Kampung Cina Bojong
Nangka,
Tradisi yang Tergerus Jaman
Oleh : Berthier Pandu Juwandono
NIM : 11140110283
Kelas : F1
Desa Bojong Nangka tak
menyangka memiliki salah satu kelompok masyarakat yang unik. Yakni suatu
kelompok masyrakat yang tinggal di pinggiran desa Bojong Nangka. Masyarakat
tersebut merupakan pecahan dari masyarakat cina benteng, yang hidup berkelompok
secara dinamis di wilayah Bojong Nangka. Kampung Cina Bonanglah namanya. Letaknya
disudut atau diujung kelurahan Bojong Nangka. Sebenarnya pemberian dari nama
Kampung cina ini sendiri berasal dari
warga sekitar yang beretnis pribumi. Penamaan kampung cina ini baru ada sejak
tahun 1990, tapi tradisi dan etnisnya hingga kini masih ada dan masih kental.
Saya pergi ke lokasi
tersebut bersama rekan saya yaitu Felix. Awalnya kami heran karena masih ada
saja di Tangerang tempat suatu desa yang masih gelap akan lebatnya kebon.
Jalanannya pun banyak yang rusak. Kampung cina hingga kini masih banyak yang
mempertahankan berbagai warisan leluhurnya baik itu dalam segi adat istiadat,
ritual keagamaan, dan lain lain.
Sejarah dari Kampung Cina
Bojong Nangka sendiri berasal dari penyebaran Chinese benteng di tangerang. Hal
ini diceritakan oleh orang tertua yang masih tinggal di kampung cina namanya Ong
Eng Tong (83). Masyarakat Cina Benteng mulai memasuki kampung Bojong Nangka
sejak delapan generasi diatas Babe Ong Eng Tong atau bisa di perkirakan sekitar
800th yang lalu. Ketika Jaman penjajahan Belanda seluruh tanah yang di miliki leluhur
Babe dan masyrakat cina lainnya di monopoli oleh Belanda dan diberikan kepada
orang kepercayaan belanda untuk mengelolanya. Orang yang diberikan kepercayaan
tersebut bernama tuan tanah yang merupakan orang yang beretnis pribumi. Para
etnis cina hanya di perkerjakan untuk berkebun dan setelah itu bagi hasil
dengan Belanda dan tuan tanah. Pada jaman Belanda Babe dan generasi diatas Babe
memiliki profesi sebagai petani. Komuditas pertanian yang diperdagangkan adalah
mengkudu, sereh khususnya dalan era kolonial Belanda, setelah itu ada juga
bagian yang luas untuk perkebunan nangka. Nahh dari sini muncul sejarah mengapa
kapung Bojong Nangka di namai, ternyata adanya kebon yang dihasilkan adalah
Nangka sendiri.
Pada jaman Babe kecil,
babe menceritakan etnis cina di Kampung Cina berpenampilan seperti para jagoan
kung fu di china. Mereka mengepangkan rambutnya yang panjang atau yang disebut
cokek dan membotakkan bagian depan diatas kening.
Babe juga menceritakan
untuk mendapatkan kuasa sebuah tanah rekan leluhurnya menggunakan taktik judi
atau yang disebut Ceki, dalam Judi ini para pemain tidak hanya mempertaruhkan
uang saja tetapi juga mempertaruhkan tanah berserta harta hartanya. Bagi yang
kalah maka Uang, tanah atau harta akan menjadi milik sang pemenang. Cara
permainan judi tersebut ialah mengocok dadu yang ditutup dengan piring dan
batok kelapa, setelah itu pemain memasang perkiraan apakah angka besar atau
angka kecil yang akan keluar.
Karena permainan judi
itulah tanah tanah para kaum tuan tanah kian menyusut dan dimiliki oleh orang
lain. Orang lainnya tersebut salah satunya merupakan etnis china. dan akhirnya
para etnis itu berkumpul di pinggiran kampung tersebut (kampung bojong nangka).
Intinya adanya
masyarakat Kampung Cina itu sendiri terjadi akibat penyebaran etnis Cina
Benteng di Banten yang berkumpul di pinggiran desa Bojong Nangka.
Perbedaan antara cina
benteng di daerah Pintu air atau di daerah cisadane dengan masyarakat Kampung
Cina Bojong Nangka adalah warga atau masyarakat Kampung cina ini memiliki
bahasa yang lebih dekat dengan bahasa Sunda dan justru mereka telah melupakan
bahasa cina itu sendiri. Babe mengatakan sudah dari jaman kakek neneknya ia
menggunakan campuran bahasa indonesia dengan bahasa sunda, dan bahkan Babe
tidak bisa menggunakan bahasa cina itu sendiri. Pada saat ini karna adanya
pengaruh media massa dan masuknya berbagai golongan etnis ke daerah kampung
tersebut (kampung cina) bahasa yang dipergunakan sehari hari adalah bahasa
indonesia tetapi sedikit berlogat sunda. Hal ini paling kental di ucapan ibu
Yanti anak terakhir dari babe Ong Eng Tong. Bu Yanti juga mengatakan ababila bu
Yanti berbicara memakai bahasa sunda kita mengerti apa artinya tapi untuk
menjawabnya agak binggung. Dalam percakapan sehari hari ketika berkumpul mereka
menggunakan bahasa indonesia dengan logat sunda, atau bahkan menggunakan
campuran kedua bahasa tersebut.
Untuk rumah yang
ditempati oleh Ong Eng Tong atau Babe sudah berumur 81 tahun. Kondisinya pun
katanya masih sama dengan yang asli hanya saja sebelumnya untuk lantai masih
tanah dan kini sudah di pelur atau disemen. Bilik atau temboknya terbuat dari
kayu atau dari seratan bambu yang diayam. Atapnya pun terbuat dari tanah liat
atau jaman dahulu terbuat dari jerami. Nama dari rumah itu adalah Rumah kebaya
atau disebut pula rumah asli betawi. Karena tanah Babe yang luas maka beberapa
bagian dari tanah tersebut dibutkan rumah untuk anak anaknya. Rumah anaknya
Babe memang tak setradisional rumah Babe karena rumah anaknya Babe didirikan
sekitar tahun 2000an ke atas.
Tak seberapa jauh dari
rumah Babe ada rumah tua yang dihuni oleh sepupu babe, rumahnya tak jauh
seperti rumah babe hanya saja kondisinya kumuh. Beberapa ratus dari rumah Babe
saya menemukan Rumah lain yang dihuni oleh etnis cina juga. Rumah tersebut
lebih kokoh dibanding dengan rumah Babe karena dinding dan atapnya sudah
menggunakan kayu pohon dan genteng semen. Tetapi rupa depannya sangatlah cantik
dan tradisional. Benar benar seperti rumah adat Betawi yang ada di film “Si
Doel” hanya saja rumahnya agak kecil.
Dalam sistem
kepercayaan dan agama para etnis cina di kampung cina bermayoritaskan agama
Buddha. Agama Buddha memang agama yang paling tua di pegang oleh leluhur Babe,
bahkan hingga kini Babe masih memegang agama tersebut. Karena adanya
perkembangan jaman banyak dari keluarga Babe dan masyarakat sekitar yang
memilih pindah agama ke agama Kristen dan Islam. Kata Babe sih yang paling
sedikit itu pindah ke agama islam. Alasan Babe jarang yang pindah ke agama
islam karena agama tersebut agak berseberangan dengan ajaran dan tradisi dari
leluhur cina sendiri.
Ritual yang masih
dilakukan hingga sekarang yang sifatnya dari leluhur adalah ritual ceng beng,
yakni ritual bersih bersih makan setahun sekali. Mereka melakukan hal tersebut
tujuannya adalah untuk menghormati sang leluhur. Acara tersebut dilakukan
secara kekeluargaan yakni seluruh anggota berkumpul bersama membersihkan makam
dan berdoa kepada leluhur (dipemakaman). Di dalam acara doa tersebut mereka
juga memberikan beberapa sesajen yang berupa makanan matang kepada leluhur.
Selain itu, ada juga
ritual yang dinamakan ritual reka bumi atau sedekah bumi. Ritual sedekah bumi
itu sendiri bermaksud memberikan ucapan terimakasih kepada Tuhan sang pencipta
atas hidup, rejeki dan kemakmuran. Acara ritual sedekah bumi tersebut dimulai
dari memberikan sedekah makanan yang di letakan dalam nampan yang dibungkus
oleh kain. Setiap etnis cina wajib menyumbangkan nampan tersebut untuk sedekah
bumi. Setelah itu nampan dikumpulkan dan diletakan di suatu tempat. Ditempat
tersebut masyarakat pribumi pada duduk mengelilingi nampan yang berisai makanan
tersebut, acara tersebut dipimpin oleh imam yang merupakan pribumi. Imam
tersebut bertugas sebagai pendoa. Selain makanan rumahan sedekah bumi juga
disediakan kambing untuk di potong dan dibagi bagikan kepada etnis pribumi. Dalam
acara sedekah bumi babe mengatakan bahwa ritual ini adalah ritual yang asli
dari etnis cina Kampung cina Bojong Nangka sendiri, dan persertanya adalah
warga pribumi. Dalam penutupan acara sedekah bumi diadakan acara lenong atau
gambang kromong dan juga ada pesta pertunjukan berantem beranteman, jadi
berantem disini maksudnya hanyalah untuk hiburan bukan adu sakti.
Untuk acara pribadi
yakni acara keluarga inti, ada yang dinamakan panen rakyat. Panen rakyat adalah
acara syukuran atas dikaruniai musim yang baik hingga bisa memanen padi. Acaranya
sangatlah sederhana, setelah memetik padi padi diletakan dilumbung di luar
rumah dan setelah itu ngariung atau lebih akrabnya seperti intropeksi diri.
Menurut kepercayaan
masyrakat cina di kampung cina. Padi adalah ibu Suri sang pemberi kehidupan,
dan kehidupan itu berasal dari beras. Jadi semua acara itu (panen rakyat)
adalah upacara ucapan terimakasih kepada Ibu Suri.
Di tanah Babe yang
seluas 2 hektar itu juga termasuk tempat Pemakaman keluarga Babe. Pemakaman
tersebut luasnya sekitar 300an meter persegi. Dalam makam itu berisi kakek
nenek, orang tua Babe, istri Babe dan anak anak babe (4 generasi). Dalam
Tradisi pemakaman masyarakat kampung cina sendiri lebih banyak yang dimakamkan
ketimbang di bakar (kremasi). Ketika saya bertanya tentang mengapa kok lebih
memilih di makamkan, pak Yayang sang pemandu kami mengatakan karena itu
permintaan dari beliau sendiri, ia mengatakan kalau saya sih tidak masalah mau
di kubur atau di kremasi. Kuburan leluhur dari Babe berukuran sangatlah besar,
hal ini dikarnakan apabila yang telah meningal sepasang (suami dan istri) maka
akan dipersatukan secara bersebelahan. Dalam keluarga Babe hingga kini (dari
generasi ke 4 sebelum Babe) belum ada yang di kremasi. Dalam upacara
kematiannya diadakan sembayang besar besaran. Makin kaya atau sukses orang yang
meninggal maka makin besar pula acara upacara kematiannya.
Upacara kematian bagi
leluhur dimulai dengan memandikan jenazah orang yang telah meninggal. Setelah
dimandikan, jenazah di doakan di rumah. Jenazah didoakannya juga menurut teknis
tionghoa yakni lewat sembayang samkai. Sebelum Jenazah tersebut dikuburkan sang
keluarga mempersiapkan berbagai pernak pernik untuk dibawa oleh jenazah ke alam
baka. Pernak perniknya tersebut bermaksud seperti bekal materi. Pernak perniknya
berupa uang kertas, perunggu, baju. Setelah pernak pernih itu memadai maka
pernak perniknya dimasukkan ke dalam peti. Maka petinya pun harus peti yang
besar sehingga muat untuk barang barang tersebut dan juga jenazahnya. Peti
besar tersebut dinamakan kuan ukurannya sekitar 1m x 2m dan tentunya sangat
berat. setelah semuanya lengkap maka prosesi penutupan peti pun dilaksanakan.
Acara penutupan peti pun diiringi dengan doa juga. Setelah jenazah dikuburkan
maka ritual untuk penghormatan atau ritual perpisahannya pun tidak cukup sampai
disitu. Masih ada ritual doa atau hajatan yang dilakukan per periode, yakni 3
harian, 7 harian, 40 harian, 100 harian dan yang terakhir 1000 harian atau 3
tahunan.
Dalam tradisi
pernikahan kampung cina tidak jauh seperti adat dari cina benteng itu sendiri.
Sang pengantin pria menggunakan topi besar layaknya sang pengembara pada jaman
dinasti cina jaman dulu. Sang wanita menggunakan baju yang berwarna merah dan
wajahnya ditutupi manik manik keemasan. Sebelum mengadakan pernikahan diadakan
terlebih dahulu acara lamaran terhadap pengantin wanita. Tahap pelamaran
disebut sebagai Sanggit. Dalam Sanggit sang pengantin pria memberikan seserahan
seperti uang atau emas kepada pengantin wanita. Setelah Sanggit keesokan
harinya kedua mempelai dipersiapkan untuk acara pernikahan. Pernikahan tersebut
diadakan di gereja atau di vihara, pada jaman Babe dahulu hingga sekarang (yang
masih menganut agama buddya) dilakukan di vihara yang di pimpin oleh Romo
(sebutan bagi sang pemuka agama atau sang pemimpin ibadah).
Ketika sang
pengantin siap (sudah didandani dan sudah disahkan secara agama) maka diadakan
sembayang kepada leluhur, acara ini dilakukan di ruang paling depan dalam
rumah. Sembayang pada leluhur ini tentu saja menggunakan hio dan yang sembayang
adalah para orang tua pengantin dan pengantin itu sendiri. Di tempat
menancapkan hio juga disediakan buah buahan serta makanan kepada leluhur.
Setelah acara doa atau ritual sembayang maka diadakan acara makan 12 mangkok
menggunakan sumpit. Acara makan 12 mangkok itu dilakukan di depan sebuah meja
yang berisi 12 macam makanan mulai dari nasi hingga makanan berat lainnya. Acara
makan 12 mangkok memberi arti bahwa itulah suapan terakhir dari orang tua dan
Sang pengantin telah berpisah dengan orang tuanya, tidak dimanjakan lagi. Acara
tersebut dilakukan oleh satu calon pengantin yang di dampingi oleh salah satu
orang tuanya yang secara bergantian menyuapi sang pengantin sambil berdiri
(satu persatu gantian orang tua sang pengantin menyuapi pengantin). Diantara
pengantin di saksikan oleh dua orang lelaki sambil duduk dan ikut makan, para
saksi pun diharuskan belum menikah dan harus laki laki.
Setelah acara makan 12
mangkok dilanjutkan dengan acara minum teh atau disebut juga tepai. Hampir sama
dengan acara makan 12 mangkok hanya saja hal ini dilakukan dengan secangkir
teh. Arti dari acara ini adalah menutup acara makan 12 mangkok. Acara minum teh
ini dilakukan juga seperti acara makan 12 mangkok, disuguhi oleh orang tua dan
diminum oleh pengantin.
Acara pernikahan yang
terakhir adalah mengadakan hajatan, nah hajatannya ini berupa gambang kromong.
Gambang Kromong adalah adalah sejenis orkes yang memadukan gamelan dengan
alat-alat musik
Tionghoa, seperti sukong, tehyan, dan kongehyan. Sebutan gambang
kromong diambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Orkes gambang kromong
merupakan perpaduan yang serasi antara unsur-unsur pribumi dengan unsur
Tionghoa. Secara fisik unsur Tionghoa tampak pada alat alat musik gesek yaitu sukong, tehyan, dan kongehyan. (dikutip dari
wikipedia.com).
Acara pesta atau
hajatan gambang kromong dilakukan 2 hari dua malam setelah acara pernikahan. Dalam
acara gambang kromong tersebut diselipkan pula acara lainnya seperti joget
bareng, dan judi bagi nenek nenek. Judinya ini cukup unik karena yang melakukan
adalah nenek nenek (paling banyak), nama judi ini adalah ceki yakni judi kartu yang
dimainkan oleh empat orang. Setelah acara hajatan maka selebrasi pernikahan pun
usai dan pengantin dipersilahkan untuk hidup berdampingan.
No comments:
Post a Comment