Nama : Jonathan Emmanuel
NIM : 11140110143
Kelas : E1
Kampung budaya Sindangbarang
menjadi target lokasi observasi saya. Kampung Sindangbarang terletak di kota
bogor, tepatnya di desa Pasir Eurih, kecamatan Taman Sari, Jawa barat. Kampung
budaya ini dibangun guna melestarikan budaya adat sunda di tengah arus globalisasi
yang cenderung mengancam budaya lokal.
Kampung Sindangbarang
menjadi kampung tertua di kabupaten Bogor dan berjarak 5 km dari pusat kota
Bogor. Adapun alasan mengapa Kampung Sindangbarang dibangun jauh dari
perkotaan, itu dikarenakan supaya orang-orang yang ingin berkunjung ke Kampung
Sindangbarang melalui perjalanan yang tidak mudah seperti pergi ke sebuah
tempat wisata lainnya dan agar lebih terasa suasana alam yang benar-benar asri
dan bersahabat. Di sanalah lahir budaya sunda yang hingga kini dipertahankan
oleh masyarakat adat. Di dalamnya terdapat bermacam-macam kesenian tradisional
yang dilestarikan oleh penduduknya. Kampung budaya sindangbarang juga memiliki
27 bangunan adat. Enam bangunan diantaranya adalah Leuit atau yang disebut
lumbung padi. Leuit dibangun berjejer menghadap lapangan rumput hijau yang
luas. Dilengkapi pula dengan petak-petak sawah yang menambah suasana
perkampungan adat sunda pada jaman dahulu. Beberapa peninggalan kerajaan
Pajajaran juga terdapat di sana, berupa bukit-bukit berundak.
Konon dikatakan
keberadaan Sindangbarnag sudah ada sejak jaman kerajaan Sunda sekitar abad XII.
Masih ada cerita rakyat (folklore) mengenai kerajaan Pajajaran yang diturunkan
dari generasi hingga ke generasi dan juga adanya naskah pantun Bogor yang
menjadi bukti keberadaan Sindangbarang. Melalui kampung budaya Sindang barang
inilah, para pelopor dari masyarakat adat berusaha mengembalikan suasana jaman
dahulu, dimana sindangbarang menjadi tempat peribadatan. Rumah-rumah adat juga
melengkapi keasrian kampung sindangbarang.
Sebagai kampung wisata
budaya, berbagai fasilitas dan serangkaian kegiatan pun disediakan bagi para
pengunjung. Fasilitas kamar tidur dalam bangunan adat sunda bogor dan kegiatan
dari menanam padi di sawah, memandikan kerbau, dan menumbuk padi , hingga
pengenalan tentang kesenian tradisional. Kesenian tradisional seperti alat
musik gamelan, tari sunda dan membatik.
Itulah sekilas gambaran
mengenai kampung budaya Sindang barang. Setelah menelusuri jalan kecil ,
sekitar 5 jam perjalanan saya pun sampai di desa Pasir Eurih. Suasana
perkampungan sangat kental di sana. Dapat saya nikmati pemandangan asri dengan
petak-petak sawah menambah suasana kampung yang berbeda dengan di kota. Untuk
mencapai pintu utama kampung, saya harus melewati jalanan berbatu yang menanjak
dikelilingi pohon-pohon besar yang rindang seperti sedang berada di pegunungan.
Saat saya datang ke
sana, bertepatan dengan sebuah kunjungan dari sekolah. Para murid TK dan SD itu
secara berdampingan mengikuti perjalanan wisata budaya di sindangbarang.
Tepatnya hari Senin, 24 Desember 2012.
Hamparan sawah dan
jejeran bangunan adat pertama kali memanjakan mata saya dan membawa saya akan
suasana kampung jaman dulu . tidak berapa lama, seorang berpakaian adat sunda menghampiri
saya dan memandu saya untuk mengenal lebih jauh tentang kampung wisata budaya
ini. Beliau bernama Ukat yang biasa dipanggil Abah Ukat. Ia menjelaskan bahwa
enam bangunan adat khas sunda bogor yang berjejer menghadap lapangan rumput
yang luas, disebut Leuit (lumbung padi). Leuit digunakan untuk menyimpan hasil
panen padi yang akan digunakan untuk dikonsumsi maupun sebagai persembahan saat
upacara Seren Taun.
Para kokolot (pengurus) dan
karyawan kampung adat berkomunikasi menggunakan bahasa sehari-hari mereka,
yakni bahasa sunda. Bahasa sunda yang mempersatukan mereka dan membentuk
identitas mereka sebagai warga sunda bogor. Menurut Samovar, dalam buku yang
berjudul “Komunikasi Lintas Budaya”, “Bahasa mengizinkan orang-orang membentuk
kelompok dan terlibat dalam usaha yang kooperatif baik dalam skala besar maupun
kecil.
Kosakata yang digunakan
bersama memungkinkan untuk merekam dan memelihara kejadian masa lalu, sekalipun
hanya dengan interpretasi selektif. Rekaman ini menjadi catatan sejarah suatu
komunitas yang disampaikan ke generasi berikutnya, menjadi faktor penyatu.
Kebaikan dari generasi sebelumnya menjadi cara penting untuk menyosialisasikan
dan mengajarkan budaya pada anak-anak mengenai nilai dan perilaku normatif yang
tetap dipertahankan. Dengan kata lain, bahasa menolong kita mempertahankan
catatan sejarah yang mempersatukan kita. Sayangnya, persekutuan yang dibentuk
dari bahasa dapat menjadi faktor pemecah ketika manusia mulai mengidentifikasi
bahasa ibu mereka terlalu kuat dan merasa terancam oleh bahasa lain. Memelihara
hubungan sosial juga tergantung pada bahasa untuk lebih dari sekadar pesan
komunikasi. Misalnya, tipe bahasa yang digunakan untuk menyatakan keintiman,
penghargaan, persatuan, formalitas, jarak, dan kondisi lainnya yang dapat
menolong Anda untuk mempertahankan atau memutuskan hubungan Anda.”
Selama berada di Kampung
Sindangbarang, saya dapat mengetahui banyak kebiasaan mereka yang sudah jarang
saya temui di kota-kota besar. Misalnya, cara mereka makan nasi. Masyarakat adat
Sunda Wiwitan terbiasa makan dengan menggunakan tangan yang memiliki mitos
tersendiri. Setelah saya bertanya kepada salah satu pengurus di sana, ternyata
dahulu kala terdapat mitos kalau kelima jari yang terdapat pada tangan manusia
itu memiliki energi yang berbeda di tiap masing-masing jari. Lalu dia
memberikan ilustrasi kepada saya, kalau kita membeli lima bungkus nasi padang
dan mencelupkan kelima jari kita masing-masing kepada satu bungkus nasi padang
maka dalam beberapa hari kemudian kita akan melihat bungkus nasi padang mana
yang paling cepat membusuk. Dari sanalah mereka berpandangan bahwa, ketika kita
memakan nasi menggunakan tangan, maka makanan yang kita makan akan lebih mudah
dicerna oleh pencernaan karena proses pembusukan di dalam perut lebih cepat dan
tidak keras sehingga memudahkan kerja lambung pada saat proses pencernaan. Itu
adalah salah satu mitos yang saya dapatkan ketika sedang melihat mereka makan.
Saat sedang
berbincang-bincang dengan orang-orang sekitar sana, mereka percaya kalau keturunan
mereka yang terdahulu memiliki kepintaran yang tinggi tanpa dibantu oleh
teknologi sedikitpun. Contohnya adalah ketika mereka memberi tahu kepada saya
tentang proses pembangunan sebuah fondasi rumah. Sebelum membangun, ditanamkan
batu ke dalam tanah yang diberikan pasir sebelumnya di dalam sebuah lobang.
Kemudian pasir itu akan ditindih oleh batu yang besar. Walaupun dahulu belum
terdapat teori-teori tentang cara membangun rumah dengan baik dan benar, tetapi
dengan adanya pasir yang terletak di bawah batu tersebut maka jika terjadi
gempa atau goncangan dari alam, rumah tidak rubuh tetapi dapat bergoyang
mengikuti gempa tersebut yang dikarenakan adanya pasir yang membuat fondasi
dari rumah tersebut tidak kaku melainkan lentur.
Selain itu, penduduk
yang tinggal di sekitar kampong Sindang Barang juga bekerja di sawah sebagai
petani dan mengurus kebun. Ada juga yang bekerja sebagai pengrajin sandal dan
batik. Batik tersebut dijual dengan harga yang berkisar antara Rp 100.000,00
sampai dengan Rp 150.000,00. Di sisi lain, anak-anak kecil di sana terutama
wanita sudah diajarkan bagaimana cara membuat batik yang baik dan benar,
sehingga anak-anak kecil di sana sudah ditanamkan budaya-budaya Indonesia agar
kedepannya mereka dapat membawa nama baik Indonesia dikancah Internasional agar
dunia mengenal bahwa Indonesia bukanlah Negara yang hanya bisa korupsi tetapi
juga mempunyai hasil karya yang tidak dimiliki oleh Negara manapun.
Hal lain yang saya dapat dari pengalaman saya berada di
kampung Sindang Barang ialah bagaimana masyarakat Sindang Barang sangat kental
berbahasa sunda. Masyarakat adat yang mengabdikan hidup mereka dalam
melestarikan kampung budaya Sindang Barang, senantiasa memakai
pakaian khas sunda dengan logat sunda mereka yang “ceplas ceplos”. Saya tak sengaja mendengar
percakapan ala sunda mereka saat saya berada di sana. Tentu karena saya bukan
orang sunda jadi tidak mengerti arti ucapan mereka.
Saat saya berbincang dengan salah satu tetua adat di sana
juga demikian halnya. Pak Ukad namanya. Beliau memakai pakaian khas sunda dan
berbicara bahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan saya. Tentu saja logat
kesundaannya sangat terasa di telinga saya. Hal tersebut sesuai dengan apa yang
ditulis Samovar dalam bukunya yang berjudul “Komunikasi Lintas Budaya” ,mengenai “membentuk
dan menetapkan identitas budaya”. dikatakan
bahwa identitas setiap pribadi manusia dapat terbentuk
melalui berbagai kegiatan dalam kehidupan. Kegiatan yang dilakukan
terus-menerus dan berulang-ulang akan menjadi identitas budaya hidup seseorang. Komunikasi juga merupakan
bagian terpenting dalam pembentukan identitas budaya. Melalui interaksi dalam
lingkungan keluargalah kita membentuk identitas budaya kita, karena keluarga
adalah lingkungan terdekat setelah kita lahir. Dalam keluarga kita ditanamkan
oleh budi pekerti, budaya leluhur, serta kepercayaan yang akan menyatu dengan
diri kita hingga kita dewasa. Sehingga, identitas budaya seseorang dapat
dilihat secara jelas melalui berbagai cara. Misalnya, dari cara berpakaian,
bahasa yang digunakan, logat berbicara, penampilan fisik, perayaan, dan
berbagai cara lainnya.
Berbicara mengenai
perayaan. Ada sebuah ritual adat dalam kebudayaan Sunda Bogor yang dilestarikan
secara turun temurun oleh penduduk desa Pasir Eurih, yakni upacara SerenTaun. Upacara adat Seren Taun dilakukan setahun
sekali pada bulan Muharam, sebagai bentuk ucapan syukur para masyarakat adat
akan hasil panen atau hasil bumi yang didapat. Ritual itu ditandai dengan
adanya persembahan sesajen berupa hasil-hasil panen mereka. Yang menarik
dari upacara adaat Seren Taun ialah
upacara ini tidak bersifat tertutup. Siapa saja yang ingin mengikuti dan
menghadirinya dipersilahkan, tanpa memandang dari agama mana, suku mana, daerah
mana. Rasa kebersamaan sangat dapat dirasakan saat upacara berlangsung. Tak
ketinggalan, berbagai kesenian tradisional khas sunda juga melengkapi
kekhusyukan upacara.
Kebiasaan masyarakat
Sindang Barang diwariskan turun temurun. Ketua kampung budaya Sindang Barang
yang bernama Pak Maki juga memiliki kedudukan yang merupakan warisan dari ayahnya.
Begitu pula dengan tetua adat di bawahnya, akan mewariskan pengetahuan adat dan
kedudukannya ke anaknya atau sanak saudaranya. Upacara Seren Taun juga
merupakan upacara tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi hingga kini
tetap dilaksanakan masyarakat Sindang Barang. Hal ini sesuai dengan teori dalam
buku “Komunikasi Lintas Budaya”, dimana dikatakan bahwa budaya itu diturunkan
dari generasi ke generasi. Suatu budaya tentu ingin dipertahankan oleh
pemilik budaya tesebut. Dengan mempertahankan budaya, budaya tersebut otomatis
harus dibagikan dan tidak hanya sebatas dibagikan, tetapi juga dipastikan
pesan-pesan dan elemen penting yang terkandung dalam budaya tersebut dapat
diturunkan pada generasi yang akan datang. Dengan demikian, masa lalu akan
terus berlanjut di masa kini.
Samovar mengatakan bahwa budaya merupakan
pewarisan sosial yang mengandung pandangan yang sudah dikembangkan jauh sebelum
kita lahir. Sebelum adanya kehidupan baru, pasti ada sejarah yang membentuk
atau melatar belakangi adanya kehidupan tersebut. Ikatan generasi menyatakan
hubungan yang jelas antara budaya dan komunikasi. Dengan adanya komunikasi,
maka budaya dapat berkelanjutan. Suatu kebiasaan, prinsip, nilai, maupun
tingkah laku, serta elemen-elemen budaya lainnya diformulasikan, kemudian
dikomunikasikan kepada anggota lainnya hingga ke generasi selanjutnya, sehingga
suatu kebudayaan tidak akan pernah mati. Untuk itulah masyarakat Sindang Barang
masih mempertahankan ritual Seren Taun hingga kini sehingga kebudayaan Sunda
Wiwitan tidak akan pernah mati. Hal ini juga yang menjadi tujuan terbentuknya
kampung budaya Sindang Barang, demi melestarikan budaya yang sudah ada hingga
mengenalkannya pada dunia.
Disisi lain, kita juga
dapat melihat bahwa masyarakat Indonesia semakin mengenal adanya keberadaan
Kampung Budaya Sindang Barang itu sendiri yang mengakibatkan masyarakat luas
sudah mengenal atau setidaknya mengetahui sedikit tentang budaya yang terdapat
di Sindang Barang tersebut, karena bagaimanapun kita juga sebagai masyarakat
Indonesia sudah semakin melupakan budaya-budaya di Indonesia. Oleh sebab itulah
Sindang Barang juga akan selalu diturunkan kepada keturunan selanjutnya agar
tidak hanyut diterpa oleh badai budaya barat atau Negara-negara Asia lainnya.
Tidak hanya budaya yang
masih kental dan sangat melekat pada setiap masyarakat Sindang Barang tetapi di
Sindang barang tersebut juga kita dapat menemui berbagai permainan tradisional
yang sangat menarik dan membuat saya ingin mencobanya. Salah satu permainan
tersebut adalah enggrang. Enggrang terbuat dari dua buah bambu dan sedikit
potongan kayu sebagai injakan pada saat menaiki dan memainkan enggrang
tersebut. Dengan sigap saya mencoba permainan tersebut, karena dulu pada saat saya
merayakan 17 Agustus, di sekolah saya terdapat permainan enggrang tersebut
sehingga membuat saya sedikit “flashback” saat melihat permainan tradisional
tersebut. Menurut saya ada baiknya jika seluruh sekolah di Indonesia menanamkan
pelajaran tentang budaya yang ada di Indonesia, tetapi bukan hanya budaya
tetapi alat musik dan permainan juga penting untuk dikenalkan pada anak-anak
yang sedang duduk dibangku sekolah agar nantinya mereka dapat mengerti bahwa
Indonesia mempunyai keanekaragaman yang banyak bukan hanya dari suku, ras atau
budaya tetapi juga berasal dari alat musik dan permainan tradisional.
Setelah saya selesai
bermain enggrang, saya pun melihat-lihat ada permainan apa saja di kampuung
tersebut. Ternyata ada kumpulan anak-anak SD yang sedang berkunjung ke sana
juga sedang bermain bakiak. Itu juga salah satu permainan tradisional yang
terdapat di Indonesia. Bakiak terbuat dari kayu yang dibentuk seperti sandal
panjang yang menyerupai papan. Permainan tersebut sangatlah berguna untuk dikenalkan
pada anak-anak bangsa Indonesia. Bukan hanya dari segi permainan yang seru
tetapi juga ada makna dibalik permainan bakiak tersebut, dimana kita harus
bekerja sama menyamakan langkah kaki agar dapat mencapai garis finish dengan
cepat. Dari sana kita dapat belajar bahwa kita harus dapat hidup saling
membantu satu sama lain bukan saling menjatuhkan agar kita dapat menjadi orang
yang berguna bagi sekitar kita dan mempunyai banyak teman yang nantinya akan
membantu kita di masa yang akan datang.
Dari observasi ke
Kampung Budaya Sindang Barang, saya dapat melihat betapa banyaknya budaya yang
terdapat di Indonesia yang jarang diketahui oleh masyarakat Indonesia. Semoga
dengan hasil observasi saya ini dapat menginspirasi pembaca agar lebih
mencintai budaya kita sendiri yaitu budaya Indonesia !!!
Thanks for watching and reading :)
Jesus Bless You
No comments:
Post a Comment