Nama : Nicholas Rhino
Nim :11140110163
Kelas : G1
Kampung naga? Apakah kapmpung yang ada naganya? Atau
kampung suku naga? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiran saya pada
malam sebelum berangkat ke kampung tersebut. Perjalanan ini sudah saya
rencanakan jauh hari, semua persiapan sudah disiapkan. Jam 3 pagi saya dan 16
kawan saya berangkat menuju kampung misterius yang akan kami gali informasinya.
Perjalanan kami tempuh selama 7 jam, hal ini diluar
dari prediksi saya untuk tiba disana. Saya dan kawan kawan kesal karena
menyianyiakan waktu di jalan ketimbang eksplorasi disana. Sesampainya disana
saya menuju resepsionis kampung. Disaaat itulah saya bertemu mang Eno, penduduk
asli kampung dan tourguide kampung itu.
Kesan pertama
saya sampai di tempat adalah bingung. Dimana kampung naga? Karena yang ada
hanya lapangan parkir yang di kelilingi warung. Di tambah sebelum tiba kampung
naga terpampang papan penunjuk jalan yang tertulis “terminal kampung naga”.
Jadi, dimana kampung naga tersebut.
Setelah mang Eno memperkenalkan diri kepada saya dan
teman-teman dia pun menjelaskan peraturan kampung sebelum kami menuju ke dalam
kampung. Yang pertama disampaikan oleh mang Eno adalah bahwa kita harus
mengingat kampung naga bukan tempat wisata yang menjual atau komersil. Kampung
naga tempat dimana penduduk dengan keunikan dimana mereka tetap menjaga tradisi
mereka sejak jaman dahulu. Jadi sekali lagi ini bukan tempat wisata atau hotel
dimana kita bisa seenak kita melainkan tempat yang memiliki aturan.
Aturan yang pertama kita harus di ikuti jelas sopan
santun, yang kedua ada tempat tempat yang di larang oleh warga, ada yang boleh
di foto namun tidak boleh didatangi ada yang tidak boleh didatangi dan juga
tidak boleh difoto. Hukum yang berlaku dikampung naga adalah hukum amanat wasiat
dan akiibat.
Akhirnya saya dan rombongan turun menuju desa. Yang
anehnya, setau saya kampung naga itu terletak di bawah namun kami di suguhkan
oleh tangga yang menaik. Kami menapaki tangga tersebut sekitar 10 anak tangga
dengan jarak 30 cm.
Barulah terlihat turunan yang begitu panjang . hanya
tangga yang tak berujung yang nampak di mata saya. Saya mencoba menyusuri
tangga tersebut dengan mata saya. Namun tertutup oleh pohon pohon dan rumah
warga kampung naga yang sudah keluar dari kampung tersebut.
Terus saya turuni tangga itu sampai di bawah
terlihat dari kejauhan ada air terjun kecil yang indah. Terletak jauh sebelum
sawah luas memanjakan mata. Hamaparan hijau yang luas yang jarang di kota.
Ada 2 kejadian yang di ceritakan oleh mang eno
kepada saya, yang pertama dulu ada wartawan yang datang ke kampung naga. Sudah
diberi arahan agar tidak boleh memfoto rumah untuk upacara adat yang disana.
Wartawan yang datang ada 3 orang. Setelah mang no menjelaskan desa mereka
akhirnya sampai di depan rumah untuk upacara adat disana. Mang no sudah
menjelaskan tidak boleh memfoto. Setelah berjalan menuju aula tempat
berkumpulnya para warga dimana tempat kami waktu disana disambut oleh pak
punduh. Setelah sampai disana yang terjadi adalah tiba tiba kamera dari salah
seorang wartawan tersebut terjatuh dan rusak. Info yang saya dapat harganya
sekitar 90 jutaan. Setelah ditanya oleh teman temannya kenapa bisa jatuh dan
bla bla akhirnya wartawan tersebut mengaku sempat mencuri curi foto rumah
tersebut.
Kejadian yang kedua menyangkut air terjun yang saya
lihat tadi. Dibalik keindahannya saya memang merasa ada yang aneh dari tempat
tersebut, dan ternyata benar ada yang aneh di tempat tersebut. Ada kejadian
rombongan anak muda yang datang ke kampung itu. Ketika itu juga mang eno yang
memandu rombongan itu. Sudah di jelaskan dan sudah di beritahu bahwa dilarang
mendekati air terjun tersebut namun di perbolehkan untuk melakukan foto disana.
Anak-anak muda itu setelah ikut panduan mang eno,
mereka menuju air terjun. Mungkin yang ada di pikiran mereka bahwa tempat itu
hanya air terjun wisata dimana mereka bisa bermain disana. Salah. Disana bukan
tempat wisata. Disana perkampungan yang juga punya tempat yang kramat atau sakral.
Alhasil rombongan tersebut kesurupan secara bergantian. Seolah setan melompat
lompat dari satu tubuh ke tubuh lainnya. Mereka pun di bawa ke rumah panggung
tempat berkumpul. Dan warga kampung naga mencoba
membacakan doa dan akhirnya
anak anak tersebut bisa bernafas lega dan tenang.
Kami dan rombongan tiba di rumah panggung. Dengan wajah
penuh dengan keringat kami berbagi tissue. Di ruangan itu ada 3 orang. Saya mengasumsikan
itu adalah ketua rombongan lainnya. Ya, bukan Cuma kami rombongan yang ada
disana. Banyak pelajar sma yang berdatangan kesana. Baik tour group ataupun
untuk rekreasi.2 orang berhadapan dengan 1 orang. Yang di tengah pria yang
sudah lanjut usia. Badannya kecil dan kurus. Berambut putih dan berjanggut
putih.
Kami masih menunggu mang Eno untuk kembali dari
rumah pak rt yang ada di sekitar situ. 5 menit kami menunggu di tempat itu. Mempersiapkan
kamera kami dan merapikan penampilan kami yang sudah lusu. Dalam benak saya,
kami cuma turun, belum naik. Apa rasanya naik 439 anak tangga. Masih mending
kalau landai. Ini sangat curam dan terus menerus naik keatas. Walaupun ada
space kecil untuk beristirahat namun tetap capek pastinya.
Mang Eno pun kembali tanpa pak rt yang seharusnya
menyambut kedatangan saya dan teman teman saya. Saya hanya duduk terdiam dan
heran apa yang akan terjadi selanjutnya.kedua orang yang tadi menemani bapak
tua pun pamit undur diri.Mang Eno menghampiri bapak tersebut dan memberi tahu
bahwa pak rt tidak ada untuk menyambut kami. Maka akhirnya bapak tua tersebut
yang menyambut kami.
Mang Eno menyuruh kami merapat kan diri kebagian
depan. Kami pun dengan semangat berdiri dan berjalan kedepan tanpa banyak kata.
Mang Eno memperkenalkan bapak tua itu kepada kami dan seblaiknya juga dia juga
memperkenalkan kami ke bapak tua tersebut.
Pak Punduh itu nama bapak tua tersebut. Dan dia
adalah sesepuh di kampung naga.Beliau memulai pertemuan kami dengan perkenalan.
Dia juga menanyakan maksud dari kedatangan kami ini. Teman saya, Albert yang
selaku dari pemimpin kelompok rombongan kamipun ambil bicara. Walaupun gugup
dan rada gagap bicaranya, mungki karena bertemu dengan sesepuh kampung naga. Albert
menjawab maksud dari kedatangan kami ini apa.katanya “kami ingin belajar di
kampung naga, kami ingin mengenal budaya yang ada di kampung naga ini.”
Tingkah laku albert bisa dimaklumi karena dalam
pertemuan beda budaya, dan juga bertemu dengan pemimpin dari suatu kelompok
seolah menghadirkan penghalan di dalam percakapan. Sudah pasti pengalan itu
adalah rasa sopan, menjaga tutur kata, ya intinya kita ingin terlihat baik
dihadapan orang lain. Sesuai dengan teori dramaturgi albert berada di front stage.
Dimana semuanya adalah kepura puraan, mengingat ini pertemuan pertama.
Pa punduh meminta maaf diawal pembicaraan bahwa dia
tidak bisa bicara fasih berbahasa indonesia. Hal ini aneh buat saya. Kenapa dia
tidak bisa berbahasa indonesia? Bukankah dia orang indonesia? Apakah setertutup
inikah kampung naga? Ya tempat sih boleh jauh dari jangkauan kota namun kenapa
bahasa tidak fasih?
Saya hanya bisa diam dan menelan pikiran saya.karena
saya menganggap bila menanyakan kepadanya itu akan sangat tidak sopan.saya
mendengarkan apa yang dikatakan selanjutnya oleh papunduh.
Papunduh membuka dengan keterangan kampung naga.
Kampung naga berasal dari kata Kampung Na Gawir, apa itu artinya? Artinya adalah
kampung di tebing.agak aneh juga sih mengingat bahwa sebenarnya dia berada di
lembah, bukan di tebing. Tapi begitulah namanya. Dan disingkat menjadi kampung
Naga. Itu menjawab pertanyaan saya yang timbul di awal perjalanan.
Papunduh juga menjelaskan perbatasan perbatasan apas
saja kampung ini berbatasan dengan. Namun saya
tidak menyimaknya dengan jelas
karena suara beliau yang kecil. Tapi itu semua ada divideo saya.
Hal berikutnya soal ekonomi,penduduk kampung naga
semuanya adalah petani namun itu bukan hanya pekerjaan mereka. Penduduk kampung
naga menanam semua hasil pertanian dan hasilnya itu digunakan untuk diri mereka
sendiri. Baru apabila ada kelebihannya maka akan di jual keluar kampung. Untuk waktu
senggang mereka juga berternak, ada kelinci, kambing, sapi, marmut. Dan yang
terakhir memancing di sungai. Oya, penduduk kampung naga juga membuat kerajinan
tangan untuk dijual atau digunakan sendiri.
Soal pendidikan, anak anak di kampung naga harus
sekolah, minima sd. Hebat juga perjuangan anak anak ini.mereka harus menaiki
439 anak tangga untuk ke sekolah. Berbeda dengan kami anak kota yang serba
mewah dan kenikmatan menjalani hidup. Hal ini menambah respek saya terhadap
kampung naga.
Soal agama, papunduh menjelaskan bahwa semua
penduduk kampung naga menganut agama islam. Agama islam, bukan nu, bukan
muhamadiyah, tetapi islam. Pantas saja mereka begitu terbuka terhadap semua
agama.mereka hanya mengambil yang baiknya dan tinggalkan yang buruknya. Hahaha,
ini mengganggu pikiran saya. Kebanyakan anak kota sekarang mencari yang buruk
dan meninggalkan yang baiknya.Penduduk kampung naga diperkenankan menikah
dengan siapa saja asalkan satu agama
Ada larangan juga di kampung naga untuk menceritakan
tentang kampung naga kepada orang lain. Ada bulan bulan tertentu dan hari hari
terntentu dimana mereka tidak mau menceritaknnya. Dan sialnya hari itu hari
sabtu. Tepat dengan hari kedatangan kami. Kami tidak bisa bertanya lebih jauh
karena papunduh tidak mau untuk menceritakannya
Jumlah rumah yang ada di kampung naga ada 113
pertanyaan yang timbul di benak saya adalah apa setelah sekian tahun 113ini
mampu menampung semua penduduk kampung naga. Saya tidak sempat menanyakan itu
ke papunduh mengingat hari sudah siang dan papunduh sudah selesai menyambut
kami dan menjelaskan semuanya.
Mang Eno mengantar kan saya dan teman teman saya ke
rumah warga dimana tempat kami akan tinggal hari ini dan besoknya. Kami dibagi
menjadi 3 kelompok. Satu kelompok laki laki dan dua kelompok perempuan. Satu rumah
warga mampu menampung tamu maksimal sebanyak 6 orang.saya disuguhkan makanan
yang enak walaus sederhana, namun kalau direstoran sunda bisa menghabiskan
banyak biaya.
Setelah kenyang kami pun kembali ketempat tadi. Untuk
diantar oleh mang Eno dan dijelaskan apa saja yang ada di desa tersebut. Intinya
yang saya dapatkan disitu adalah. Ada rumah upacara adat yang tidak boleh
dimasuki sembarang orang dan difoto. Ada juga seni tradisional khas kampung
naga. Yaitu Seni musik Karinding. Yang membutuhkan keahlian untuk membuatnya
dan berlatih menggunakannya. Hebatnya disana hanya ada satu orang yang mampu
membuat karinding.
Saya belum menemukan apa apa yang bernilai di
kampung ini. Sesuatu yang berharga yang bisa saya ambil. Sampai suatu saat
teman teman saya naik ke atas untuk mandi dan charge baterai handphone mereka. Saya
diajak Mang Eno untuk makan singkong dirumahnya. Sesampainya disana hanya ada
elcha dan albert. Yang tampak kelelahan setelah jalan jalan mengelilingi
kampung ini.
Dirumah Mang Enolah saya baru mendapatkan emas
kampung naga. Setelah obrolan singkat tentang kampung. Ditemani singkong dan
kopi. Albert dan Elcha pergi keatas untuk menyusul teman teman yang sudah
terlebih dahulu disana. Tinggallah saya seorang bersama mang Eno.
Apakah mampu 113 rumah ini menampung semua warga
kampung naga. Dan ternayata tidak, kebanyakan orang kampung naga justru ada di
luar kampung naga. Mereka yang sudah cukup umur merasa malu apabila tetap
tinggal bersama orang tua mereka. Wow, mereka mandiri.berbeda dengan anak kota
yang masih hidup bergantung belas kasihan orang tua mereka. Yang ditimang
timang oleh kemewahan harta orang tua. Tapi dikampung ini tidak begitu.
Pertanyaan kedua adalah kenapa orang kampung naga
ini tidak mengikuti nu ataupun muhamadiyah. Dan juga kenapa mereka sangat ramah
dan tidak anti terhadap perbadaan. Pertanyaan itu saya lontarkan kepada Mang
Eno dan saya mendapat jawaban yang menyentuh hati saya. Mang Eno menjawab “Agama,Ras,Suku
perbedaan, dan perbedaan itu hanyalah warna dari dunia. Semakin banyak
perbedaan semakin indah pula dunia ini”.
Mereka tidak merasa mereka yang paling benar. Mereka
hanya mengikuti alquran sebagai pedoman mereka. Mereka juga memiliki prinsip,
kalau mereka disakiti mereka tidak marah, mereka mendoakan orang yang menyakiti
mereka. Ini tidak asing di kuping saya, seperti ajaran yesus “bila pipi kirimu
ditampar, beri pipi kananmu”. Saya merasa perbedaan tidak adalagi pada saat
itu. Tampaknya mereka sama dengan saya.
Ada filosofi yang saya ambil dari kampung naga. “Lebih
takut hidup daripada takut mati”. Aneh kenapa mereka memiliki filosofi
tersebut. Saya menanyakan kepada mang Eno dan jawabannya mengejutkan saya. “karena
kalau hidup, kita bisa berdosa, kita bisa menyakiti orang orang, tapi kalau mati,
tidak bisa.” Sesimple itu jawabanya tapi itu sangat berarti bagi saya.
Pertanyaannya selanjutnya, kenapa mereka tidak mau
listrik masuk ke kampung ini. Bukankah listrik sumber hidup masyarakat jaman
sekarang? Jawabannya adalah mereka tidak mau mental anak mereka rusak karena
ajaran tv yang isinya tidak bermutu. Tv juga menimbulkan jenjang sosial
diantara mereka. Kalau si a punya tv, si b juga mau. Bagaimana dengan si c yang
tidak mampu membeli tv?
Tapi bukan berarti mereka tidak nonton tv sama
sekali. Diatas, di kantor penerimaan tamu atau pengelola kampung naga,disana
ada tv dan listrik. Mereka hanya tertarik dengan berita, mereka hanya mau
mendidik diri mereka untuk pintar. Sesuai dengan prinsip tadi, ambil yang baik,
buang yang buruknya. Dan juga mereka takut listrik menyebabkan korslet dan
memicu terjadinya kebakaran.mengingat rumah mereka yang terbuat dari bahan yang
mudah terbakar.
Saya juga mendapati bahwa mang Eno bukan hanya
tinggal di kampung naga. Namun dia juga pernah merantau ke bogor,bali dan
tempat lainnya, saya di ceritakan bagaimana susahnya dia tinggal di ibu kota. Namun
ada hal menarik dicerita tersebut.
Bukan hanya saya yang belajar KAB namun Mang Eno
juga belajar KAB. Selama mang Eno menjadi pedagang. Dia kerap kali bertemu
dengan preman yang sering meminta uang jatah reman ke setiap pedagang yang ada
disana. Mang Eno hanya berbekalkan ramah tamah. Hingga ada kesimpulan, kalau
ada orang jahat sama kita, kita baikin saja, sampai nanti dia akan segan dengan
kita. Mang Eno pun mampu membaur dengan lingkungannya. Namun pikiran akan
keuangan membuatnya jenuh. Diapun memutuskan untuk kembali ke kampung Naga.
Dan itu adalah Emas dari Kampung Naga. Sedikit namun
banyak yang bisa saya beri ke kalian para pembaca. Dan yang saya simpulkan dari
observasi budaya adalah,”Jangan Cari Pengetahuan, Cari Ilmu dari Budaya
tersebut” karena pengetahuan bisa kita cari di internet tapi ilmu hanya dapat
dari komunikasi.
No comments:
Post a Comment