sepasang Bekakak yang akan disembelih
Sangat kebetulan
ketika upacara adata tersebut berlangsung saya juga sedang berlibur ke kota
batik ini. Lebih kebetulan lagi adalah saya baru mendapatkan informasi bahwa
ada upacara adata ini adalah saat pagi hari. Sungguh, saya merasa beruntung
kali itu. Sehingga saya pun langsung bersiap-siap dan mencari teman untuk menemani
saya untuk bisa meliput acara yang harus didatangi tersebut. Akhirnya saudara
sayalah yang saya ajak, karena hanya dia yang tidak ada acara. Terima kasih
Reta J
Berdasarkan
mitos Jawa kuno yang saya ketahui setelah berbincang dengan ketua panitia acara
ini, bulan Sapar identik dengan bulan sial dimana sering terjadi kecelakaan dan
musibah. Oleh karena itu, masyarakat setempat pun pada akhirnya melaksanakan
ritual Saparan dengan maksud memohon kepada Yang Maha Kuasa agat dihindarkan
dari mara bahaya dan musibah yang akan terjadi. Ritual Saparan pun akhirnya
dilakukan secara rutin di kawasan Desa Ambarketawang, Yogyakarta karena kawasan
ini merupakan tempat didirikannya Kraton Yogyakarta untuk pertama kalinya oleh
pangeran Mangkubumi puluhan tahun yang lalu.
Warga percaya
bahwa ritual adat ini bermula pada kisah mengenai sepasang suami istri yang
merupakan abdi dqlem penangsang (hamba yang memayungi) yang setia dari Keraton
Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I (Pangeran
Mangkubumi ). Mereka dikenal sebagai Kyai Wirasuta dan Nyi Wirasuta.
Sebagai Kanjeng Sinuhun (penguasa kasunanan) yang
pertama, Sultan Hamengkubuwono I ini bermaksud untuk mendirikan sebuah istana
(keraton) sebagai kediaman baginya. Saat
pembangunan keraton, Sultan memilih sebuah pesanggrahan yang terletak di Desa
Ambarketawang, daerah Gamping, yang
memang warga di sana sebagian besar bermata pencaharian sebagai penambang batu
gamping.
Setelah
pembangunan keraton selesai, Sultan bersama seluruh abdi dalem pun kembali
menuju ke Keraton yang baru. Tetapi Kyai dan Nyai Wirasuta memutuskan untuk
tidak turut Sultan menuju keraton dan memilih untuk menetap di pasanggrahan
bekas tempat singgah Sultan di Desa Ambarketawang tersebut.
Tanpa disangka musibah
pun terjadi menimpa sepasang abdi dalem
ini. Tepat pada Jumat Kliwon di bulan Sapar, Gunung Gamping runtuh dan
menewaskan Kai dan Nyai Wirasuta. Namun anehnya, sampai sekarang jasad mereka
tidak ditemukan. Setelah kejadian tersebut
sering terjadi musibah setiap bulan Sapar dating. Melihat hal ini timbul perasaan resah dari
warga setempat dan warga pun mempercayai bahwa arwah dari Kyai dan Nyai
Wirasuta masih menempati Gunung Gamping .
Mengetahui
keresahan tersebut, Sri Sultan akhirnya megeluarkan titas kepada masyarakat
Ambarketawang untuk mengadakan upacara selamatan dengan mempersembahkan
sepasang pengantin (Bekakak) yag terbuat dari campuran beras ketan sebagai
simbol untuk menggantikan Kyai dan Nyi Wirasuta beserta seluruh warga yang
menjadi korban dari longsornya Gunung Gamping pada waktu silam.
Siang itu
(28/12/2012) saya yang sudah sampai di tempat pukul satu siang dan melihat ratusan
warga sangat antusias ramai berkumpul di lapangan besar di Desa Ambarketawang,
Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta untuk
menyaksikan ritual tahunan ini. Di dalam ruang Balai Kota Ambarketawang sudah
terlihat tiga ogoh-ogoh yang
didalamnya terdapat sesajen berupa dua pasang bekakak dan makanan yang biasa
dipersembahankan dalam acara ritual adat. Nampak pula dalam sangkar sepasang
buruh merpati yang dimaknai sebagai simbol dari sepasang kekasih yang akan
terus setia.
Upacara saparan
babakan ini dilakukan kurang lebih selama satu minggu. Diantaranya adalah
tahapan midodareni bekakak yang biasa juga dilakukan oleh pengantin-pengantin
jawa pada umumnya, tahapan kirab, lalu
tahapan penyembelihan bekakak, dan yang terakhir adalah tahapan Sugengan Agung.
Namun karena saya termasuk terlambat mendapatkan informasi mengenai upacara
adat ini, saya tidak bisa melihat secara langsung ritual upacara adat ini dari
awal. Alhasil, saya pun hanya bisa mendapatkan informasi dari cerita dari ketua
panitia dan masyarakat disana.
Upacara Saparan
Bekakak ini sudah dijadwakan bahwa untuk kirab Tematen Bekakak akan dilakukan
pada pukul 14.00 WIB pada hari Jumat Kliwon dalam bulan Sapar. Kemudian
dilanjutkan dengan penyembelihan bekakak di Gunung Gamping pada pukul 16.00
WIB. Dalam persiapan ritual bekakak ini dibagi dalam dua bagian yaitu saparan
bekakak dan sugengan ageng. Persiapan untuk saparan bekakak yang terutama
adalah pada pembuatan bekakak yang terbuat dari tepung ketan dan membuat juruh.
Juruh disini yang akan di masukan ke dalam tubuh bekakak yang diumpamakan
sebagai darah.
Iringan suara
gejong lesung atau klothekan yang
terdiri dari bermacam-macam irama yaitu kebogiro, thong-thongsot, dhethek,
wayangan, kutut manggung terdengan pada saat pembuatan tepung yang dibuat dari
beras oleh ibu-ibu warga desa Ambarketawang ini. Setelah tepung jadi dari
proses penumbukan beras dilanjutkan dengan pembentukan sepasang penganting
bekakak, genduwo, kembang mayang, dan sesajen-sesajen lainnya.
Dua pasang
pengantin bekakak yang dibentuk sangat menyerupai pengantin Jawa pada umumnya.
Salah satu pengantin bekakak dihias dengan gaya pengantin Jawa Yogyakarta dan
sepasang lainnya dihias dengan gaya pengantin Solo. Sama seperti pengantin
sebenarnya, bekakak disini dirias dengan pakaian adat pengantin Jawa yang
lengkap.
Pengantin
laki-laki satu yang berpakaian pengantin ala adat Solo terlihat menggunakan
ikat kepala ahestar yang berhiaskan bulu-bulu dan di lehernya terdapat
selendang merah dengan kalung sungsun, sabuk berwarna biru dan dilengkapi
dengan slepe. Terselipkan pula sebuah keris yang dironce dengan bunga melati
dan kelat bau. Dari pengantin wanitanya terlihat memakai kemben berwarna biru
dan terdapat selenfang merah yang di kalungkan pada lehernya dengan menggunakan
kalung sungsun. Wajahnya juga dipaes, riasan wajah pengantin Jawa, digunakan
pula sebuah gelung yang berhiaskan bunga-bunga dan mentul. Tak lupa pada
bahunya dipasangkan kelat dan memakai subang.
Dilain ogoh-ogoh nampak sepasang pengantin
dengan pakaian adat Yogyakarta yang lengkap dengan sesaen di depannya.
Pengantin laki-laki terlihat memakai penutup kepala atau yang biasa disebut
kuluk yang berwarna merah. Tak lupa dikalungkannya selendang atau sluier biru
dengan kalung sungsun dan ditambah dengan ikat pinggang biru dengan slepe, kain
lereng, kembn berwarna hijau, dan kalung selendang biru atau bangu tulak.
Dalam pembuatan
pengantin bekakak ini warga memiliki ketentuan khusus yang tidak boleh
dilanggar, mereka meganggap ini sebagai syarat supaya bekakak yang dihasilkan
bisa baik. Syarat tersebut yaitu mengharuskan orang-orang yang menyiapkan bahn
mentah seperti beras, air, tepung dan lain sebagainya adalah para wanita
sedangkan untuk pembuatan bekakaknya dikerjakan oleh para pria.
Sesajen yang
dipersembahkan dalam upacara adat ini dibagi menjadi tiga kelompok. Dua sesajen
masing-masing diletakkan untuk dua jail dimana sesajen ini masing-masing
diletakkan bersama dengan sepasang pengantin bekakak. Dan satu kelompok lagi di
letakkan di dalam jodhang yang digunakan sebagai plengkap sesajen untuk upacara
ini.
Sesajen yang
diletakkan bersama dengan pengantin bekakak adalah nasi uduk atau biasa warga
menyebutnya nasi wuduk yang diletakkan dalam pengaron kecil, lalu ada nasi
liwet yaitu makanan khas Solo yangdiletakkan dalam sebua kendhil kecil yag
dilengkapi dengan rangkaian daun dhadhap, daun turi, daun kara, telur mentah
dan sambal gepeng. Terlihat juga tumpeng yang disebut dengan tumpeng urubing
dhamar, kelak kencana, pecel pitik atau pecel ayam, jangan menir, urip-uripan lele, rindang antep, ayam panggang, ayam
lembaran, wedhang kopi pahit, wedhang kopi manis, jenewer, rokok/cerutu, rujak degan, rujak
dheplok, arang-arang kemanis, padi, tebu, pedupaan, candu (impling), nangka
sabrang, gereh (ikan asin) mentah, dan lainnya.
Sejujurnya saya
sendiri kurang tahu nama-nama itu, tapi untungnya saat liputan acara ini saya
ditemani oleh salah seorang saudara saya yang memang asli Jogja yang setidaknya
mengerti nama-nama sesajen atau makanan-makanan yang disuguhkan disana.
Selebihnya saya bertanya langsung dengan panitia yang memang mempersiapkan
sesajen-sesajen tersebut jadi bisa dipercaya kok nama-nama diatas J
Sesajen-sesajen
yang telah dipersiapkan tersebut diletakkan dalam sudhi atau gelas kecil dan
kemudian ditaruh di atas jodhang. Diantaranya adalah sekul wajar (nasi ambeng)
dilengkapi dengan lauk pauk yang membuat saya ingin menyomotnya haha yaitu
sambel goring waluh, tumis buncis, rempeyek, tempe garing, bergedel,
entho-entho, dan masih banyak lagi yang saya tidak ketahui namanya. Lalu ada
oula sekul galang lutut, sekul galang biasa, tempe rombyong yang diletakkan
dalam centhing bamboo, tumpeng megana, sanggan (pisang raja setangkap), sirih,
jenang-jenangan, rasulan (nasi gurih), dan asal tahu itu semua adalah nasi yang
hanyadimasak denga cara yag berbeda sehingga namanya pun berbeda juga,
membingungkan sebenarnya.
Tidak hanya itu, masih ada lagi
ingkung ayam, kolak, apem, randha kemul, roti aleng, jadah bakar, emping,
klepon,, tukon pasar, sekar konyoh, kemenyan, jlupak baru, kelapa dan ayam
hidup! Bayangkan ayam hidup diletakkan bersamaan dengan makanan-makanan tadi.
Awalnya saya tidak menduga ada ayam hidup, tapi pada saat saya mendengar suara
kukuran ayam saya baru tahu ada ayam disana. Yaa begitula yang ada. Semua sesajen tadi diletakkan dalam lima
ancak, dua ancak ditaruh bersamaan dalam jail. Selain itu terlihat pula
sepasang burung merpati dalam sangkar, dimana sepasang burung ini diartikan
sebagai kesetiaan yang sesuai dengan kesetiaan pasangan suami istri Kyai dan
Nyai Wirasuta kepada Sultan Yogyakarta.
Kembali pada ritual
pertama yaitu Midodareni Bekakak. Walaupun bekakak yang dipersambahkan ini
hanya berwujud pengantin tiruan, tetapi menurut adat istiadat penduduk setempa
upacara Midodareni peslu untuk tetap dilakukan. Saya tahu acara Midodareni yang
memang biasa dilakukan dalam pernikahan adat Jawa, namun saya tidak menduga hal
ini juga dilakukan pada persembahan dalam bentuk bekakak ini. Kata Midodareni
sendiri berasal dari bahasa Jawa yaitu bidadari. Kata ini mengandung makna
bahwa pada malam Midodareni para bidadari turun dari surge untuk memberikan
restu pada sepasang pengantin bekakak ini.
Sesuai dengan
informasi yang saya dapatkan dari panitia tahapan upacara Midodareni ini
berlangsung pada malam hari yaitu pada kamis malam. Acara ini dimulai dari jam
20.00 WIB dimana dua buah jail berisi penganting bekakak dan sebuah jodhang
berisi sesajen yang disertai sepasang suami istri gendruwo dan wewe. Semua itu
kemudian diberangkatkan ke Balai Desa Ambarketawang dengan arak-arakan yang
meriah yang terdiri dari pembawa umbul-umbul, barisan pengawal, joli pengantin
dan jondhang, reog dan barisan lainnya. Dalam acara Midodareni ini juga
dilakukan malam tirakatan yang dimeriahkan dengan acara wayang gulit,
guyon-guyon (semacam acara sepaerti lenong), dan reog.
Memasuki acara
puncak yaitu Kirab Pengantin Bekakak. Tahapan ini adalah pada pawai atau
arak-arakan orang-orang yangmembawa jail atau ogoh-ogoh pengantin bekakak ke tempat peyembelihan. Seiring dengan
kirab ini ada pula rangkaian sesaji sugengan Ageng yang diarak dan dibawa dari
Patran menuju pesanggrahan yang pada awalnya sudah diarak menuju Balai Desa
terlebih dahulu. Arak-arakkan kali ini lebih meriah, bahkan menurut saya sangat
meriah. Semua telihat sangat mempersiapkan diri, dari mulai anak-anak sampai mbah-mbah.
Saat saya
tanyakan pada panitia arak-arakkan yang ada jumlahnya 30 kelompok yang sesuai
dengan data, dan itu masih bisa bertambah. Bisa dibayangkan betapa panjangnya
arak-arakan yan ada nantinya. Arak-arakan ini diantaranya adalah reog dan jathilan, sesajen sugengan Ageng, barisan
prajurit baik putra dan putri, rombongan Demang, pembawa tombak, prajurit anak,
joli sesajen, barisan anak-anak gendruwo, dan masih banyak lagi.
Sangat
disayangkan memang siang hari itu hujan turun sangt deras, sampai-sampai
lapangan Desa Ambarketawang banjir. Tetapi saya sangat salut dengan masyarakat
desa di sini. Hujan deras bukan menjadi penghalang untuk tetap bisa memeriahkan
acara ini, baik dari pelaku yang ditonton maupun dari masyarakat yang
menontonnya. Mereka tetap berduyung-duyung berjalan mengitari kawasan desa ini
untuk nantinya mempersembahkan bekakak yang akan disembelih di Gunung Gamping.
Penyembelihan
bekakak dimulai setelah arak-arakan tiba di Gunung Amabarketawang.
Penyembelihan dilakukan di dua titik, yaitu di titik pertama di Gunung
Ambarketawang dan titik kedua di Gunung Gamping. Rute arak-arakan setelah
keluar dari Balai Desa adalah melalui jalur ring road utara lalu berhenti di
Gunung Ambarketawang untuk penyembelihan pertama dan dilanjutkan menuju ke
Gunung Gamping untuk penyembelihan kedua sekaligus pemberhentian terakhir.
Sudah bisa dibayangkan apabila 30 kelompok arak-arakan ditambah warga yang ikut
dalam perjalanan menyesaki jalan utama kota Jogja ini pasti akan timbul
kemacatan. Memang itu yang terjadi kali itu.
Setelah
arak-arakan sampai di lereng Gunung Gamping, maka joli kedua yang tersisa pun
beserta gunungan sesajen diletakkan di semacam panggung tinggi yang memang
dibangun untuk acara seperti ini. Kemudian ulama atau kaum membacakan doa
khusus dan barulah boneka pengantin bekakak itu disembelih. Saya sangat beruntung karena pada saat
penyembelihan ini saya bisa mendapatkan posisi di atas tepat disamping bekakak
disembelih, bukan bersama masyarakat yang sangat ramai di bawah panggung.
Setelah selesai
disembelih persembahan sesajen pun dibagikan pada warga. Mereka saling berebut
untuk bisa mendapatkan sesajen yang disediakan, karena pada dasarnya masyarakat
menganggap bahwa sesajen tersebut sudah diberkati sehingga bukan lagi makanan
biasa. Saya pun turut melemparkan sesajen tersebut ke warga yang ada di bawah
panggung. Menyenangkan ternyata bisa berbagi berkat! J
|
No comments:
Post a Comment