Nama : Nandya Utami Putri Bachtiar
Kelas : F1
KAMPUNG BATIK LAWEYAN
SOLO
Begitu banyak keindahan yang tersimpan di
Negri kita ini, Indonesia. Bukan hanya keindahan alamnya yang terlihat luar
biasa, namun juga beragam suku, ras, budaya, etnis, dan agama. Bahkan kesenian
dan kerajinan yang tidak kalah menarik untuk kita pelajari. Indonesia dikenal
dengan negeri seribu pulau, seribu bahasa, seribu kebudayaan, seribu kesenian,
dan seribu kerajinan.
Dikenal dengan negeri seribu pulau, karena
Indonesia memiliki banyak pulau-pulau kecil yang berada di sekelilingnya.
Disebut seribu kebudayaan dan seribu bahasa, karena Indonesia tidak terdiri
hanya dengan satu kebudayaan saja, namun banyak kebudayaan yang tersimpan di
negeri ini dan kebudayaan tersebut juga memiliki bahasa tersendiri pula. Karena
banyak kebudayaan, tentunya banyak pula juga kesenian dan kerajinan yang
dihasilkan yang dijadikan sebagai ciri khas dari kebudayaan itu sendiri.
Kita semua tahu bahwa Indonesia dikenal dengan;
makanan khasnya; tahu dan tempe, keseniannya; reog, wayang,dll, kerajinannya;
kain songket, batik dan masih banyak lagi. Itu membuktikan bahwa Indonesia kaya
akan kebudayaannya.
Kebudayaan diambil dari kata budaya.
Pengertian ‘budaya’ itu sendiri mempunyai arti banyak dalam disiplin ilmu serta
konteks yang berbeda. Lonner dan Malpass, mendefinisikan istilah budaya ini
sesederhana mungkin, yakni Budaya adalah
pemrograman pikiran atau Budaya
merupakan yang dibuat oleh manusia dalam lingkungannya. Sedangkan istilah
‘Kebudayaan’ menurut Triandis:
Kebudayaan
merupakan elemen subjektif dan objektif yang dibuat manusia yang dimasa lalu
meningkatkan kemungkinan untuk bertahan hidup dan berakibat dalam kepuasan
pelaku dalam ceruk ekologis, dan demikian tersebar di antara mereka yang dapat
berkomunikasi satu sama lainnya, karena mereka mempunyai kesamaan bahasa dan
mereka hidup dalam waktu dan tempat yang sama.
Untuk itu, pada tanggal 23 Desember 2012 yang
lalu, saat liburan natal dan tahun baru, saya menyempatkan diri untuk pergi
berlibur sekaligus mengerjakan tugas Komunikasi Antar Budaya ini ke Solo, Jawa
Tengah. Banyak sekali hal yang menarik di Kota tersebut. Ada Kesenian Wayang
Orang, Pasar Klewer, Keraton Surakarta, Kampung Batik Kauman, Kampung Batik
Laweyan, dan masih banyak lagi tentunya.
Dari semua yang sudah saya sebutkan di atas,
saya tertarik untuk memilih Kampung Batik Laweyan sebagai tempat observasi mengenai
kebudayaan di Kampung Batik Laweyan tersebut untuk menyelesaikan tugas Komunikasi Antar
Budaya ini.
Mengapa ?
Karena, selain lokasi dekat dengan penginapan
saya, tentunya Kampung Batik Laweyan juga mempunyai kebudayaan tersendiri
walaupun pada dasarnya lebih mendominasi kebudayaan di Solo, karena Kampung
Batik Laweyan dibilang sebagai kampung batik tertua di kota tersebut, bahkan
kampung batik tertua se-Indonesia. Katanya, Kampung Batik Laweyan ini disebut
atau dikenal dengan Kampung ‘Juragan Batik’, karena disana banyak atau bisa
dibilang kampung yang masyarakatnya adalah para pengusaha batik, itu dulu.
karena jaman yang semakin berkembang dengan pesat, ditandai dengan masuknya
budaya-budaya baru yang membuat para penguasaha batik di Kampung Batik Laweyan
ini gulung tikar. Sekarang, tidak semua warga di Kampung Batik Laweyan ini
adalah seorang pengusaha batik, melainkan ada buruh dan para imigran lain yang
tinggal di Kampung Batik Laweyan ini.
Bisa dilihat dengan kasat mata, Kampung Batik
Laweyan ini mempunyai tiga gang masuk ke
dalam Kampung. Gang utama masuk ke Kampung Batik Laweyan ini berada di depan
jalan, dekat pertigaan lampu merah. Daerah lebih tepatnya, saya lupa karena
nama jalannya pake nama jawa gitu.
Dilihat dari namanya saja sudah terlihat masih
menggunakan ejaan bahasa lama,
‘Kampoeng Batik Laweyan’
Di Kampung Batik Laweyan tersebut model dan
tata bangunannya pun seperti kampung pada biasanya, banyak lika-liku gang. Yang
membedakannya, kalau di kampung yang sering kita temui hanya rumah untuk
tinggal. Nah, kalau di Kampung Batik Laweyan ini di kanan, kiri, depan,
belakang, dan sudut yang kita lihat adalah beragam toko-toko batik masih dengan
suasana jawa pada jaman dulu, walau ada beberapa yang sudah terlihat modern.
Nah, itulah yang membuat, mengapa tempat ini disebut dengan ‘Kampung’ Batik
Laweyan.
Bukan seperti toko-toko batik seperti yang
kita lihat biasanya, di Kampung Batik Laweyan ini di setiap toko batik terdapat
tempat juga untuk memproduksi batiknya. Jadi, batik yang dijual disetiap toko
adalah batik hasil produksi sendiri. Dan setelah saya perhatikan, batik yang
dijual motif dan designnya berbeda-beda, jadi bila kita menemukan motif dan
design batik yang unik di satu toko, maka kita tidak akan menemukannya lagi di
tempat lain, bahkan di toko itu sendiri hanya menyediakan satu produk.
Karena saya penasaran dengan hal tersebut,
saya akhirnya menanyakannya kepada salah satu pengusaha batik tersebut.
Katanya, motif dan design batik memang berbeda-beda, tergantung bagaimana si
pembuat batik membuatnya.
Dan saat saya berjalan ke toko batik lainnya,
saya melihat beberapa baju batik model daster untuk ibu-ibu dengan motif dan
design batik yang sama persis, yang berbeda hanya warna dasarnya saja. Tanpa
berpikir panjang, saya pun bertanya lagi kepada penjaga toko tersebut. Dia
bilang, motif dan design batik yang berbeda-beda itu hanyalah batik tulis.
Mengapa demikian ? Karena, batik tulis dibuat dengan tangan sang pengrajin
batik sendiri, jadi motif dan designnya dibuat tergantung sang pengrajin batik.
Nah, sedangkan yang saya lihat, batik dengan motif yang sama, itu bisa di
bilang batik cap dan batik print.
Cara membuat batik ternyata ada tiga macam.
Yang pertama, ada batik Cap. Batik Cap ini menggunakan media Cap. Media capnya
seperti model stempel. Stempelnya pun terbuat dari tembagaYang kedua, ada batik
Print. Bisa diperkirakan dari namanya, motif batiknya di print dengan
menggunakan media. kalau bisa dibilang, menurut saya batik Print ini motifnya
sedikit berantakan dan kurang bagus. Yang ketiga, ada batik Tulis. Batik tulis
merupakan batik yang mempunyai harga tertinggi dari yang lain. Mengapa ?
Karena, batik dengan cara tulis ini dibuat dengan tangan sang pengrajin
sendiri, kemudian, motif batiknya pun tidak bisa sama persis, jadi istilahnya
motifnya itu ‘tidak pasaran.’
benar-benar penasaran dengan bagaimana rasanya
membuat batik, dan untuk mengusir rasa penasaran itu, saya mencoba untuk belajar
membatik di sebuah workshop Cempaka.
Cempaka adalah nama sebuah toko batik yang letaknya sedikit tersembunyi. Saya
harus melewati lika-liku gang untuk sampai ke sana dan belajar membatik.
Di sana saya bertemu langsung dengan
pemiliknya bernama Ibu Eni Susilo. Beliau adalah salah satu pengusaha batik
yang tinggal di Kampung Batik Laweyan itu. Sambil menunggu semua peralatan
membatik disiapkan, saya pun masuk ke toko batik milik ibu Eni. Ternyata di
sana ada sebuah peraturan tidak boleh mengabadikan semua yang ada di dalam toko
tersebut dengan foto atau video, itu bermaksud menjaga motif batik yang ada di
toko tersebut agar tidak diplagiat dan tidak menjatuhkan harga pasar yang di
jual. Katanya sih begitu.
Setelah semua peralatan membatik telah dipersiapkan,
saya di ajak ke sebuah tempat yang lebih leluasa untuk membatik. Sebelumnya, ditempat
yang sama, saya melihat hal amat sangat menarik. Saya melihat seorang bapak tua
yang sedang asik membatik. Tapi bukan tulis yang sedang dikerjakan, melainkan
batik cap. Karena penasaran, saya pun menghampiri bapak tersebut dan sempat
berbincang-bincang sebentar. Namanya, Bapak Sujono. Sudah 20 tahun bapak Sujono
ini bekerja sebagai pengrajin batik cap. Walaupun penghasilannya tidak besar,
namun bapak Sujono senang melakukannya, dengan alasan ia ingin tetap
melestarikan batik.
Setelah selesai berbincang dengan Pak Sujono,
saya pun bergegas pergi ke sebuah tempat, dimana proses membatik akan saya
lakukan. Rasa penasaran pun muncul ketika melihat peralatan yang telah disediakan
oleh pegawai Ibu Eni dari Cempaka tadi.
Berikut alat-alat yang digunakan dalam
membatik: ada Canting, kompor, penggorengan kecil, kain putih polos, dan sebuah
bingkai untukmemudahkan kita dalam membatik. Kemudian, ada juga bahan yang
digunakan antara lain malam. Kalau semuanya sudah lengkap, proses membatik pun
bisa dimulai. Jadi, dalam membatik ada hal-hal yang harus diperhatikan loh,
antara lain cara kita duduk.
Asumsi yang dinyatakan oleh Morreale,
Spitzberg, dan Barge: “Bagaimana manusia berdiri, duduk, dan berjalan memiliki
pesan non-verbal yang kuat. Apakah anda bermaksud untuk mengirim pesan atau
tidak, setiap gerakan anda secara potensial menyatakan sesuatu mengenai anda
dan orang lain.”
Nah, dalam membatik posisi duduk yang harus
dipraktikkan adalah duduk tidak berhadap-hadapan dengan kompor yang digunakan
untuk melelehkan malam tapi posisis duduk pun menyamping. Jadi lebih jelasnya,
posisi duduk dengan posisi kompor bersampingan. Hal ini maksudnya agar
mempermudah kita dalam mengerjakan batik tulisan tersebut saat mengambilan
malam dengan canting.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah cara
pemegangan canting. Pemegangan canting dalam proses batik tulis ini
dipraktekkan seperti cara kita menulis menggunakan pensil atau pulpen di
tembok. Posisi belakang canting sedikit di turunkan, itu berguna agar lelehan
malam tidak terlalu keluar banyak, sehingga proses memberi motif pada kainnya
bisa lebih rapi. Nah, itu yang cara memegang canting itulah yang membuat batik
ini dengan sebutan batik tulis.
Ada hal unik yang saya sadari, bahwa di
Kampung Batik laweyan ini semua pengrajin batik tulis adalah para wanita.
Mengapa ?
Karena, di Kampung Batik Laweyan mempunyai cara
pandang yang berbeda.
Sehubung dengan itu, berdasarkan buku
Komunitas Lintas Budaya mengenai Cara Pandang dan Budaya, Kraft menyatakan hal
sebagai berikut: “Setiap kelompok sosial
memiliki cara pandang – sejumlah kepercayaan dan nilai yang kurang lebih sistematis
yang dinilai oleh tersebut dan mengandung arti dari realitas yang ada.”
Hal yang berhubungan dengan cara pandang yang
ada di Kampung Batik Laweyan ini adalah bahwa pengrajin batik tulis adalah para
wanita. Di kampung Batik Laweyan mempunyai cara pandang mengenai hal ini, bahwa
wanita mempunyai derajat yang lebih tinggi dari para laki-laki. Karena, dalam
membuat motif batik tulis ini amat sangat membutuhkan kesabaran. Oleh karena
itu, wanitalah yang membuat batik tulis. Karena wanita dipandang mempunyai
kesabaran dan ketelitian yang lebih dari para laki-laki. Dan hal yang lainnya
adalah wanita dipandang mempunyai pemikiran yang lebih terbuka dan kreatif
sehingga dapat menghasilkan beragam motif batik yang terlihat lebih indah.
Setelah saya mencoba sendiri bagaimana rasanya
membatik, ternyata benar memang dalam proses membuat batik tulis ini
benar-benar membutuhkan kesabaran yang ekstra, ketelitian yang ekstra pula,
serta ke kreatifan dalam membuat motif.
Setelah saya belajar membatik, saya pun kembali
menelusuri Kampung Batik Laweyan ini. Saya bertemu dengan seorang ibu-ibu yang sedang asik membuat kue. Nah, ternyata di Kampung Batik Laweyan ini mempunyai makanan khas, kue proyes. Nah, kue ini biasanya dibuat hanya saat ada resepsi pernikahan. Kue ini, tidak bisa kita dapatkan di luar kampung ini, karena memang sengaja tidak di produksi secara banyak.
saya berjalan menuju sebuah mesjid bernama
Mesjid Laweyan. Di samping Mesjid Laweyan terdapat sebuah pemakaman keluarga
keraton dari kerajaan pajang. Di Kampung Batik Laweyan, semua penduduk beragama
islam. Oleh karena itu, Di Kampung Batik Laweyan hanya terdapat tempat ibadah
mesjid.
Pengertian agama sendiri yang dijelaskan dalam
buku komunikasi lintas budaya adalah untuk mengikat, yang berasal dari bahasa
latin relige . Hal ini pastinya
menjelaskan bahwa bahwa agama mengikat manusia dalam hal-hal sakral.
Ada hal unik lainnya, disekitar mesjid, yaitu
adanya sebuah pemakaman untuk keluarga keraton pada masa kerajaan pajang. Salah
satunya adalah KI Ageng. Ternyata, dulu banyak orang yang sering bertapa disana
untuk memohon hal-hal seperti meminta untuk kenaikan jabatan, kelancaran
dagangan, dan semacamnya. Dan ternyata, sampai sekarang pun masih banyak orang yang
bertapa ke makam tersebut setiap malam jum’at.
Saya berjalan menuju pemakaman yang berada di
samping mesjid. Terdapat sebuah pintu kayu besar sebagai pintu masuk ke dalam
pemakaman tersebut. Disetiap gerbang terdapat sebuah wadah dari batu yang di
dalamnya terdapat sebuah air yang bercampurkan dengan bunga. Di sebelah wadah
air tersebut terdapat sebuah wadah kecil berisikan seperti tanah dan di tempat
situlah beberapa dupa ditancapkan. Biasanya warga Kampung Batik Laweyan
menyebutnya dengan ‘staman.’
Melihat hal tersebut saya langsung terpikirkan
bahwa hal tersebut mempunyai pesan non-verbal yang dapat bersifat ambigu. Oleh
karena itu, saya pun bertanya apa arti dari adanya staman ini. Ternyata,
gunanya sama dengan kemenyan.
Selain itu, di sana terdapat dua pemakaman,
antara lain: pemakaman keluarga keraton surakarta dan yang kedua adalah
pemakaman untuk keluarga kerajaan pajang. Nah, saat ingin memasuki pemakaman
dari keluarga kerajaan pajang, ada sebuah peraturan kalau kita diwajibkan untuk
melepas alas kaki saat masuk ke pemakaman Raja Pajang itu. Masih bersangkutan
dengan pesan non-verbal terkait diwajibkannya membuka alas kaki. Maksud dari
melepas alas kaki tersebut adalah untuk menghormati para arwah. Walaupun
ditempat pemakaman para keluarga surakarta tidak melepas alas kaki, ini bukan
berarti kita tidak menghormati, hanya saja di pemakaman kerjaan pajang lebih
dihormati karena di sanalah perkumpulan para raja pajang, pendiri Kampung
Laweyan tersebut.
Setelah itu, saya pergi kesebuah tempat,
dimana disana menjual batik lawas atau yang artinya batik tua. Tentunya, batik
tua ini terlihat lama, warnanya pun lusuh dan mulai memudar,walaupun model
pakaiannya tidak ketinggalan jaman. Harga yang ditawarkan pun juga amat sangat
murah.
Kita tau bahwa penggunaan bahasa terjadi
setiap harinya. Tentu hal ini dilakukan oleh warga kampung batik laweyan dalam
berkomunikasi dengan orang lain. kita tau bahwa identitas etnis berasal dari
bahasa. Dalam stereotip dialek orang solo itu adalah berbicara amat sangat
pelan dan tertata rapi. Karena Kampung Batik Laweyan ini berada di dalam kota
Solo, oleh karenanya bahasa yang digunakannya pun masih bahasa Solo yang lembut
dan tertata.
Pengertian dialek itu sendiri dalam buku
komunikasi lintas budaya adalah sebagai tambahan dari variasi pelafalan yang
menandai aksen. Sedangkan aksen adalah variasi dalam pelafalan yang terjadi ketika
orang menggunakan bahasa yang sama.
Kita harus tetap menjaga kebudayaan yang ada
di Indonesia ini. Jangan karena perkembangan jaman yang pesat kita meninggalkan
bahkan melupakan kebudayaan yang ada sebelumnya. Karena kebuadayaan yang ada
dan berbeda itulah kita bisa saling melengkapi.
No comments:
Post a Comment