Pages

Thursday, January 10, 2013

Pesan Bijak dari Keraton Kasepuhan

Maria Natashia
11140110188
Kelas B1


Keraton Kasepuhan merupakan keraton tertua di kota Cirebon. Berdirinya keraton ini diawali dengan kisah keluarnya Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran dikarenakan adanya perbedaan keyakinan. Kala itu Prabu Siliwangi adalah seorang mualaf sementara Kerjaan Padjajaran sangat kental dengan ajaran agama Hindu.
Setelah keluar dari Padjajaran, Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi mendirikan sebuah Keraton di Cirebon dalam rangka ingin lebih leluasa dalam menyebarkan ajaran agama Islam. Walangsungsang, kemudian diangkat menjadi seorang kuwu yang dalam bahasa Cirebon berarti lurah atau kepala desa dengan gelar Pangeran Cakrabuana, yang akhirnya lebih akrab dikenal di masyarakat dengan nama Pangeran Cakrabuana. Keraton tersebut kemudian diberikan kepada putrinya yang bernama Ratu Ayu Pakungwati yang kemudian menjadi nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati.
Ratu Ayu Pakungwati kemudian menikah dengan Syach Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian dinobatkan menjadi Pimpinan Negara di Cirebon dan menetap di Keraton Pakungwati. Dibawah pimpinan Sunan Gunung Jati, Cirebon kemudian menjadi pusat pengembangan Islam di Jawa dengan adanya Wali Sanga yang dipimpin oleh beliau.
Dalam masa jabatannya sebagai Pimpinan di Cirebon, Sunan Gunung Jati melakukan perluasan Keraton sehingga berdirilah bangunan Keraton Kasepuhan di kompleks yang sama dengan Keraton Pakungwati. Dinamakan Kasepuhan karena Keraton ini dianggap sebagai sepuh dari keraton-keraton lain yang ada di Cirebon atau yang dalam bahasa Jawa berarti ‘yang dituakan’. Hingga sekarang, sultan dari Keraton Kasepuhan diberi gelar Sultan Sepuh.
Jika ditelaah sepintas dari sejarahnya, Keraton Kasepuhan seolah-olah terdengar begitu didominasi oleh budaya dan ajaran-ajaran dari agama Islam. Namun demikian, rupanya Keraton ini mampu menceritakan lebih banyak dari sekadar budaya dan ajaran agama Islam. Begitu banyak percampuran budaya yang secara non-verbal ingin memberikan pesan tersendiri bagi kita dari fisik bangunan Keraton ini serta benda–benda peninggalannya.
 Seperti yang tertulis di buku Komunikasi Lintas Budaya karangan Larry A. Samovar, tubuh merupakan sumber utama pesan nonverbal. Pesan-pesan nonverbal dikomunikasikan dengan penampilan umum, warna kulit, pakaian, gerakan tubuh, postur, gerakan, ekspresi wajah, kontak mata, parabahasa dan sentuhan. Ibarat tubuh manusia, fisik bangunan Keraton ini seolah-olah ingin mengkomunikasikan sesuatu dari generasi Sunan Gunung Jati kala itu pada generasi kita di zaman sekarang bahwa perbedaan bukanlah sesuatu yang negatif melainkan bisa berubah menjadi sesuatu yang positif jika kita mampu melihat perbedaan tersebut dengan pikiran terbuka.
Perbedaan itu indah. Dibuktikan dengan keindahan bangunan fisik keraton yang dapat kita nikmati hingga sekarang yang penuh dengan cerita-cerita menarik dan pesan-pesan bijak, yang mengajak kita untuk lebih meningkatkan rasa toleransi dan nilai solidaritas kepada budaya-budaya diluar budaya kita. Ingin tahu lebih lanjut? Mari kita bahas satu persatu pesan-pesan apa yang ingin disampaikan para sesepuh kita kala itu melalui akulturasi budaya yang bisa kita temukan di Keraton Kasepuhan.
Pertama kali sampai di lokasi Keraton, kita bisa langsung melihat suatu bangunan tanpa atap yang mana pagar dan gapuranya disusun dari tumpukan bata merah. Bangunan tersebut dinamakan Siti Inggil yang berasal dari bahasa Cirebon, Siti yang berarti tanah dan Inggil berarti tinggi. Jika diperhatikan dari arsitektur bangunan dan desain gapuranya, sekilasan bangunan tersebut mirip dengan bangunan-bangunan khas Bali yang didominasi aliran agama Hindu.
Di dalam Siti Inggil seharusnya ada lima bangunan lagi yang tiap bangunannya melambangkan ajaran-ajaran Islam. Unik bukan? Walaupun berbeda aliran dan ajaran, keterpaduan dan keindahan itu rupanya tidak harus selalu datang dari persamaan. Perbedaan pun rupanya mampu membuat sesuatu jadi lebih indah bahkan unik. Sayang, ketika kita singgah disana, bangunan ini sedang dalam tahap renovasi sehingga kami tidak mendapat informasi lebih jauh mengenai bangunan ini. 


Bangunan Siti Inggil
Sebelum benar-benar masuk untuk melihat bangunan keraton, terlebih dahulu kita harus mendaftarkan diri di buku tamu dan membeil tiket di tempat yang berada persis di depan pintu gerbang keraton. Disana, kita bisa langsung melihat para pemandu lengkap dengan beskap dan blangkon seperti para abdi dalem di keraton-keraton dengan senyumannya yang ramah menyapa, siap bercerita tentang Keraton Kasepuhan.
Melangkahkan kaki melewati suatu gerbang besar langsung terlihat halaman yang luas dan ditumbuhi rumput hijau yang dinamakan halaman Kemandungan yang dahulu digunakan untuk menyimpan alat-alat perang. Pada bagian kanan halaman Kemandungan, terdapat suatu bangunan yang dianamakan Langgar Agung.
Langgar Agung ialah sebuah mushola yang digunakan untuk sholat para warga sekitar yang sebagian besar diantaranya ialah keluarga atau keturunan anggota Keraton. Hingga sekarang, Langgar Agung masih digunakan untuk mengadakan upacara-upacara keagamaan bagi warga sekitar Keraton. Menurut Parkes, Laungani dan Young, dari buku Komunikasi Lintas Budaya, semua budaya memiliki agama yang dominan dan terorganisasi yang mana mempengaruhi aktivitas dan kepercayaan mencolok seperti upacara, ritual, hal-hal tabu dan perayaan. Disini, Langgar Agung menjadi simbol yang sangat jelas menggambarkan bahwa Keraton Kasepuhan dahulu dan sekarang didominasi agama dan ajaran Muslim, namun demikian tetap terbuka terhadap budaya dan ajaran agama lain.
Setelah melewati halaman Kemandungan, terlihat sekali lagi gerbang besar yang dinamai Pintu Gledegan. Dahulu, setiap ada tamu yang ingin masuk, terlebih dahulu harus diperiksa oleh para prajurit di gerbang ini. Dinamakan Gledegan karena dahulu ketika melakukan pemeriksaan, suaranya terdengar sangat kencang seperti petir yang menggeledeg. Setelah melewati Pintu Geledegan, kita akan melihat sebuah taman yang sangat cantik dan terawat yang dinamai Taman Bunderan Dewan Daru yang melambangkan bundar yang artinya sepakat, Dewan yang artinya Dewa sementara Daru artinya ialah cahaya. Sehingga pesannya ialah ‘Jadilah orang yang menerangi sesama mereka yang masih hidup dalam rasa kegelapan’. Bijak sekali bukan?

Taman Bunderan Dewan Daru

Dari Bunderan Dewan Daru terlihat jelas tiga bangunan besar yaitu Museum Benda Kuno, Museum Singa Barong dan bangunan Keraton Kasepuhan. Pertama-tama, pemandu kami, Bapak Ferry mengajak kami untuk melihat-lihat Museum Benda Kuno. Sayangnya, sama seperti bangunan Siti Inggil, Museum ini sedang direnovasi sehingga benda-bendanya terlihat kurang beraturan tata letaknya sehingga sulit bagi Bapak Ferry untuk menjelaskan arti dan sejarah benda-benda peninggalan tersebut dikarenakan urutannya yang tidak keruan dan sulit untuk dijangkau.
 Namun demikian, Bapak Ferry mengatakan bahwa benda-benda di Museum tersebut banyak yang merupakan pemberian-pemberian dari negara-negara lain seperti Mesir, Cina, Portugis, Prancis Arab, India dan Eropa dan sebagian lainnya merupakan peninggalan Keraton. Hal ini melambangkan adanya hubungan persahabatan yang baik antara Keraton Kasepuhan dengan negara-negara tersebut. Pak Ferry bercerita bahwa hubungan yang baik tersebut merupakan hasil dari keramahan Sunan Gunung Jati yang sangat pandai bergaul dan tidak fanatik.
“Sebagai seorang pimpinan kala itu, beliau merupakan seseorang yang sangat bijaksana dan terbuka dalam bergaul dengan siapapun” cerita Pak Ferry dengan sangat bangga. Masih jelas terlihat, bahwa ajaran Sunan Gunung Jati sangat membekas di hati masyarakat Cirebon. Hal tersebut kami buktikan dengan keramahan warga sekitar dalam menerima pengunjung. Mulai dari tukang parkir, pegawai restoran di kota Cirebon hingga warga sekitar Keraton. Tidak sedikitpun terlihat adanya sikap-sikap nonverbal yang menunjukkan prasangka terhadap pengunjung dari etnis yang berbeda sekalipun. Seolah keramahan itu berlaku untuk siapapun dan dengan penuh semangat mereka siap bercerita panjang lebar serta tetap menanggapi setiap pertanyaan yang kami lontarkan.
Disamping Museum Benda Kuno, terlihat suatu bangunan tanpa dinding yang dahulu digunakan untuk tempat operasional staf harian keraton yang bertugas melayani tamu yang datang untuk menghadap Sultan. Bangunan ini dinamakan Lunjuk yang artinya petunjuk. Di seberangnya, terdapat bangunan Museum lain yaitu Museum Singa Barong. Bangunan ini masih juga masih dalam tahap renovasi dan digunakan untuk menyimpan Kereta Pusaka yang dinamai Kereta Singa Barong.
Kereta Singa Barong ini konon katanya merupakan kendaraan sehari-hari Sunan Gunung Jati. Kereta ini sangat cantik dan memiliki pesan-pesan yang sangat baik yang menjunjung tinggi nilai toleransi dan solidaritas, sangat menggambarkan kepribadian Sunan Gunung Jati. Kereta Singa Barong ini merupakan perwujudan dari 3 binatang jadi satu yaitu: 1) Belalai Gajah yang melambangkan persahabatan dengan India yang beragama Hindu, 2) Kepala Naga yang melambangkan persahabatan dengan Cina yang beragama Buddha dan 3) Sayap dan Badan yang diambil dari Buroq yang melambangkan persahabatan dengan Mesir yang beragama Islam. 

Kereta Singa Barong Asli Peninggalan Sunan Gunung Jati

Pada belalai Kereta Singa Barong terlihat adanya Trisula yang melambangkan tiga kebudayaan yang menjadi satu (Hindu, Buddha, Islam). Selain melambangkan adanya akulturasi budaya, Trisula disini juga ingin melambangkan tri yang artinya tiga dan sula artinya tajam sehingga pesannya bagi kita ialah sebagai manusia yang pikirannya tajam, terdiri dari cipta, rasa dan karsa diharapkan ketajaman alam pikirannya tersebut digunakan untuk hal-hal yang baik dan peduli serta bertoleransi terhadap perbedaan-perbedaan lain diluar diri kita sendiri. Menarik sekali ya?
Setelah terkesima mendengar cerita Pak Ferry akan pesan indah yang ingin disampaikan oleh Sunan Gunung Jati dari Kereta Singa Barong ini, Pak Ferry mengajak kami untuk kembali berkeliling Keraton. Target selanjutnya ialah bangunan Keraton Kasepuhan. Sekilas dari depan Taman Bunderan Dewan Daru, terlihat gapura besar putih di depan bangunan Keraton. Desain gapuranya dihiasi dengan bentuk awan-awan yang menarik perhatian kami. Rupanya desain bentuk awan tersebut merupakan ikon kebanggan khas kota Cirebon. Awan tersebut bernama Mega Mendung yang artinya ingin mengingatkan para Raja bahwa sebagai seorang pimpinan harus mampu mengayomi bawahannya atau rakyatnya.
Di belakang gapura Mega Mendung terdapat serambi keraton yang dinamakan Jinem Pangrawit. Jinem Pangrawit, seperti peninggalan lainnya memiliki pesan tersendiri dari tata penamaannya. “Jinem artinya kejineman atau tempat tugas sementara Pangrawit diambil dari kata rawit yang melambangkan kecil yang maksudnya ialah bagus atau baik sehingga pesannya ialah diharapkan para tamu-tamu yang ingin menghadap Sultan memiliki niat yang baik” cerita Pak Ferry.
Serambi Jinem Pangrawit tidak dibuka untuk pengunjung, sehingga kami harus berputar melalui pintu samping Keraton melalui pintu Buk Bacem untuk melihat ke dalam keraton. Pintu gerbang ini sekilasan mirip Gapura, bertembok dan atasnya melengkung yang disebut buk dan ada daun pintunya. Kayu pintu terlebih dahulu dibacem atau direndam dengan ramuan sehingga dinamakan Buk Bacem.
Kami pun masuk ke dalam keraton. Langsung terbayang di benak saya, bangunan ini pasti sangat megah ketika masih fungsional dahulu. Keraton Kasepuhan secara garis besar masih terlihat keindahan serta keramahannya, namun demikian harus diakui ada beberapa bagian yang memang kurang terawat.
Dari Jinem Pangrawit, terdapat bangunan tanpa dinding bertiang putih yang disebut Loos Gajah Nguling. Gajah yang sedang nguling akan membengkokkan belalainya. Mengapa dinamakan demikian? Kebengkokan itu melambangkan bentuk bangunan ini yang memang bengkok atau miring seperti belalai gajah yang sedang nguling.
Ketika kami bertanya lebih lanjut kepada Pak Ferry mengenai asal usul arstitektur bangunan  ini, Pak Ferry bercerita bahwa arsitektur bangunan ini dipengaruhi oleh fengshui dari Cina yang pintu depan dan belakangnya tidak boleh segaris agar tidak boros. Sebelum menjelaskan lebih lanjut, Pak Ferry mengajak kami untuk menyadari bahwa rupanya ada begitu banyak peninggalan-peninggalan dari Cina yang menghiasi Keraton Kasepuhan. “Piring-piringan hiasan yang tertanam di sekeliling tembok Keraton itu juga pemberian dari Cina. Penasaran kenapa bisa begitu banyak pengaruh dari Cina?” kata Pak Ferry.
Pak Ferry menceritakan bahwa hal tersebut terjadi karena adanya pernikahan antara Sunan Gunung Jati dengan seorang putri dari Cina. Kala itu, Sunan Gunung Jati yang memiliki kemampuan dalam menyembuhkan orang sakit sangat terkenal hingga ke negeri Cina. Penasaran akan kesaktian beliau seorang Raja Cina mengundang Sunan Gunung Jati untuk menebak apakah putrinya, Putri Ong Tien sedang mengandung atau tidak.
Sunan Gunung Jati mengatakan bahwa Putri Ong Tien sedang mengandung padahal, kala itu Putri Ong Tien masih perawan. Namun demikian, setelah mendengar perkataan Sunan Gunung Jati, perut Putri Ong Tien benar-benar membusung dan akhirnya mengandung. Dari sini, Putri Ong Tien terpikat dengan Sunan Gunung Jati dan akhirnya menikah dan ikut menetap di Keraton Kasepuhan. Keberadaan Putri Ong Tien inilah alasan banyaknya sentuhan-sentuhan budaya Cina pada Keraton Kasepuhan.
Kembali ke masa kini, kami kembali menyusuri Gajah Nguling memasuki sebuah ruangan yang disebut Bangsal Pringgadani yang masih dihiasi dengan piring-piringan Cina yang bermacam-macam gambarnya. Pada ruangan ini terpampang lukisan Macan Ali yang ternyata merupakan lambang atau bendera Keraton Kasepuhan yang diilhami dari negara Arab. 

Gambar Macan Ali

Setelah Bangsal Pringgadani, kami memasuki ruangan lain yang dinamakan Bangsal Prabayaksa, masih dihiasi piring-piringan dari Cina. Pada Bangsal Prabayaksa, terdapat porselen-porselen yang merupakan pemberian Belanda. Porselen bertinta biru menggambarkan kisah kehidupan masyarakat di Eropa sementara porselen bertinta merah menggambarkan kisah-kisah dari Alkitab.
Di tengah-tengah porselen Eropa terdapat piringan dari Cina yang ukurannya lebih besar daripada piringan yang menghiasi dinding. Piringan di tengah porselen ini memiliki keunikan tersendiri. Sama-sama merupakan handmade, namun piringan ini dibuat dengan tema yang sama. Sekilasan, lukisan pada piringan-piringan tersebut terlihat serupa, namun setelah diajak Pak Ferry untuk lebih lanjut memperhatikan detailnya, rupanya terdapat perbedaan-perbedaan walaupun tidak terlalu signifikan. Cantik sekali.

Piring-piringan dari Cina dan Porselen dari Belanda

 Selain kisah menarik dari Putri Ong Tien tentang sentuhan-sentuhan budaya Cina di Keraton, masuknya porselen-porselen Belanda pada bangunan Keraton juga memiliki cerita unik tersendiri. Konon, Keraton Kasepuhan dibangun pada masa penjajahan Belanda. Seperti yang diceritakan dalam sejarah, banyak keraton-keraton yang diserang dan dihancurkan Belanda. Namun demikian, hal ini tidak terjadi pada Keraton Kasepuhan dikarenakan adanya hubungan baik antara Keraton Kasepuhan dengan negara Belanda yang dilambangkan dengan adanya porselen-porselen pemberian Belanda tersebut. Wah, rupanya, teknik memenejemen hubungan seperti yang diajarkan pada mata kuliah Public Relations sudah dipraktikan sejak  dahulu ya…
Dari Bangsal Prabayaksa, kita bisa melihat Bangsal Agung Panembahan yang konon merupakan singgasana Sunan Gunung Jati. Ruangan Bangsal Prabayaksa sudah tidak terlalu terawat. Terdapat beberapa buah meja dan kursi peninggalan masa lalu ditambah warna warni kelambu 9 warna yang melambangkan Wali Sanga menurut Pak Ferry.

Bangsal Agung Panembahan
Singgasana Sunan Sultan Sepuh

Setelah selesai menikmati keindahan bangunan Keraton Kasepuhan, kami diajak untuk melihat bagian lain dari Keraton yaitu bagian reruntuhan Keraton Pakungwati. Reruntuhan disini bukan berarti Keraton Pakungwati pernah hancur diserang atau apa, hanya saja ini merupakan bagian-bagian Keraton yang tidak ikut di renovasi pada saat pembangunan Keraton Kasepuhan pada zaman Sunan Gunung Jati. Sayang sekali, bagian ini sudah tidak terlalu terawat.
Pada reruntuhan Keraton Pakungwati kita melihat tempat permandian para putri zaman dahulu, tempat berkumpulnya para Wali Sanga yang tidak boleh dimasuki wanita, sumber air yang konon katanya bisa mengabulkan doa-doa orang yang baik serta Sumur Upas yang memiliki unsur mistis. Terakhir, kami melihat SMK Pakungwati yang masih beroperasi hingga sekarang memberikan pendidikan kesenian pada murid-murid disana.
SMK Pakungwati merupakan akhir dari jalan-jalan kami di Keraton Kasepuhan. Begitu banyak pelajaran dan pesan-pesan moral secara verbal maupun non verbal yang saya dapatkan dari dua hari kunjungan saya ke Keraton Kasepuhan yang disampaikan melalui Bapak Ferry. Memang, menerima perbedaan menuntut adanya jiwa besar dari tiap-tiap orang dan Sunan Gunung Jati telah memberikan teladan baik dalam membangun perbedaan yang indah dan nilai toleransi.
Cerita-cerita dari Keraton Kasepuhan, menyadarkan saya pada keadaan masyarakat Indonesia zaman sekarang yang sudah sangat berbeda dengan masyarakat Indonesia dahulu, yang rupanya sangat mampu menjunjung tinggi rasa toleransi dan terbuka terhadap perbedaan. Indah sekali bukan kalau kita bisa kembali menghayati pesan bijak dari Sunan Gunung Jati, menjadi masyarakat yang tinggi akan toleransi dan nilai solidaritas?

No comments:

Post a Comment