NIM : 11140110233
Kelas : F1
Serunya rumah adat Cikondang yang saya kunjungi bersama teman-teman saya. Yuk ikutin perjalanan kami...
Hari pertama, 22 Desember 2012.
Waktu itu pukul
09.00, saya dibangunkan oleh Mama saya untuk bersiap. Gak lama teman saya,
Inmel mengirim BBM kalau dia dan Rachel (teman saya juga, namanya memang sama)
akan datang telat. Tetapi saat mereka datang, saya tetap masih belum mandi
karena bersiap-siap dan mengoreksi barang-barang biar gak ketinggalan. Dalam
hati pasti bakalan pada bete nih nungguin, dan ternyata mereka berdua tertidur
di sofa haha, maafkan aku
teman-teman.
Akhirnya saya,
Mama, Inmel, dan juga Rachel, para tersangka yang terlibat dalam The Journey to the Cikondang’s, siap
untuk berangkat. Ternyata, seperti biasa kita telat 1 jam pemirsa, yang tadinya
mau berangkat jam 9, menjadi jam 10. Beginilah dunia, tiada manusia yang
sempurna,loh. Sebelum perjalanan dimulai, kami berdoa masing-masing agar
perjalanan lancar dan terutama agar hujan di Bandung tidak turun terus-menerus.
Perjalanan tidak akan dimulai juga kalau belum teriak “Let’s Go Cikondang
Girls”. Kebetulan yang pergi cewek-cewek semua loh. Jadi sebagai drivernya saya dan co-driver Mama saya. Teman-teman saya bagian cek handphone
masing-masing (main BB maksudnya, hehe).
Akhirnya
sampailah kami di Bandung, karena hujan sangat lebat kami memutuskan untuk
pergi esok hari. Kebetulan jalanan menuju kesana berkelok dan turun-naik. Takut
membahayakan nyawa kami, kamipun sepakat, besok!
Hari kedua, 23 Desember 2012.
Yeay, akhirnya
hari berganti. Kami bangun jam 8 pagi, langsung melihat ke jendela berharap
mataharilah yang menyambut pagi kami. Senang sekali melihat matahari walaupun
di Serpong kami selalu berharap mendung. Tidak lama om saya datang. Ternyata
dia ingin mengantar kita ke Suku Adat Cikondang, betapa senangnya kami. Karena
sebetulnya, kami berempat buta jalan. Tidak lama-lama, kami pun pergi ke
Cikondang.
Jalan memang
berkelok dan turun-naik pemirsa. Tetapi tenang, kami dengan sangat mudah menemukan
tempat yang kami tuju. Sebelum masuk ke dalam, diluar ada plang besar yang
tertulis “Situs Rumah Adat Cikondang”.
Rumah adat Cikondang ini berada di Desa Lamajang,
kecamatan Pengalengan. Perjalanan saya dari tol Pasteur, jadi tidak terlalu
jauh. Saat pertama kali masuk setelah melihat plang tersebut, kami agak bingung
dan takut. Karena jalan menuju ke dalam lebih ekstrim, turunan dan tanjakan
yang sangat tajam dan jalanan pun sempit. Walaupun ekstrim, pemandangan disana
sangat menarik. Di kiri dan kanan jalan banyak sekali pohon dan karena kami
berada di daerah atas, jadi udara tidak panas. Di sebelah kiri kami, saat kami
melihat kebawah ada sawah yang luas, sungai yang mengalir deras, dan
rumah-rumah penduduk desa Lamajang. Disana kami bertemu dengan salah satu warga
yang memberikan kami petunjuk untuk menuju rumah adat. Seperti yang bisa
dilihat di gambar, lokasi masih 800M lagi. Tantangan terakhir menuju kesana
adalah tanjakan yang benar-benar tajam dan panjang.
Yups, akhirnya kami sampai dan turun dari mobil. Saya
bingung, dimana hutannya, rumahnya, karena yang saya lihat hanya perumahan
biasa. Rumah-rumah pun sudah memakai genteng dan tembok.
Gang Menuju
Rumah Adat
Ternyata untuk masuk ke rumah adat Cikondang harus
bejalan kaki lagi. Seperti yang ada di gambar, kami harus masuk ke dalam gang
tersebut. Hanya sekitar 10 menit untuk menuju ke rumah adat. Saat diperjalanan,
banya k rumah warga yang masih dalam pembangunan. Warga disana ramah-ramah
tentunya, setiap kami berada di pertigaan, selalu ada warga yang teriak dan
memberi tahu jalan. Tanpa kami bertanya terlebih dahulu, mereka sudah memberi
tahu kami, hehe.
Sampailah kami di Rumah Adat Cikondang. Ini lah yang
saya cari, rumah adat, hutan, makam, dan lainnya yang berbau tradisional. Pintu
masuk ke rumah adat pun masih tradisional, masih terbuat dengan bambu dan kayu.
Pintu Masuk Rumah Adat Cikondang dari Luar
Pintu Masuk
Rumah Adat Cikondang dari Dalam
“Pengertian
Kebudayaan Menurut LARRY A. SAMOVAR & RICHARD E. PORTER
Kebudayaan dapat berarti simpanan akumulatif dari pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, pilihan waktu, peranan, relasi ruang, konsep yang luas, dan objek material atau kepemilikan yang dimiliki dan dipertahankan oleh sekelompok orang atau suatu generasi.”
Kebudayaan dapat berarti simpanan akumulatif dari pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, pilihan waktu, peranan, relasi ruang, konsep yang luas, dan objek material atau kepemilikan yang dimiliki dan dipertahankan oleh sekelompok orang atau suatu generasi.”
Warga Cikondang
menggunakan bahasa sunda untuk berkomunikasi sehari-harinya. Untung saya bareng
Mama dan om, soalnya saya dan teman-teman saya gak begitu mengerti bahasa
sunda. Disana saya bertemu dengan Pak Eka, Pak Ajo
dan Pak Omay. Pak Eka masih merupakan keturunan dari sesepuh yang mendirikan
kampung adat ini. Pak Ajo dan Pak Omay adalah warga yang dari dulu sudah
membantu untuk merawat rumah adat tersebut. Saat perkenalan, Pak Omay nyebutin
namanya sambil senyum-senyum, dalam hati kenapa ini si bapak ko senyum-senyum,
ternyata Omay berasal dari Siomay. Yups, Pak Omay jualan siomay.
Perjalanan pertama kami memang lebih difokuskan pada dokumentasi.
Namun kami sempat berdialog dengan Pak Eka mengenai rumah adat tersebut. Bapak
Eka Mustika adalah seorang Guru, ia juga sebagai pengurus organisasi disana
sebagai sekretaris. Seharusnya Pak Eka menjadi ketua, namun karena adanya
pekerjaan maka diturunkan ke keturunan yang ke 5 yaitu Hanum Juhana. Hanum
Juhana juga sebagai pemangku adat disana.
Bapak Ajo dan Hanum Juhana
Setelah puas berdokumentasi, kami pun pulang. Namun
sebelumnya kami membuat janji kepada pemangku adat dulu bahwa besok kami akan
kembali lagi. Karena, saat kami ingin masuk ke rumah adat, mereka tidak
memegang kunci. Yang memegang kunci adalah Ketua organisasi tersebut.
Hari ketiga, 24 Desember 2012.
Hari ini kami bangun lebih pagi agar bisa berangkat
pukul 8. Kemarin kami belum sempat sarapan karena perjalanan menuju kesana
jarang sekali ada rumah makan. Hari ini pun saya pergi berenam, om saya membawa
anaknya. Semakin ramai semakin seru perjalanan kami.
Berita buruk hari ini adalah
hujan. Tapi seperti kata pepatah, sedia payung sebelum hujan. Yups, kami memang
membawa payung, tapi Cuma 1. Betapa bodohnya, sudah tahu musim hujan, tapi gak
bawa payung lebih. Tidak lama ada seorang warga disana yang meminjam kan payung
untuk kami, 4 sekaligus. Kami sangat berterima kasih kepada bapak tukang ojek
tersebut, padahal dia sendiri hujan-hujanan. Oh ya, Desa Lamajang termasuk desa
yang bersih loh. Dibuktikan dengan adanya tong sampah di setiap perjalanan
kita.
Tong sampah Desa Lamajang
Tong Sampah 2
Makanya, kalau anda ingin
pergi kesini, jangan buang sampah sembarangan ya. Kami bertemu lagi dengan Bapak Eka, tetapi kami tidak
melewati pintu kayu kemarin. Kami lewat pintu samping. Ternyata dari sana kami
bisa melihat adanya sawah dan jalan menuju makam. Kalau bingung, disana
disiapka petunjuk jalan agar kita tidak nyasar.
Petunjuk di Cikondang
Hari ini Bapak Eka menceritakan semuanya kepada kami.
Bapak Eka atau nama panjanganya Eka Mustika adalah seorang sekretaris yang
merupakan keturunan dari sesepuh yang membuat Cikondang ini. Seharusnya, bapak
Eka menjadi ketua organisasi namun karena ia mempunyai pekerjaan menjadi
seorang guru, digantikan oleh keturunan yang ke 5 yaitu Hanum Juhana. Bapak
Hanum, selain menjadi ketua organisasi, ia juga menjadi pemangku adat atau juru
kunci adat cikondang. Jadi kalau ingin melihat-lihat seluruh rumah adat
cikondang, kita harus meminta izin kepada Pak Eka atau Pak Hanum.
Awalnya ada Desa Lamajang
berawal dari Cikondang yang pertama kali merintis Desa Lamajang. Setelah muncul
beberapa RW, akhirnya didirikanlah suatu desa, yaitu Desa Lamajang yang
berkedudukan di Karang Tengah. Desa Lamajang berbeda dengan Kampung Lamajang.
Kampung Lamajang berada di sebelah Cikondang.
Cikondang berasal dari kata air
dan pohon Kondang. Ci berasal dari bahasa sunda Cai yang artinya air dan
Kondang berasal dari adanya mata air yang ditumbuhi oleh pohon besar yang lalu
dinamakan Kondang.
Dulu rumah adat Cikondang tidak
hanya 1 seperti sekarang, ada sekitar 60 rumah pada tahu 1940an. Namun, terjadi
kebakaran besar yang menghanguskan semua rumah, kecuali 1 rumah adat yang
sekarang ini. Katanya, kampung ini dulu dipakai sebagai markas yang digunakan
pejuang Indonesia untuk bersembunyi dari orang Belanda. Jadi ada kemungkinan
rumah tersebut dibakar oleh pihak belanda. Jika dihitung-hitung, rumah adat
sudah berumur 200 tahun. Sekarang warga Cikondang sudah memakai tembok dan
genteng untuk rumah mereka. Namun, sebelumnya dibuat sebuah ritual dulu untuk
membangun rumah. Untuk membangun rumah, mereka mendapatkan dana dari
pemerintah. Mengapa sampai dibuat ritual? Karena mereka percaya bahwa genting
sama dengan tanah, jadi apabila menggunakan genteng sebagai atap sama saja
seperti mengubur diri hidup-hidup.
Rumah
Adat Cikondang
Rumah Adat Cikondang Tampak Samping
Rumah adat harus memiliki 1 pintu, 5 jendela, dan 9
sekat, yang artinya 1 Tuhan, 5 rukun Islam, dan 9 Wali Songo. Keunikan lainnya adalah di seiap rumah ada
ukiran kayu dengan bentuk jantung yang artinya rumah ibarat manusia yang
memiliki hati dan perasaan. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter,
komunikasi nonverbal mencangkup semua rangsangan, kecuali rangsangan verbal
dalam suatu setting komunikasi yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan
lingkungan oleh individu yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim
atau penerima. Maka dari itu,
saat berada di rumah adat kita harus memiliki etika. Seperti saat masuk ke
rumah adat, kita tidak boleh menginjak bangbarung (kayu yang berada
ditengah-tengah pintu bagian bawah). Apabila ingin duduk, laki-laki sebaiknya
duduk bersila dan wanita sebaiknya duduk embok (kedua belah kaki dilipat ke
arah yang sama). Apabila ingin nangunjar (selonjoran, kedua kaki diluruskan)
tidak boleh ke arah selatan. Namun ke arah lain, tidak masalah. Begitu juga
kalau ingin buang air kecil, dilarang ke arah selatan. Kata Pak Eka, karena
makam para sesepuh mereka berada di arah Selatan, jadi kita harus menghormati
mereka yang sudah meninngal. So,
kalau kalian ingin nangunjar atau buang air kecil, tanya-tanya dulu ya,
khususnya para pria yang suka buang air kecil di belakang pohon hehe.
Suasana di dalam Rumah
Adat
Minum Bersama Bapak Ajo di Luar Rumah Adat
Berbicara mengenai buang air kecil, mereka membuat
toilet mereka secara tradisional juga. Dengan bambu, injuk, dan bahan lainnya
yang mereka ambil dari hutan. Dibawahnya ada ikan-ikan lele yang bertugas untuk
memakan kotoran yang mereka keluarkan. Sehingga kotoran tidak membuat kotor
daerah rumah adat tersebut
Kamar Kecil di Rumah Adat Cikondang dari Luar
Di dalam Kamar Kecil
Selain rumah adat, disana juga ada yang namanya hutan
terlarang atau hutan dilarang sembarangan, kata Pak Eka. Kalau kalian ingin
masuk ke hutan terlarang ini, sebaiknya pergi hari Kamis, Minggu, Senin, atau
Rabu. Kita juga harus meminta izin juru kunci dahulu. Disana adalah makam sesepuh
mereka, jadi apabila kita masuk kesana, sama dengan kita berjiarah. Kami tidak
bisa masuk kesana saat itu, karena hujan dan harus dilakukan pada malam hari.
Kita juga dilarang untuk mengambil foto didalam, hanya boleh diluar hutan saja.
Makanan Wuku
Tahun
15 Muharam adalah waktu bagi mereka untuk melakukan wuku
tahun atau dalam bahasa Indonesia, ulang tahun. Dalam wuku tahun, mereka
melakukan sebuah ritual dan membuat tumpeng sebanyak 200 tumpeng untuk dimakan
bersama. Biasanya menghabiskan kurang lebih 10 juta rupiah setiap ritual. Camat,
Bupati, dan Gubernur biasanya selalu datang tiap tahun, namun tahun ini mereka
tidak datang. Nah, kenapa 15 muharam ? Karena pada saat 15 muharam banyak
sekali peristiwa seperti Nabi Adam sebagai orang pertama di dunia yang diampuni
dosanya. Nabi Musa yang membelah lautan, dan lain-lain. Maka dari itu selalu
dirayakan wuku tahun atau ritual sebagai ucapan terima kasih. Mereka juga
membuat sesajen, namun tidak sesering di Bali. Pernah ada berita bahwa dengan
menginjak sesajen secara sengaja ataupun tidak sengaja, maka akan cekala bagi
orang yang menginjaknya. Namun. Kata Pak Eka, sebenanya sesajen tidak boleh
diinjak karena untuk menghormati para leluhur yang dianggap tidak sopan. Bukan
malah akan terjadi celaka atau hal-hal negatif lainnya. Baginya, apabila benar
terjadi hal tersebut, itu hanya kebetulan saja.
Pemandangan
Kebun Adat Cikondang
Sudah ada 1 hektar tanah yang digunakan untuk
pemakaman, 1 hektar kebun, dan 1 hektar daerah rumah adat Cikondang yang dikelola
oleh para warga, jadi totalnya ada 3 hektar. Namun kata Pak Eka, mengelola
bukan berarti memiliki yang berarti 3 hektar tanah tersebut merupakan milik
leluhur mereka yang dikelola oleh keturunan dan warga lainnya yang tinggal di
daerah kampung Cikondang. Hasil kebun digunakan untuk acara wuku tahun, sisanya
dipakai untuk pribadi. Jadi ada yang untuk ritual dan juga untuk kehidupan
duniawi, kata Pak Eka. Hasil kebun berupa padi, bawang , dan jagung. Padi yang mereka dapat, harus ditumbuk dengan
lisung, tidak boleh memakai mesin. Hasilnya di simpan di lumbung yang berada di
depan kanan rumah adat. Jadi, kegiatan yang dilakukan disana semuanya adalah
tradisional.
Makanan
Tradisional
Gelas Entik
Di dalam daerah rumah adat, tidak boleh memakai
listrik. Harus secara tradisional, jadi lampu diganti dengan Lentera. Untuk
masak menggunakan hawu atau tungku, gelas yang mereka pakai gelas entik seperti
batok kelapa. Selain itu, mereka juga menjamu kami dengan makanan ringan
tradisional seperti rengginang, opak, klontong, tengteng, ampeang, dan lainnya
sebanyak 45 macam.
Memasak dengan Hawu
Bapak Eka juga sempat menceritakan bagaimana tradisi
menikah disana. Sebelum hari yang seduh ditentukan, harus ngaleyeh atau
menumbuk padi dengan lisung yang dilakukan secara sukarela oleh masyarakat
dengan cara ditabuh bertalu-taluan sehingga menjadi sebuah irama. Hasilnya
digunakan untuk tamu yang datang. Sebelum hari H, calon pengantin juga harus
luluran dan mandi kembang. Malamnya nyisik sereh dengan daun sirih dan diberi
petuah-petuah yang orang tua pesan untuk calon pengantin yang harus
diteladankan setelah menjadi suami istri, bisa dikatakan sebagai amanat. Selain itu, ada juga seserahan berupa daun
sirih,jambe, pinang, baju, perhiasan yang dilakukan seelah nyeyek sereh.
Foto Ala Chibi-Chibi
Nah, itulah sekilas cerita mengenai Rumah Adat
Cikondang yang saya tahu dari hasil berdialog dengan Bapak Eka. Senang rasanya
bisa kesana, di sambut dengan ramah, bermain juga dengan mereka. Sebelum
pulang, kami makan makanan ringan yang saya bawa dari Bandung. Om saya juga
mengajak mereka bermain adu panco, mengajarkan mereka gerakan karate, dan
berfoto ala chibi-chibi ha ha ha ha, hehehe.
Saya kaget saat mereka tahu girlband Indonesia
tersebut, saya baru ingat kalau sekarang hampir semua warga Cikondang sudah
hidup dengan gaya modern.
TERIMA
KASIH
No comments:
Post a Comment