YOAN HELEN APRILIYANI LETSOIN
11140110094
F1
F1
***
Pada kesempatan liburan beberapa waktu lalu, saya mendapatkan
kesempatan buat berlibur ke wilayah timur nusantara Indonesia. Lewat Bandara Internasional
Soekarno-Hatta, saya berhasil menghabiskan waktu selama kurang lebih Sembilan
jam di udara menuju Bandara Mopah, Merauke setelah sebelumnya sempat transit di
Denpasar dan Jayapura.
Di Merauke, Irian Jaya, saya memutuskan untuk nyari suku
untuk observasi tugas take home KAB. Jujur, betapa ragunya saya sejak menginjakkan
kaki di tanah Merauke karena sepanjang jalan saya sendiri sangat jarang
menemukan sosok wajah suku asli dari Papua, yang banyak saya temuin malah
orang-orang keturunan Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku
Sempat pesimis juga karena hanya saya sendirian di sini, tapi berkat beberapa kenalan
dan saudara yang menemani saya di sini, akhirnya saya bisa menentukan satu
target observasi di Merauke ini, dan mereka
adalah Suku Marind, salah satu suku asli tanah Papua yang ada di Merauke.
Untuk konsep observasi, saya milih untuk ngebahas beberapa
elemen budaya yang telah diperkenalkan oleh Samovar yaitu, sejarah, agama,
nilai, organisasi sosial, bahasa serta pengaruh budaya luar terhadap gaya hidup
Suku Marind sendiri. Jadi, pretty much
bahasan saya terbatas hanya untuk elemen-elemen budaya Suku Marind saja.^^
Inilah kisah observasi saya dengan penduduk asli tanah Papua
tersebut…
***
SEKILAS TENTANG SUKU MARIND
Tidak banyak orang luar Merauke ataupun di Indonesia sendiri
tahu tentang keberadaan mereka, publikasi dan kisah tentang mereka tentu sangat
sedikit jika dibandingkan oleh suku-suku lain yang ada di Indonesia. Sumpah deh,
pertama kali datang ke sini saya juga nggak pernah tahu bahwa suku Marind itu exist di dunia. Well, I know now and now, you do too!
Di Merauke sendiri, ada banyak sekali suku, dua dari banyak suku tersebut
ada yang namanya Suku Marind dan Malind. Nah, banyak orang yang mengetahui
kedua suku ini kadang sering salah kaprah dan cenderung menyamakan kedua suku
ini.
“Malind itu bukan Marind,” kata salah satu tetua suku Marind.
Yep, Suku Marind dan Malind itu berbeda. Bedanya dimana?
Bukan hanya konsonan L dan R loh. Well,
menurut penjelasan para Suku Marind yang super kompak dan rebutan pengen jawab
pertanyaan saya ini, katanya Suku Marind itu adalah hasil dari kawin campur
yang dilakukan oleh orang-orang dari Suku Malind.
Salah satu tetua Suku Marind |
Jadi, kalo asli bapaknya itu Malind, trus bapaknya kawin
campur sama orang di luar suku Malind, anaknya jadi suku Marind, anak-anaknya
akan terus menjadi Suku Marind, makanya agak sedikit susah untuk mencari suku
Malind sekarang karena sudah banyak suku Malind yang kawin campur dengan orang
di luar suku mereka.
Wanita Suku Marind |
Untuk Suku Marind sendiri banyak banget jenisnya. Ada Marind
Bob, Marori, Kanum, Yeinan serta Marind Dek dan Pantai. Kebetulan Suku Marind
yang saya observasi adalah Suku Marind Pantai. Kata si Bapak, Marind ini banyak
banget dan tersebar di seluruh Papua sampai ke wilayah Tanah Merah di Boven
Digul.
KAUM PERAMU
Secara umum, cara hidup Suku Marind adalah lewat hasil-hasil
alam di sekitar mereka. Tentu saja hal ini ngebuat mereka menjadi salah satu
dari sekian suku yang masih hidup sebagai kaum peramu, kaum yang mengolah bahan
pangan mereka sendiri dari alam.
Secara khususnya, perbedaan Marind Pantai dan Marind lainnya
adalah Marind Pantai hidup di dekat pantai-pantai sehingga mereka lebih
mengandalkan hasil tangkapan di laut seperti ikan, udang dan lainnya, sedangkan
untuk Marind lainnya, mereka kebanyakan tinggal di pedalaman, sehingga hasil
tangkapan mereka lebih kepada pertanian dan hasil hutan.
Bapak Mathias dan keluarganya yang saya temui di Daerah Buti,
Kelurahan Samkai memiliki banyak banget background
pendidikan sebelumnya. Sebagai Suku Marind, Bapak Mathias ini sempat berkuliah
di banyak tempat seperti ITB, dan
lainnya bahkan sampai ke negara tetangga kita di Singapura. Akan tetapi
semuanya tidak sempat ia selesaikan karena masalah biaya. Di semua universitas
tersebut, jurusan yang sempat beliau ambil adalah engineering dan pertanian.
Menilai dari pilihan pendidikan yang beliau sempat ambil,
bikin saya semakin positif mengatakan bahwa suku Marind ini benar-benar kaum
peramu karena sektor-sektor yang menjadi perhatian mereka sendiri adalah
masalah pertanian, irigasi dan teknik mesin. Hal ini menjadi semakin jelas
ketika hampir semua Suku Marind Pantai berprofesi sebagai nelayan dan sebagian
Marind lainnya adalah petani.
***
PERAMU VS PENDATANG DAN PENGEMBANG
Bapak Mathias tidak jarang curhat ke saya mengenai masalah
orang-orang asli di Papua, khususnya Suku Marind sendiri. Masyarakat asli papua
terkadang merasa asing tinggal di tanah mereka sendiri dikarenakan di Merauke
sendiri banyak banget kaum pendatang dan kaum pengembang, seperti investor.
Kedatangan masyarakat akibat program transmigrasi pada masa
pemerintahan Presiden Soeharto dulu ternyata berdampak hingga saat ini. Kaum
pendatang dari wilayah Jawa yang kemudian memilih untuk bercocok tanam di sini
ataupun menjadi nelayan, baik sengaja atau tidak sengaja, sadar atau tidak,
kerap menimbulkan konflik dalam diri masyarakat Marind.
Maksud saya tuh bukan konflik yang membuat adanya keteganggan
antara kedua pihak sehingga mengakibatkan tindakan-tindakan vandalisme ataupun
anarkisme, tapi lebih kepada masalah-masalah kecil yang sering sekali di temukan
dalam kehidupan sehari-hari, seperti masalah penjualan hasil pertanian dan
tangkapan laut. Menurut Suku Marind Pantai sendiri, kaum pendatang sering
sekali mematok harga yang lebih mahal di bandingkan suku Marind Pantai yang
menjual hasil tangkapan mereka dengan harga yang lebih murah.
Pendidikan yang terbatas yang diterima oleh masyarakat Marind
sendiri membuat kebanyakan dari mereka, let’s
say bodoh… Hal ini juga diakui oleh masyarakat Marind sendiri. Bapak
Mathias mengatakan bahwa kaum mereka tidak tahu bagaimana cara membaca pulo
awal dan akhir untuk memperkirakan biaya tarif listrik bulanan bahkan sampai
masalah keakuratan timbangan di pasar. Basic
stuff like that sometimes ngebuat si Bapak Mathias sendiri kasihan dengan
kaumnya yang sering sekali dicurangi oleh orang lain. Well, dalam kasus ini
sih, ‘orang lain’ itu adalah kaum pengembang.
Kaum pendatang yang ada di Merauke yang hidup berdampingan
dengan masyarakat Marind sendiri bukan hanya masyarakat yang berasal dari Pulau
Jawa, ada juga banyak yang berasal dari NTT, NTB, Maluku, Sulawesi, Flores.
Masyarakat hidup berdampingan dengan baik, tidak ada masalah yang benar-benar
mengakibatkan perkelahian ataupun perseteruan yang berarti.
Menurut gue, gap diantara mereka akan tetap ada selama komunikasi antara Suku Marind dan
pendatang tidak berjalan dengan baik. Perbedaan motivasi antara penduduk asli,
pendatang ataupun pengebang (investor) akan selalu menimbulkan konflik
kepentingan dan gap di antara mereka. Untuk saat ini Suku Marind memang masih berada
di posisi lemah, tetapi siapa kiranya yang tahu masa depan semua kaum?
***
PERISAI TUBUH DAN IMAN
Tahu banget kan kalian semua kalo suku-suku Papua itu
biasanya telanjang dan pakenya koteka dan daun-daun pohon kelapa doang? Well, bener banget kalo suku di sana
emang pada telanjang, akan tetapi sejalan dengan globalisasi, pakaian pun ikut
diperkenalkan di sana, sehingga saat ini sudah tidak semua suku asli Papua yang
masih telanjang.
Upacara adat untuk menyambut rombongan Uskup Agung Merauke |
Nah, ceritanya para tetua suku Marind bersama kepala suku sedang mencegat rombongan Uskup Agung |
Wah, kebetulan sekali pas gue berkunjung ke sana ada kegiatan
pemberkatan gereja di wilayah Zenegi. Ada upacara adat penyambutan gitu, lucu
deh… Nah, ceritanya ada rombongan suster-suster dan uskup agung Merauke sendiri
yaitu, Monsieur Nicolas Adi Seputra terus mereka di cegat sama suku Marind yang
pake baju adat yang terbuat dari daun pohon kelapa, semacam serabut kelapa dan
coretan cat di muka mereka.
Monsieur Nicolas, Uskup Agung Merauke, bersama rombongan suster |
Saya sih awalnya mikir kalo upacara adat mereka bakalan
telanjang terus pake koteka dan daun-daun kelapa doang, tapi untungnya kagak soalnya agak horror juga sih kalo saya harus ngeliat yang begitu secara langsung.
Bisa jantungan kali saya.. nggak siap
mental coy, hahaha..
Yang lucu itu pas saya sadar kalo bahkan suku asli Papua di
Merauke sendiri sudah semuanya mengenal pakaian, tapi yah sih kalo dilihat
untuk upacara sepertinya tetep deh kayaknya diusahakan agak sedikit telanjang
begitu. Dari pengamatan saya sih pas upacara adat penyambutan selamat datang
itu, ada ibu yang berpartisipasi dalam upacara adat masih kekeuh make sejenis push-up
bra gitu dan bapak-bapaknya banyak yang shirtless
gitu, mungkin sudah kebiasaan juga nggak pake baju.
Kaum perempuan suku Marind di Zenegi saat upacara adat |
Oh ya, balik ke upacara penyambutan! Upacara penyambutan ini
mirip-mirip sama tradisi masyarakat Betawi pas mau nikah yang si penganten
cowok datang ke rumah cewek trus tukar-menukar pantun gitu. Bedanya, di sini
nggak ada pantun yang ditukar hanya ucapan-ucapan pake Bahasa Marind yang saya
sendiri nggak ngerti dan ada beberapa kalimat bahasa Indonesia yang lumayan familiar di telinga.
Jadi setelah hadap-hadapan antara rombongan Monsieur Nicolas
dan Suku Marind. Well, lebih seperti pencegatan gitu sih, si Monsieur lalu di
coret mukanya dan lalu secara official di
terima masuk ke wilayah suku tersebut untuk memberkati gereja ST. Theresia
tersebut.
Sekilas info, gereja ST. Theresia ini juga merupakan program Corporate Social Responsibility (CSR)
dari PT. Selaras Inti Semesta. Yep, perusahaan ini ceritanya memberikan bantuan
berupa pembangunan gereja kecil untuk masyarakat di sana. Menurut saya sih, hal
ini merupakan bantuan yang sangat kecil yang bisa dilakukan perusahaan, menilai
banyak banget tanah penduduk yang telah dikuasai perusahaan. Saya nggak tahu
persis berapa hektar, tapi seperti cerita bapak Mathias, masyarakat Marind yang
masih kurang berpendidikan kerap kali melepaskan tanah mereka kepada pengembang
dan akhirnya menandatangani perjanjian tanpa tahu apa yang baru saja mereka
tanda-tangani.
Persebaran agama di tanah Papua ini memang lebih banyak
pengaruh Katolik dari Portugis, Katolik Roma. Banyak sekali gereja yang dapat
di temukan di Merauke. Waldus Kaisei, anak muda suku Marind yang gue wawancarai
mengatakan bahwa agama Suku Marind Pantai hampir semuanya adalah Katolik.
Memang ada agama lain yang dianut seperti Muslim, Kristen, Hindu dan Budha
tetapi hanya beberapa dan untuk masyarakat Marind sendiri sepertinya hanya ada
Katolik, Kristen dan Muslim, sangat jarang menemukan yang Budha ataupun Hindu.
Perkawinan campur kaum transmigran dari wilayah Jawa dan
Makassar dengan Suku Marind membuat ada sebagian Marind yang menganut Agama Islam.
Sedangkan perkawinan campur dengan masyarakat Sulawesi Utara seperti Manado
dengan Suku Marind membuat sebagian Marind lainnya menganut Agama Kristen.
Banyak juga masyarakat keturunan Tionghoa yang tinggal di Merauke yang membawa
Agama Budha masuk, akan tetapi saya belum pernah melihat contoh hasil dari
perkawinan campur antara mereka dengan Suku Marind sehingga memang saya belum
bisa bilang bahwa ada Suku Marind yang beragama Budha.
So, Yes in conclution, sudah semua Suku Marind Pantai yang
memakai baju, hanya beberapa suku lain yang masih tinggal di pedalaman sana
yang memakai koteka. Untuk agama,
mayoritas dari Suku Marind adalah penganut Agama Katolik.
***
ORGANISASI SOSIAL
Sama seperti banyak suku pada umumnya, Suku Marind juga
dipimpin oleh seorang kepala suku. Menurut perkataan Waldus, anak muda Marind,
setiap lingkungan memiliki kepala suku yang memimpin mereka. Tugas kepala suku
adalah melayani anggota sukunya dan menjadi utusan (semacam opinion leader) ketika ada rapat dengan
kepala desa, lurah, bupati ataupun pihak investor dan pengembang yang datang ke
wilayah mereka untuk melakukan sesuatu.
Kepala Suku, Suku Marind di Zenegi |
Yep, untuk upacara-upacara adat biasanya kepala suku ini
selalu dijadikan referensi dan selalu diikutsertakan. Sama seperti teori-teori
yang saya pelajari di kelas Public
Relation, bahwa untuk membangun kegiatan Comunnity Relation, kita harus selalu mencari key opinion former, ataupun
key opinion leader-nya. Kebetulan, saya waktu itu nggak nemu rumahnya
kepala suku buat nanya-nanya ke beliau akan tetapi saya nemu key opinion former-nya, yaitu si Bapak
Mathias Nauwauce ini.
Dengan mendapatkan izin dan persetujuan dari kepala suku,
sudah tentu semua kegiatan pendatang dan kaum pengembang dapat berjalan lancar
tanpa hambatan.
***
GAYA HIDUP MODERN REMAJA MARIND
Masih ada banyak remaja Marind Pantai Modern, baik yang
tinggal di pinggiran Pantai ataupun di kotanya yang masih mengunyah sirih pinang.
Kelihatan banget pas saya lihat giginya pada merah-merah gitu. Awalnya sempet
ngeri juga saya ngeliat giginya pada merah, karena saya mikir mereka baru aja
makan daging dengan darah-darahnya..
hahaha, ternyata yang dikunyah itu adalah sirih pinang.
Kebiasaan suku Marind mengunyah sirih pinang, lihat deh giginya pada merah :) |
Meski masih ada remaja Marind yang punya kebiasaan mengunyah
sirih pinang, tidak sedikit dari mereka yang juga suka mabuk-mabukan. Kegiatan
mabuk-mabukan ini ternyata diperkenalkan dan sudah berkembang parah sejak zaman
penjajahan. Jadi menurut cerita, kebiasaan minum itu ditularkan kaum penjajah (
well, lebih jelasnya pihak Belanda)
kepada masyarakat di Papua. Tidak hanya Suku Marind yang sekarang memiliki
kebiasaan buruk mabuk-mabukkan, hambir semua suku di Papua yang sempat
kedatangan kompeni Belanda sudah terpengaruh kebiasan buruk tersebut.
Anak-anak gadis Suku Marind di Zenegi |
Menurut penilaian hasil observasi saya, banyak Suku Marind
yang terbiasa hidup di wilayah pinggiran karena mungkin sudah tinggal
turun-temurun juga di sana. Meski hidup berdampingan secara baik dengan
pendatang, tidak banyak Suku Marind yang tampaknya nyaman berbaur dengan kaum
pendatang dengan leluasa.
Ada beberapa anak-anak muda Suku Marind yang sudah tinggal di
kota dan mengecap pendidikan di sana serta memiliki selera fashion yang hampir
sama dengan apa yang kita ketahui sekarang. Mind
you, meski di sana saya nggak nemuin yang namanya Mall, tetapi anak-anak
muda di Merauke termaksud anak muda Suku Marind sendiri gayanya lebih stylish daripada saya yang hampir tiap
hari make kaos dan jeans doang.
Beberapa anak muda Suku Marind yang masih tinggal di wilayah
pinggiran juga masih terlihat dengan fashion-fashion lokal dari wilayah Papua
sendiri, seperti memakai noken. Noken itu adalah tas asli dari Papua sana yang
biasanya digantungnya di kepala.
***
Saya berpose bersama keluarga Bapak Mathias Nawauce di Buti. Samkai- Merauke |
So, that was my story
when in Merauke with Marind. Hopefully, I could make anything like this in
future and tell you guys that there are WAY TOO MANY ethnic group in Indonesia
and they have something to tell and you should have a time and couple of open ears
to listen to their stories in order to make the world a better world for
everyone to live.
Peace. Love and I HEART
INDONESIA
Xx
Yoan
Terima kasih Yoan, sudah kunjungi Merauke dan pelajari sedikit tentang suku Malind Anim Ha. Sedikit koreksi, agama Katolik masuk di Merauke bukan pada saat masuknya transmigrasi pada jaman Soeharto. Mesti pelajari lagi sejarahnya. Padahal sempat bersama Mgr. Nicolaus Adi Saputra MSC ke Kampung Zanegi untuk pemberkatan gereja di sana. Kalau tanya ke beliau, mungkin bisa diperoleh gambaran sedikit tentag kehadiran agama Katolik di bumi Malind Anim. Mgr. Niko adalah Uskup setempat dan pasti punya pemahaman yang agak kaya.
ReplyDeletesalam,
amo
Wah, Maksud saya agama lain (selain katolik) mulai muncul sejak ada transmigrasi zaman pak Soeharto. Untuk agama katolik, setahu saya itu berkembang pada saat jaman kolonial dulu (bukan dimulai saat era transmigrasi) ^^.
DeleteTerima kasih untuk koreksi dan masukannya, terlebih lagi untuk waktu membacanya :D
-Yoan-
Jual Pro Extender Di Medan
ReplyDeleteJual Maxman Obat Kuat Di Medan
Jual Cialis 80mg Di Medan
Jual Selaput Dara Buatan Di Medan
Jual Obat Penghilang Tatto Di Medan
Jual Minyak Pembesar Penis Di Medan
Jual Vakum Pembesar Payudara Di Medan
Jual Perangsang Wanita Di Medan
Jual Potenzol Cair Di Medan
Jual Opium Spray Di Medan