Nim: 11140110226
Nama: Elvira Beryl Valencia Gulo
Kelas: G
Artikel ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir semester mata kuliah Komunikasi Antar Budaya. Observasi yang saya pilih yaitu Observasi Budaya Kampung Naga.
KAMPUNG NAGA
Mungkin ada
beberapa yang tidak asing dengan nama kampung yang unik ini. Atau masih adakah
yang bingung, apa sebenarnya Kampung Naga itu?
Pada awalnya saya
juga berpikir begitu, ketika mendapat tugas ini, dari begitu banyak pilihan, saya tertarik dengan nama kampung
yang satu ini karena begitu unik. Saya sempat berpikir, apa yang ada dalam
Kampung Naga, mengapa diberi nama Kampung Naga, apakah disana ada binatang Naga,
padahal selama ini Naga identik dengan mitos hewan dari negeri seberang bukan
dari Indonesia. Rasa penasaran inilah yang membawa saya memutuskan untuk
melakukan observasi budaya di Kampung Naga.
Saya bersama
teman-teman bersama-sama melakukan observasi ke Kampung Naga. Kami berkumpul di
dormitory UMN, Sabtu, 15 Desember
2012. Sekitar pukul 05.00 WIB, kami berangkat menuju Tasikmalaya, Jawa Barat. Perjalanan dari Serpong menuju Kampung Naga
ditempuh kurang lebih 7-8 jam. Saya bersama teman-teman menaiki kendaraan
pribadi menuju Kampung Naga.
Kampung Naga berada di desa Neglasari, kecamatan
Tasikmalaya, Jawa Barat. Ketika sampai disana, saya
berpikir bahwa saya telah sampai,
ternyata untuk ke Kampung Naga, saya harus menuruni
439 tangga. Sebelum turun, saya
sempat melihat tugu Kujang Pusaka.
Disana, kami
disambut oleh Mang Ijat, seorang warga Kampung Naga yang akan menjadi pemandu
kami. Mang Ijat memang benar-benar Sunda asli, gaya bicaranya yang lemah lembut
dan ramah serta pakaian nya memakai baju tradisional di Kampung Naga.
Sepanjang
perjalanan menuruni tangga, bisa dibilang sangatlah letih. Apalagi saya membawa
tas yang lumayan berat karena kami akan menginap disana, tetapi itu semua
teratasi saat kita melihat rumah-rumah
penduduk desa Neglasari, ada juga warung-warung, toko oleh-oleh yang menjual
kerajinan tangan. Tidak hanya itu, kita juga bisa menikmati pemandangan yang
indah dan asri. Kiri-kanan penuh dengan pepohonan yang tinggi dan udara yang
sangat sejuk
Dari atas, kita bisa melihat keindahan Kampung
Naga. Rumah-rumah yang berbeda dengan rumah yang saya temui sepanjang saya
menuruni tangga. Rumah ini masih tergolong tradisional karena tidak terbuat
dari batu bata atau tembok. Mereka berjejer seperti membentuk daerah sendiri,
benar-benar Kampung yang mengagumkan.
Nama Kampung Naga,
ternyata berasal dari Bahasa Sunda yaitu
Nagawir, yang artinya berada di dekat lembah di tengah tebing, tetapi
lama-lama kebanyakan orang mulai menyebutnya Naga dan hingga sekarang dikenal
dengan nama Kampung Naga. Kampung Naga
berada di bantaran sungai Ciwulan. Sungai ini tidak pernah kebanjiran saat
musim hujan dan tidak pernah kering saat musim kemarau.
Kampung Naga memiliki luas area 1,5 hektar dan mempunyai
113 bangunan, termasuk di dalamnya mesjid, balai
kampung, dan lumbung padi umum. Jadi jumlah rumah warga ada 110 rumah. Dari 110
rumah, ada 108 kepala keluarga dan total
warga Kampung Naga ada 314 orang, baik dari usia 0 (nol) hingga lanjut
usia. Warga Kampung Naga 2-3% adalah warga Kampung Naga asli, sedangkan sisanya
pendatang dari luar, misalnya karena adanya perkawinan. Warga Kampung Naga ada juga yang tinggal di
luar Kampung Naga yang disebut sanaga.
Dari 1,5 hektar,
yang membatasi pemukiman penduduk adalah pagar bambu yang dibilah dan tidak
boleh ada satu jengkal pun yang lebih. Di luar pagar bambu tersebut, ada
kandang hewan ternak dan kamar mandi.
Mengapa kamar mandi berada di luar?
Di setiap rumah
kita tidak akan menemukan kamar mandi karena peraturan yang ada di kampung naga
memang seperti itu. Mereka tidak pernah menganggap kamar mandi itu adalah
bagian dari rumah. Menurut mereka rumah adalah rumah dan kamar mandi adalah
kamar mandi, kecuali di pertengahan kampung, ada mesjid yang memiliki tempat
wudhu.
Kamar mandi yang
umum ini, memang sempat membuat kami kesulitan karena kami baru pertama kali
merasakannya.
Kampung Naga memiliki tiga bangunan yang dikeramatkan:
Bangunan Bumi Ageng,
biasanya digunakan saat ritual upacara adat 1 tahun 6 kali, misalnya Maulid
Nabi, Muharam, Idul Adha, Isro Miraj, dan hari raya Kampung Naga lainnya.
Bangunan ini hanya dimasuki oleh orang-orang tertentu dan hari-hari tertentu,
misalnya sesepuh, ketua adat, dan lain-lain.
Bekas Lumbung, tempat
lumbung padi ada di Kampung Naga, tetapi ada satu bangunan yang dikeramatkan
dinamakan bekas Lumbung yang dipagari oleh bambu. Disebut bekas lumbung karena
dulu setiap hasil panen warga Kampung Naga disimpan disitu dan ketika mereka
ingin memberi penerus atau suri tauladan beras, mereka dapat mengambil secara
sukarela di lumbung tersebut. Bahkan ketika ada acara-acara seperti di Masjid,
Balai Kampung, ataupun ada yang meninggal, mereka dapat mengambil beras dari
lumbung tersebut.
Bekas Pangsolatan, adalah
bangunan yang dikeramatkan ketiga, dimana pernah terbakar tahun 1956 (sejarah
Kampung Naga) dan ada bukti monumen berdirinya Kampung Naga disitu. Bekas
Pangsolatan hingga kini dipagari oleh pagar bambu tinggi-tinggi dan tidak ada
yang berani masuk kedalam situ.
Foto tidak bisa
dari dekat karena memang ada larangan untuk foto dari dekat. Selain itu tidak
ada yang berani masuk kedalam Bangunan Bekas Pangsolatan. Mang Ijat sendiri
sejak lahir dan besar di Kampung Naga tidak pernah masuk ke dalam bangunan
tersebut. Untuk foto Bangunan Bumi Ageng dan Bekas Lumbung, Mang Ijat belum
mengajak kami kesitu saat tur keliling kampung dan hanya melewati Bangunan
Bekas Pangsolatan saja.
Nah, di Kampung Naga
juga ada larangan-larangan, misalnya untuk pengunjung ada beberapa daerah dan
bangunan yang dilarang masuk dan mengambil gambar atau foto dari dekat, untuk
soal hari ada tiga hari yang ditabukan untuk melaksanakan upacara adat dan
silsilah tentang sejarah : Selasa, Rabu,
dan Sabtu, sedangkan bulan, ada dua bulan yang ditabukan, yaitu Bulan Sapar dan Ramadhan. Untuk aturan
sendiri lebih kepada kalimat pamali pada warga Kampung Naga, karena kalimat
pamali mengandung tiga unsur: AMANAT,
WASIAT, AKIBAT. Jadi misalnya ada yang melanggar, mereka akan dihukum
sesuai perilaku masing-masing.
Untuk daerah di
Kampung Naga, ada dua hutan yang dilarang untuk sembarang masuk, hutan tersebut
lewat dari pagar bambu yang diisi oleh pemukiman:
Hutan Larangan, termasuk
dalam hutan lindung. Dinamakan hutan larangan bukan karena ada binatang buas
atau hal apapun, tetapi warga atau pengunjung dilarang masuk karena hutan
tersebut sangat dijaga kelestariannya, jadi tidak dapat dirusak oleh warga atau
pengunjung. Hal ini disebabkan pola hidup warga Kampung Naga yang HIDUP BERSAMA
ALAM bukan hidup di alam. Sungai Ciwulan membatasi Hutan Larangan dengan
Pemukiman warga.
Hutan Larangan |
Hutan Keramat, tidak ada
yang memasuki hutan keramat karena itu merupakan tempat makam leluhur dan
pendiri Kampung Naga. Disana tidak ada makam khusus, untuk pemakaman warga,
gabung dengan warga diluar.
Rumah-rumah di Kampung Naga
Pembuatannya juga
berasal dari alam. Bentuk rumah mereka seperti rumah panggung. Atap rumah
memakai ijuk yang dilapisi daun tebus, yang kuat dan tidak pernah bocor hingga
30-an tahun dan kerangka untuk atap menggunakan bambu atau kayu.
Bangunan rumah
menggunakan kayu Albasia dan Bambu. Kayu Albasia tahan hingga belasan bahkan
puluhan tahun. Sebelum dibuat bangunan, kayu Albasia direndam di empang selama tiga bulan untuk menghindari rayap,
setelah itu dikeringkan, diserut, dan diawetkan. Bambu biasanya digunakan
sebagai anyaman.
Di dalam satu
rumah, memiliki dua pintu. Pintu pertama terbuat dari kayu adalah pintu masuk
rumah, sedangkan pintu kedua yang memiliki anyaman dari bambu adalah pintu
masuk dapur. Rumah di Kampung Naga ini sangatlah unik. Tujuan pintu dapur
memiliki anyaman adalah agar terlihat kegiatan di dalam maupun di luar rumah,
jadi kalau terjadi apa-apa, bisa segera diketahui.
Di pintu dapur
dipasang sebuah gantungan berbentuk ketupat yang disebut tolak bala. Nah,
setahun sekali warga Kampung Naga mengadakan selamatan kampung dan membuat
gantungan tersebut. Lima sudut pada ketupat itu mengingatkan warga Kampung Naga
agar tidak pernah lupa salat lima waktu.
Cat yang digunakan
pada setiap rumah tidak memakai cat pada umumnya, melainkan memakai kapur. Dan
ketika mulai memudar, maka akan dicat kembali menggunakan kapur. Selain itu
batu yang ada juga tidak disusun menggunakan semen atau pasir, melainkan
disusun menggunakan tanah liat.
Rumah di Kampung
Naga dibuat saling berhadap-hadapan. Tujuannya agar mudah berkomunikasi dan
saling memperhatikan. Misalnya ketika sedang masak, bisa didengar apakah sedang
masak atau tidak atau ingin meminta kayu bakar, beras, dan lain-lain.
Mata Pencaharian warga Kampung Naga, mayoritas adalah bertani. Tetapi ada sebagian besar yang berternak
dan membuat kerajinan tangan.
Dalam bertani,
setahun ada dua kali masa panen. Warga Kampung Naga menggunakan pupuk kandang
(kotoran kambing dan ayam) lalu setelah panen ditumbuk dan sesudah jadi beras
dimasak menggunakan tungku atau kayu bakar. Jadi semua proses pengolahannya
serba tradisional. Uniknya, hasil pertanian berupa beras tidak untuk dijual,
tetapi untuk konsumsi keluarga sendiri. Kecuali jika ada sisa atau ada
pengunjung yang tertarik dengan beras organik, bisa dibeli langsung ke si
penumbuknya dan maksimal 20kg.
Untuk masalah
berternak, ada berternak ayam, kambing, sapi, ikan, dan lain-lain. Sisanya
adalah para pengrajin. Kebanyakan mereka membuat kerajinan tangan jika sedang
ada waktu senggang. Hasil kerajinan tangan ini dijual untuk para pengunjung
yang datang ke Kampung Naga.
Nah, saya juga menemukan seorang nenek yang sudah berusia lebih dari 100 tahun dan masih tetap kuat bekerja. Tidak hanya itu, ada juga rumah warga yang sudah ada sejak tahun 1965 dan masih berdiri hingga sekarang. Rumah yang dari tahun 1965 itu di nomori angka “65”.
Keunikan lain di
Kampung Naga, yaitu tidak menggunakan
listrik atau bisa dikatakan tidak ada akses listrik disana. Penerangan hanya
menggunakan lampu minyak, lilin, dan juga senter. Saat malam hari kita bisa
merasakan bagaimana kegelapan menyelimuti Kampung Naga. Saya sampai harus
menggunakan senter dan berjalan perlahan-lahan menembus gelapnya malam hari.
Mengapa tidak ada listrik???
Setiap budaya yang
masuk di Kampung Naga memiliki filter. Jadi hal apapun yang memisahkan adat dan
budaya akan ditolak. Contoh LISTRIK. Sebelum listrik masuk desa, Kampung Naga
pernah mendapat tawaran untuk mendapat pasokan listrik gratis dan terserah mau
digunakan berapa watt. Tetapi warga menolaknya, karena ketika listrik masuk ke
Kampung Naga, akan muncul kesenjangan antar warga, seperti mereka yang mampu
membeli kulkas, televisi, dan barang elektronik lain. Hal ini bisa menyebabkan
hilangnya adat dan budaya mereka.
Walaupun demikian,
warga kampung naga juga membutuhkan informasi. Oleh sebab itu televisi dan
radio sudah masuk kesana, hanya saja mereka harus menggunakan aki atau baterai. Nah, untuk
televisi berwarna sendiri, ketika memakai aki, hanya akan bisa bertahan 2-3
jam, sedangkan untuk mengisi ulang
baterai atau aki, harus dibawa ke desa atas selama 3 hari 3 malam.
Kecuali untuk televisi hitam-putih dapat bertahan 15 hingga 20 hari.
Setelah mendapat banyak pengetahuan tentang Kampung Naga, saya dan teman-teman menginap di salah satu rumah warga. Mereka sangat ramah menyambut kami. Keesokan harinya, kami melanjutkan tur keliling kampung.
Kami melihat rumah-rumah warga, dimana Kampung Naga dibagi jadi dua bagian menurut kelas sosial ekonomi, yaitu Kampung Naga Atas dan Kampung Naga Bawah. Kampung Naga atas biasanya dihuni oleh mereka yang mampu membeli rumah yang ukurannya lebih besar, sedang Kampung Naga bawah ukurannya lebih kecil. Tetapi dalam membangun rumah, mereka tetap mengikuti peraturan adat yang ada.
Selanjutnya melihat lebih dekat lagi tiga bangunan yang ada di Kampung Naga selain rumah penduduk.
Masjid. Merupakan satu-satunya masjid yang ada di
Kampung Naga, tempat warga salat. Pengunjung juga bebas menggunakan masjid saat
ingin salat. Masjid berada ditengah-tengah dan bersebelahan dengan Balai
Kampung. Di depan masjid ada bedug yang terbuat pohon besar dan kulit kerbau,
yang tidak hanya digunakan saat adzan tetapi juga untuk mengumpulkan warga.
Balai Kampung. Merupakan tempat warga berkumpul saat ada pertemuan, perayaan-perayaan upacara adat, pertunjukkan pentas seni, dan ketika banyak pengunjung dalam jumlah banyak mengunjungi Kampung Naga, mereka semua dikumpulkan di Balai Kampung. Di depan Balai Kampung ada beberapa alat musik tradisional yang digunakan saat pentas kesenian atau menyambut tamu penting. Berbeda dengan masjid, pada atap Balai Kampung ada dua bambu yang membentuk huruf “V”, yang artinya perdamaian.
Tur kami terus berlanjut. Mang Ijat mengajak kami melihat proses menumbuk padi yang dilakukan ibu-ibu setiap pagi di Kampung Naga. Kebetulan tempat menumbuk berada di antara kolam ikan. Beruntung, pagi itu ada seorang ibu yang tengah menumbuk padi. Pertama-tama, memisahkan padi dengan tangkainya harus ditumbuk di lobang yang lebih besar. Setelah itu pisahkan padi dengan tangkai dan tumbuk di lobang yang kecil untuk memisahkan kulitnya.
Hasilnya akan ada beras dan gabah. Setelah itu pisahkan dan tumbuk, hal itu dilakukan berulang kali hingga gabah menjadi halus dan beras benar-benar terpisah dari gabah.
Inilah Kampung Naga yang benar-benar menghargai alam, gabah tersebut tidak dibuang begitu saja, melainkan gabah yang halus akan dijadikan makanan ikan dan ayam, lalu untuk tangkai-tangkai pada akan dibuat sapu ijuk. Tidak hanya mengajak kami melihat proses menumbuk padi, Mang Ijat juga mengajak kami melihat proses penangkapan ikan. Ikan ini ditangkap untuk dilihat ukurannya.
Ikan yang ada di kolam ikan itu, umum dipelihara oleh warga. Warga Kampung Naga secara sukarela memelihara ikan. Pengunjung bisa memberi makan ikan, dan dijual rp.1000 per bungkus. Hasil penjualan ini akan dimasukkan dalam kas keuangan Kampung Naga.
KAMPUNG NAGA DAN KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
Diambil
berdasarkan teori buku Communication Between Cultures 7th edition, Larry A.
Samovar
Pengertian
Komunikasi Antar Budaya dalam buku Communication
Between Cultures :
“Komunikasi antar budaya melibatkan interaksi antara
orang-orang yang persepsi budaya dan sistem simbolnya cukup berbeda dalam suatu
komunikasi.”
Elemen budaya tidak terhitung jumlahnya, tetapi ada lima dasar elemen budaya, yaitu SEJARAH, AGAMA, NILAI, ORGANISASI SOSIAL, dan BAHASA.
Sejarah
Sejarah Kampung
Naga hingga saat ini masih menjadi menjadi tanda tanya. Semenjak kebakaran
besar menimpa Kampung Naga tahun 1956, semua dokumen berdirinya Kampung Naga
ikut terbakar. Sejak saat itulah sejarah Kampung Naga diceritakan secara lisan
turun temurun. Kebakaran terjadi saat DI/TII Jawa Barat yang dipimpin oleh Kartoseowiryo yang saat itu sedang berlindung di
Kampung Naga. DI/TII saat itu mengajak warga Kampung Naga bergabung dengan
mereka untuk membangun negara Islam di Indonesia,tetapi karena sebagian besar
warga Kampung Naga berkiblat pada proklamasi, yaitu Soekarno, akhirnya Kampung
Naga dibakar dan semua buku-buku sejarah, benda-benda peninggalan semua ikut
terbakar, jadi hingga kini hari dan tanggalnya tidak terlihat dan peristiwa kebakaran itu disebut Pareum Obor.
Lalu untuk
mengetahui sejarah kapan Kampung Naga berdiri mereka melihat dari kedatangan
Islam ke Indonesia dimana pada abad 11, saat itu warga Kampung Naga yang adalah
beragama Islam, melakukan salat di batu-batu pada waktu agama Islam turun,
dimana batu-batu kecil dirapikan agar dekat mengambil air wudhu, karena dulu
pada waktu agama Islam turun, tidak dianjurkan pergi ke masjid tetapi hanya
pergi salat. Jadi, dari sinilah mereka tahu bahwa Kampung Naga sudah ada sejak
agama Islam turun.
Agama
Tidak diragukan
lagi agama yang dianut warga Kampung Naga adalah Islam. Warga Kampung Naga
memiliki upacara-upacara adat yang diadakan setahun sekali, seperti Maulid
Nabi, Muharam, Idul Adha, Isro Miraj, dan lain-lain. Tetapi biarpun mereka
beragama Islam, warga Kampung Naga juga tetap berpegang teguh pada kepercayaan
adat istiadat. Misalnya, hari-hari yang ditabukan, jika hari raya Islam jatuh
pada hari yang ditabukan, maka mereka akan melaksanakannya keesokan harinya
atau hari lain yang tidak ditabukan.
Nilai
Nilai yang dipegang
teguh warga Kampung Naga yang utama adalah menghargai alam. Mereka hidup semua
berasal dari alam. Lalu ada nilai kekeluargaan yang terasa sangat kental ketika
sampai di Kampung Naga, serta nilai Kerjasama. Dimana ada seorang pemimpin
bernama Punduh, yang mengatur warga Kampung Naga, jadi ketika ada pembangunan
rumah, dia akan mengumpulkan warga dan membantu proses pembangunan rumah hingga
selesai. Bahkan ketika kemarin saya kesana, saya melihat atap rumah salah satu
warga sedang diganti dan itu dilakukan secara gotong royong.
Organisasi Sosial
Kepemimpinan di
Kampung Naga, ada formal dan non formal. Untuk formal dari pemerintahan,
ada RT, RW, dan Kepala Dusun,
yang dipilih secara demokrasi oleh warga Kampung Naga. Tetapi karena Kampung
Naga memegang teguh adat istiadatnya, maka yang berwewenang tetaplah adat. Nah,
kalau dari adat atau non formalnya:
a. Kuncen atau Juru Kunci, yang bertugas
sebagai pemangku atau pengelola adat.
b. Lebeh, yang bertugas dalam sarana
keagamaan, misalnya ada yang meninggal, mulai dari dimandiin hingga dikubur
dipimpin oleh dia.
c. Punduh, yang bertugas mengayomi masyarakat
Kampung Naga.
Bahasa
Bahasa yang
digunakan oleh warga Kampung Naga sehari-hari adalah bahasa daerah mereka,
yaitu Bahasa Sunda. Tetapi mereka juga suka menggunakan Bahasa Indonesia.
Pola-pola budaya adalah suatu sistem serta nilai yang terintegrasi dan bekerja sama untuk menyediakan suatu model terpadu, jika tidak selalu konsisten dalam melihat dunia. Pola-pola budaya yang ada pada budaya Kampung Naga, yaitu
Kolektivis = Warga kampung naga
kolektif dalam berbudaya. Mereka peduli terhadap hubungan. Oleh sebab itu
hingga sekarang belum pernah terjadi konflik antar warga bahkan antar
budaya/suku. Selain itu lebih menekankan pada keanggotaan dan ketergantungan
pada kelompok, dimana pembangunan rumah, kamar mandi, persiapan acara adat,
persiapan acara-acara besar, hingga ketika ada yang meninggal, semua dilakukan
secara gotong royong. Feminin = Perilaku yang lembut dan kesadaran akan manusia dan lingkungan menjadi
pola budaya warga Kampung Naga. Mereka sangat peduli terhadap sesama dan
terlebih-lebih lingkungan. Prinsip yang dipegang teguh adalah “Alam
tidak akan merusak kalau tidak dirusak, jadi perlakuan dengan alam itu harus
seimbang.” Perkataan Mang Ijat ini benar-benar membuat saya sadar
betapa pentingnya menghargai alam.
Bahasa Dan Budaya
Bahasa memungkinkan untuk bertukar pandangan abstrak, memisahkan manusia dari binatang dengan mengizinkan manusia untuk mengatakan dan menuliskan ide abstrak serta mengizinkan manusia menyampaikan budaya satu ke budaya berikutnya. Bahasa merupakan sejumlah simbol atau tanda yang disetujui untuk digunakan oleh sekelompok orang untuk menghasilkan arti. Hubungan antara simbol yang dipilih dan arti yang disepakati kadang berubah-ubah
Bahasa yang
digunakan di Kampung Naga, seperti yang saya jelaskan tadi diatas adalah Bahasa
Sunda dan Indonesia. Tetapi mereka lebih sering menggunakan Bahasa Daerah
mereka dalam kehidupan sehari-hari. Warga Kampung Naga ketika berbicara lembut
dan agak cepat. Adapun variasi bahasa yang saya temui disana adalah aksen dan
dialek. Aksen Sunda sangat kental dalam percakapan yang terjadi . Lalu dialek
juga, terutama dalam tanda baca, dialek mereka lebih naik turun dan ketika
berbicara tidak sesuai dengan tanda baca.
Komunikasi Non Verbal
Komunikasi non verbal lebih banyak dilakukan daripada komunikasi verbal, terutama dalam mengatur interaksi. Warga Kampung Naga lebih sering melakukan komunikasi non verbal, oleh sebab itulah kampung mereka disebut juga kampung yang hening, terutama pada malam hari saat matahari mulai terbenam, hari mulai gelap, mereka akan tetap berada dirumah dan hanya beberapa yang keluar rumah, seperti untuk berjaga-jaga.
Perilaku tubuh
Penampilan, warga
Kampung Naga sangat sederhana, warna kulit mereka cenderung coklat karena
sebagian besar warga Kampung Naga bekerja sebagai petani. Pakaian mereka juga
tergolong biasa, mungkin untuk para pemandu seperti Mang Ijat, berpakaian
tradisional mereka dengan memakai penutup kepala seperti topi.
Gerakan, dilihat
dari postur tubuh mereka saat berbicara, tangan lebih sering berinteraksi
mengikuti percakapan. Saat mempersilahkan seseorang lewat terlebih dahulu,
mereka akan sedikit menunduk.
Kontak mata, warga
Kampung Naga ketika menatap lawan bicaranya menatap langsung ke lawan
bicaranya. Kecuali terhadap orang yang lebih tua atau berbicara dengan ketua
adat atau sesepuh, mereka tidak berani menatap secara langsung.
Ekspresi wajah,
warga Kampung Naga cenderung murah senyum dan ramah. Saat bertemu di jalan,
ketika saya tersenyum, mereka akan tersenyum tanpa ragu-ragu. Jadi ekspresi
wajah yang tergambarkan pada mereka adalah selalu tersenyum.
Parabahasa, dalam
hal kualitas vokal, warga Kampung Naga walaupun daerahnya berada di
tengah-tengah tebing, volume bicara mereka itu kecil dan tidak keras.
Ruang lingkup
Tempat, disetiap
rumah, kita tidak akan menemukan sofa pada ruang tamu dan jarang yang memiliki
barang-barang elektronik. Untuk sofa atau tempat duduk pada ruang tamu tidak
diperbolehkan, jadi kalau memasuki rumah
warga, kita hanya duduk beralaskan tikar. Untuk perabotan lain ada yang
diperbolehkan, seperti lemari. Ini adalah foto salah satu ruang tamu rumah
warga tempat saya menginap.
Sikap diam, seperti yang saya jelaskan bahwa sikap diam sangat terasa pada warga Kampung Naga, ketika saya menginap di salah satu rumah warga, si empunya rumah selalu berada di dapur dan ketika kami ingin bertanya-tanya, dia baru menjawab. Sikap diam ini juga didasari karena mereka cenderung pemalu menyambut tamu-tamu baru. Selain itu, pada malam hari suasana desa yang hening karena tidak ada listrik, sehingga mereka berada dirumah, menjadi penyebab sikap diam itu, pada malam hari jarang adanya interaksi dengan warga lain, mereka punya kesibukan sendiri di dalam rumah.
Pengaruh Budaya dalam Konteks Pendidikan
Pendidikan yang ditempuh warga Kampung Naga, mayoritas hanya tamatan SD. Walaupun ada yang beberapa sampai perguruan tinggi. Warga Kampung Naga bukannya tidak mau sekolah, mereka ingin bisa sampai perguruan tinggi, hanya saja kembali ke faktor ekonomi, kadang ada yang orang tuanya mampu, tetapi si anak tidak berminat melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Jadi di Kampung Naga tidak ada paksaan mengenai pendidikan, tergantung kemampuan dan minat keluarga dan juga pendidikan mereka tidak diatur oleh adat ataupun budaya.
Tetapi walaupun
tidak diatur oleh adat dan budaya, warga Kampung Naga juga berusaha agar tetap
bisa mendapatkan informasi dan tidak tertinggal, itulah budaya mereka. Jadi,
mereka yang mempunyai televisi tadi berusaha untuk memperbaharui informasi
terbaru. Selain itu, Mang Ijat juga mengatakan bahwa, anak-anak Kampung Naga
yang bersekolah juga sudah mendapat pelajaran komputer dan bisa
mengoperasikannya.
Pernikahan di Kampung Naga
Budaya juga mengatur masalah pernikahan. Di Kampung Naga, pernikahan tidak terlalu erat oleh adat, tetapi satu hal harus secara sederhana. Dalam mencari pasangan, tidak harus sesama warga Kampung Naga, bisa mencari pasangan dari budaya lain, asalkan satu keyakinan dan saling mencintai. Lalu undangan acara pernikahan tidak boleh memakai undangan kertas, tetapi diundang secara lisan, tujuannya agar tidak menimbulkan kecemburuan.
Di Kampung Naga, tidak pernah terjadi konflik yang signifikan, seperti konflik antar warga atau konflik budaya/suku. Menurut Mang Ijat selama ini belum pernah terjadi konflik karena di Kampung Naga, dari awal sudah berlandaskan budaya, karena berlandaskan budaya itulah, di mata adat perbedaan itu adalah warna kehidupan. Jadi, perbedaan tidak dijadikan pertentangan atau peperangan secara adat. Oleh sebab itu, warga kampung naga diperbolehkan bergaul dengn budaya berbeda, berbeda agama maupun etnis.
Ditinjau dari masalah etnosentrisme, budaya Kampung Naga memang menganggap budaya mereka unggul dari budaya lain. Hanya saja mereka tidak memiliki sikap etnosentrisme berlebihan. Dimana ketika saya sedang berbincang-bincang dengan Mang Ijat, beliau sempat mengatakan perbedaan budaya Sunda Kampung Naga dengan Sunda Baduy. Sunda Baduy banyak larangan, bahkan yang tinggal di Baduy Dalam dilarang bersekolah, sedangkan di Kampung Naga tidak begitu. Walaupun demikian Mang Ijat mengaku bahwa hubungan Suku Baduy dengan Kampung Naga terjalin baik.
Budaya Kampung Naga sangat terbuka dengan budaya lain dan tidak saling membedakan serta saling menghargai walaupun berbeda budaya. Tetapi soal masalah budaya modern yang masuk dan memengaruhi Kampung Naga, akan ditolak, karena mereka tetap memegang teguh peraturan adat kampung mereka. Oleh sebab itulah sangat penting menjaga etika dalam budaya. Warga Kampung Naga tidak hanya beretika dengan sesama budaya lain/individu tetapi juga beretika dengan alam. Mereka menghargai alam dan tidak ingin mengganggu keseimbangan alam. Jadi hidup mereka seimbang dengan alam.
That's very awesome.. I like it.
ReplyDelete