. Setelah ditumbuk
kita harus menampinya supaya kotoran serta kulit arinya terbuang, lalu diulang
lagi ditumbuk. Begitu seterusnya sampai bersih. Abah menjelaskan mengapa ia
ingin agar generasi penerus tetap mengenal lesung dan alu padahal sekarang
mulai banyak bermunculan mesin-mesin modern untuk membersihkan gabah, beliau
ingin agar masyarakat sunda tetap mengenal sejarah dan mempertahankannya di era
globalisasi seperti sekarang, agar kebudayaan sunda beserta sejarahnya tetap
terjaga.
Kunjungan
kami berakhir dengan bermain bersama abah. Abah menunjukan permainan-permainan
tradisional, seperti enggrang, bakiak, pletokan, dan lainnya. Tidak hanya itu,
abah juga mengajarkan bagaimana cara memainkannya. Abah bilang, jaman dahulu,
setiap anak akan membuat mainannya sendiri, jarang bahkan tidak ada yang beli
di toko. Semua bahan-bahan untuk membuat mainan tersedia di alam. Maka abah
bilang kita harus menjaga alam, agar Indonesia tetap lestari.
Seperti komentar Cicero, seorang ahli pidato di Roma yang mengatakan bahwa sejarah turut memberikan petunjuk dalam kehidupan sehari-hari, demikianlah abah ingin agar kita tidak melupakan sejarah yang ada, karena sesungguhnya sejarah memberikan petunjuk pada kita bagaimana hidup dengan baik pada masa kini.
Kunjungan ke kampung Sindangbarang memberikan kami pengalaman yang tidak terlupakan. Bukan hanya karena suasananya, tetapi juga karena begitu banyak kebudayaan yang dapat kami pelajari, khususnya kebudayaan Sunda. Mulai dari bahasa, adat setempat, sejarah, hingga komunikasi non verbal yang digunakan warga setempat.
Salah satu permainan tradisional milik abah... |
Enjoy the video guys :3
No comments:
Post a Comment