Nama : Serenata Rosalia Leony Marie Jose
Kelas : E1
Bila
ku mati...
Kau
juga mati...
Walau
tak ada cinta...
Sehidup
semati...
Mendengar lirik lagu di
atas, kita pasti sudah tahu siapa objek yang dituju lagu tersebut. Ya, waria.
Lagu ini dibawakan Naif, salah satu band yang terkenal di era 1998. Dalam video
klipnya, Naif menunjukkan kegiatan sehari-hari seorang waria yang diperankan
oleh alamarhum Avi.
Menjadi seorang waria
tentulah bukan keputusan yang mudah untuk dilakukan. Perlu keberanian dan
kepercayaan diri yang tinggi untuk mengakui bahwa ada sesuatu yang salah dalam
diri. Tanpa adanya keberanian dalam mengekspos jati diri, maka seorang waria
akan terkurung dan tertekan selama masa hidupnya karena merasa ia terjebak di
tubuh yang salah.
Hal ini tentu
berhubungan dengan identitas pribadi, seperti yang sudah diajarkan dalam
Komunikasi Antar Budaya di mana identitas pribadi ini memiliki karakteristik
yang membuat seseorang merasa berbeda dari orang lain di sekitarnya,
karakteristik yang membuatnya merasa unik dan bagaimana dia memandang dirinya
sendiri. Identitas pribadi ini juga tentu dibentuk oleh lingkungan dan budaya
sekitarnya.
Pada dasarnya waria pasti
menyukai lelaki atau sesama jenis. Melalui perubahan statusnya inilah para
waria mencari nafkah. Ya, sama seperti PSK, mereka juga “melayani” laki-laki.
Para waria ini biasanya berkumpul di satu tempat dan tempat yang paling
terkenal bagi perkumpulan para waria di Jakarta adalah Taman Lawang, Menteng,
Jakarta Pusat dan sudah menjadi rahasia umum bahwa jika malam hari tempat ini
menjadi “pangkalan” waria-waria. Sementara siang hari, taman ini hanyalah
merupakan taman biasa di mana para pedagang kaki lima penjual makanan
berkumpul. Di depan taman itu sendiri, sepanjang jalan diisi dengan kios-kios
yang menjual ikan-ikan hias.
Taman Lawang di siang hari, banyak pedagang kaki lima berjualan.
Taman Lawang di malam hari.
Ketika mendapatkan
tugas akhir untuk meliput suatu komunitas yang unik dan memiliki ciri khas,
saya berpikir keras, komunitas apa yang layak untuk diliput dan bukan hal yang
biasa. Maka, saya dan dua teman saya terpikirkan komunitas waria Taman Lawang.
(Untuk mempermudah tugas ini, dosen kami, Pak Inco, memperbolehkan kami
melakukan observasi secara bersamaan (beberapa orang) tetapi dengan sudut
pandang atau hasil yang berbeda.)
Meliput waria bukanlah
hal mudah untuk dilakukan. Walau tiba di sana sore hari, tetap harus menunggu
hingga jam 22.00 karena waria-waria baru keluar pada pukul itu. Setelah
perjuangan selama berjam-jam menunggu di dalam mobil, akhirnya pada pukul 00.00
ada waria juga yang bersedia diwawancara, Tante Ajeng.
Hari pertama datang,
saya hanya berbincang-bincang dengan Tante Ajeng untuk meminta persetujuannya
diwawancara dan bernegosiasi pembayarannya. Dalam negosiasi ini, saya dibantu
oleh “keamanan” setempat yang bernama Bang Opay.
Bang Opay sendiri
menjanjikan saya dan dua teman saya akan melancarkan segalanya dengan Tante Ajeng
jika kami membayar Rp300.000 saat itu juga. Uang itu akan diberikan kepada Tante
Ajeng dan selanjutnya saya hanya tinggal datang ke kos Tante Ajeng untuk
melakukan observasi.
Gang kecil menuju kos-kosan Tante Ajeng
Dari kos-kosan Tante Ajeng terlihat Gedung Bank Mandiri, Jakarta Pusat.
Tante Ajeng sendiri
bersedia diobservasi keesokan harinya, dengan catatan Bang Opay harus menemui
Bundanya terlebih dahulu. Bunda adalah sebutan bagi Ibu kos Tante Ajeng dan
Bunda Joice sendiri adalah ketua waria untuk wilayah Jakarta Pusat. Dini hari
itu, Bang Opay berjanji akan menemui Bunda secara pribadi untuk meminta izin
bagi saya dan dua teman saya sehingga esok harinya saya hanya cukup langsung
datang ke kosan Tante Ajeng. Saya pun sampai di Serpong, kosan saya, pukul
01.30.
Keesokan harinya, tepat
malam Minggu, saya dan dua teman saya kembali datang dan tiba di Taman Lawang
sore hari, sekitar pukul 16.00. Sesampainya di sana, saya segera mengirimi Bang
Opay pesan singkat, memberitahu dia bahwa saya dan dua teman saya sudah sampai
di Taman Lawang dan siap untuk segera dibawa ke kos Tante Ajeng. Namun, apa
daya, Bang Opay seperti hendak menipu saya. Dia membalas pesan singkat saya
dengan meminta maaf tidak bisa menemani karena istrinya pendarahan dan masuk
rumah sakit.
Saya dan dua teman saya
pun berinisiatif untuk mendatangi kios ikannya karena kemarin dia mengatakan
bahwa dia memiliki kios ikan di depan Taman Lawang itu. Orang-orang di kios pun
tidak tahu ke mana perginya Bang Opay. Namun, untungnya dia masih berniat
memberikan alamat kos Tante Ajeng dan menunjukkan arah jalannya menuju kos Tante Ajeng.
Berlandaskan petunjuk
melalui pesan singkatnya, saya segera mendatangi alamat tersebut dan untungnya
lagi alamat tersebut tidak palsu. Kos Tante Ajeng berada di gang kecil dan
sempit, tanpa halaman depan dan lantainya hanya beralaskan kayu papan saja. Kosan
ini semua kamarnya diisi oleh waria. Di sinilah, saya dan dua teman saya baru
bertemu Bunda.
Keanehan baru saja
terbaca di sini. Ternyata, Bang Opay sama sekali belum menemui Bunda untuk
meminta izin bagi kedatangan saya dan dua teman saya. Bunda terlihat bingung ketika
melihat saya dan dua teman saya datang sambil membawa kamera.
Untungnya, Bunda welcome dan bersikap ramah terhadap
kedatangan saya. Setelah menyampaikan maksud kedatangan, Bunda meminta salah
satu anak kos untuk memanggil Tante Ajeng. Tante Ajeng pun turun hanya dengan
mengenakan kain yang membalut tubuhnya sampai batas bahu dengan jaket hitam.
Wajahnya masih terlihat amat laki-laki karena belum make up sama sekali.
Tante Ajeng sebelum make up.
Di sini bisa terlihat
jelas bahwa Bunda dan para waria lainnya berusaha mengekspresikan dirinya
melalui komunikasi nonverbal yang ditunjukkan dengan pakaian-pakaian yang
mereka kenakan. Bunda sendiri hanya memakai daster dan salah satu anak kos yang
disuruh Bunda tadi memiliki rambut yang amat panjang, memakai pakaian wanita
yang ketat dan celana panjang, kukunya pun dipanjangi dan dicat.
Ternyata, saya dan dua
teman saya ditipu oleh Bang Opay. Tante Ajeng mengatakan bahwa Bang Opay hanya
memberikannya Rp100.000 kemarin malam. Kemanakah Rp200.000 lainnya? Saya
benar-benar geram mengingat Bang Opay yang sudah berani menipu. Tante Ajeng
sendiri tidak mau diobservasi jika hanya dibayar Rp100.000. Ia meminta
Rp400.000 lagi supaya bisa dibagi dua untuk dia dan Bunda. Saya dan dua teman
saya tentu saja keberatan dengan permintaan Tante Ajeng ini karena itu sudah
melewati budget.
Di sini, waria yang
berambut panjang tadi akhirnya menjadi penengah. Dia menyarankan agar saya dan
dua teman saya mengeluarkan Rp200.000 lagi, Rp100.000 untuk Tante Ajeng dan
Rp100.000 untuk Bunda. Bunda sendiri tidak keberatan asalkan Tante Ajengnya
bersedia untuk diwawancara.
Akhirnya, setelah
perdebatan yang cukup alot, Tante Ajeng menyetujui juga untuk membantu saya dan
dua teman saya. Observasi pun mulai dilakukan. Saya diajak naik ke atas, ke
kamar Tante Ajeng. Ada empat kamar di atas, salah satu kamar sedang diisi canda
tawa dua orang waria yang sedang menonton TV sementara di ujung satunya lagi
ada dua orang waria yang tengah saling membantu dalam berdandan.
Dalam gedung ini
terdapat delapan kamar dan satu kamar bertarif Rp400.000 per bulannya.
Fasilitasnya terbatas, hanya sebatas kamar mandi luar sementara barang-barang
lain seperti kasur, lemari, meja rias, kipas angin, TV, dan lain-lain harus
dibeli sendiri.
Berdasarkan pengamatan
saya, di kosan itu budaya kolektivis terlihat jelas. Waria-waria di kosan ini
tidak mencari nafkah secara individu melainkan secara kolektivis. Salah satu
waria yang sedang berdandan itu tengah menyambung rambut atau extension dan hal itu dilakukan oleh
temannya yang satu lagi.
Budaya kolektivisnya terlihat kental, saling membantu satu sama lain.
Saya dan dua teman saya
disuruh menunggu terlebih dahulu karena Tante Ajeng ingin mandi. Selesai mandi,
barulah wawancara dengan Tante Ajeng pun dimulai. Nama asli Tante Ajeng sendiri
adalah Irwansyah dan dia sendiri berasal dari Medan. Sudah tujuh tahun dia menjadi
waria di Taman Lawang. Perasaan berbeda dia rasakan semenjak umur enam tahun.
Ketika diwawancara, Tante Ajeng atau Irwansyah mengaku bahwa tidak ada faktor
lingkungan yang memengaruhinya karena dia sendiri anak pertama dari empat
bersaudara dan kedua orang tuanya pun tidak pernah mengajarinya hal-hal yang berbau
perempuan.
Tante Ajeng mengaku hal
yang membuat dia memutuskan untuk pindah ke Jakarta adalah karena dia merasa
terkekang dalam keluarga, dia merasa tidak bisa mengekspresikan jati dirinya
sehingga dia memilih untuk pindah ke Jakarta.
Dari cerita Tante Ajeng
ini bisa kita lihat betapa pentingnya peranan keluarga dalam membentuk jati
diri. Keluarga merupakan unit paling mendasar dan merupakan lingkungan pertama
di mana seseorang belajar untuk hidup dan mengajarkan nilai-nilai. Seperti yang
dikatakan oleh Swerdlow, Bridenthal, Kelly, dan Vine: “Di sinilah tempat
seseorang untuk pertama kalinya merasakan cinta, dan kebencian, pemberian, dan
penyangkalan; dan kesedihan mendalam. Di sinilah harapan untuk pertama kalinya
muncul dan bertemu atau kekecewaan terjadi. Di sinilah tempat seseorang belajar
siapa yang harus dipercaya dan ditakuti. Di atas semuanya itu, keluarga
merupakan tempat orang-orang memulai kehidupan mereka.”
Dalam keluarga, Tante Ajeng
tentunya mengalami penyangkalan atas jati dirinya. Setelah itu, dia pasti
mengalami kekecewaan dan kesedihan mendalam karena penyangkalan yang dilakukan
keluarganya ini. Pengertian keluarga amat dibutuhkan untuk setiap manusia.
Tanpa adanya pengertian dan dukungan yang berarti dari keluarga, maka semuanya
akan terlihat sia-sia walau jika Tante Ajeng sudah mendapatkan dukungan dari
teman-temannya, karena setelah semuanya, keluargalah yang paling penting.
Dalam melakukan
pekerjaannya, komunikasi verbal dan nonverbal pun digunakan oleh Tante Ajeng.
Untuk menarik pelanggan, dia memoles diri secantik mungkin agar pelanggan
terpikat dan mau “menyewa”-nya. Sementara dalam komunikasi verbal, Tante Ajeng
mengaku harus menggunakan kata-kata atau rayuan-rayuan juga agar ada orang yang
mau “menyewa.” Ketika observasi, komunikasi verbal yang saya lihat secara
langsung adalah dengan mengucapkan, “Hai, Sayang, mau ke mana?” atau “Sayang,
sini dong!”
Kecakapannya dalam memoles
diri dia pelajari dengan cara otodidak dan melalui LSM-LSM yang ada dalam
komunitas waria se-Jakarta, seperti LSM Srikandi yang dibagi dalam beberapa
wilayah dan memiliki unit tertentu lagi khusus untuk waria, yaitu Sanggar
Waria. Dalam lembaga itu, diajarkan cara-cara berdandan dan juga setiap dua bulan
sekali diadakan cek psikis dan HIV, serta seminar tentang bahaya HIV dan cara
menghindarinya.
Untuk tarifnya sendiri,
tergantung dari tempat dia dan pelanggannya “bermain.” Paling murah Rp50.000
jika bermainnya di Taman Lawang. Sementara tarif paling tinggi
Rp200.000-Rp300.000. Kendaraan pribadi yang dibawa oleh pelanggan sendiri juga
akan mempengaruhi tarif yang diberikan Tante Ajeng. Pendapatan yang biasa
didapat Tante Ajeng per hari biasanya berkisar antara Rp300.000 hingga
Rp500.000.
Menurut pengalaman
Tante Ajeng, terkadang ada saja orang iseng yang menganggu waria di sekitar
Taman Lawang. Namun, jika salah satu waria digoda atau diejek oleh orang, maka
teman-teman waria lainnya tidak akan tinggal diam. Mereka pasti akan membela
satu sama lain. Hal ini dikarenakan adanya perasaan persamaan nasib dan
kekeluargaan yang tumbuh di antara mereka. Mereka mengalami keganjilan yang
sama terhadap diri sendiri dan bisa saling berbagi satu sama lain sehingga
mereka juga saling memiliki perasaan yang sama terhadap apa yang dihadapi.
Beralih kepada kegiatan
sehari-hari Tante Ajeng, biasanya Tante Ajeng “keluar” pukul 22.00 sampai 05.00
sehingga siang hari pekerjaannya hanya tidur dan bermain di kosan saja bersama
waria lainnya. Pembicaraan yang dilakukan antar waria juga memiliki argot yang
biasanya tidak diketahui artinya oleh semua orang. Contohnya, aku disebut
dengan akikah. Ratus disebut dengan retong (dua ratus ribu menjadi dua retong
ribu). Bahasa slank juga tak kalah ketinggalan di kalangan waria, misalnya penambahan
kata “bo” atau “say” atau “cin” di setiap akhir kalimat yang diucapkannya.
Suasana salah satu kamar kos waria yang dijadikan tempat ngumpul.
Waria-waria di Taman
Lawang sendiri sikap dan perilakunya dibedakan dari wilayahnya. Untuk wilayah
“depan”, yang dekat jalan raya, waria-waria yang ada di sana berasal dari
Palembang dan menurut warga sekitar cenderung kasar dan galak. Sementara
waria-waria yang “mangkal” di belakang, seperti Tante Ajeng, kebanyakan berasal
dari Bandung sehingga cenderung lebih halus walaupun Tante Ajeng sendiri
berasal dari Medan. Sementara untuk bagian yang di dekat jalan layang, sudah
merupakan waria yang bertarif bule atau menggunakan dolar. Jika bukan bule yang
berhenti untuk “menyewa”-nya, waria tersebut tidak akan mau.
Ketika wawancara di
awal dengan Bang Opay, dia mengatakan bahwa banyak bule, pejabat, bahkan artis
seperti Olga Syahputra yang sering main ke Taman Lawang. Sebelum datang ke
Taman Lawang secara langsung, sering saya dengar cerita-cerita dari teman atau
bahkan berita-berita di internet yang mengatakan bahwa waria Taman Lawang
selalu jahat dan pasti akan menjadi sensitif dan galak jika ada perempuan yang
datang. Perempuan yang datang akan dianggap mengambil “lapak” mereka untuk
menggaet lelaki.
Namun, setelah datang
mengobservasi langsung seperti apa lingkungannya, bertemu dengan Bunda, Tante
Ajeng, dan waria lainnya di kosan Bunda, sepertinya cerita maupun berita di
atas hanya rekayasa belaka. Mereka sangat ramah dan sopan dalam menyambut saya
dan kedua teman saya yang notabene adalah perempuan tulen. Tidak seperti yang saya
bayangkan sebelumnya bahwa saya akan dibenci dan tidak diterima untuk datang
mewawancara ke sana.
Hal ini berhubungan
juga dengan streotip, yaitu bagaimana kita menghadapi orang-orang tertentu yang
didasarkan pada pengalaman. Kita sebagai manusia pasti selalu dipengaruhi oleh
streotip yang nantinya akan mengarahkan sikap kita dalam menghadapi lingkungan
sekitar. Untuk menghindari streotip ini, kita harus bisa bersikap terbuka
terhadap hal-hal dan informasi baru serta waspada terhadap zona tidak nyaman
yang kita miliki.
Menjadi seorang waria
adalah pilihan hidup seorang Irwansyah atau yang sekarang lebih dikenal dengan
nama Ajeng. Setiap orang mau untuk dihargai dan dianggap “ada” walaupun mereka
berbeda dari yang lain. Begitu pula dengan waria-waria yang ada di Taman Lawang
maupun yang berada di daerah lainnya. Mereka mau dihargai dan kita pun harus
menghargai orang lain untuk menyatakan bahwa kita baik-baik saja dalam
melakukan relasi antarbudaya. Seperti yang dinyatakan Burbulies, perilaku ini
merujuk pada “hukum timbal balik” di mana kita mengembangkan “perilaku saling
menghormati.” Dalam hal ini, kita harus bisa lepas dari budaya yang sudah
melekat pada diri kita dan menerima budaya baru yang rasanya amat lain dan
berbeda dengan budaya kita.
Tante Ajeng sudah
memilih jalan hidupnya untuk menjadi seorang waria dan tidak mau berubah
menjadi seorang pria lagi. Untuk keberaniannya ini, dia harus menerima tanggung
jawab yang akan dia hasilkan akibat pilihannya itu. Keputusannya pasti
mengalami pro dan kontra di masyarakat sekitar dan konsekuensi ini menurut
Dalai Lama berhubungan dengan “tanggung jawab universal kita.” Kita pun sebagai
masyarakat berperan besar untuk bisa saling menghargai perbedaan yang ada satu
sama lain dan memperbanyak informasi agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap
budaya yang ada. Tanpa adanya komunikasi antar budaya yang baik, kita tentu
tidak akan bisa saling menghormati perbedaan yang ada J
Tante Ajeng udah siap bekerja nih setelah diwawancara :D
Sebelum kerja tadi, foto dulu sama Tante Ajeng *saya yang pake kaos biru, Pak*. Makasih ya, Tan atas waktunya!
NB : Sorry for the bad quality of the video ya guys karena saya ngerekamnya pake camera digital dan fotonya juga hasil capture karena udah gak ada kepikiran untuk foto2 lagiii *grogi* :D But at least, semoga ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari video ini. Terima kasihhhh ^^
Terimakasih banyak udah sharing hasil penelitiannya, membantu sekali untuk saya yang lagi ngerjain tugas etnografi kebetulan ngangkat tema yang mirip, pertamanya saya bingung gimana mau wawancara mereka akhirnya jadi tahu pasaran mbayar berapa :) salam kenal ya
ReplyDeleteDi undang2 ada gan...
ReplyDeleteQuote:
UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (“UU Merek”) sendiri, hanya dikenal istilah barang palsu untuk menyebut barang-barang yang diproduksi dan/atau diperdagangkan dengan menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain.
an sanksi bagi pembuat dan penjual produk palsu.
wah,
termasuk yg di taman lawang dong.....
◦нê◦нë◦нê◦нë◦нê◦°◦
jadi tau budget nya nih, wah terimakasih yaa info dr pengalamannya sangat membantu. klo budget nya segitu mah lebih baik buat tugas akhir dan kelompok :D
ReplyDeletekerenn banget artikelnya, inspiratif sekali...
ReplyDeleteJual Pro Extender Di Medan
ReplyDeleteJual Maxman Obat Kuat Di Medan
Jual Cialis 80mg Di Medan
Jual Selaput Dara Buatan Di Medan
Jual Obat Penghilang Tatto Di Medan
Jual Minyak Pembesar Penis Di Medan
Jual Vakum Pembesar Payudara Di Medan
Jual Perangsang Wanita Di Medan
Jual Potenzol Cair Di Medan
Jual Opium Spray Di Medan