NIM : 11140110262
NAMA : SANTIKA INDRI EKA PUTRI
KELAS : F-1
Kota Surakarta atau biasa disebut Solo merupakan salah satu
kota yang berdekatan dengan Jogjakarta, yaitu di Provinsi Jawa Tengah,
Indonesia. Jawa tengah memiliki bahasa yang berbeda dengan wilayah Jawa
lainnya. Jawa tengah, terutama Solo dan Jogja mempunyai bahasa Jawa yang lebih
halus dibanding dengan wilayah Jawa Timur, hal tersebut berbeda karena adanya
perbedaan regional. Terdapat komunitas-komunitas (perkumpulan) batik di kota
yang di lewati oleh sungai Bengawan Solo ini. Salah satunya ialah Kampung Batik
Laweyan yang terdapat di jalan Dr. Rajiman 565 Kampoeng Batik Laweyan, Solo,
Indonesia 57148.
sumber: www.google.com |
Kampung Batik Laweyan merupakan salah satu kawasan industri
batik di Solo yang tergolong bersejarah, karena Kampung Batik Laweyan merupakan
kampung batik tertua dibandingkan dengan Kampung Batik Kaoeman, sedangkan
Kampung Batik Laweyan sudah ada sejak abad ke-19 dimana pada saat itu Laweyan
sudah disebut sebagai kawasan kampung batik. Karena itulah, Kampung Batik
Laweyan menjadi pusat batik dan bahkan menjadi icon batik Solo.
Ketika mendengar batik, saya cenderung teringat kepada Solo.
Ya, Solo terkenal dengan kain batik khasnya. Sehingga membuat kota ini menjadi
salah satu pusat tradisi Jawa, selain Jogja. Batik merupakan motif yang
dihasilkan dari bahan tinta malam yang dituliskan dengan canting, di cap atau
di print dengan mesin cetak pada sehelai kain. Batik Solo mempunyai ciri khas
tertentu yang berbeda dari batik lainnya yang terdapat pada corak batiknya. Sido
Mulyo, Tirto Tejo, Samurai, Tambal, Cuwiri, Liris, Parang Pamor, Parang Kesit,
Truntum, Kawung, Slobok dan Parang Rusak merupakan beberapa contoh motif batik
Solo.
Laweyan berasal dari kata Lawe yang artinya benang. Dimana,
benang sangat terkait terhadap bahan sandang. Nama tersebut lahir karena pada
masa Kerajaan Pajang, desa Laweyan atau yang kerap sekarang disapa Kampung
Laweyan, merupakan pusat perdagangan benang. Semakin lama, Laweyan sangat
terkenal di dunia perdagangan batik karena mempunyai lokasi yang strategis,
yaitu di tepi Sungai Jenes, dimana Sungai Jenes merupakan sungai yang terhubung
dengan sungai Bengawan Solo yang bermuara di Pantai Utara Jawa.
Pada awal abad ke-20, tren industri dibilangan Laweyan
beralih dari menenun menjadi membatik. Hingga saat itulah industri batik kian
tumbuh pesat dengan dibentuknya Kampung Batik Laweyan dibawah Forum Perkembangan
Batik Laweyan. Tidak hanya industri batik yang dikembangkan, tetapi juga
melakukan pengembangan wisata batik terpadu di kawasan Laweyan. Hingga saat
ini, Kampung Batik Laweyan bergerak sebagai kawasan belanja sandang dan budaya
yang menjadi sebuah komunitas wisata yang menawarkan keindahan seni batik dan
sejarah secara bersamaan.
Menurut buku Komunitas Lintas Budaya karya Larry A. Samovar,
Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, kemampuan untuk memindahkan produk,
perlengkapan, manusia, informasi, dan sekuritas dengan cepat ke seluruh dunia
tanpa masalah batas nasional atau internasional telah meningkatkan apa yang
biasanya disebut dengan kerja sama antarnegara. Kini, industri batik warga
Laweyan sudah terkenal hingga ke mancanegara. Terbukti dengan adanya ekspor
batik asal Laweyan ke Amerika dan Jerman. Bahkan, akhir-akhir ini Agent Tour
Jepang telah melakukan kunjungan ke Laweyan sejumlah 25 orang untuk membuat wisata
Kampung Batik Laweyan yang nantinya batik tersebut akan di jual di Jepang.
Tidak hanya Jepang yang tertarik untuk mengekspor batik ke negeranya, Swedia dan
Taiwan ternyata tertarik untuk memperluas budaya batik di negaranya
masing-masing.
Saat memasuki kawasan Kampung Batik Laweyan, saya merasakan budaya
batik disini lebih kental dibandingkan dengan toko-toko batik pada umumnya yang
ada di Jakarta. Ketika memasuki gapura di desa ini, terdapat rumah kuno di
sebelah kanan dan di sebelah kiri terdapat tembok-tembok jalanan yang masih
berupa batu bata. Tidak jauh dari pintu masuk, di kanan dan kiri jalan dapat
kita jumpai beragam toko-toko atau gerai-gerai batik yang tersebar di Kampung
Batik Laweyan ini. Masing-masing gerai umumnya menawarkan berbagai fasilitas
tersendiri, seperti melihat langsung proses pembuatan batik hingga terjun
langsung dalam membuat batik. Salah satu gerai yang saya kunjungi adalah gerai
Batik Cempaka.
Batik Cempaka merupakan graha batik yang menyediakan
fasilitas workshop, showroom, meeting
room and out bound batik. Gerai tersebut terletak di tengah-tengah Kampung
Batik Laweyan. Lokasinya hanya dapat dijangkau dengan jalan kaki menyusuri
jalan-jalan kampung yang terbilang sangat sempit dengan tembok-tembok yang
tinggi. Kendaraan yang dapat dilalui di lokasi ini hanya sepeda, sepeda motor,
gerobak dan becak. Saat kita memasuki lorong jalanan, suasana tempo dulu dapat
terasa yang dapat terlihat dari corak dinding, tingginya dinding dan bangunan-bangunan
yang umumnya masih terlihat kuno. Sejak tahun 1980, Batik Cempaka sudah memeroduksi
batik tradisional dengan motif khas solo yang memunyai nama dan arti filsafat
tersendiri didalamnya.
Disini, kita dapat melihat suasana pabrik batik dengan
melihat cara mencap batik dengan menggunakan alat yang tentunya sudah dibuat
dari logam. Sehingga, para pembuat tidak susah payah untuk mencanting kain satu
persatu. Tidak hanya itu, saya juga diajarkan bagaimana menggunakan canting
yang akan dicelupkan pada malam lalu mengolesnya pada selembar kain putih yang
sudah diberi gambar oleh pensil. Ternyata, membatik itu susah-susah-gampang.
Mungkin susah karena saya tidak terbiasa dengan mencanting, gampangnya karena
hanya dengan menggerakan canting, saya dapat menciptakan gambar yang begitu
indah. Setelah itu saya membuat gambar dasar dari malam, saya memberi sentuhan
olesan terakhir, yaitu dengan mewarnai kain yang masih terlihat putih dengan
warna yang saya inginkan. Hasilnya mengagumkan. Dengan Rp 25.000 saya dapat
belajar dan dapat membawa hasil batik saya yang sudah diwarnai dan dikeringkan
untuk dibawa pulang.
Seperti yang dikemukakan oleh Peoples dan Bailey, budaya itu
bervariasi dari cara masyarakat berpikir maupun bertindak. Sedangkan Rodriguez
berpendapat bahwa, budaya berisi tentang bagaimana kita berhubungan dengan
orang lain, bagaimana kita berperilaku dan bagaimana kita melihat dunia ini. Solo
terkenal dengan keramahannya, begitu pula dengan warga Kampung Batik Laweyan
yang hangat dalam memberikan sapaan dan tutur kata. Bahasa tidak hanya
mengizinkan anggotanya untuk berbagi pikiran, perasaan dan informasi, tetapi
juga merupakan metode utama dalam menyebarkan budaya. Saat saya memasuki
kawasan, saya sedikit berbincang-bincang dengan warga sekitar mengenai keadaan
sekitar kampung. Beliau menggunakan bahasa Jawa yang saya sendiri tidak
memahami arti dari ucapannya. Dengan memasang wajah yang bingung, ternyata
pesan nonverbal saya sampai kepada
beliau. Beliau dengan ramah meminta maaf karena ia tidak mengetahui bahwa saya
tidak mengerti bahasa Jawa dan mengulang kembali ucapannya.
Sejak tahun 1975, di Kampung Batik Laweyan sudah terdapat
banyak masyarakat yang membatik, tetapi tidak semua dari mereka bisa membatik.
Ada yang memeroduksi batik, dan ada yang membuka usaha produksi batik. Sayangnya,
semakin perkembangan jaman dan perubahan budaya yang ada di Kampung Batik
Laweyan, hingga saat ini warga susah untuk menemukan penerus membatiknya, tidak
ada lagi penerus yang meneruskan usaha membatik dan bahkan yang membatik dengan
cantik atau dengan cap. Hal tersebut dapat dilihat dari para pembuat batik yang
rata-rata sudah manula. Ini merupakan konflik yang terjadi di dalam tradisi
batik.
Menurut Parkes, Laungani dan Young, budaya memiliki agama
yang dominan dan terorganisir di mana aktivitas dan kepercayaan mencolok
(upacara, ritual, hal-hal tabu dan perayaan) dapat berarti dan berkuasa. Masyarakat
di Kampung Batik Laweyan mayoritas dan bahkan hampir semuanya memeluk agama
Muslim. Dimana, pandangan mengenai kematian pada agama Islam adalah mereka yang
mati akan dibangkitkan dari kubur disertai peristiwa yang akan mengacaukan
tatanan alam. Mereka akan dihakimi menurut perbuatan baik dan jahat mereka yang
tertulis dalam buku kehidupan oleh malaikat yang bertugas untuk mencatat semua
perbuatan manusia. Agama berusaha menolong orang untuk memahami hidup dan
menghadapi kematian.
Solo selain terkenal karena batiknya, kota ini juga terkenal
dengan kejujuran dan keramahannya. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa
masyarakat asli Kampung sini tidak pernah mengalami kehilangan, baik itu
perhiasan, barang-barang, mobil atau motor. Jika ada masyarakat yang menemukan
dompet yang jatuh, akan dikembalikan ke pemiliknya atau melapor kepada ketua
RW. Kalaupun terjadi kehilangan, berarti pelakunya bukanlah warga asli Laweyan,
melainkan warga lain yang bukan merupakan warga asli Laweyan. Sehingga dapat
disimpulkan hampir tidak pernah warga Kampung Batik Laweyan mengalami konflik
karena perbedaan persepsi dan keyakinan. Disini, warga-warga sangat ramah,
bahkan dengan turis mancanegara atau warga di luar Laweyan. Rumah yang dimiliki warga Laweyan rata-rata masih tergolong rumah "jadul" dengan konsep nuansa Jawa yang masih kental.
Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus menjadi salah
satu tradisi yang diadakan di Kampung Batik Laweyan. Dimana, pada hari itu,
warga bersama-sama mengadakan bermacam-macam lomba, diantaranya yang paling
mentradisi di kampung ini adalah lomba tari daerah bagi anak-anak. Tidak hanya
pada saat merayakan kemerdekaan Republik Indonesia, kampung ini juga ramai pada
saat Idul Fitri dan Tahun Baru. Karena mayoritas warga di kampung ini memeluk
agama Islam, maka tidak heran jika pada saat Idul Fitri warga banyak
merayakannya dengan ramai. Ratusan warga menggelar halal-bihalal setelah
menunaikan sholat Idul Fitri dengan cara berkeliling kampung dari satu rumah ke
rumah yang lainnya. Namun, sebelum berkeliling, warga kembali ke rumah
masing-masing dan mengambil lauk pauk dan sayuran yang sudah mereka bungkus
untuk di bagikan kepada tetangga-tetangganya setelah itu barulah mereka
berkeliling untuk berbagi kebahagiaan. Warga yang non-muslim pun ikut merasakan
kebahagiaannya. Jika ada warga Laweyan yang kebetulan non-muslim, mereka juga
merayakannya, sehingga terjalin hubungan baik antar kedua belah pihak. Kegiatan
halal-bihalal ini merupakan kegiatan rutin setiap tahunnya di kampung Laweyan.
Selain Idul Fitri dan perayaan 17 Agustus, di Kampung
Laweyan juga terdapat satu tradisi yang merupakan pertemuan rutin warga Laweyan
yang biasanya disebut Selawenan. Acara yang diadakan setiap tanggal 25 ini merupakan
ajang silaturahmi, diskusi dan promosi yang disertai pentas kesenian
tradisional bagi warga. Dengan acara ini, diharapkan sesama warga Laweyan dapat
bertemu dengan tokoh masyarakat dan para tamu sehingga dapat lebih mempererat
jalinan komunikasi dan persahabatan antar sesamanya. Maksud dari tradisi yang
diadakan ini adalah agar warga dan para tamu dapat menambah wawasan dan
mengetahui sosial budaya dari para narasumber atau tokoh yang berkompeten. Tidak
hanya itu, terdapat juga dialog terbuka dan interaktif sehingga masyarakat yang
hadir dapat saling bertukar pikiran untuk mencari solusi dari permasalahan yang
timbul di sekitar, seperti banjir musiman, limbah produksi dan air tanah yang
buruk. Namun sayangnya, saya tidak dapat meliput kegiatan tersebut karena waktu yang tidak memungkinkan.
Menurut Cicero, sejarah memberikan petunjuk dalam kehidupan
sehari-hari yang disebarkan dari generasi ke generasi dengan melestarikan
pandangan suatu budaya. Tidak jauh dari pemukiman warga Kampung Laweyan,
terdapat masjid tertua dalam sejarah kerajaan Pajang. Masjid Laweyan, merupakan
masjid pertama yang dibangun Kerajaan Pajang yang dibangun pada masa Djoko
Tingkir sekitar tahun 1546. Dahulu, masjid milik Kyai Ageng Henis ini merupakan
pura bagi agama Hindu. Seiring dengan banyaknya penduduk yang saat itu mulai
memeluk agama Islam, dan dengan pendekatan yang dilakukan secara akomodasi, akhirnya
bangunan pura tersebut berubah fungsi menjadi Masjid yang hingga sekarang masih
digunakan oleh warga setempat untuk melakukan ibadah, acara pernikah, dan juga ziarah
makam. Jenazah yang dimakamkan di masjid ini ialah hanya sebatas keturunan cucu
dan buyut dari Kasunanan. Sedangkan untuk warga sekitar ditempatkan di TPU yang
sudah disediakan. Di setiap depan pintu besar, terdapat tumpuhan berisi air
yang diatasnya terdapat bunga Setaman dan dupa yang terdapat diluar dari baskom
tersebut. Tempat tersebut dipercayai warga sebagai syariat dalam keraton. Setiap
malam Jumat dan sebelum puasa warga berbondong-bondong ramai untuk datang dan
berziarah di Masjid peninggalan jaman Pajang ini, hal tersebut menjadi kegiatan
rutin warga Kampung Batik Laweyan.
Ritual yang dilakukan oleh warga antara lain
ritual tolak bala dimana pada ritual ini tokoh Dewi Sri melempar sesuatu kepada
warga dalam bentuk uang receh, kacang hijau dan kedelai di Masjid ini. Ritual
tersebut merupakan salah satu acara yang digelar. Menurut Malefijt, “Ritual mengingatkan masa
lalu, memelihara, dan menyampaikan dasar suatu masyarakat. Setiap anggota tidak
hanya mengingat dan menegaskan kepercayaan penting, mereka juga merasa
terhubung secara spiritual dengan agama mereka, mengembangkan rasa identitas
dengan meningkatkan ikatan sosial dengan siapa mereka berbagi pandangan dan
kenyataan bahwa hidup mereka memiliki arti dan struktur”. Ritual dapat berupa
bentuk tradisi menyalakan lilin atau dupa, mengenakan pakaian tertentu dan
duduk, berdiri atau berlutut ketika berdoa. Upacara pengalihan yang menandakan
tahapan dalam siklus hidup manusia, seperti kelahiran, pubertas, pernikahan dan
kematian.
Mempelajari budaya melalui dongeng, legenda dan mitos. Ketiganya
mengandung kebijaksanaan, pengalaman dan nilai budaya yang menceritakan cerita
yang mengandung pesan moral yang sudah menjadi metode pengajaran selama ribuan
tahun. Cerita tersebut diturunkan dari generasi ke generasi yang lain yang
menekankan pesan moral yang dianggap penting oleh suatu budaya.
Peninggalan bersejarah lainnya di Kampung Batik Laweyan
adalah penemuan bunker yang terdapat di
rumah kuno milik seorang juragan batik bernama Harun Muryadi. Pada saat saya
memasuki rumah beliau, terdapat pagar merah besar yang menjadi pintu utama.
Saat saya masuk, pemikiran saya adalah bunker besar, ternyata setelah dilihat bunker
seluas kurang lebih 550 m2 yang memiliki ukuran mulut lubangnya
kurang lebih sebesar 60 x 75 meter dengan kedalaman kurang lebih 3 meter tanpa
adanya lubang ventilasi didalamnya. Menurut keturunan pemilik dari bunker tersebut, konon dahulu tempat itu
menjadi tempat penyimpanan barang berharga (harta) seperti emas, berlian, uang,
sandang, pangan dan papan karena banyaknya perampok dari wilayah Utara dimana
disana sedang terjadi krisis besar-besaran sehingga mengakibatkan warga
kekurangan makanan, minuman dan bahkan pakaian. Pada saat saya memasuki bunker
tersebut, sedikit ragu-ragu karena di dalam sangat gelap dan minim sekali
udara. Namun, saya beranikan diri untuk masuk karena penasaran apa yang
terdapat di dalam. Terdapat anak tangga yang membantu saya untuk dapat masuk ke
dalam bunker tersebut. Saat di dalam, benar saja ruangan sangat gelap, panas
dan tidak ada cahaya apapun jadi saya mengambil senter dari atas dan baru
terlihat bunker yang terbuat dari bahan batu bata tersebut. Kini, rumah tua
tersebut ramai didatangi warga dan para turis lainnya, dan bahkan ada yang
mengkaji lebih dalam untuk pembuatan skripsi mahasiswa. Menurut paparan pak
Harun, bunker tersebut sempat ditawar oleh pengusaha asal Malaysia dengan harga
Rp 10 miliyar, tetapi beliau menolaknya dengan alasan ini adalah amanah dari
keluarga yang sudah turun-temurun.
Organisasi sosial mewakili unit sosial yang beraneka ragam
yang terkandung dalam budaya seperti keluarga, pemerintah, sekolah dan suku
bangsa dimana dapat menolong anggota suatu kelompok budaya untuk mengatur
kehidupan mereka. Nolan menggarisbawahi sifat organisasi, bahwa struktur sosial
merefleksikan budaya kita. Kampung Batik Laweyan mempunyai struktur kewargaan
yang baik. Disini terdapat 3 RW yang masing masing RW mempunyai 3 sampai 4 RT.
Setiap bulan sekali warga sering mengadakan perkumpulan untuk membahas
permasalahan yang terjadi di kampung ini atau yang biasa disebut Musrenbangkel (Musyawarah rencana
pembangunan keluarga). Tidak hanya itu, di kampung ini juga terdapat
perkumpulan Karang Taruna dan ibu-ibu PKK sehingga warga di Kampung Batik
Laweyan ini sangat kental sekali kekeluargaannya.
sumber: www.google.com |
Sempat saya menaruh stereotip kepada budaya di Kampung Batik
Laweyan ini, saya berasumsi bahwa seluruh masyarakat disini mendapatkan
penghasilan dari membatik. Kenapa saya bisa berasumsi demikian, karena dari
namanya saja sudah Kampung Batik. Belum lagi saat saya memasuki lingkungan desa
tersebut, dimana-mana terdapat toko batik dan pabrik batik. Namun, saat saya
meneliti lebih dalam, keseharian dan mata pencaharian warga Kampung Batik
Laweyan tidak hanya membatik dan memeroduksi batik, tetapi juga membuka usaha lain
seperti Wartel, Warung Makanan, Pengobatan Alternatif, Pengajian, Catering dan
Penjahit. Indonesia terkenal dengan budaya kolektivisme, termasuk Solo yang
menganut budaya kolektivisme. Warga Kampung Batik Laweyan sangat memerhatikan
hubungannya dengan warga lainnya. Mereka juga saling tergantung, hal ini
terbukti dari kegiatan warga sekitar yang selalu mementingkan hubungan
kekeluargaan, berkumpul, berbagi pendapat hingga saling membantu saat adanya
salah satu warga yang sedang mengadakan hajatan.
Kue Pronyes, mungkin kita asing dengan itu. Kue pronyes
merupakan makanan khas yang di buat oleh komunitas Kampung Batik Laweyan. Terbuat
dari campuran tepung terigu, 1kg kelapa yang dijadikan santan, ¼
kg gula, ½ liter susu dan mentega lalu semuanya kemudian diolah menjadi
satu adonan kue yang kemudian dipotong-potong menjadi delapan bagian, dimana
delapan bagian tersebut dijadikan satu lagi menjadi suatu bentuk persegi
panjang. Setelah terbentuk, adonan di panggan kurang lebih selama satu jam.
Spesialnya dari kue Pronyes ini adalah kue tidak di jual di pasaran dan hanya
ada pada saat resepsi nikahan. Hidangan ini akan semakin lezat jika dipadukan
dengan kroket atau sosis. Harga yang dipatok untuk kue ukuran besar ialah Rp
100.000 dan untuk ukuran kecilnya berkisar antara Rp 45.000 hingga Rp 50.000
perloyang. Selain kue Pronyes, ada juga makanan khas Laweyan, yaitu Ledre
Laweyan yang terbuat dari ketan.
Pengalaman saya saat berkomunikasi dengan warga Laweyan ialah saat
mereka menerapkan hubungan high context,
dimana informasi pesan tidak selalu di dapat dari kata-kata, tetapi dari
kesimpulan, gerakan dan bahkan dalam keheningan. Berbicara yang terbelit-belit
dan tidak langsung pada poin-nya juga saya temukan di kampung ini. Namun, perilaku dan bicara yang sopan dan menghormati satu dengan yang lainnya juga tidak luput dari perhatian saya.
No comments:
Post a Comment