Sekar Rarasati
11140110068
Jurnalistik 2011
Kelas B1
Letak geografis Dieng
Penampakan Dieng pada saat matahari terbit dari Gardu Pandang,1800 di atas permukaan laut |
Terletak 2800 meter di atas
permukaan laut menjadikan Dieng sebuah desa tertinggi di Pulau Jawa. Awal mula nama Dieng berasal dari bahasa
Sansekerta, “Di” yang berarti
pegunungan dan “Hyang” yang berarti
Dewa. Secara keseluruhan Di Hyang
berarti pegunungan tempat berkumpulnya para dewa.
Desa Dieng, kabupaten Wonosobo,
Banjarnegara, Jawa Tengah menyimpan begitu banyak rahasia dewata. Tersirat dari
kecantikan alam yang mampu memukau hati setiap insan. Dataran tinggi yang kaya
akan lahan pertaniannya membuat desa ini menjadikan mayoritas penduduknya
bermatapencaharian sebagai petani. Berbagai macam tanaman dimulai dari buah
hingga sayuran mampu tumbuh subur sepanjang tahun. Berbagai lokasi pariwisata
khas alam seperti Telaga Warna yang memiliki tempat persemadian di dalamnya,
dan masih banyak telaga-telaga lainnya seperti, Cebong, Merdada, Pengilon, Dringa,
dan Nilon. Tidak hanya itu, wisata khas bersejarahpun juga terdapat di desa
yang memiliki suhu normal 12-17 derajat celcius ini, seperti gugusan candi
peninggalan Hindu yaitu, Arjuna, Semar, Srikandi, Puntadewa, dan Sembadra.
"Hal unik apa saja yang
terdapat di Dieng?"
Pemandangan
Multikultur di Dataran Tinggi Dieng
Komplek Candi Pandawa sebagai bukti peninggalan bersejarah Hindu |
Desa tertinggi yang menjadi
tempat bersemayamnya para dewa-dewi ini berhasil menarik hati saya untuk
menulusuri lebih jauh rahasia yang tersimpan di dalamnya. Selain eksotisme alam
yang memukau mata, ternyata masih ada satu hal unik yang mampu membuka
pandangan saya tentang kompleksitas kehidupan. Ternyata, Dieng merupakan sebuah
desa yang kaya akan kisah bersejarah serta tradisi budaya yang kental dari
generasi ke generasi penerusnya.
Secara fisik, desa ini memiliki
banyak surau dan letaknya berdekatan. Tapi tahukah Anda? Desa ini dulunya dilatarbelakangi
oleh Agama Hindu. Jadi, pada abad ke-8 masehi dataran tinggi Dieng mendapat
salah satu peninggalan arca Hindu, hal itu dapat dibuktikan dengan adanya
komplek candi Arjuna dan candi Srikandi yang hingga kini masih terawat baik.
Pemerintah daerah setempat menjadikan komplek candi Arjuna sebagai salah satu
ikon Dieng. Pemagaran pun mulai dilakukan sejak tahun 2000 lalu, sisa-sisa
peninggalan bersejarah itu disimpan dalam museum Dieng Kailasa.
Konon, sejarah penyebaran agama
Islam di Indonesia yang telah merubah mayoritas keyakinan masyarakat Dieng.
Sekarang mayoritas warga Dieng beragama Islam, hal ini bisa dibuktikan dengan terdapatnya
banyak surau yang menghiasi sudut perkampungan dataran tinggi ini. Dari satu
surau ke surau lain letaknya berdekatan.
Suasana multikultur pun sangat
kental terasa apabila adzan berkumandang. Selarak jauh mata memandang
candi-candi khas peninggalan Hindu terjajar rapih dan suara adzan dari masjid
satu dan masjid lainnya saling berkumandang mendamaikan hati.
Ada satu hal yang menjadi tujuan
utama saya menginjakkan kaki di dataran tinggi Dieng. Tidak banyak orang yang
mengetahui keunikan dari dataran tinggi yang sakral ini. Kepercayaan yang
diwariskan dari generasi ke generasi telah membentuk sebuah budaya yang sulit
dipercaya oleh orang awam. Percaya atau tidak, kesakralan dari khayangan tempat
berkumpulnya para dewa-dewi ini telah membuat Dieng sebagai desa yang istimewa.
Inilah yang membuat desa ini semakin menarik untuk dikulik.
Apakah
keistimewaan itu?
Pernahkah Anda mendengar kisah
tentang anak titipan bajang dari Laut Kidul? Atau cerita tentang anak berabut
gimbal yang sakti mandraguna bakal berkat keluarga?
Ya, kisah ini telah menyelimuti
Dieng sejak ratusan tahun lalu. Rambut gimbal berwarna cokelat kemerahan
menghiasi kepala anak-anak asli keturunan Dieng. Seluruh anak Dieng yang
menjadi titipan bajang dari Laut Kidul rata-rata memiliki rambut gimbal sejak
usia di bawah lima tahun. Rambut ini tidak sengaja dibuat untuk mengikuti tren
reggae pada umumnya, melainkan rambut gimbal itu perlahan tumbuh secara alamiah.
Pemandangan rambut gimbal sangat
mengikat rasa penasaran saya untuk mengulik lebih jauh apa yang menjadi penyebab
kegimbalan tersebut. Mengapa rambut gimbal hanya tumbuh pada anak-anak
tertentu? Bagaimanakah proses terbentuknya rambut gimbal? Apakah faktor geografis
menjadi salah satu alasan utama? Apakah ini hanya sebuah kebetulan?
Mereka
yang Ketiban Sampur
Najwa salah satu anak berambut gimbal saat ditemui di rumah sanak saudara bersama ayahnya. (30/12) |
Hari pertama menginjakkan kaki di
Dieng saya langsung dipertemukan oleh salah satu keluarga bocah berambut gimbal
yang sekaligus menjadi pemandu kami saat menjalani penelitian. Saya dan delapan
teman saya akhirnya memutuskan untuk homestay
di rumah Najwa untuk mendalami lebih lanjut fenomena anak gimbal. Kami pun membagi diri menjadi dua tim ekspedisi,
pertama Tim Najwa dan yang kedua Tim Riezie. Saya dan ketiga teman bergabung
dalam masuk ke Tim Rizie, sedangkan keempat teman lainnya menetap di rumah
Najwa.
Najwa, 2,5 tahun, salah satu anak gimbal yang belum diruwat |
Malamnya kami langsung berkunjung
ke rumah Rizie yang letaknya tidak terlalu jauh dari lokasi homestay kami.
Awalnya yang ada di benak saya hanyalah rasa deg-degan, prasangka takut bila
kehadiran kami tidak diterima. Namun, semua rasa itu sirna ketika kami memasuki
rumah Rizie dan disambut hangat oleh keluarganya. Antusias saya pun meningkat
ketika melihat Rizie menampakkan diri dari balik pintu. Bersama-sama kami
berkumpul di ruang tengah untuk saling mengenalkan diri. Pendekatan high context pun kami terapkan dalam
kegiatan ini, melihat latar belakang keluarga Rizie asli keturunan Jawa. Sambutan
hangat dari keluarga Rizie pun semakin kami rasakan, mereka mulai menyajikan
minuman hangat dan makanan ringan untuk menghangatkan tubuh kami dari hembusan
suhu 12 derajat celcius. Rizie pun mulai membaur bersama kami, berbincang, dan
bersenda gurau.
Rizie merupakan salah satu anak
yang mendapat anugerah untuk menjadi bocah gimbal. Ia mulai mendapatkan titipan
itu sejak usia 2,5 tahun. Awal mulanya Rizie mengalami panas yang sangat tinggi
hingga kejang-kejang. Usaha untuk meredakan panasnya pun sudah dilakukan,
membawanya ke dokter dan memberikan obat penurun panas. Sayangnya, usaha itu
tidak membuahkan hasil, panas Rizie tidak berangsur turun. Orang tua Rizie pun mulai
khawatir terhadap kondisi anaknya yang disangkut-pautkan dengan fenomena anak
gimbal.
“Ya, jadi saya itu sebenarnya
tidak percaya dengan mitos tersebut. Orang bilang kalau anak saya ini sedang
mengalami gejala rambut gimbal. Mau diobati kayak apapun juga nggak akan
sembuh, nanti dia sembuh dengan sendirinya. Tapi saya masih tidak percaya
sampai paginya rambut Rizie menggimbal dan sembuh dengan sendirinya,” ujar Ayah
Rizie menjelaskan proses anaknya menjadi anak gimbal.
Suatu pagi tiba-tiba Rizie kembali
sehat seperti tidak sakit sebelumnya. Hal ini mengejutkan, Rizie sembuh setelah
rambut gimbalnya tumbuh satu gimbal kecil (segimbal) di bagian belakang. Hal
ini yang membuat Ayah Rizie menjadi percaya akan mitos yang sudah menyebar di
Dieng sejak ratusan tahun lalu.
“Ya, akhirnya saya percaya
tentang mitos itu. Anak saya menjadi salah satu titipan bajang dari laut kidul,”
jelasnya.
Tidak ketinggalan saya juga
mewawancarai salah seorang pemangku adat yang menjadi sesepuh dalam tradisi
ruwatan anak gimbal.
“Jadi saya disini bisa bercerita
tentang sejarahnya (anak gimbal) karena dulu saya pernah jadi anak gembel,”
ujar Mbah Naryono menjelaskan identitas dirinya.
Menurut cerita yang sudah dipaparkan
oleh Mbah Naryono, sejarah terjadinya rambut gimbal itu merupakan titisan dari Ki
Ageng Kolodete dan Nini Ronce Kolo Prenye sepasang leluhur pendiri perkampungan
Dieng. Tidak ada yang bisa meminta atau menghindari titisan dari kedua
leluluhur ini. Pernah suatu ketika rambut gimbal Rizie dicoba untuk diluruskan
dengan cara disisir dan diminyaki. Namun, hasilnya sama saja, keesokan harinya
rambut itu kembali menggimbal.
“Anak gembel ini merupakan
titisan jadi sebenarnya mereka itu istimewa, berbeda dengan yang lain,”
jelasnya.
Seorang anak berambut gimbal akan
terus mengalami sakit panas hingga nanti seluruh rambutnya menjadi gimbal. Lalu
apakah hal itu tidak bisa diakhiri?
“Anak-anak titisan itu nantinya
akan kembali menjadi normal setelah mengalami proses ruwatan. Tapi ruwatan itu
tidak bisa dilakukan kapan saja, mereka (anak titisan) yang menentukan,”
ucapnya.
Mbah Naryono, salah seorang pemangku adat yang memimpin prosesi ruwatan anak gimbal. |
Mbah Naryono menjelaskan bahwa
permintaan dari anak tersebut merupakan sebuah prasyarat yang harus dipenuhi
untuk menyudahi status anak gimbal itu. “Anak-anak gembel itu nantinya pasti menyebutkan
permintaan sebelum diruwat. Bila permintaan itu sudah disebutkan biasanya
mereka langsung minta dicukur (diruwat),” ucap Mbah Naryono.
Permintaannya pun beragam, dimulai
dari yang paling sederhana sampai yang luar biasa. Apa yang diminta dari anak
gimbal ini dipercayai tidak murni dari permintaan sang anak, melainkan sang
gembel yang telah menyatu dengan jiwa sang anak. Mereka menjadikan sang anak
sebagai perantara.
“Yang paling sering diminta itu
ya kambing. Dipotong atau tidak, dimasak atau diapakan ya kita nurut anaknya.
Macam-macamlah permintaannya,” ujar mantan anak gimbal ini.
Namun, terkadang ada permintaan
yang menyusahkan keluarganya. Permintaan tersebut jauh dari dugaan dan sulit
dicari maupun ditebus dengan materi. Padahal, bila permintaan dari anak
tersebut tidak dapat dipenuhi maka sang anak akan mengamuk dan menolak untuk
diruwat (dibuang sialnya).
“Jadi dulu ada satu anak yang
permintaannya neko-neko. Dia minta dicarikan ular yang besarnya se-kendang.
Mana ada.. besar sekali.. sampai akhirnya anak itu sekarang sudah tua dan tidak
diruwat-ruwat,” jelas Mbah Naryono.
Prosesi
Ruwatan
Mas Alief adalah Ketua Penyelenggara Acara Ruwatan Gimbal |
Saya juga menghadiri kediaman mas
Alif, ketua penyelenggara prosesi ruwatan anak gimbal Dieng tahun 2012 untuk
mengetahui tentang urutan prosesinya. Adapun prosesi yang dijelaskan adalah
sebagai berikut:
1.
Kirab
Anak-anak gimbal
yang akan diruwat wajib dikirab yang dimulai dari rumah pemangku adat di desa
Dieng Kulon menuju ke komplek candi pandawa (Arjuna) sejauh satu kilometer. Kirab
dilakukan dengan berjalan kaki bersama-sama rombongan orang yang membawa sesaji
tasyakuran. Sepanjang kirab itu berlangsung para penonton pun ikut mengikuti
sampai lokasi peruwatan.
2.
Keramas
Sendang Sedayu, tempat pencucian rambut anak gimbal |
Sesampainya di
pemberhentian pertama, anak-anak gimbal tersebut lehernya dikalungi selendang
(kain mori) putih oleh pemangku adat. Kemudian anak-anak itu langsung dicuci
rambutnya. Upacara pencucian rambut dengan air sumur dan kembang tujuh rupa ini
dipimpin oleh pemangku adat. Sang pemangku adat memimpinnya dengan
mantra-mantra khusus dan doa agama islam yang dibawakan dengan bahasa Jawa.
3.
Penyambutan
di Panggung Hiburan
Latar dari komplek Candi Arjuna,letaknya tidak jauh dari Sendang Sedayu |
Setelah melewati
tahap pencucian rambut, para anak gimbal dibawa ke panggung hiburan yang
letaknya tak jauh dari sendang sedayu. Anak gimbal beserta ribuan penonton akan
dihibur oleh pertunjukan kesenian seperti Ampyak-Ampyak Pringgondhani, dan
tarian-tarian tradisional khas Dieng.
Candi Arjuna |
4.
Pencukuran
Rambut Gimbal
Setelah melewati
tiga tahap sebelumnya akhirnya masuklah pada inti acara. Pencukuran rambut anak
gimbal dilakukan tepat di depan candi Arjuna. Di depan candi telah berjajar
berbagai sesaji dan barang yang diminta oleh anak gimbal tersebut. Prosesi ini
masih dipimpin oleh pemangku adat, tetapi siapa saja boleh mencukur rambut
gimbal dari anak tersebut. Turis asing sekalipun pernah mencukur rambut gimbal
dari salah seorang anak yang diruwat.
5.
Larung
Telaga Warna, salah satu tempat untuk melarung rambut anak gimbal yang sudah diruwat |
Rambut gimbal
yang sudah dipotong tadi kemudian dibungkus dengan kain mori berwarna putih.
Tahapan yang terakhir kali ini merupakan sebuah pilihan. Melarung atau
menghanyutkan rambut gimbal ke sebuah telaga bukanlah hal yang wajib untuk
dilakukan. Masing-masing keluarga memiliki hak untuk itu.
Makna dari
pelarungan tersebut adalah mengembalikan apa yang telah diberikan oleh alam.
Semua yang diberikan kemudian dikembalikan.
Musibah
atau Anugerah ?
Beragam permintaan yang disebutkan
oleh anak titisan bajang tersebut terkadang memberatkan sebagian pihak keluarga
yang ketiban sampur. Terkadang
nilainya cukup memberatkan keuangan mereka. Tidak hanya materi, permintaan yang
aneh-aneh acap kali memusingkan keluarga.
“Terkadang susah dicari atau
malah menyakiti anak itu sendiri,” ucap Ayah Rizi.
Lalu, apakah anak yang menjadi
titisan bajang dari Kidul ini menjadi merupakan sebuah musibah dalam keluarga?
“Kalau dibilang musibah ya tidak
juga. Justru kami bersyukur, semenjak Rizi jadi anak gimbal berkah atau rezeki
itu selalu ada, Alhamdulillah…” tukas Ayah Rizie ketika dimintai pendapatnya.
Ayah Rizi pun sempat berbicara
tentang sikap anaknya yang sulit sangat pemilih, dia berkata bahwa Rizi tidak
mau bertemu dengan orang yang dianggapnya tidak asik atau cocok dengannya.
“Ya, kayak dulu ada sebuah media
yang au ngeliput Rizi. Ya, tiba-tiba ngeluarin kamera, anaknya ga suka ya lari
mbak. Beda sama sampeyan yang ngajak
ngobrol dulu kayak tadi, Rizi suka yang kayak gitu,” ujarnya kepada saya dan
kawan-kawan.
Ketika musibah berubah menjadi
anugerah, mereka berusaha mengerahkan semua yang diminta oleh anak titisan
kidul tersebut terkabul.
Mengenal
Rizi Lebih Dekat
“Mereka itu istimewa,” ucap ringan Ayah Rizi menghangatkan suasana
yang kembali dingin.
Rizi, 11 tahun. Bocah rambut gimbal yang hingga kini belum minta untuk diruwat |
Adakah yang sudah menonton iklan
kuku bima? Disana pasti Anda akan melihat penampakan rambut-rambut gimbal
seperti yang sudah saya jabarkan di atas. Coba perhatikan model-model yang ada
di dalam iklan tersebut lalu cari bocah laki-laki berkulit cokelat yang
mengenakan celana pendek berwarna putih, dia adalah Rizi. Ya, bagi Anda
penikmat tayangan edukasi hiburan seperti BOLANG (Bocah Petualang), Mr. Tukul
Jalan-Jalan, Empat Mata, pasti Anda sudah tidak asing dengan Rizi. Gimbal cilik
ini sudah beberapa kali membintangi acara tersebut.
Bocah yang baru genap berusia 11
tahun ini dalam kesehariannya merupakan anak yang hiperaktif atau tidak bisa
diam. Kegiatan sehari-harinya adalah bersekolah, bermain, dan berlatih bersama
burung Daranya. Bocah yang duduk di sekolah dasar ini hobi bermain dan bergaul
bersama orang-orang dewasa yang jauh dari kata sebaya.
“Dia lebih nyambung main sama
tetangganya yang lebih tua, ya kerjaannya paling kumpul-kumpul, bal-balan, nyanyi-nyanyi lagunya Slank,
dia suka,” ujar yah Rizie menjelaskan keseharian anaknnya.
Rizi berpose dengan bang Mando |
“Dia nggak pernah belajar, tapi
nilainya bagus terus,” jelas Ayah Rizie
Ketika ditanya bocah ini terlihat
cakap dan luwes dalam berinteraksi dengan orang baru. Tidak seperti yang saya
bayangkan ketika melihat raut wajahnya yang sedikit galak dan bandel seperti di
google. Rizie pun tak enggan untuk berfoto bersama, malah dia berpose dengan
gaya andalannya. Peluang yang baik ini pun saya ambil untuk mengulik lebih jauh
tentang kebiasaan unik Rizi. Ketika ditanya dia pun tak bisa diam dan terus
berlari mengelilingi ruangan sambil bermain bersama sanak saudara.
Rizi pun memiliki kebiasaan yang
beda dari anak-anak biasanya. Ketika anak seumur Rizi tidur mulai pukul 20.00 ,
dia baru bisa tidur di atas pukul 00.00. Ya, dia gemar menanti pagi sambil
menonton pertandingan bola di televisi.
Apa lagi keistimewaan yang
dimiliki seorang bocah gimbal ini? Pernahkah Anda menyangka bahwa anak sekecil
ini mampu mengendalikan burung Dara?
Ya, hal ini telah dibuktikkan
oleh Rizi kecil telah berhasil menyabet beberapa prestasi nasional perlombaan
burung Dara. Beberapa kali ia menduduki posisi juara baik di lingkup daerah
maupun luar daerah.
Rasional
or Irasional
Setelah membaca dan menelaah
penjabaran saya tentang fenomena rambut gimbal dari Dieng pastinya ada sebagian
dari Anda yang masih ragu akan kebenarannya. Untuk menjawab keraguan itu saya
pun juga menghadiri ahli medis yang sudah yang sekaligus menjadi kepala
kesehatan di desa Dieng, dokter Kukuh.
Ketika dimintai keterangan
tentang fenomena rambut gimbal di mata medis, pak Kukuh pun menjabarkan tentang
aktivitas para medis yang sudah melakukan penelitian tentang fenomena ini.
“Sudah banyak yang melakukan
penelitian tentang fenomena anak rambut gimbal ini, mulai dari universitas yang
ada di Indonesia sampai lebaga penelitian mancanegara, seperti dari Jepang,
Amerika, dan lain-lain. Ya, termasuk saya ini sudah 14 tahun tinggal disini
mengikuti perkembangan anak gimbal tapi hasilnya nihil, belum terjawab apa
penyebabnya,” ujar Kukuh yang bukan asli keturunan Dieng ini.
Berbagai penelitian pun sudah
dilakukan hingga test DNA sekalipun. Namun, hasil penelitian tidak menjawab
bahwa datangnya rambut gimbal ini akibat keturunan genetik.
“Kita sudah melakukan tes, dari
ujung rambut ke kaki, tapi hasilnya juga normal, tidak ada hasil signifikan
yang bisa dijadikan bukti bahwa ini bisa terjadi karena adanya faktor genetik.
Dari segi geografis pun tidak menjelaskan, meskipun disini lembab tapi tidak
menjadi sebuah bukti bahwa iklim yang menyebabkan rambut jadi gimbal. Kalo iya
memang, kenapa masyarakat Dieng yang lain tidak gimbal?” ujarnya menambahkan.
Upaya-upaya medis yang dilakukan ketika
menghadapi anak-anak gimbal pun juga dirasa sia-sia. Obat-obatan yang diberikan
ketika salah seorang calon anak gimbal terkena panas tidak memberikan efek bagi
mereka.
“Paling ya obat penurun panas,
tapi itu juga nggak ngaruh banyak. Soalnya mereka sembuh setelah rambutnya jadi
gimbal sedikit-sedikit,” tambahnya.
Sampai saat ini Kukuh pun masih
berupaya untuk memecahkan rahasia dibalik fenomena rambut gimbal secara medis.
Sebagai penduduk dataran tinggi Dieng yang tidak memiliki darah asli keturunan
Di Hyang, Kukuh pun belum mengiyakan kebenaran yang diyakini oleh penduduk
setempat selama ini. Kukuh masih akan berupaya untuk menuntaskan segala rahasia
yang tersimpan dalam fenomena tersebut.
Dari Alam
untuk Alam
Budaya animisme yang masih
merekat pada diri masyarakat Dieng telah menutup mata mereka akan kenyataan-kenyataan
berat yang telah dibawa oleh titisan sang mendiang. Kepercayaan yang telah
mereka rengkuh selama ini telah menjadikan desa ini memiliki budaya yang
kental. Mereka bersyukur dan selalu menikmati setiap rahasia yang terduga. Mereka
tidak menolak melainkan menjalani serta melanjutkan apa yang telah ada dan
diberikan.
Dieng telah menyumbang begitu
banyak kekayaan budaya yang mampu menghiasi multikultur di Indonesia. Rahasia
itu telah diturunkan ke alam oleh sang pencipta. Alam menyajikannya untuk
mahluk hidup di dunia yang nantinya akan kembali pada Sang alam. Begitu juga
dengan sebuah rahasia alam yang sudah lama diturunkan. Biarkan alam menyimpan sedikit
suaranya tanpa mengurangi performa elok sang Dewata.
No comments:
Post a Comment