NAMA: RONNY ANDIKA
NIM: 11140110162
KELAS: B-1
Tanggal 22 Desember 2012 dan waktu sudah menunjukan pukul
03.00 subuh. Saya dan teman-teman siap berangkat ke kampung Naga dan dimulai
dengan menggunakan 2 mobil dan jumlah anggota yang pergi adalah 17 orang.
Kami
memutuskan untuk berangkat subuh agar waktu kami untuk observasi di kampung Naga
tidak terbuang banyak. Lama perjalanan untuk sampai ke kampung Naga mencapai
6-7 jam dan itu juga sepanjang perjalanan kami tidak teralu macet. Meskipun
sedikit terkena macet itu juga tidak membuat kami jenuh dan bosan. Malah sangat
menyenangkan disalam mobil karena satu sama lain saling bercanda dan bernyanyi.
Saya dan teman-teman memutuskan untuk melakukan observasi ke
kampung Naga karena kampung Naga masih tradisional dan memiliki budaya yang
masih memegang kuat adat istiadat yang dianut masyarakatnya. apalagi budaya kampung
Naga masih belum seutuhnya tersentuh budaya modern seperti sekarang ini
layaknya di kota-kota besar seperti Jakarta.
Struktur bangunan, kepercayaan, mata pencaharian, dan
tradisi kampung inilah yang menjadi suatu keunikkan bagi saya. Karena saya
lebih ingin melakukan pendekatan observasi dengan masyarakat dan budayanya maka
saya dan teman-teman saya memutuskan untuk tinggal selama 2 hari 1 malam di kampung
Naga, dan kami diizinkan untuk beristirahat di rumah warga dan kami
diperlakukan dengan baik.
Kampung Naga terletak di desa Neglasari, kecamatan Salawu,
kabupaten Tasikmalaya, provinsi Jawa Barat. Luas perkampungan ini 1.5Ha dan ada
100 bangunan. Di kampung Naga ini ada 108 kepala keluarga dan terdapat 314 jiwa
orang. Lokasi
kampung Naga sendiri berbatasan dengan: sebelah Timur dan Utara berbatasan
dengan sungai Ciwulan dan sebelah Barat berbatasan dengan hutan keramat (leuweng keramat).
Selama perjalanan 6-7 jam lamanya, sampailah saya dan
teman-teman di kampung Naga. Ketika turun dari mobil saya dan teman-teman
bertemu dengan Mang No. Mang No ini yang akan membawa dan menemani kami selama
di kampung Naga.
Saya melihat tugu yang menandakan bahwa saya dan teman-teman
sudah sampai di kampung Naga, tapi jangan senang dulu karena untuk menjangkau
kampung Naga hanya bisa berjalan kaki dan menuruni tangga 439 tangga. Konon
katanya jumlah anak tangga yang dihitung per-tangga saat turun ke kampung Naga dan naik ke atas
berbeda, tidak selalu sama jumlahnya jika dihitung.
Setelah saya dan
teman-teman melewati 439 anak tangga tersebut sampailah di kampung Naga. Kampung
Naga benar-benar masih sangat terasa suasana desa, disini saya merasakan cuaca
dan udara yang sangat sejuk. Terlihat keindahan yang bagus dan masih alami yang
biasanya saya lihat hanya di televisi. Selain saya dan teman-teman UMN, banyak
orang lain juga yang berlalu lalang untuk meliputi masyarakat kampung naga yang
sedang bekerja. Ada juga orang-orang yang datang dari luar kampung yang ingin
berwisata di kampung Naga. Banyak juga anak-anak sekolahan dan anak kuliah yang
datang untuk melihat kampung Naga ini, ternyata kampung ini benar-benar sungguh
terkenal dalam kebudayaannya.
Dari pertama kali saya masuk
ke daerah perumahan kampung Naga, saya dapat melihat deretan-deretan rumah yang
tersusun berurutan dan rumah-rumah tersebut saling berhadap-hadapan. Semua
rumah di kampung Naga juga terbuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar seperti
ijuk dan tidak diperbolehkan terbuat dari semen ataupun beton. Pemasangan
listrik juga tidak ada di kampung ini, dikarenakan masyarakat kampung naga
takut jika pemasangan listrik yang tidak rapih akan menyebabkan konslet dan
kebakaran, apalagi ditambah lokasi kampung naga yang jauh dari gambir pemadam
kebakaran. Tidak adanya listrik menjadikan masyarakat dapat hidup lebih
sederhana karena tidak terpengaruh dari dunia luar seperti adanya televisi,
komputer , dll.
Setiap wisatawan yang berkunjung sangat
diharapkan untuk meminta izin kepada sesepuh kampung Naga. Menurut saya hal ini
untuk membuat kami para wisatawan untuk bersikap sopan dengan meminta izin
bahwa kita akan melakukan observasi di kampung ini.
Di kampung Naga memang
berbeda dengan budaya luar sana, karena disini terdapat dua pimpinan yaitu
pimpinan formal dan nonformal. Pimpinan formal terdiri dari kepala dusun dan
pak RT dan pemilihan ini dipilih secara demokrasi oleh masyarakat. Masa jabatan
juga terbilang lama yaitu 5-6 tahun. Tugasnya
adalah menyampaikan pemerintahan dari atasan sampai ke masyarakat.
Pimpinan nonformal terdiri
dari tiga orang, yaitu Pak Kunsen yang tugasnya memimpin ziarah ke makam,
kemudia Pak Punduh yang tugasnya mengayomi warga, lalu yang terakhir pak Lebe
yang mengurus jenazah yang meninggal sampai menguburkan dan sebagai sarana
keagamaan. Masa jabatan ketiga pimpinan nonformal ini adalah seumur hidup atau
semampunya.
Pimpinan ini terpilih karena
memang keturunan nenek moyang. Jika salah satu keturunan tidak memiliki anak
maka pergantian pimpinan ini dapat digantikan dengan saudara keturunan tersebut
yang memiliki anak.
Semua rumah di kampung Naga tidak memilik kursi dan meja
karena masyarakat beranggapan bahwa semua manusia itu sederajat. Jadi, jika ada
tamu yang datang maka akan duduk semua di lantai, kadang pasti ada yang duduk
di kursi dan ada juga yang di lantai.
Perabotan untuk memasak pun juga masih
terbilang tradisional, masih menggunakan kayu bakar dan tungku. Setiap rumah
tidak memiliki kamar mandi sendiri, kamar mandi disediakan di setiap sudut
kampung Naga. Semua aktifitas dari mandi, buang air kecil dan besar, dan
mencuci semua dilakukan ditempat yang sama yang telah disediakan. Kamar
mandinya pun juga masih tradisional tidak seperti kamar mandi pada umumnya dan
air yang digunakan adalah mata air dari pegunungan yang mengalir langsung dari
jalur bambu yang sudah dibuat. Terdapat dua saluran air yaitu saluran air
bersih dan saluran air sungai.
Kebanyakan masyarakat kampung Naga menggunakan bahasa sunda,
dan tidak terlalu lancar menggunakan
bahasa Indonesia. Pekerjaan utama masyarakat kampung naga adalah bertani dengan
melakukan penanaman padi setahun dua kali yang disebut dengan Janli yaitu
penanaman dilakukan pada bulan Januari dan bulan July. Disamping itu, tidak
hanya bekerja sebagai petani tapi masyarakat kampung Naga juga membuat
kerajinan tangan dari bambu, berternak biri-biri, kambing, kerbau dan ikan. Ikan-ikan
tersebut juga dapat digunakan untuk melakukan pengobatan. Tidak hanya masyarakat
dalam kampung Naga yang menggunakannya, tapi banyak juga wisatawan yang
melakukan pengobatan ini. Caranya adalah dengan memasukan kedua kaki kedalam
kolam dan ikan-ikan yang ada di kolam akan menyenyuh kaki kita dengan
menggunakan mulutnya seperti digigit tapi tidak akan melukai kaki kita. Kita
juga dapat memberi makan ikan-ikan tersebut dengan makanan ikan yang sudah
disediakan hanya membayar Rp.1000 saja.
Kesenian yang terkenal di kampung Naga ada tiga yaitu
angklung, kembang-kembung, dan arinding. Tetapi alat musik arinding ini yang
menurut saya sangat unik dan khas. Baru pertama kali saya melihat dan mendengar
alat musik ini. Cara memainkannya dengan menaruh alat music tersebut di mulut
kita lalu di pukul-pukul sisi bagian kanan. Hanya orang-orang yang sudah ahli
yang dapat memainkannya sehingga dapat menimbulkan nada yang tidak sumbang.
Pengobatan di kampung ini yang diutamakan adalah obat-obat
tradisional terlebih dahulu tapi jika sudah mendesak atau sakit semakin parah
baru pergi ke puskesmas atau dokter. Masyarakat kampung Naga tahu banyak
biji-bijian yang dapat dijadikan obat dan untuk menyembuhkan sakit. Salah
satunya biji ini yang saya coba dan dapat langsung dimakan tanpa proses apapun,
pertama kita buka terlebih dahulu kulitnya yang membungkus biji tersebut,
isinya kecil berwarna putih ping. Kata Mang No, biji ini dapat menyembuhkan
sakit pusing. Tidak
hanya dari biji-bijian tapi obat tradisional juga dipercaya berasal dari hewan
seperti belut.
Belut dipercaya dapat menyembuhkan sakit,
tapi bagi orang yang tidak sakit boleh juga memakan belut ini. Belut yang sudah
ditangkap direndam diair bersih seharian agar kotoran-kotoran yang menempel di badan
belut tersebut hilang. Belut ini tidak dibunuh dan dimasak dulu tapi langsung
ditelan hidup-hidup. Masyarakat kampung Naga memepercayai bahwa kita tidak
boleh membunuh sesama makhluk hidup meskipun itu binatang.
Kemudian
juga bagi ibu yang akan melahirkan, lebih diutamakan menggunakan dukun beranak
baru dibantu oleh bidan untuk melaksanakan pelahiran.
Menurut Rogers dan Steinfatt dalam buku yang berjudul
Komunikasi Lintas Budaya, kepercayaan
adalah suatu sistem penyimpanan bagi pengalaman masa lalu, termasuk pemikiran,
ingatan, dan interpretasi terhadap suatu peristiwa.
Karena
kampung Naga tergolong masih masyarakat tradisional tentu ada pantangan yang
harus dilakukan baik warga maupun wisatawan yang datang yaitu pada hari selasa,
rabu, sabtu , dan pada bulan safar dan bulan siam tidak diperbolehkannya
melakukan ziarah makam, dan tidak boleh menceritakan silsilah kampung naga.
Kegiatan seperti menikahkan, membangun rumah, kunjungan kampung Naga masih
diperbolehkan.
Ada
juga pantangan yang harus dilakukan yaitu:
a.
Ketika tidur, arah kaki tidak boleh menghadap ke arah kiblat
b.
Pada saat buang air kecil tidak boleh juga menghadap arah
kiblat
c.
Kaki tidak boleh selonjoran menghadap arah kiblat
d.
Pada saat jem Sembilan malam, tidak boleh ada yang
berkeliaran lagi di luar rumah.
e.
Ngadu yang artinya mengadu makhluk hidup
f.
Nyawadon yang artinya bermain wanita
g.
Nyamadat yang artinya berjudi
Alasan
kenapa tidak boleh mengarah ke kiblat karena umat Islam melaksanakan ibadah
sholat ke kiblat maka itu kita menghargainya dengan kaki tidak mengarah ke kiblat dan buang air kecil tidak
ke arah kiblat. Kalau kita melanggar pantangan tersebut dengan tidak sengaja,
maka tidak apa-apa. Tetapi jika kita sudah mengetahui tapi tetap saja dilanggar
maka akan pelanggar tersebut akan mendapatkan sanksi yang dipercayai warga kampung Naga yaitu
Amanat, Wasiat, dan Akibat.
Ada
beberapa tempat larangan yang tidak boleh dikunjungi secara sembarangan, yaitu:
a.
Hutan keramat yang lokasinya berada di sebelah Timur sungai
Ciwulan. Hutan ini dipercaya
berisi
makhluk-makhluk halus. Jangankan para wisatawannya, warga kampung Naga juga
dilarang keras untuk menginjakkan kaki di hutan ini.
b.
Selanjutnya Bumi Ageng yang merupakan tempat makam para
leluhur yang terletak di sebelah
Barat kampung. Untuk memasuki
wilayah ini tidak boleh sembarangan orang yang masuk, bahkan para keturunnya
juga tidak boleh masuk secara sembarangan. Tempat ini dibatasi pagar dan jika
kita ingin mengambil photo harus berjarak sekitar 15 meter.
Menurut Larry A. Samovar dalam bukunya yang berjudul
Komunikasi Lintas Budaya, cara pandang
merupakan orientasi budaya terhadap Tuhan, kemanusiaan, alam semesta,
kehidupan, kematian, penyakit, dan isu filosofis lainnya mengenai keberadaan
sesuatu.
Saya
diceritakan oleh pak Punduh mengenai kehidupan di kampung Naga bahwa selama
kampung ini berdiri belum pernah terjadinya pertengkaran sesama kampung bahkan
antar warganya sendiri karena warga kampung Naga mempercayai dan mempraktekkan
cara pandang yang dipercayainya, yaitu:
·
Sili Asah yang mempunyai arti saling
menyayangi
·
Sili Asih yang mempunyai arti saling
memberi
·
Sili Asuh yang mempunyai arti saling
menghargai
·
Silih Payungan yang mempunyai arti
merangkul sesama
Saya sangat salut dengan kampung naga, karna masyarakat kampung naga benar-benar masih menjaga semua tradisi dari nenek moyang kampung Naga, semua yang saya lihat sangat tradisional. Setelah melakukan observasi, saya mendapatkan pengalaman baru, dan juga pengetahuan baru disana.
“Sayangilah Alam kita, dan Alam akan memberikan semua apa yang kita butuhkan”.
No comments:
Post a Comment