NAMA: INTAN APRILIA
NIM: 11140110089
KELAS: F1
Baiklah, postingan ini akan saya
mulai dengan berbasa-basi... Sejujurnya, ketika mendapatkan tugas KAB untuk
observasi budaya ini saya bingung mau kemana, saya pingin ke Baduy, pingin ke
Kampung Naga juga, pingin ke Jogja juga, pingin ke komunitas pelukis juga di
Pasar Baru. Namun, saya yang kebanyakan dan kelamaan mikir, juga banyak maunya,
ujung-ujungnya panik ketika sadar tiba-tiba sudah bulan Desember!
Mulanya, saya akan pergi ke komunitas
pelukis di Pasar Baru bersama beberapa teman, eh... ternyata saya ada keperluan
di hari kita janjian untuk ke Pasar Baru. Ya sudah... gagal. Akhirnya saya
memutuskan untuk pergi ke Kampung Betawi yang (saya pikir) dekat karena masih
ada di Jakarta, bukan di luar kota (hmm... padahal itu termasuk luar kota juga
ya, kan saya tinggalnya di Tangerang ._.)
Pergilah saya dengan tiga orang teman
saya, Rima, Eka, dan Sherly di Minggu, 16 Desember yang super panas! Dugaan
saya meleset. Kampung Betawi sama sekali nggak dekat! Jauh man... Kami harus naik bus jurusan Blok M 34 dari Islamic, setelah
sampai ke Blok M kami lanjut naik Kopaja 616 yang nantinya berhenti tepat di
depan Kampung Betawi Setu Babakan. Hal yang membuat perjalanan terasa jauh
adalah panasnya sengatan matahari yang benar-benar galak di hari itu.
Pintu gerbang Kampung Betawi Setu Babakan |
Tinggal selama kurang lebih 18 tahun
di lingkungan masyarakat Betawi membuat saya merasa biasa saja ketika
berkunjung ke Kampung Betawi, saya sudah terbiasa dengan gaya bicara dan adat
mereka yang saya saksikan sehari-hari.
Kampung Betawi memiliki jadwal
pagelaran yang berbeda setiap minggunya sehingga para pengunjung tidak akan
bosan bila mereka mengunjungi wisata adat ini setiap minggu. Pagelaran tersebut
antara lain; marawis, lenong betawi, rebana biang, gambang kromong, nasyid,
topeng betawi, dan qasidahan.
Sesampainya di sana, yang kami
berempat rasakan itu adalah... LAPAR! Tapi kami harus ketemu dengan Bang Indra
yang akan kami wawancarai tentang Kampung Betawi. Malam sebelumnya, Bang Indra
menyuruh kami datang hari Minggu itu tapi ketika kami hubungi lagi di Minggu
pagi, sms maupun telepon nggak dibalas. Jadilah di sana kami ke kantor yang
tampaknya sih seperti kator sekretariat atau semacamnya. Setelah tanya-tanya,
ternyata Bang Indra belum datang, katanya sih bakal datang sehabis Dzuhur. Ya
sudah... Kita menunggu sambil mengambil beberapa gambar.
Kantor sekretariat dengan gaya rumah Betawi |
Gadis-gadis cilik terlihat sedang latihan
tarian Yapong bersama pelatih remaja. Tarian tradisional ini merupakan jenis
tari pertunjukan yang biasa disuguhkan kepada pengunjung.
Anak-anak yang sedang latihan tari Yapong |
Masyarakat Betawi yang mayoritasnya
adalah Islam memiliki pagelaran yang identik dengan Islam, seperti marawis,
qasidah, rebana biang, juga nasyid. Hal yang menarik dari agama adalah bahwa
hal tersebut telah mengikat orang bersama-sama dalam dan memelihara cara
pandang mereka selama ribuan tahun (Samovar: 124). Begitu pula dengan Islam,
salah satu cara masyarakat Betawi memelihara adat dan melestarikan agama Islam
kepada anak-anak atau remaja adalah dengan kesenian. Kesenian-kesenian ini
diwariskan secara turun-temurun agar agama Islam tetap terpelihara.
Marawis adalah semacam band yang menggunakan
alat musik yang ditepuk, yaitu perkusi. Kesenian membawakan nyanyian pujian
kepada Allah SWT. Selanjutnya ada qasidah, yang sama seperti marawis, qasidah
juga berisi pujian kepada Sang Pencipta. Bedanya, qasidah lebih menyerupai
puisi yang dilagukan, sedangkan marawis memang sudah merupakan sebuah
lagu-laguan, bukan puisi.
Masih berhubungan dengan alat musik
pukul, rebana biang juga merupakan kesenian yang berkaitan dengan agama Islam
dan dibawakan dengan tujuan untuk menghibur. Biasanya rebana biang
dipertunjukkan saat ada hari raya atau acara-acara besar seperti Idul
Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi, khitanan,
pernikahan, dan lain-lain.
Ketika saya berkunjung ke Kampung
Betawi, kesenian yang dibawakan adalah nasyid. Nasyid juga merupakan kesenian
Islam yang dibawakan dengan cara menyanyi. Isi dari lagu-lagu nasyid adalah
pujian bagi Allah SWT, kisah para nabi, juga kata-kata nasihat yang
berlandaskan Islam. Nasyid di Kampung Betawi ini dibawakan dengan cara lebih
santai dan gaul karena yang membawakannya adalah beberapa remaja cowok memakai blazer hitam dan v-neck putih yang mengingatkan saya akan boyband... Nggak. Mereka nggak joget-joget kok. Cowok-cowok ini
memadukan nasyid dengan rap agar para
remaja seusia mereka tertarik mendengarkannya dan tidak menganggap nasyid
adalah sesuatu yang kolot juga membosankan.
Setelah nasyid selesai manggung,
datanglah dua perempuan ke atas panggung. Mereka sedikit berbasa-basi lalu menyanyikan lagu jali-jali, lagu daerah Betawi
yang tentunya sering kita dengar. Selesai mereka membawakan jali-jali, naiklah
seorang bapak-bapak berpenampilan seperti Benyamin. Gaya bicaranya pun mirip.
Ia melemparkan lelucon-lelucon yang disambut baik oleh penonton sebelum mulai
menyanyikan lagu ondel-ondel. Seperti jali-jali, ondel-ondel pun sudah familiar
di telinga kita.
Ondel-ondel |
Ondel-ondel pun selesai dinyanyikan.
Si bapak-yang-mirip-Benyamin memanggil seorang bapak ke panggung untuk menyanyi
bersamanya. Kali ini mereka menyanyikan lagu ‘nonton bioskop’ yang dipopulerkan
oleh Benyamin. Menurut saya sih, lagu ini lumayan menghibur.
Dari empat penampilan yang saya
tonton tadi; nasyid, jali-jali, ondel-ondel, dan nonton bioskop, semua
penampilnya selalu menyapa penonton dengan hal yang sama, yaitu dengan teriakan
lantang, “Assalamualaikum!!!” Bila hanya beberapa orang yang terdengar
menjawab, mereka akan mengulang teriakan dengan kata-kata yang juga sama
persis, “Inget-inget, di Islam itu menjawab salam hukumnya wajib loh, yang
nggak jawab berarti dapat... Dooooo...saaaa! Nah, penonton, Assalamualaikum!”
Barulah setelah diingatkan seperti itu, penonton menjawab salam mereka.
Kesenian khas Betawi. Entah kenapa semua pemainnya mukanya bete ._. |
Terdapat 6 (enam) klasifikasi komunikasi
non-verbal, yaitu: penampilan, gerakan, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan,
dan parabahasa. Namun di Kampung Betawi, klasifikasi yang paling menonjol
adalah penampilan dan parabahasa.
Dari segi penampilan, di sini masih banyak
warga yang memakai baju adat walaupun hanya sekadar ikat pinggang hijau ala si
Pitung bagi para lelaki. Peci juga menjadi salah satu atribut wajib di dalam
penampilan laki-laki di sini. Hanya dengan pakaian yang ‘mereka banget’, kita
sudah tau bahwa mereka adalah orang Betawi.
Bahasa, bagaimanapun, berperan besar
dalam membentuk dan menyatakan identitas lebih dari yang Anda bayangkan
(Samovar: 268). Bila kita perhatikan, Betawi memiliki beberapa ciri khas dalam
berbahasa; kencang seperti berteriak, kadang kasar, juga terkesan nyolot. Betawi cenderung tidak
membedakan umur dalam berbahasa. Contoh, mereka selalu menggunakan sapaan lo-gue
kepada siapapun, terutama kepada yang sudah mereka kenal walaupun tidak terlalu
akrab. Bapak membahasakan diri sendirinya dengan ‘gue’ dan membahasakan diri
anaknya sebagai ‘lo’, bukan ‘kamu’ atau nama si anak. Hal itu adalah hal yang
biasa bagi masyarakat Betawi, tidak ada maksud untuk kasar atau merendahkan
kedudukan si anak.
Mungkin orang dari budaya lain yang
tidak biasa dengan sapaan lo-gue akan merasa kurang nyaman karena biasanya lo-gue
hanya dipakai untuk hubungan pertemanan yang kasual. Bukan untuk sapaan dari
orang yang lebih tua ke anaknya.
Betawi juga terbiasa kencang dalam
berbicara, agak nggak nyantai. Ingat suara teriakan khasnya Mpok Nori? Ya...
Begitulah kira-kira. Mereka pun
berbicara dengan kata-kata yang kadang memang kasar dan vulgar.
Peristiwa bahasa ini saya temukan
ketika menonton lenong di Kampung Betawi. Sayangnya, saya nggak merekamnya
karena saat lenong berlangsung, kami sedang lelah-lelahnya dan sedang duduk-duduk
sambil istirahat. Jadi saya hanya mendengarkan saja selama lenong berlangsung.
Pada lenong tersebut, terdapat dua
orang, seorang bapak-bapak dan seorang ibu-ibu. Seperti biasa sebelum memulai
pertunjukan, mereka menyapa penonton dengan salam. Mulailah mereka melenong.
Lenong ini berisi humor-humor untuk menghibur pengunjung. Memang lenong ini
memiliki paling banyak penonton dibandingkan pertunjukan sebelumnya seperti
nasyid dan lagu-lagu daerah.
Namun yang menarik perhatian saya
adalah lelucon yang dilontarkan oleh kedua orang di atas panggung itu. Sebagian
besar isi dari lelucon lenong ini adalah humor yang berkaitan dengan hal-hal
seksual dengan kata-kata vulgar yang sama sekali tidak disaring kata-katanya. Hampir
seluruh penonton tertawa senang. Padahal bila didengar baik-baik, sebenarnya
lelucon seperti ini agak kurang pantas ditampilkan, apalagi banyak sekali anak
kecil yang ikut menonton.
Yah... tapi memang hal ini bukanlah
hal yang tidak biasa bagi mereka. Ciri khas humor mereka memang seperti ini. Di
sinilah perbedaan budaya yang terlihat. Dua teman saya yang berasal dari daerah
Batam dan Pekanbaru yang juga terbiasa dengan budaya Melayu agak kaget dengan
lelucon pada lenong Betawi ini.
Walaupun begitu, budaya Betawi dan
bahasanya adalah satu kesatuan. Dengan bahasanya, mereka dapat melestarikan
budaya mereka. Salah satunya dengan menggunakan lenong yang memiliki kekhasan
dalam berbahasa. Bahasa dan budaya bekerja sama dalam hubungan yang saling
menguntungkan yang menjamin keberadaan dan kelangsungan keduanya.
Selesai ngomongin yang serius-serius,
mari kembali ngomongin yang santai-santai :D
Hari semakin siang, kami kembali ke
kantor sekretariat untuk menanyakan keberadaan Bang Indra yang ternyata masih
belum datang. Kami pun kembali melihat-lihat sekitar Kampung Betawi dan
menemukan sebuah kandang burung kecil di taman samping kantor sekretariat.
Sepasang burung gelatik yang penuh cintaaaaa~ |
Sepasang burung ini adalah burung
gelatik yang merupakan simbol dari Kampung Betawi. Dua burung ini sengaja
di‘jodohkan’ di dalam kandang agar mereka berdua memunyai teman hidup. Kalau
kata abang-abangnya di sana sih, “Kan kalian aja punya pacar, masa burung nggak
punya pacar...”
Perut semakin terasa lapar, kami pun
memutuskan untuk mencari makanan. Di sana adalah surga makanan. Segala makanan
kampung ada dan enak! Kami pun memutuskan untuk makan soto mie yang sederhana
tapi wuenak (mungkin karena kelaperan ._.)
Soto mie super! |
Setelah makan siang yang hanya
memerlukan Rp. 10.000 saja kami pun melihat banyak orang yang menaiki delman.
Kami akhirnya bertanya ke abang-abangnya berapa harga menaiki delman memutari
area itu. Ternyata tarif si delman adalah Rp. 20.000, karena kami berempat,
jadi kami pun patungan untuk naik delman tersebut.
Si bapak delman yang inginnya disebut
‘engkong’ sempat bercerita kepada kami kalau ia dari mudah sudah bekerja
sebagai penarik delman karena menurutnya pekerjaan ini menguntungkan dan tidak
beresiko. “Dari pada jadi tukang bangunan, neng. Udah gajinya kecil, resiko
kerjanya gede...” ujarnya.
Delman yang bekerja keras mengangkut pengunjung yang ingin berkeliling |
Delman memang digunakan sebagai salah
satu tur di Kampung Betawi sekaligus menjadi hiburan bagi pengunjung di sana,
terutama bagi keluarga yang membawa anak. Selain delman, ada juga perahu bebek.
Sebenarnya saya ingin naik perahu bebek itu, tapi tiga orang teman saya nggak
mau, jadinya nggak jadi deh -_- Masa naik sendirian, sedih banget...
Penampakan perahu bebek dengan bocah-bocah |
Wisata air yang terdapat di Kampung
Betawi selain perahu bebek adalah olahraga kano dan pemancingan. Namun saat
kami kesana, hanya perahu bebek sajalah yang sedang beroperasi.
Dasar memang kami rakus, setelah puas
keliling-keliling menggunakan delman, kami pun lanjut cari makanan ringan (tapi
makannya banyak, jadi yah...)
Di sepanjang jalan, terdapat banyak
makanan maupun oleh-oleh. Ada rambut nenek, dodol betawi, es goyang, tahu
gejrot, laksa, toge goreng, kerak telor, rengginang, tape uli, dan masih banyak
lagi. Langsung deh lapar mata.
Pertama kami beli es goyang, jajanan
masa kecil dulu. Lalu lanjut tahu gejrot dan es selendang mayang. Kami baru
kali ini mencicipi es selendang mayang yang katanya sih khas Betawi. Sebenarnya
sama aja dengan cendol, cuma ada semacam yang lembut-lembut itu di bawahnya
yang disebut si selendang. Ternyata memang enak, saking enaknya kami sampai
nambah ._.
Juga ada satu lagi jajanan masa kecil
selain es goyang yaituuuuuu... gulali! Gulali yang dibentuk-bentuk dengan cara
si abangnya mencet-mencet gulalinya (dengan tangannya yang kami pun nggak
peduli entah higienis atau nggak) supaya menjadi suatu bentuk unyu. Saya dengan
sukses menghancurkan satu gulali yang nggak sengaja kesenggol dan jatuh. Untung
abang-abangnya baik, dia nggak minta ganti rugi, malah nanya mau request bentuk
apa untuk gulali yang kami mau.
Sherly yang baru pertama kali melihat
wujud gulali pun penasaran. Tapi dia nggak beli, mau nyoba punya kami bertiga
dulu, kalo enak baru dia beli (dasar!) Sayangnya... Sherly nggak suka, terlalu
manis katanya -____-
Gulali berbentuk mawar |
Makanan khas Betawi yang pasti semua
orang tahu adalah kerak telor. Kami berempat nggak ada yang suka kerak telor,
jadinya nggak ada yang beli. Cuma minta izin sama si ibu kerak telor untuk ngerekam
proses pembuatan kerak telor sampai dibungkusnya. Ibunya udah agak sebel gitu
sih mukanya, tapi biarlah... Maaf ya Bu kami semua nggak modal...
Kampung Betawi memang menawarkan
wisata sambil mengenal kebudayaan Betawi lebih dekat. Dengan pertunjukan yang
ada juga dengan makanan-makanan khas Betawi yang dijual sangat terjangkau di
sini. Pengunjung pun dapat merasakan dengan lengkap bagaimana sebenarnya
kebudayaan Betawi dengan suasana yang mendukung, juga dengan pakaian para
pegawai yang berdandan dengan baju ala Betawi. Biasanya Kampung Betawi ramai
oleh pengunjung saat ada acara nikahan atau sunatan karena disitulah kekhasan
Betawi ditonjolkan.
Saat musim buah, Kampung Betawi akan
dipenuhi warna-warni berbagai macam buah, seperti belimbing, mangga, rambutan,
kecapi, sawo, melinjo, pepaya, jambu, nangka, pisang, dan lainnya. Wisata agro
memang salah satu keunggulan Kampung Betawi selain wisata budaya dan wisata
air.
Pada akhirnya, kami gagal bertemu
Bang Indra. Ia ternyata nggak masuk hari itu padahal kami sudah menunggu sampai
jam 4 sore *ketawa miris*. Dengan sedikit dongkol, kami pun pulang. Oh, Bang
Indra akhirnya menghubungi kami keesokan harinya dan ia bilang datang lagi aja
ke Kampung Betawi untuk ketemu sama dia. Tapi dengan bijaksana, kami memutuskan
bahwa liputan kami sudah cukup dan kami sudah cukup puas walaupun nggak ketemu
dengan Bang Indra.
Namun kami nggak menyesal sama
sekali! Wisata budaya di Kampung Betawi ternyata sangat menyenangkan, apalagi
dengan segala makanan yang melimpah ruah. Muahahaha :D
Sampai jumpa lagi, Kampung Betawi! ^o^
No comments:
Post a Comment