Pages

Thursday, January 10, 2013

Nama : Sinta Andreyani
NIM : 11140110234
Kelas : G1


Berbagi pengalaman di Kampung Sindang Barang


Kampung Budaya Sindang Barang, ada yang pernah mendengar tempat ini? Jujur saja, saya sebelumnya juga tidak tahu tempat ini sebelumnya. Dari rekomendasi seorang teman, saya pun mencoba pergi ke tempat ini yang terletak di Kota Bogor. Kampung Budaya Sindang Barang terletak di kampung Sindang Barang, desa Pasir Eurih, kecamatan Tamansari, kabupaten Bogor – Jawa Barat.
Seperti yang tertulis dalam buku Komunikasi Lintas Budaya Communication Between Cutures oleh Larry A.Samovar dkk, bahwa dalam suatu budaya memiliki beberapa elemen penting salah satunya sejarah. Sejarah menyoroti asal suatu budaya, “memberitahukan” anggotanya apa yang dianggap penting, dan mengidentifikasi prestasi suatu budaya yang pantas untuk dibanggakan. Kampung Budaya Sindang Barang juga memiliki sejarah yang mereka anggap penting dan patut untuk dilestarikan terus dari generasi ke generasi lainnya.

Abah Ukad yang menjadi narasumber saya pun bercerita panjang lebar dengan logat Sunda yang khas mengenai asal mula Kampung Budaya Sindang Barang ini. Beliau yang sejak 2003 aktif dalam budaya pastinya paham betul mengenai sejarah terbentuknya Kampung Budaya ini. Berdasarkan dari Naskah Kuno Pantun Bogor, Kampung Sindang Barang ini memiliki kaitan yang erat dengan Kerajaan Pajajaran. Konon katanya, salah satu perempuan dari Kampung Sindang Barang yang bernama Klenting Manik Mayang Sunda diperistri oleh pemuda Pajajaran sehingga turunan dari Klenting Manik Mayang Sunda pun meneruskan budaya mereka agar tidak pudar. Sindang Barang  merupakan punden berundak- undak, yakni bukit berundak yang dindingnya terbuat dari batu. Punden berundak merupakan  tempat beribadah orang – orang  Kerajaan Sunda jaman dulu, yakni tempat beribadahnya keluarga Kota Pakuan sekitar tahun 1175-1579. Upacara Seren Taun merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi tradisi turun temurun dari Kampung Sindang Barang ini. Apakah kalian tahu apa itu upacara Seren Taun??? Iya benar sekali, upacara ini merupakan upacara untuk memperingati panen yang diadakan setiap setahun sekali.




Kampung Budaya yang saya lihat ini ternyata bukan didirikan pada zaman dahulu loh, teman-teman . Bangunan yang saya lihat ini, ternyata sudah direvitalisasi dan dikonstruksi ulang sejak tahun 2006. Awalnya, Abah Ukad ingin membudidayakan kampung mereka yang terletak di desa Pasar Eurih. Maka terlintas dari benak Abah Ukad bersama dengan rekannya, Abah Maki, untuk meneruskan budaya Kampung Adat Sindang Barang yang merupakan Kampung Adat Sunda. Mereka mencoba menyatukan warga-warga di sekitar desa ini untuk berpartisipasi dalam kegiatan Kampung Budaya ini dan di luar dugaan masyarakat desa pun sangat tertarik. Saat mengadakan Upacara Seren Taun pada akhir 2006, Gubernur Bogor, Pak Danis pun mengundang kedua budayawan dari Sindang Barang, Abah Ukad dan Abah Maki karena tertarik dengan Upacara Seren Taun yang mereka adakan. Setelah menjelaskan seluk beluk Kampung Adat Sindang Barang, dapat disimpulkan bahwa Sindang Barang memiliki kaitan dengan Kerajaan Pajajaran, sang Gubernur pun meminta kedua budayawan tersebut yaitu Abah Ukad dan Abah Maki membangun cagar budaya dari Kerajaan Pajajaran dan Sindang Barang ini. Tidak semudah itu membangun cagar budaya, kendala yang biasa terjadi adalah masalah dana. Setelah mengajukan proposal dengan Gubernur Jawa Barat, beberapa bulan kemudian dana sebesar tujuh ratus lima puluh juta rupiah pun siap dicairkan hingga dibangun Kampung Budaya Sindang Barang yang dapat memperkenalkan kepada generasi kita sekarang ini mengenai adat sunda.

Setelah mengetahui seluk beluk sejarah Sindang Barang, pastinya kalian juga penasaran agama yang dianut oleh suku ini, bukan? Karena agama juga menjadi elemen budaya yang penting juga, maka perlu bagi kita mengetahui apa agama yang dianut oleh mereka. Sebanyak 90% agama yang dianut oleh Kampung Sindang Barang adalah islam. Menurut Woodward dalam yang tertulis dalam buku Komunikasi Lintas Budaya Communication Between Cutures oleh Larry A.Samovar dkk, asal islam dapat dijelaskan dari kedatangan Muhammad (570-632), sejak kecil, Muhammad merupakan sosok berwawasan luas. Ketika dewasa, ia mengasingkan diri ke dalam gua yang dekat dengan rumahnya dan bermeditasi. Dalam salah satu meditasinya tersebutlah dikatakan bahwa malaikat Jibril menampakkan diri dan berkat kepadanya bahwa Tuhan telah memilihnya menjadi utusanNya bagi semua umat manusia. Muhammad menyampaikan pesan agama tersebut dan membentuk tatanan sosial yang disebut Islam. Setelah mengetahui sedikit gambaran mengenai asal mula agama Islam,  perlu diketahui juga bahwa bukan berarti tidak ada yang non muslim loh di Kampung ini. Walaupun berbeda agama, mereka tetap saling menghargai dan saling ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang diadakan dari Kampung Sindang Barang.

Dari agama mari kita beralih ke bahasa yang biasa dipakai daam keseharian Kampung Sindang Barang ini. Menurut yang tertulis dalam buku Komunikasi Lintas Budaya Communication Between Cutures oleh Larry A.Samovar dkk, bahasa merupakan sejumlah simbol dan tanda yang disetujui untuk digunakan oleh sekelompok orang untuk menghasilkan arti. Bahasa mengizinkan orang-orang membentuk kelompok dan terlibat dalam usaha kooperatif baik dalam skala besar maupun kecil. Dengan kata lain, bahasa menolong kita mempertahankan catatan sejarah yang mempersatukan kita. Begitu juga dengan bahasa sunda yang menjadi bahasa keseharian di kampung budaya ini. Bahasa Sunda sudah menjadi bahasa yang disepakati oleh seluruh masyarakat di kampung ini. Bahasa Sunda juga menjadi bahasa  kelompok mereka yang secara kooperatif membentuk skala yang besar dalam Sindang Barang ini. Ketika mereka bertegur sapa maupun dalam melakukan percakapan dengan sesamanya, bahasa Sunda yang mereka gunakan terdengar sangat halus dan  begitu sopan. Sesekali mereka menunduk ketika melewati kumpulan ibu-ibu yang sedang berbicara di depan pemukiman mereka.

Komunikasi non verbal dari setiap budaya tentu berbeda- beda karena setiap budaya memiliki keunikan sendiri. Seperti yang dikutip dalam buku Komunikasi Lintas Budaya Communication Between Cutures oleh Larry A.Samovar dkk, komunikasi non verbal meliputi semua stimulus non- verbal dalam sebuah situasi komunikasi yang dihasilkan, baik oleh sumbernya maupun penggunanya dalam lingkungan dan yang memiliki nilai pesan yang potensial untuk menjadi sumber atau penerima.
Begitu juga dengan komunikasi non verbal dalam warga Kampung Budaya Sindang Barang, mereka memiliki keunikan tersendiri dan tidak dimiliki oleh budaya lain. Dilihat dari klasifikasi komunikasi non verbal, yang pertama saya akan menjelaskan dari perilaku tubuh, yang terdiri dari pesan warna kulit. Warna kulit dari warga Sindang Barang kebanyakan berwarna sawo matang. Menurut Knapp dan Hall yang ditulis pada buku Komunikasi Lintas Budaya, warna kulit menjadi stimulus tubuh yang paling kuat dalam menentukan respons interpersonal dalam budaya kita. Warna kulit juga merupakan dasar untuk menentukan keadaan ekonomi dan psikologis seseorang. Suku Sindang Barang kebanyakan memiliki kulit berwarna sawo matang, dapat dilihat dari pekerjaan mereka, yaitu pengrajin sepatu dan bertani.

Yang kedua, pesan dari pakaian. Pakaian yang sering dikenakan oleh suku Sindang Barang berupa baju yang berwarna hitam dengan ikat kepala. Ikat kepala dapat membedakan strata atau kedudukan, seperti ikat kepala yang dikenakan oleh Kepala Suku Sindang Barang tentunya berbeda dengan ikat kepala yang dikenakan oleh bawahannya. Ada juga kontak mata, seperti yang saya jelaskan di bagian atas bahwa Sindang Barang merupakan suku Sunda maka saat berbicara dengan sesamanya, sangatlah tabu jika menatap mata lawan bicara secara langsung karena dianggap tidak sopan.

Yang terakhir ada parabahasa,dilihat dari kualitas vokal, perbedaan budaya kelihatan jelas dari volume suara. Suku Sindang Barang berbicara dengan sangat halus dengan lawan bicaranya. Dalam memberi perintah pun, Kepala Suku tetap memberi perintah dengan nada yang halus dan pelan. Bicara dengan nada yang halus dipercayai oleh suku Sindang Barang sebagai kesopanan. Saat saya mewawancarai Abah Ukad, saya pun berhati- hati dan tidak sembarangan dalam mengeluarkan pendapat karena takut menyinggung atau menyakiti perasaan lawan bicara saya.

Saat masuk ke Kampung Sindang Barang, saya melihat ada beberapa rumah panggung. Rumah panggung itu merupakan rumah tradisional adat Sunda yang terbuat dari kayu dan atapnya terbuat dari ijuk. Rumah panggung tersebut juga punya nama-namanya tersendiri juga loh. Penasaran dengan apa saja nama rumah panggung Sindang Barang beserta fungsinya? Mari saya perkenalkan satu persatu rumah panggung Sindang Barang J

Rumah panggung yang pertama dinamakan Imah Gede atau Rumah Gede. Rumah Gede ini merupakan rumah kepala suku Sindang Barang. Apakah kalian ada yang tahu mengapa disebut Imah Gede? Rumah ini disebut Imah Gede karena rumah panggung ini merupakan rumah panggung tertinggi dari rumah panggung yang lain di Sindang Barang. Imah Gede ini menjadi tempat tinggal sementara Kepala Suku Sindang Barang ini. Ketika saya masuk ke dalam Imah Gede, saya terkejut karena perlengkapan rumah ini bisa dikatakan sudah modern karena sudah dilengkapi dengan LCD, kulkas, tempat tidur dan kamar mandi yang sangat nyaman. Walaupun rumahnya terbuat dari kayu, namun isi dari rumah ini sudah sangat jauh dari kata tradisional.


Saya tertarik dengan ukiran tepat di atas pintu masuk Imah Gede, sang Kepala Suku yang bernama Abah Maki menjelaskan bahwa ukiran tersebut bernama Waroge. Waroge merupakan simbol mantra sunda kuno untuk mengusir roh jahat. Waroge terdiri dari lima macam ukiran yang memiliki fungsi yang berbeda.
Gambar pertama bernama Haranghasuan yang fungsinya untuk menggelapkan mata gaib jahat agar tidk mengganggu kampung. Tepat disebelah Haranghasuan ada Ratuning Tutulak yang dipercayai untuk penolak segala gangguan dari kedengkian, kebencian, kejahatan dari manusia ataupun gaib jahat. Yang ketiga ada Watu Panggilang sebagai penolak segala gangguan gaib jahat yang ada di batu.  Wangapah berfungsi untuk penolak gangguan gaib yang ada di air dan yang terakhir ada Wawayangan yang dipercaya oleh suku Sindang Barang untuk menjaga keselamatan dan kesentosan manusia agar terhindar dari malapetaka gangguan gaib jahat.
Selain menjelaskan mengenai Waroge, saya pun mendapat pengetahuan baru, mengapa kebanyakan rumah panggung menggunakan ijuk sebagai atap. Konon katanya, ijuk yang terbuat dari pohon aren, disebut dengan pohon suci. Tuhan akan menurunkan wahyu Nya dan melindungi kehidupan dalam rumah tersebut, sama halnya dengan ijuk yang ada di atas atap rumah panggung tersebut.





Tidak jauh dari Imah Gede, ada saung yang disebut dengan Saung Talu. Nah, untuk kalian pecinta angklung, Saung Talu ini cocok untuk kalian, karena saung menjadi tempat pertunjukkan permainan alat musik angklung. Tidak hanya warga Sindang Barang saja loh yang boleh bermain angklung disini, namun orang luar Kampung Budaya ini juga boleh bermain angklung disini. Ada berbagai macam angklung ditaruh di saung ini lengkap dari ukuran besar hingga yang kecil. Biasanya para remaja yang berpartisipasi bermain angklung saat ada upacara adat. Namun, saat saya berkunjung kesana, Saung Talu juga menjadi tempat membatik oleh Kang Dewa, salah seorang pemuda Sindang Barang.



Halaman luas di depan Imah Gede dinamakan alun-alun. Alun-alun yang luas ini di jadikan suku Sindang Barang sebagai tempat upacara adat, salah satunya Upacara Seren Taun.
Di seberang Imah Gede, terdapat lima tempat untuk menyimpan lumbung padi. Saat panen tiba, padi- padi yang telah disimpan di dalam lumbung padi akan ditumbuk di tempat tumbukan tepat sebelah lumbung padi oleh para ibu-ibu warga sekitar kampung ini.








Di sebelah lumbung padi,ada rumah khusus tamu yang datang berkunjung ke kampung budaya ini dan ingin bermalam disana rumah ini disebut Imah Pasanggrahan. Sindang Barang menyiapkan enam Imah Pasanggrahan lengkap dengan tiga kamar tidur, ruang tamu yang telah dilengkapi kursi dan televisi dan kamar mandi. Untuk semalam para tamu perlu merogoh kocek sebesar enam ratus ribu rupiah. Tempat ini sangat nyaman dengan udara yang segar dari alam.




Ada Imah Cenderamata yang bertepatan di sebelah Imah Pasanggrahan yaitu tempat aneka macam cinderamata yang dibuat tangan oleh para remaja dari Sindang Barang  dan akan dijual untuk tamu yang tertarik dengan hasil mereka. Barang-barang yang diperjualbelikan ada batik yang terbuat dari bahan- bahan alami yang dijual seharga seratus lima puluh ribu rupiah, ada kalung, gelang dan masih banyak lagi.



 Rumah Panggung yang terakhir ini dinamakan Bale Riungan. Bale Riungan ini merupakan tempat semacam aula, tempat untuk menjamu tamu dan mengumumkan hal-hal yang penting untuk seluruh warga Sindang Barang. Didalamnya, terdapat alat musik gamelan yang dimainkan pada saat ada upacara adat.



karyawan PT Astra yang bersantai di Bale Riungan

Tepat saat saya berkunjung di sana, kebetulan ada pengunjung dari PT Astra untuk mempelajari dan melihat bagaimana Suku Sindang Barang dan melakukan beberapa aktivitas keseharian yang dilakukan oleh warga Sindang Barang seperti membatik. Para  pengunjung dituntun bagaimana cara membatik dengan gambar dan kain yang telah disiapkan oleh Sindang Barang. Untuk membatik ini, bahanny terbuat dari batang pohon mahoni yang dipanaskan kemudian para pengunjung tinggal mengikuti sesuai dengan gambar yang disiapkan. Kebanyakan dari mereka yang mencoba membatik adalah ibu-ibu PT Astra yang ingin mencoba bagaimana cara membatik. Banyak dari mereka pun puas dengan hasil batik mereka namun juga ada yang mengeluh karena kesulitan untuk membatik.

Karyawan PT Astra yang belajar  membatik

Warga Sindang Barang sebagian besar berprofesi sebagai pengrajin sepatu. Hasil produksi sepatu ini akan dijual ke luar pulau jawa seperti Jambi, Lampung dan juga sekitar Pulau Jawa seperti Pasar Anyar.  Mereka membagi tugas, ada yang memahat sepatu, mengelem, dan memasukkan nya ke dalam kardus. Untuk sehari mereka bisa memproduksi 2 hingga 3 kodi sepatu, dan perhari nya mereka di upah sebesar tujuh puluh lima ribu rupiah. 





Setelah melihat-lihat cara pembuatan sepatu, saya pun kembali ke alun alun dan melihat sekumpulan anak kecil bermain bakiak. Kebersamaan dan kehangatan akan ikatan tali persaudaraan sangat kuat dalam kampung ini, walaupun sengatnya matahari yang luar biasa anak-anak ini menikmati permainan tanpa lelah, mereka pun mengajak saya untuk bergabung. Menyenangkan sekali bisa bermain bersama mereka dan menambah pengalaman baru.

Terima kasih Sindang Barang, banyak sekali yang dapat saya bawa dari sini, selain ilmu dan arti hidup, kebersamaan juga menjadi salah satu hal untuk menyongsong hidup yang bahagia.









No comments:

Post a Comment