Dita Anggreani
11140110041
E1
Manusia
turun ke dunia telah ditakdirkan untuk berpasang-pasangan, laki-laki dengan
perempuan, seperti halnya Adam dan Hawa. Mereka saling melengkapi, sudah
sewajarnya laki-laki memiliki perilaku dan budaya maskulin, sedangkan perempuan
adalah feminin. Namun, sering kali kita lihat banyak manusia yang tidak menghendaki
takdirnya dan memaksa untuk berubah. Banyak yang keliru antara takdir dengan
nasib, takdir ialah ketentuan dari Tuhan yang tidak dapat diubah, lain halnya
dengan nasib yang masih dimungkinkan untuk diubah. Lantas, bagaimana dengan sex dan gender? Beberapa budaya menganut
sistem Patrilineal dan Matrileneal. Patrilineal merupakan budaya yang
menganggap kaum laki-laki lebih tinggi derajatnya dibandingkan wanita,
sebaliknya dengan Matrilineal yang menganggap derajat wanita lebih tinggi
dibandingkan laki-laki.
Jenis
kelamin atau sex merupakan identitas
manusia yang ditentukan secara biologis, baik itu laki-laki ataupun perempuan
yang telah Tuhan tentukan. Sedangkan gender adalah peran, fungsi, dan tanggung
jawab dari manusia itu sendiri. Misalnya, perempuan senang memasak, bermain
boneka, merias diri hal tersebut berhubungan dengan gender. Terbentuknya gender
adalah konstruksi dari lingkungan sosial tempat manusia tumbuh dan berkembang
kemudian menjalankan peran dan fungsinya. Gender dikatakan juga sebagai
konstruksi sosiokultural yang membedakan budaya maskulin dengan feminin. Oleh
karena itu, lingkungan sosial yang konstruktif memengaruhi sifat manusia untuk
berperilaku dengan menyesuaikan diri terhadap lingkungannya tersebut. Pada
realitas sosial, kemampuan ataupun kapasitas yang dimiliki oleh individu saat
bereaksi dengan efektif dan wajar menandakan adanya proses penyesuaian sosial
yang bisa diterima sesuai dengan ketentuan dan harapan dalam kehidupan sosial. Selain itu, penyesuaian juga berarti proses merespon secara
mental dan perilaku ketika menghadapi tuntutan sosial yang membebani individu
dengan relasinya dalam lingkungan sosial. Dapat disimpulkan bahwa penyesuaian
sosial ialah kemampuan individu saat bereaksi terhadap tuntutan-tuntutan sosial
dengan benar dan wajar. Seperti yang kita ketahui, adanya norma-norma yang
tumbuh di lingkungan sosial kita merupakan aturan yang harus kita taati. Namun,
melihat realitas yang terjadi di sekitar kita bukan lagi hal yang aneh jika
individu-individu menyalahi norma dan individu lain mulai terbiasa
menyaksikannya. Adanya norma dalam suatu masyarakat yang kemudian di ‘tabrak’
dan menjadi kebiasaan atau cara hidup baru hingga membentuk komunitas
(masyarakatnya sendiri) dalam lingkungannya.
Taman Lawang hanya sebuah taman kecil di kawasan Perikanan, Jakarta Pusat |
Nah... pada pembahasan kali ini, saya akan memaparkan komunitas yang ada di Taman Lawang. Ya, dari
namanya saja pasti sudah terlintas komunitas apa yang ada di sana, siapa yang
tidak kenal daerah yang terletak di Jakarta Pusat itu. Kawasan tersebut
merupakan tempat di mana waria sudah menjadi ‘penghuni’-nya dengan menjalankan
aktivitas dan mencari uang guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Taman
Lawang merupakan kawasan metropolitan berskala kecil yang juga merupakan bagian
dari ibukota. Di tempat ini, terkumpul banyak waria dari berbagai suku bangsa.
Kita dapat tahu dari mana asal para waria ini, ada yang berasal dari Bandung,
Medan, Palembang, Jakarta, dan sebagainya. Kita dapat mengenali mereka dari
cara bicaranya yang masih diselingi dengan bahasa daerah yang mereka gunakan
atau dari ciri-ciri fisiknya. Misalnya, bentuk mata dan warna kulitnya. Jika
kita hubungkan keberadaan waria yang pada takdirnya adalah laki-laki tapi
‘menjelma’ menjadi seorang perempuan lantas diberikan kawasan bagi mereka yang
berprofesi sebagai pekerja seks oleh warga setempat. Hal ini menandakan adanya
kemungkinan norma tidak sekuat aturan yang telah diciptakan sebelumnya. Lebih
lanjut, meskipun mereka merupakan komunitas waria Taman Lawang, di kawasan ini
juga ternyata terbagi menjadi dua kelompok waria. Menurut Ajeng (waria Taman
Lawang) di daerah belakang Taman Lawang adalah kelompok waria Bandung, karena
kebanyakan mereka berasal dari Bandung. Sedangkan di Taman Lawang depan adalah
komunitas waria Palembang yang menurut beberapa narasumber mengatakan bahwa
waria Palembang dikenal lebih agresif dan sedikit ‘kasar’. Sebelum bertemu
dengan Ajeng, saya sempat berkomunikasi dengan waria lainnya, yakni Cece.
Hampir tidak dapat dibedakan lagi cantiknya wanita sungguhan dan waria... Bukan
hanya wajah dan penampilan saja, namun secara biologis kebanyakan mereka
melakukan operasi guna mendapatkan bentuk tubuh yang indah selayaknya wanita
pada umumnya. Hal tersebut tak jarang dijumpai di sini, berbeda dengan waria
lainnya waria di Taman Lawang ini memang terlihat high class mereka bahkan datang ke kawasan tersebut dengan
menggunakan taksi. Menurut Cece, yang membedakan mereka dengan waria lain di
luar kawasan Taman Lawang adalah penampilan dan kegiatan mereka yang konsisten
sebagai wanita. “Kalau malamnya dandan cantik tapi siangnya mereka terlihat
seperti laki-laki, kerja kayak laki itu namanya bukan waria, tapi homo. Beda
dong,” papar Cece.
Saya sempat menemui hambatan saat meneliti para waria ini,
karena ini merupakan pertama kali saya memasuki komunitas yang baru. Salah
satunya adalah rawan terkena tipu yang mengaku link orang dalam. Namun, hal tersebut adalah pengalaman untuk
pembelajaran apabila kita ingin melakukan observasi lebih mendalam lebih baik
kita langsung permisi saja ke tempat kost-kostan tempat tinggal para waria ini.
Jangan sekali-kali membayar melalui orang lain, lebih baik izin pada
‘Bunda’-nya langsung untuk meliput. Awalnya saya berniat menjadikan Cece
sebagai narasumber, tapi ternyata tarif yang dia minta terlalu tinggi untuk
saya, yakni 500 ribu rupiah. Bukan hanya itu, untuk mengetahui nomer teleponnya
saja sulit, dia meminta 200 ribu rupiah sebagai tanda jadi.
Suasana di depan kamar Bunda Joice (lantai dua) |
Banyak pakaian yang digantung (lantai tiga) |
Kemudian, setelah menunggu waria lain dan berharap
mendapatkan harga yang lebih murah lagi, akhirnya saya dikenalkan oleh Ajeng.
Waria ini berasal dari Medan, parasnya ayu dan tutur katanya lemah lembut.
Dimulailah perkenalan malam itu, for your
information waria Taman Lawang baru keluar di atas jam 10 malam dan ramai
ketika jam 1 pagi. Keesokan harinya, saya datang ke kostan Ajeng yang letaknya tidak jauh dari Taman Lawang.
Kosannya berwarna hijau, seperti rumah susun dari luar gangnya tampak beberapa
mobil mewah yang sedang parkir di depan rumah-rumah makan. Warga setempat hidup
rukun dengan para waria, bahkan seorang waria mengantarkan saya ke tempat
tujuan untuk bertemu dengan Bunda Joice, sesuai dengan kesepakatan malam
sebelumnya agar kami meminta izin dahulu kepada sang Bunda. Ketika saya masuk
ke kost-kostannya ternyata seperti berada di sebuah rumah tua, tangganya dari
kayu dan cukup sempit sampai harus menundukkan kepala saat menaikinya. Setelah
melewati tangga yang saya jumpai adalah kamar mandi yang tidak ada lampunya,
lebih jauh lagi saya berjalan dan memasuki lorong dengan tikar merah, lampu
yang remang-remang, dan alunan lagu jaman dulu. Baju dan aksesoris wanita
berserakan di atas lantai, beberapa waria menghampiri saya guna menanyakan
keperluan datang ke tempat mereka. Setelah itu, Bunda Joice keluar dari
kamarnya, dia terlihat ramah dan welcome sesudah
saya menjelaskan maksud kedatangan, Bunda Joice berkata pada Ajeng kalau sudah
menerima uang harus tanggung jawab, Bunda Joice sama sekali tidak keberatan,
semuanya diserahkan kepada Ajeng apabila Ajeng setuju. Bahkan Bunda Joice
berkata kita harus saling membantu karena pandangan negatif tentang kaumnya
sudah banyak, untuk itu tidak ada salahnya jika ingin mengekspos lebih dalam
lagi kehidupan waria yang bukan hanya sisi negatifnya saja, agar masyarakat
juga tahu.
Meskipun sudah ditipu oleh orang yang mengaku link
orang dalam itu. Saya membayar Ajeng 200 ribu rupiah lagi, karena ternyata Ajeng hanya
mendapat 100 ribu rupiah. Awalnya Ajeng keberatan, namun setelah bernego
hambatan tersebut bisa dilalui. Dari salah satu waria yang tinggal di sana
juga, saya beranggapan bahwa mereka juga masih memikirkan keluarga. Dia
mengatakan mereka mengerti dengan tugas yang sedang saya lakukan karena
mereka juga banyak yang memiliki adik yang masih bersekolah, mereka juga membantu biaya
sekolah untuk adikanya. Tibalah saatnya mewawancarai Ajeng, kamar Ajeng naik satu
lantai lagi. Masih dalam suasana yang sama, tikar merah dan lampu
remang-remang. Tambahan lainnya adalah dindingnya yang berlubang dan banyak
jemuran di sekitarnya, di sana saya mendengar cara mereka bercanda dan
memanggil nama sapaan mereka. Salah satu teman Ajeng mamakai argot yang khas,
seperti menyebut dirinya dengan ‘akika’.
Ajeng yang nama aslinya ialah Irwansyah, mengaku bahwa dia ingin menjadi wanita
karena nalurinya adalah wanita. Bukan karena terpengaruh oleh lingkungan atau
didikan keluarganya, dia bercerita keluaraganya hanya tahu dia bekerja di
Jakarta, namun bukan sebagi waria. Ajeng berasal dari Medan, anak pertama dari
empat bersaudara. Sambil sedikit tertawa
namun terlihat sekali bahwa raut mukanya sedih ketika dia berkata apabila
terlahir kembali Ajeng ingin terlahir sebagai perempuan karena jiwanya memang
perempuan.
Ya... Terlepas dari takdir yang tidak dapat diubah, manusia
selalu memiliki keinginan yang terkadang meskipun salah tetap dilakukan. Tak
lepasnya dari sosok Ajeng, keberadaan mereka juga disambut oleh para lelaki
normal. Tarif yang mereka terima dari 30-500 ribu rupiah. Biasanya tukang ojek
dikenakan 30 ribu rupiah, supir truck 50
ribu rupiah, dan tarif lebih tinggi lagi tergantung dari mobil yang tamunya
bawa. Bukan hanya dari kalangan bawah, di antara mereka sudah sering mendapat
turis asing dan pejabat sebagai tamunya. Waria di sana juga ada yang pintar
berbahasa Inggris, bahkan di-booking
sampai luar negeri. Pada dasarnya mereka, memiliki keinginan atau motivasi dari
masing-masing pihak, baik tamu maupun warianya. Jika disimpulkan, motivasi yang
terlihat dari orang yang datang ke Taman Lawang adalah mencari kepuasan syahwat
dan tentu saja uang. Bukan semata-mata pemonopolian dari pihak penghuni yang
tergiur dengan uang. Hari itu saya mengamati Ajeng yang saya
panggil dengan Tante Ajeng, dari penampilannya saat belum ber-make up sampai setelah make-up. Tangannya begitu cekatan
memoleskan alat make-up ke wajahnya.
Rutinitas Ajeng sebelum beroperasi di Taman Lawang |
Sambil
sibuk merias diri, Ajeng bercerita bahwa mereka mengikuti semacam les make-up dan adapula ajang kontes kecantikan bagi kaum mereka ini.
Sadar bahwa pekerjaan yang dilakukannya dekat dengan penyakit seperti HIV/Aids
mereka juga rutin melakukan pemerikasaan kesehatan agar meminamalisir jika ada
penyakit yang mungkin dideritanya. Penghuni di kost-kostan milik Bunda Joice
ini paling muda masih berumur 17 tahun, Ajeng sendiri termasuk yang di’tua’kan.
Saat saya sedang bertanya kepada Ajeng, seorang waria lain datang menghampiri
dan mengeluarkan humornya. Cara dia menyapa Ajeng dengan menyebutnya ‘Oma’
karena Ajeng sudah terbilang senior di sana. Sedangkan mereka memanggil saya
dengan sebutan ‘Neng’. Mereka cukup sopan, menawari saya makan dan minum.
Selama pengamatan yang saya lakukan, saya tidak melihat dapur di sana. Hanya
ada dispenser. Mereka makan dengan
membeli makanan di luar kostan, mengakrabkan diri dengan warga sambil
berbincang-bincang di depan kost-an.
Berkumpul dan bercanda, adanya keakraban dalam komunitas ini |
Kolektivitas waria terlihat saat membantu menyambung rambut
|
Ajeng
dandan cukup lama, satu jam lebih dan itu belum termasuk mengenakan gaun yang
akan dipakainya. Sambil menunggu Ajeng selesai menggunakan gaun, saya melihat
di sekeliling, ada dua waria yang sejak saya datang sampai hampir selesai
berada di tempat itu, mereka masih menyambung rambut dengan sangat teliti dan
rapih. Tanpa banyak berkomunikasi satu waria telaten menyambung rambut waria
yang satunya lagi. Nampak di kamar sebelah Ajeng, ada empat waria sedang
berkumpul dan menonton TV tak jarang mereka saling bercanda dan melemparkan
lelucuan kepada waria lainnya. Hari itu sabtu, banyak dari mereka sudah
memiliki janji dengan tamunya. Saat menunggu Ajeng selesai berdandan, saya
melihat ada seorang waria naik diikuti dengan pria berperawakan tinggi besar
dan masuk ke kamar waria tersebut kemudian menutup pintu. Sejauh pengamatan yang saya lakukan mengenai
aspek keagamaannya, di sebelah kamar Ajeng terlihat semacam kaligrafi. Entah
apa gunanya, hanya digantung di atas pintu yang terlihat sedikit berlubang.
Selang
tak berapa lama, Ajeng keluar lengkap dengan gaun hitam pendeknya. Rambut
aslinya yang tadinya hitam sebahu kini berubah menjadi pirang, panjang
sepinggang, dan bergelombang. Ajeng terlihat anggun, namun belum siap keluar
karena menurutnya masih terlalu ‘pagi’ keluar jam 10 malam. Dia masih sibuk
menata rambutnya dengan meminta bantuan temannya, terlihat keakraban di antara
mereka dan saling membantu. Menurut Ajeng, tidak pernah ada konflik yang
terjadi, mereka hidup saling tolong-menolong, bahkan dengan kelompok waria
Palembang pun mereka tidak ada konflik meskipun terbagi menjadi dua kelompok
dalam kawasan Taman Lawang. Para waria ini beroperasi di atas jam 10 malam dan
selesai sampai pagi. Sambil menunggu Ajeng siap turun, saya mengamati
dinding-dinding di sana. Ada tulisan Arab yang ditempel di atas pintu kamar
pojok. Hal tersebut terbilang sangat kontras dengan apa yang mereka lakukan.
Lebih dari itu, mereka pun sadar bahwa apa yang mereka lakukan merupakan sebuah
kesalahan (dosa). Sempat teujar dari salah seorang waria lainnya yang menggoda
Ajeng, “dandan sudah cantik, tetap aja matinya ga diterima tanah,” katanya
sambil tertawa.
Ajeng berjalan mencari klien |
Menghampiri klien di sebuah warung |
Di
pagi hari, tidak ada kegiatan yang yang dilakukan. Kebanyakan dari mereka masih
tidur dan baru bangun di atas jam 9 pagi, tidak ada pekerjaan lain yang
dilakukan, selama menunggu malam mereka
hanya berkumpul saja sambil bersendau gurau. Ada satu warung di kawasan Sumenep
yang merupakan tempat Ajeng mencari tamu atau klien, dengan cara bertutur kata dan merayu
Ajeng menghampiri klien tersebut dan mulai mengajak berkenalan terlebih dulu sebelum aksi berikutnya. Sebenarnya, Taman Lawang adalah nama sebuah taman yang
tidak terlalu luas, bahkan tidak luas. Saat siang hari taman ini banyak disinggahi
orang-orang berjualan, di kawasan Sumenep ini juga dikenal dengan daerah
perikanan karena rata-rata warganya berjualan ikan hias, walaupun ada juga
rumah mewah di sekitarnya. Taman Lawang bak disihir pada malam harinya, tidak
ada satupun yang menjajakan makanan di sekitar Taman Lawang, hanya mereka yang
mempunyai warteg atau rumah makan saja yang buka untuk menjual makanan dan
terlihat mobil-mobil yang berlalu lalang dan menggoda waria yang sudah mulai
beroperasi menarik tamunya.
No comments:
Post a Comment