NIM : 11140110138
KELAS : E1
Bukan sesuatu yang baru bagi kita sebagai bagian dari NKRI terhadap
munculnya perbedaan. Perbedaan itu bisa
bermacam-macam. Bisa suku, ras, agama,
maupun budaya. Mengapa demikian ? Hai
itu disebabkan oleh luasnya geografi
Indonesia. Siapa yang tidak bangga
dengan kekayaan budaya yang kita miliki.
Hal ini patutlah membuat kita sebagai warga Negara Indonesia menjadi sadar,
peduli, dan berperan aktif dalam pelestarian budaya yang ada ini. Kenyataannya, sering kali, kita sebagai anak
bangsa justru merasa malu menggunakan atau bahkan melestarikan bangsa
Indonesia. Itu disebabkan oleh tingginya
arus global yang berimbas langsung ke budaya yang ada di Indonesia. Kita bahkan harus ‘menunggu’ budaya kita
diakui atau dicap bangsa lain terlebih dahulu.
Ingat, kain sondet, lalu tari kecak, tari piring, bahkan batik. Ya,setelah menyebarnya isu pencaplokan
budaya, barulah kita seakan-akan kebakaran jenggot seolah-olah kita
melestarikannya.
Lain daripada itu, perbedaan budaya juga acap kali membuat
kita kesulitan terhadap suatu hal.
Biasanya, kita tidak mudah mengerti atau sulit untuk menyesuaikankan
diri dengan budaya lain. Ragam budaya
tersebut seakan mempunyai lingkup dan aturannya sendiri. Lantas bagaimana kita bisa mengenal budaya
tersebut lebih dekat ? Cara satu-satunya yaitu adalah terjun langsung ke
lokasi. Tidak cukup hanya sekali tatap
muka untuk mengenal lebih jauh. Butuh
waktu bahkan bertahun-tahun agar kita bisa kerasan terhadap budaya
tersebut. Kita pun harus siap terhadap
situasi-situasi baru dalam konteks kebudayaan atau apapun namanya. Interaksi
dan komunikasi harus pula berjalan satu dengan yang lainnya
Nah,
salah satu objek kebudayaan yang akan saya kaji saat ini adalah Budaya Cirebon
khususnya Keraton Kasepuhan. Kota
Cirebon ini merupakan salah satu kota yang
ada di Provinsi Jawa Barat, Indonesia.
Kota ini dikenal sebagai tempat singgah di bulan-bulan mudik yaitu saat
Hari Raya Idul Fitri. Di kota ini
terdapat salah satu jalur yang sangat krusial yang menghubungkan
Cirebon-Surabaya-Semarang-Jakarta. Lancar
dan pendeknya waktu tempuh menjadi alasan mengapa banyak orang melewati jalur
ini untuk mudik.
Saya berangkat bersama rekan dengan kereta menuju Cirebon pukul 6
pagi. Jiwa ini seakan memaksa untuk
bangun meskipun raga malas untuk bergerak.
Alhasil, berangkat lah saya dan sampai di Cirebon pukul 11.00 siang
bersama rombongan. Sampai disana, saya
dan beberapa rekan bingung, objek mana yang didahulukan. Akhirnya kita terlebih dahulu mengelilingi
Kota Cirebon.
Kebetulan, tempat kami dekat dengan pusat kota monumen dan
simbol-simbol yang menandakan itu Kota Cirebon.
Salah satu tempat yang kita datangi yaitu adalah PDAM kota Cirebon. Tidak
banyak yang bisa dilihat. Hanya bangunan
PDAM dan tanda selamat datang. Namun,
saya dapat petikan wawancara dengan salah satu petugas disana. Namanya Bapak Heri. Beliau ini putra asli Cirebon dan sudah
berada di Cirebon selama 40 tahun.
Dia banyak berbicara mengenai berbagai macam keunikkan Kota Udang ini. Salah satunya yaitu tarling. Awalnya saya sempat bingung apa itu. Dia menjelaskan bahwa Tarling itu adalah musik dangdut khas daerah Cirebon. Tarling merupakan singkatan dari Gitar dan Suling. Biasanya kesenian ini akrab dengan daerah pesisir Pantura (Pantai Utara Jawa). Alunan musik, serta suara suling bambu yang bersahutan seakan bercampur menjadi satu.
“Musik Tarling ini sudah menjadi satu kesatuan bagi
Cirebon. Pokoknya kalo denger musik ini
semua beban rasanya hilang deh,” ujarnya mantap.
Cuaca yang cukup panas memaksa kami berhenti sebentar. Sejenak kami singgah di rumah makan. Rumah makan yang kami tuju adalah rumah makan
yang terkenal dengan menu khas Cirebon yaitu, Nasi Jamblang Mang Dul. Salah satu teman saya berkata bahwa santapan
yang terkenal di Cirebon adalah nasi jamblang.
Sesampainya disana, saya melihat antrian yang cukup ramai (ada di video). Sejenak terlintas di benak saya, apa
istimewanya ? Tanpa pikir panjang,
segera kami antri. Saat itu saya tidak
berpikir untuk mendokumentasikan karena sudah lapar. Beruntung salah satu dari kami sempat mendokumentasikan. Menu yang saya pilih adalah, telor dadar,
tempe, usus dan rendang. Yang menjadi
istimewa disini adalah nasi yang diberikan itu awalnya dibungkus dengan daun jati. Entah apa yang berubah, saya pikir tidak ada
perbedaan dengan nasi biasa. Isinya pun
lebih dikit saat dibungkus. Oke setelah,
perut terisi mari kita lanjut lagi.
Saya singgah sebentar di
penginapan dan langsung berangkat lagi.
Tujuan kami selanjutnya yaitu Kampung Arab dan Keraton Kasepuhan. Perjalanan ke kampung Arab tidak terlalu jauh
apalagi perut telah terisi penuh.
Sesampainya di Kampung Arab, saya dan beberapa teman dibantu oleh guide
(saudaranya teman saya). Sebenarnya
banyak sekali obyek yang bisa dikaji disana.
Sayangnya, mungkin
kepribadian mereka sedikit tertutup dan tergolong introvert. Kami kesana tidak sedikitpun orang Arab yang
mau keluar. Lalu, ada lagi objek wisata
Mesjid Merah. Meskipun kami sempat
melihat-lihat dan bertanya, sayangnya penduduk setempat sempat menegur ketika
kami ingin meliput. Apa daya, kami tidak
mendapat apa-apa disana. Perjalanan pun
berlanjut ke Keraton Kasepuhan.
Keraton di kota
Cirebon sendiri ada banyak. Selain Keraton Kasepuhan, masih ada tiga keraton
lainnya yaitu Keraton Kaprabonan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan. Keraton Kasepuhan sendiri adalah keraton yang
menjadi tempat tinggal keluarga besar kesultanan Cirebon. Keraton ini berada di salah satu sudut kota
dan wilayahnya sangat luas (25Ha).
Menurut
warga sana, keraton ini adalah keraton paling terawat dibanding keraton
lainnya. Tampaknya anggapan itu benar
karena esoknya, saya dan rombongan berkunjung ke Keraton Kanoman. Pelestarian disana berbeda dengan Keraton
Kasepuhan. Mungkin karena Keraton
Kasepuhan masih ditinggali Sultan didalamnya, sehingga perawatannya masih cukup
baik.
Dalam
Keraton ini ada beberapa elemen budaya yang dapat kita teliti. Menurut Samovar, ada 5 elemen yaitu Sejarah,
Agama, Nilai, Organisasi Sosial dan Bahasa.
Kita
awali dengan sejarah. Awal mula Keraton
Kasepuhan itu pada abad 15 dimana Pangeran Cakrabuana putra mahkota Pajajaran
membangun Keraton yang kemudian diserahkan kepada putrinya Ratu Ayu
Pakungwati. Nah, Ratu ini menikah dengan
sepupunya yang dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Lalu kemudian, salah satu figur wali songo
tersebut ditahbiskan sebagai pemimpin atau kepala negara di Cirebon dan tinggal
di Keraton Pakungwati. Sejak saat itu,
Cirebon dikenal sebagai pusat pengembangan agama Islam di Jawa dengan adanya
wali songo yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati beserta peninggalannya seperti
Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Nama
keraton sendiri diambil dari nama Ratu Ayu Pakungwati Putri P Cakrabuwana yang
menikah dengan Sunan Gung Jati. Konon
katanya, Putri ini cantik rupawan dan berbudi luhur dapat mendampingi suami di
bidang pembinaan negara dan juga penyayang rakyat. Tahun, 1549 peninggalan bersejarah Masjid
Agung disana terkena kebakaran, sosok ratu yang sudah tua turut memadamkan api. Namun, untung tak dapat diraih, malang tak
dapat ditolak. Ratu Wafat. Namanya pun diabadikan oleh suaminya. Pada 1679 Keraton Kanoman didirikan oleh
Sultan Badridin maka semenjak itu Kraton Pakungwati ini disebut Keraton
Kasepuhan. Disini, sultannya bergelar
Sepuh yang berarti tempat yang sepuh/tua, jadi antara Kasepuhan dan Kanoman itu
awalnya yang tua dan yang muda (kakak beradik).
Seperti kata Samovar, sejarah “memberitahukan’ anggotanya apa yang
dianggap penting dan mengidentifikasi budaya yang pantas dibanggakan. Sejarah Keraton Kasepuhan sendiri menjadi
penting karena, melalui keraton inilah perkembangan agama Isalam meningkat
pesat di Jawa. Terlebih yang memimpin
adalah salah satu wali songo yang notabene sebagai sosok intelektual dan
pembaharu bagi masyarakatnya.
Melalui
pemaparan diatas, ada elemen budaya lainnya yaitu agama. Dikutip dari buku Komunikasi Antar Budaya,
kata agama sendiri berasal dari bahasa Latin religare yang berati untuk
mengikar. Hal ini dengan jelas
menandakan bahwa agama mengikat manusia dengan hal-hal sakral. Di Keraton Kasepuhan sendiri, agama Islam
adalah agama yang paling banyak dianut.
Banyaknya tempat ibadah seperti masjid adalah salah satu simbolnya. Selain Masjid Cipta Rasa, ada juga Musholla
Langgar Agung didalamnya yang masih digunakan untuk upacara Muludan. Upacara tersebut adalah upacara untuk
memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Muludan dimulai dengan adanya pasar malam di alun-alun keraton yang
dihadiri masyarakat cirebon dan masyarakat lainnya. Nah, puncak acaranya adalah acara Panjang
Jimat yang dilakukan di tiga keraton.
Acara ini dianggap sakral karena mengajak islam untuk terus mengingat
dan mengerjakan ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw. Panjang Jumat juga membacakan shalawat yang
memuji dan mendoakan Nabi Muhammad Saw serta ada kisah tentang Nabi yang patut dicontoh dan diteladani.
Di
Keraton ini sendiri, sosok beliau diistimewakan dengan perayaan khusus. Perayaan tersebut (muludan) biasanya
menghadirkan benda-benda bersejarah dan dihadiri tamu-tamu negara sekelas Bpk.
Agung Laksono, dan elit politik lainnya.
Selain itu, perayaannya juga terbuka bagi semua umat dan tamu. Terlihat bahwa agama islam mencoba masuk ke budaya masyarakat Jawa
tanpa adanya paksaan. Kebesaran yang
ditunjukkan oleh tokoh tersebut diharapkan mampu diimani dan dijalani setiap
penduduk.
Lalu elemen
bahasa. Bagaimana masyarakat sekitar
berkomunikasi ? Bahasa
sehari-hari yang digunakan adalah Bahasa Jawa Kromo Inggil. Namun, sekarang
bahasanya lebih ke Sunda, karena di Cirebon Jawa yang ada Jawa Sawareh. Penggunaannya pun berbeda. Apabila sepantaran, maka kita menggunakan
bahasa sehari-hari entah itu Kromo Inggil atau Sunda.
“Tapi kalo ke org yang lebih tua/dihormati menggunakan Bahasa
Kromo Inggil sebagai tanda kita menghormati mereka,” ujar pemandu.
Pengaruh identitas seseorang dan kekuasaan ternyata cukup
signifikan di sekitar Kasepuhan ini.
Penggunaan bahasa yg berbeda ke setiap orang atau golongan menjadi
pembeda dan dapat menentukan identitas seseorang.
Selanjutnya elemen nilai.
Nilai budaya mengidentifikasi apa yang baik dan yang buruk, mana yang
harus dan yang tidak. Agama Islam serta
figur pemimpin memiliki warisan nilai yang tidak ada duanya di Keraton
Kasepuhan. Kolektivisme adalah salah
satunya. Terlihat dari cara pengambilan
keputusan serta penyelesaian yang dilakukan oleh Sultan.
Bpk. Feri |
Menurut Bapak Feri, salah satu pemandu keraton, dalam menyelesaikkan sesuatu seorang sultan terbiasa memakai
penasehat untuk memberikan saran – saran yang dpt menyelesaikan konflik.
Meskipun belum ada staff yang resmi, Sultan biasanya meminta staff ahli
(keluarganya) untuk ikut berdiskusi. Secara singkat masalah yang ada di
selesaikan secara musyawarah. Ambil contoh untuk acara maulud, sultan bertanya
ke lurah yang paham atau ke kaum masjid agung yang paham
penanggalan-peninggalan Islam, para keluarga mendampingi si sultan. Lalu, ada
nilai toleransi yang berasal dari sosok wali songo itu sendiri.
Elemen terakhir yaitu elemen organisasi sosial. Di keraton ini, sistem kepemimpinan yang
dipakai mirip seperti Monarki. Dikepalai
oleh Raja (sultan), dan akan diwariskann kepada keturunannya. Sultan akan dibantu staff ahli (keluarga)
karena lebih tahu, bagaimana untuk menjalankan suatu tradisi. Sultan yang sekarang itu bernama P.R.A. Arief Natadiningrat,
S.E. Putra Mahkota Cirebon ini
adalah penerus tradisi Kesultanan Kasepuhan.
Beliau adalah anak dari P.R.A.H Maulana Pakuningrat yang wafat tahun 2010 karena penyakit jantung. Arief sendiri sudah sejak dini disiapkan sebagai salah satu penerus di Keraton Kasepuhan.
Beliau adalah anak dari P.R.A.H Maulana Pakuningrat yang wafat tahun 2010 karena penyakit jantung. Arief sendiri sudah sejak dini disiapkan sebagai salah satu penerus di Keraton Kasepuhan.
KOMUNIKASI NON-VERBAL
Tentunya ada gerakkan non
verbal yang menjadi keunikan masyarakat cirebon, khususnya di keluarga
keraton. Apabila menunjuk sesuatu atau
arah, maka menunjuk dengan jempol (seperti org bogor menunjuk arah). Lalu, untuk menghormati seseorang maka kita
melakukan gerakan seperti menyembah menggunakan tangan. Hal itu bisa dilakukan pada siapapun. Selain itu pengaturan benda-benda sendiri sangat diperhatikan di
dalam ruangan. Mungkin kita terkejut
ketika ke Bangsal Panembahan adalah rangkaian besi emas, seakan-akan sunan
tidak ingin bertemu. Nyatanya bukan
demikian, benda tersebut digunakan untuk melihat dulu siapa tamu yang datang
sehingga bisa bersiap-siap. Ada juga
meja rias. Itu menandakan kalau
menghadap sultan itu harus rapih dan sopan.
STEREOTIPE
Di keraton ini ternyata
juga mengenal stereotipe bahwa kalangan yang menjadi sultan hanyalah
laki-laki dan tidak boleh
perempuan. Ini adalah salah satu dari banyaknya penyimpangan
komunikasi diterima sebagai kebenaran semu.
Mungkin, karena faktor budaya sehingga perempuan tidak boleh
memimpin. Nyatanya, di Britania, ratunya
adalah perempuan dan sudah cukup lama.
SEKILAS
KERATON KASEPUHAN
Jika kita menelusuri sejarah, tempat serta, artefak-artefak
yang ada, maka akan sangat panjang untuk ditelaah. Ada beberapa objek penting yang harus kita
perhatikan. Pertama, Alun-alun Sangkala
Buwana. Alun-alun ini dulunya digunakan
untuk perang-perangan, apel rakyat besar, serta baris berbaris.
Masuk kedalam, kita akan melalui Pintu Gledegan. Objek tersebut adalah gerbang dimana dahulu kala dijaga 2 orang askar/prajurit bertombak. Apabila ada orang yang masuk, diperiksa
dengan suara menggelegar seperti petir/gledek.
Hal itulah yang menyebabkan nama pintu tersebut Gledegan.
Lalu, ada Taman Bunderan Dewan Daru dimana terdapat 8 buah
pohon Dewan Daru (sesuai dengan namanya).
Bentuknya bundar yang berarti sepakat.
Dewan berarti makhluk halus, lalu daru berarti cahaya. Semuanya itu berdefinisi (jika digabung satu
kalimat) orang yang menerangi sesama mereka yang masih hidup dalam rasa
kegelapan. DI taman ini terdapat nandi
(patung lembu kecil) sebagai lambang kepercayaan hindu, pohon soka lambang
hidup bersuka hati, patung 2 ekor macan putih sbg lambang padjajaran, meja dan
bangku batu, 2 buah meriam persembahan yang bernama Ki Santoma dan Nyi
Santomi.
Selanjutnya, ada juga Jinem Pangrawit yang digunakan untuk
tempat Pangeran Patih atau wakil Sultan menerima tamu-tamu penting (lantai
sudah direnovasi tahun 96). Selanjutnya
ada ruangan yang disebut Gajah Nguling.
Maksudnya, bentuk ruangannya tidak boleh lurus. Menurut ilmu fengshui, hal itu bertujuan agar
tidak boleh boros dan harus irit.
Tempat ini sebagai penghubung antara Jinem Pangrawit dengan
Bangsal. Disini ada foto, Parabu
Siliwangi yang dilukis oleh orang Garut bernama Pak Ridho , serta foto lainnya
seperti peta dan gambar terdahulu Keraton Kasepuhan. Khusus foto Prabu Siliwangi, apabila kita
melihat dari tengah maka terlihat gendut atau tidak cocok sebagai figur
raja. Namun, apabila dari samping maka
akan terlihat kurus dan layak sebagai kstaria.
Entah itu teknik foto atau bukan, kenyataan yang saya lihat adalah
demikian.
Nah, ada 3 ruangan yang dianggap cukup penting oleh
penduduk setempat. Itu adalah, Bangsal Pringgandani, Bangsal
Prabayaksa, serta Bangsal Agung. Bangsal
Pringgandani dipakai sidang para Warga Keraton.
Lalu, Bangsal Prabayaksa. Praba
berarti sayap, lalu Yaksa berarti besar.
Maksudnya, sultan melindungi rakyat dengan kedua tangannya yang besar
seperti induk ayam melindungi anaknya dengan kedua sayap. Ruangan ini berfungsi sebagai tempat sidang
para Menteri Negara Keraton Kasepuhan.
Disini terdapat meja/ kursi bercat kuning gading, lamu kristal dari
Prancis dan lampu storlop prasman dari VOC, tegel coklat yang mengandung
ceritera Injil, juga piring keramik dari Cina dinasti Han Boe Tjie 1424. Terakhir
adalah Bangsal Agung yang berfungsi untuk tempat Singgasana Gusti
Panembahan. Didalamnya terdapat kursi
singgasana dengan mejanya berkaki gambar ular yang melambangkan: dahulu ucapan
raja adalah hukum. Dibelakangnya,
terdapat tempat tidur yang disebut Ranjang Kencana untuk istirahat siang. Bangsal ini lebih banyak digunakn untuk
sesaji Panjang Jimat yang dikerjakan oleh Kaum Masjid Agung dan disaksikan oleh
Sultan, Raden Ayu dan kerabat keraton.
Didepan Jinem Pangrawit sendiri, ada tempat parkir
kendaraan sultan. Tempat itu bernama Kuncung
Poni. Kendaraan itu bukanlah mobil
melainkan Kereta Kencana Singa Barong.
Ada tiga lambang di kereta itu yang disebut Trisula. Pertama sayap, yang berarti bahwa kereta itu
bersahabat dengan Mesir yang agama Islam.
Lalu, belalai yang menandakan bahwa kereta itu bersahabat dengan India
yang beragama Hindu. Terakhir, ada
tanduk yang menandakan bahwa kereta itu bersahabat dengan agama Buddha. Kereta ini ditariknya bukan dengan kuda
melainkan dengan kerbau putih.
“Shock breakernya terbuat dari kulit kebo. Kalau jalan empuk,” ujar pemandu.
Selain itu, warisan budaya lain yang ada di keraton ini
adalah batik. Batik Cirebon yang khas
adalah batik mega mendung. Batik ini
sudah menjadi turun-temurun di kawasan tersebut. Kita bisa lihat ada ukiran batik mega mendung
di pintu gerbang Kutagara Wadasan.
Masyarakat asli sana ada 3 yaitu jawa, arab serta
cina. Tidak perlu kaget dengan hal
itu. Dari namanya saja Cirebon berarti
caruban. Caruban adalah campuran. Toleransi masyarakat sana cukup tinggi
sehingga jarang sekali terjadi diskriminasi.
“Sebelum abad 15, chinese sudah datang. Dibawa oleh laksamana Cheng Ho,” ujar Bpk
Thamlin.
Ada juga porcelain-porcelain yang berasal dari Belanda yang
mengisahkan para nabi. Warna biru disana
mengisahkan tentang Belanda yang identik dengan bendungannya. Kebanyakan porcelain itu bercerita tentang
perjanjian lama seperti kisah Nuh, Musa, serta Adam.
Sebelum menyudahi tidak ada salahnya saya menyajikan
makanan terakhir khas Cirebon yang saya cicipi.
Nasi Lengko. Beberapa teman saya
seringkali menyebutnya latah dengan Lekong.
Namun, itu tidak mengurangi kenikmatannya. Meskipun hanya terdiri dari sate, tahu, temp
dan nasi , rasa lapar dan puas tetap tertuntaskan.
Pada dasarnya masih banyak obyek serta elemen yang bisa
digali. Simbol non verbal serta elemen
sudah sangat terlihat saat kita masuk ke keraton ini. Apa yang kurang ? Waktu, dana, bahkan space
tulisan ini pun membatasi. Sampailah
kita pada perpisahan. Mari kita
lestarikan budaya yang ada secara turun temurun. Bukan hanya untuk Cirebon, tapi juga untuk
Indonesia. Salam.
https://www.facebook.com/Kraton-Jogja-407135259490406/
ReplyDeleteKaraton Ngayogyakarta Hadiningrat