Pages

Sunday, January 20, 2013

Serunya Rumah Adat Cikondang

Nama : Rachel Yolanda
NIM  : 11140110233
Kelas : F1

Serunya rumah adat Cikondang yang saya kunjungi bersama teman-teman saya. Yuk ikutin perjalanan kami...



Hari pertama, 22 Desember 2012.
Waktu itu pukul 09.00, saya dibangunkan oleh Mama saya untuk bersiap. Gak lama teman saya, Inmel mengirim BBM kalau dia dan Rachel (teman saya juga, namanya memang sama) akan datang telat. Tetapi saat mereka datang, saya tetap masih belum mandi karena bersiap-siap dan mengoreksi barang-barang biar gak ketinggalan. Dalam hati pasti bakalan pada bete nih nungguin, dan ternyata mereka berdua tertidur di sofa haha, maafkan aku teman-teman.
Akhirnya saya, Mama, Inmel, dan juga Rachel, para tersangka yang terlibat dalam The Journey to the Cikondang’s, siap untuk berangkat. Ternyata, seperti biasa kita telat 1 jam pemirsa, yang tadinya mau berangkat jam 9, menjadi jam 10. Beginilah dunia, tiada manusia yang sempurna,loh. Sebelum perjalanan dimulai, kami berdoa masing-masing agar perjalanan lancar dan terutama agar hujan di Bandung tidak turun terus-menerus. Perjalanan tidak akan dimulai juga kalau belum teriak “Let’s Go Cikondang Girls”. Kebetulan yang pergi cewek-cewek semua loh. Jadi sebagai drivernya saya dan co-driver Mama saya. Teman-teman saya bagian cek handphone masing-masing (main BB maksudnya, hehe).
Akhirnya sampailah kami di Bandung, karena hujan sangat lebat kami memutuskan untuk pergi esok hari. Kebetulan jalanan menuju kesana berkelok dan turun-naik. Takut membahayakan nyawa kami, kamipun sepakat, besok!

Hari kedua, 23 Desember 2012.
Yeay, akhirnya hari berganti. Kami bangun jam 8 pagi, langsung melihat ke jendela berharap mataharilah yang menyambut pagi kami. Senang sekali melihat matahari walaupun di Serpong kami selalu berharap mendung. Tidak lama om saya datang. Ternyata dia ingin mengantar kita ke Suku Adat Cikondang, betapa senangnya kami. Karena sebetulnya, kami berempat buta jalan. Tidak lama-lama, kami pun pergi ke Cikondang.
            Jalan memang berkelok dan turun-naik pemirsa. Tetapi tenang, kami dengan sangat mudah menemukan tempat yang kami tuju. Sebelum masuk ke dalam, diluar ada plang besar yang tertulis “Situs Rumah Adat Cikondang”.
Rumah adat Cikondang ini berada di Desa Lamajang, kecamatan Pengalengan. Perjalanan saya dari tol Pasteur, jadi tidak terlalu jauh. Saat pertama kali masuk setelah melihat plang tersebut, kami agak bingung dan takut. Karena jalan menuju ke dalam lebih ekstrim, turunan dan tanjakan yang sangat tajam dan jalanan pun sempit. Walaupun ekstrim, pemandangan disana sangat menarik. Di kiri dan kanan jalan banyak sekali pohon dan karena kami berada di daerah atas, jadi udara tidak panas. Di sebelah kiri kami, saat kami melihat kebawah ada sawah yang luas, sungai yang mengalir deras, dan rumah-rumah penduduk desa Lamajang. Disana kami bertemu dengan salah satu warga yang memberikan kami petunjuk untuk menuju rumah adat. Seperti yang bisa dilihat di gambar, lokasi masih 800M lagi. Tantangan terakhir menuju kesana adalah tanjakan yang benar-benar tajam dan panjang.
Yups, akhirnya kami sampai dan turun dari mobil. Saya bingung, dimana hutannya, rumahnya, karena yang saya lihat hanya perumahan biasa. Rumah-rumah pun sudah memakai genteng dan tembok.


Gang Menuju Rumah Adat

Ternyata untuk masuk ke rumah adat Cikondang harus bejalan kaki lagi. Seperti yang ada di gambar, kami harus masuk ke dalam gang tersebut. Hanya sekitar 10 menit untuk menuju ke rumah adat. Saat diperjalanan, banya k rumah warga yang masih dalam pembangunan. Warga disana ramah-ramah tentunya, setiap kami berada di pertigaan, selalu ada warga yang teriak dan memberi tahu jalan. Tanpa kami bertanya terlebih dahulu, mereka sudah memberi tahu kami, hehe.
Sampailah kami di Rumah Adat Cikondang. Ini lah yang saya cari, rumah adat, hutan, makam, dan lainnya yang berbau tradisional. Pintu masuk ke rumah adat pun masih tradisional, masih terbuat dengan bambu dan kayu.

Pintu Masuk Rumah Adat Cikondang dari Luar

Pintu Masuk Rumah Adat Cikondang dari Dalam 

“Pengertian Kebudayaan Menurut LARRY A. SAMOVAR & RICHARD E. PORTER
Kebudayaan dapat berarti simpanan akumulatif dari pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, pilihan waktu, peranan, relasi ruang, konsep yang luas, dan objek material atau kepemilikan yang dimiliki dan dipertahankan oleh sekelompok orang atau suatu generasi.”
Warga Cikondang menggunakan bahasa sunda untuk berkomunikasi sehari-harinya. Untung saya bareng Mama dan om, soalnya saya dan teman-teman saya gak begitu mengerti bahasa sunda. Disana saya bertemu dengan Pak Eka, Pak Ajo dan Pak Omay. Pak Eka masih merupakan keturunan dari sesepuh yang mendirikan kampung adat ini. Pak Ajo dan Pak Omay adalah warga yang dari dulu sudah membantu untuk merawat rumah adat tersebut. Saat perkenalan, Pak Omay nyebutin namanya sambil senyum-senyum, dalam hati kenapa ini si bapak ko senyum-senyum, ternyata Omay berasal dari Siomay. Yups, Pak Omay jualan siomay.
Perjalanan pertama kami memang lebih difokuskan pada dokumentasi. Namun kami sempat berdialog dengan Pak Eka mengenai rumah adat tersebut. Bapak Eka Mustika adalah seorang Guru, ia juga sebagai pengurus organisasi disana sebagai sekretaris. Seharusnya Pak Eka menjadi ketua, namun karena adanya pekerjaan maka diturunkan ke keturunan yang ke 5 yaitu Hanum Juhana. Hanum Juhana juga sebagai pemangku adat disana.

Bapak Ajo dan Hanum Juhana

Setelah puas berdokumentasi, kami pun pulang. Namun sebelumnya kami membuat janji kepada pemangku adat dulu bahwa besok kami akan kembali lagi. Karena, saat kami ingin masuk ke rumah adat, mereka tidak memegang kunci. Yang memegang kunci adalah Ketua organisasi tersebut.

Hari ketiga, 24 Desember 2012.
                Hari ini kami bangun lebih pagi agar bisa berangkat pukul 8. Kemarin kami belum sempat sarapan karena perjalanan menuju kesana jarang sekali ada rumah makan. Hari ini pun saya pergi berenam, om saya membawa anaknya. Semakin ramai semakin seru perjalanan kami.
                Berita buruk hari ini adalah hujan. Tapi seperti kata pepatah, sedia payung sebelum hujan. Yups, kami memang membawa payung, tapi Cuma 1. Betapa bodohnya, sudah tahu musim hujan, tapi gak bawa payung lebih. Tidak lama ada seorang warga disana yang meminjam kan payung untuk kami, 4 sekaligus. Kami sangat berterima kasih kepada bapak tukang ojek tersebut, padahal dia sendiri hujan-hujanan. Oh ya, Desa Lamajang termasuk desa yang bersih loh. Dibuktikan dengan adanya tong sampah di setiap perjalanan kita.

Tong sampah Desa Lamajang

Tong Sampah 2

Makanya, kalau anda ingin pergi kesini, jangan buang sampah sembarangan ya. Kami bertemu lagi dengan Bapak Eka, tetapi kami tidak melewati pintu kayu kemarin. Kami lewat pintu samping. Ternyata dari sana kami bisa melihat adanya sawah dan jalan menuju makam. Kalau bingung, disana disiapka petunjuk jalan agar kita tidak nyasar.

Petunjuk di Cikondang

Hari ini Bapak Eka menceritakan semuanya kepada kami. Bapak Eka atau nama panjanganya Eka Mustika adalah seorang sekretaris yang merupakan keturunan dari sesepuh yang membuat Cikondang ini. Seharusnya, bapak Eka menjadi ketua organisasi namun karena ia mempunyai pekerjaan menjadi seorang guru, digantikan oleh keturunan yang ke 5 yaitu Hanum Juhana. Bapak Hanum, selain menjadi ketua organisasi, ia juga menjadi pemangku adat atau juru kunci adat cikondang. Jadi kalau ingin melihat-lihat seluruh rumah adat cikondang, kita harus meminta izin kepada Pak Eka atau Pak Hanum.


 Eka Mustika

                Awalnya ada Desa Lamajang berawal dari Cikondang yang pertama kali merintis Desa Lamajang. Setelah muncul beberapa RW, akhirnya didirikanlah suatu desa, yaitu Desa Lamajang yang berkedudukan di Karang Tengah. Desa Lamajang berbeda dengan Kampung Lamajang. Kampung Lamajang berada di sebelah Cikondang.
                Cikondang berasal dari kata air dan pohon Kondang. Ci berasal dari bahasa sunda Cai yang artinya air dan Kondang berasal dari adanya mata air yang ditumbuhi oleh pohon besar yang lalu dinamakan Kondang.
                Dulu rumah adat Cikondang tidak hanya 1 seperti sekarang, ada sekitar 60 rumah pada tahu 1940an. Namun, terjadi kebakaran besar yang menghanguskan semua rumah, kecuali 1 rumah adat yang sekarang ini. Katanya, kampung ini dulu dipakai sebagai markas yang digunakan pejuang Indonesia untuk bersembunyi dari orang Belanda. Jadi ada kemungkinan rumah tersebut dibakar oleh pihak belanda. Jika dihitung-hitung, rumah adat sudah berumur 200 tahun. Sekarang warga Cikondang sudah memakai tembok dan genteng untuk rumah mereka. Namun, sebelumnya dibuat sebuah ritual dulu untuk membangun rumah. Untuk membangun rumah, mereka mendapatkan dana dari pemerintah. Mengapa sampai dibuat ritual? Karena mereka percaya bahwa genting sama dengan tanah, jadi apabila menggunakan genteng sebagai atap sama saja seperti mengubur diri hidup-hidup.


Rumah Adat Cikondang

Rumah Adat Cikondang Tampak Samping

Rumah adat harus memiliki 1 pintu, 5 jendela, dan 9 sekat, yang artinya 1 Tuhan, 5 rukun Islam, dan 9 Wali Songo.  Keunikan lainnya adalah di seiap rumah ada ukiran kayu dengan bentuk jantung yang artinya rumah ibarat manusia yang memiliki hati dan perasaan. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi nonverbal mencangkup semua rangsangan, kecuali rangsangan verbal dalam suatu setting komunikasi yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima.  Maka dari itu, saat berada di rumah adat kita harus memiliki etika. Seperti saat masuk ke rumah adat, kita tidak boleh menginjak bangbarung (kayu yang berada ditengah-tengah pintu bagian bawah). Apabila ingin duduk, laki-laki sebaiknya duduk bersila dan wanita sebaiknya duduk embok (kedua belah kaki dilipat ke arah yang sama). Apabila ingin nangunjar (selonjoran, kedua kaki diluruskan) tidak boleh ke arah selatan. Namun ke arah lain, tidak masalah. Begitu juga kalau ingin buang air kecil, dilarang ke arah selatan. Kata Pak Eka, karena makam para sesepuh mereka berada di arah Selatan, jadi kita harus menghormati mereka yang sudah meninngal. So, kalau kalian ingin nangunjar atau buang air kecil, tanya-tanya dulu ya, khususnya para pria yang suka buang air kecil di belakang pohon hehe.


Suasana di dalam Rumah Adat

Minum Bersama Bapak Ajo di Luar Rumah Adat

                Berbicara mengenai buang air kecil, mereka membuat toilet mereka secara tradisional juga. Dengan bambu, injuk, dan bahan lainnya yang mereka ambil dari hutan. Dibawahnya ada ikan-ikan lele yang bertugas untuk memakan kotoran yang mereka keluarkan. Sehingga kotoran tidak membuat kotor daerah rumah adat tersebut
Kamar Kecil di Rumah Adat Cikondang dari Luar

Di dalam Kamar Kecil 

Selain rumah adat, disana juga ada yang namanya hutan terlarang atau hutan dilarang sembarangan, kata Pak Eka. Kalau kalian ingin masuk ke hutan terlarang ini, sebaiknya pergi hari Kamis, Minggu, Senin, atau Rabu. Kita juga harus meminta izin juru kunci dahulu. Disana adalah makam sesepuh mereka, jadi apabila kita masuk kesana, sama dengan kita berjiarah. Kami tidak bisa masuk kesana saat itu, karena hujan dan harus dilakukan pada malam hari. Kita juga dilarang untuk mengambil foto didalam, hanya boleh diluar hutan saja.


Makanan Wuku Tahun

15 Muharam adalah waktu bagi mereka untuk melakukan wuku tahun atau dalam bahasa Indonesia, ulang tahun. Dalam wuku tahun, mereka melakukan sebuah ritual dan membuat tumpeng sebanyak 200 tumpeng untuk dimakan bersama. Biasanya menghabiskan kurang lebih 10 juta rupiah setiap ritual. Camat, Bupati, dan Gubernur biasanya selalu datang tiap tahun, namun tahun ini mereka tidak datang. Nah, kenapa 15 muharam ? Karena pada saat 15 muharam banyak sekali peristiwa seperti Nabi Adam sebagai orang pertama di dunia yang diampuni dosanya. Nabi Musa yang membelah lautan, dan lain-lain. Maka dari itu selalu dirayakan wuku tahun atau ritual sebagai ucapan terima kasih. Mereka juga membuat sesajen, namun tidak sesering di Bali. Pernah ada berita bahwa dengan menginjak sesajen secara sengaja ataupun tidak sengaja, maka akan cekala bagi orang yang menginjaknya. Namun. Kata Pak Eka, sebenanya sesajen tidak boleh diinjak karena untuk menghormati para leluhur yang dianggap tidak sopan. Bukan malah akan terjadi celaka atau hal-hal negatif lainnya. Baginya, apabila benar terjadi hal tersebut, itu hanya kebetulan saja.

Pemandangan Kebun Adat Cikondang

Sudah ada 1 hektar tanah yang digunakan untuk pemakaman, 1 hektar kebun, dan 1 hektar daerah rumah adat Cikondang yang dikelola oleh para warga, jadi totalnya ada 3 hektar. Namun kata Pak Eka, mengelola bukan berarti memiliki yang berarti 3 hektar tanah tersebut merupakan milik leluhur mereka yang dikelola oleh keturunan dan warga lainnya yang tinggal di daerah kampung Cikondang. Hasil kebun digunakan untuk acara wuku tahun, sisanya dipakai untuk pribadi. Jadi ada yang untuk ritual dan juga untuk kehidupan duniawi, kata Pak Eka. Hasil kebun berupa padi, bawang , dan jagung.  Padi yang mereka dapat, harus ditumbuk dengan lisung, tidak boleh memakai mesin. Hasilnya di simpan di lumbung yang berada di depan kanan rumah adat. Jadi, kegiatan yang dilakukan disana semuanya adalah tradisional.


Makanan Tradisional

Gelas Entik

Di dalam daerah rumah adat, tidak boleh memakai listrik. Harus secara tradisional, jadi lampu diganti dengan Lentera. Untuk masak menggunakan hawu atau tungku, gelas yang mereka pakai gelas entik seperti batok kelapa. Selain itu, mereka juga menjamu kami dengan makanan ringan tradisional seperti rengginang, opak, klontong, tengteng, ampeang, dan lainnya sebanyak 45 macam.

Memasak dengan Hawu

Bapak Eka juga sempat menceritakan bagaimana tradisi menikah disana. Sebelum hari yang seduh ditentukan, harus ngaleyeh atau menumbuk padi dengan lisung yang dilakukan secara sukarela oleh masyarakat dengan cara ditabuh bertalu-taluan sehingga menjadi sebuah irama. Hasilnya digunakan untuk tamu yang datang. Sebelum hari H, calon pengantin juga harus luluran dan mandi kembang. Malamnya nyisik sereh dengan daun sirih dan diberi petuah-petuah yang orang tua pesan untuk calon pengantin yang harus diteladankan setelah menjadi suami istri, bisa dikatakan sebagai amanat.  Selain itu, ada juga seserahan berupa daun sirih,jambe, pinang, baju, perhiasan yang dilakukan seelah nyeyek sereh.

Foto Ala Chibi-Chibi

Nah, itulah sekilas cerita mengenai Rumah Adat Cikondang yang saya tahu dari hasil berdialog dengan Bapak Eka. Senang rasanya bisa kesana, di sambut dengan ramah, bermain juga dengan mereka. Sebelum pulang, kami makan makanan ringan yang saya bawa dari Bandung. Om saya juga mengajak mereka bermain adu panco, mengajarkan mereka gerakan karate, dan berfoto ala chibi-chibi ha ha ha ha, hehehe. Saya kaget saat mereka tahu girlband Indonesia tersebut, saya baru ingat kalau sekarang hampir semua warga Cikondang sudah hidup dengan gaya modern.

TERIMA KASIH


No comments:

Post a Comment