In Meilia Jim Vionna
11140110268
F1
Kampung Cikondang, salah satu kampung
yang terletak di dalam Desa Lamajang, Kabupaten Pangalengan. Kampung Cikondang
ini terletak 38 kilometer dari Bandung. Nama Cikondang sendiri dikarenakan
mulanya daerah ini terdapat mata air yang dinamakan “Kondang”, sedangkan kata
“Ci” berasal dari kata “Cai” yang berarti air.
Kampung Cikondang adalah tempat yang
indah, dimana pohon-pohon melimpah tinggi besar tertanam di sekitar Kampung
Cikondang tidak hanya itu apabila kita menelusuri terdapat aliran-aliran air kecil
yang ada disepanjang Kampung Cikondang. Sebelum memasuki Kampung Cikondang
tersebut kita harus menerjang jalan-jalan yang berkelok-kelok dan sempit,
selain itu apabila kita melihat ke arah kanan kita akan dihidangkan
pemandangan, entah itu pepohonan, sawah dan lain-lain. Tidak heran apabila
sepanjang daerah Kampung Cikondang terasa sangat dingin.
Pak Eka Mustika, keturunan kelima dari Mak Empu |
Menurut
sumber, Eka Mustika Kampung Cikondang ini dibangun oleh leluhurnya. Leluhurnya
pun tidak diperbolehkan diberi tahu namanya, bahkan hingga keturunan-keturunannya
sendiri tidak ada yang mengetahui nama leluhur tersebut. Biasanya mereka
menyebut Beliau dengan sebutan “Mak Empu”. Dalam pemilihan ketua untuk Kampung
Cikondang juga terdapat berbagai syarat salah satunya berasal dari keturunan
Mak Empu, sehingga yang menjadi ketua atau pemangku adat dalam Kampung
Cikondang tidak boleh sembarangan. Apabila kita melihat masyarakat khususnya
para lelaki Kampung Cikondang mereka menggunakan kain yang diikat dikepalanya
dan hal itu sudah turun temurun sejak zaman dahulu. Pada dasarnya seharusnya
Pak Eka lah yang menjadi pemangku adat Desa Cikondang, namun karena keadaan Pak
Eka yang memiliki pekerjaan sehingga mau tidak mau pemangku adat tersebut
akhirnya dilimpahkan ke saudaranya yang juga merupakan keturunan dari leluhur
Mak Empu. Hingga sekarang terdapat lima kuncen yang menjaga Bumi Adat di
Kampung Cikondang, antara lain Ma Empuh, Ma Akung, Ua Idil, Anom Rumya, dan Aki
Emen.
"tik", gelas yang terbuat dari batok kelapa |
Kepercayaan
yang dimiliki oleh masyarakat Kampung Cikondang adalah Islam. Masyarakat di sekitar
Kampung Cikondang juga sangat memegang teguh budaya mereka. Dapat dilihat dari
rumah adat Kampung Cikondang yang tidak diperbolehkan diisi barang-barang
elektronik, seperti televisi, radio, listrik, dan lain-lain bahkan dalam
memasak alat-alat yang digunakan pun masih menggunakan tradisional, yang
dinamakan “hau” atau yang disebut tungku. Gelasnya pun juga berasal dari batok
kelapa yang disebut “tik”,kita tidak dapat menemukan gelas yang terbuat dari
kaca ataupun plastik seperti yang biasa kita temukan. Untuk penerangannya
masyarakat Kampung Cikondang menggunakan lentera dan tidak menggunakan listrik.
Dalam
hal ini dapat dikaitkan dengan teori yang dinyatakan oleh Fong bahwa Identitas
budaya sebagai identifikasi komunikasi dari sistem perilaku simbolis verbal dan
non-verbal yang memiliki arti dan yang dibagikan di antara anggota kelompok
yang memiliki rasa saling memiliki dan yang membagi tradisi, warisan, bahasa
dan norma-norma yang sama. Identitas budaya merupakan konstruksi sosial. Teori ini terkait dengan budaya yang dianut Kampung
Cikondang, sehingga hal inilah yang menjadi bentuk dari identitas warga Kampung
Cikondang. Tidak hanya dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat Kampung
Cikondang yaitu bahasa sunda.
Bumi Adat |
Masyarakat
Kampung Cikondang ingin agar budaya mereka tetap dilestarikan sehingga hal-hal
yang berasal dari luar, seperti barang-barang elektronik, internet, dan listrik
tidak dapat ditemukan di Kampung Cikondang.
Pada awalnya seluruh rumah yang ada di Kampung Cikondang tidak diperbolehkan
menggunakan semen ataupun batu bata, rumah Kampung Cikondang berasal dari anyaman
bambu dan atapnya berasal dari ijuk. Namun karena kebakaran besar yang terjadi
di Kampung Cikondang dan Karang Tengah sehingga mau tidak mau rumah yang diluar dari rumah adat
diperbolehkan menggunakan semen, mengingat kayu dan ijuk yang sangat mudah
terbakar. Kebakaran ini terjadi di tahun 1942.
Hingga sekarang tidak ada yang mengetahui
penyebab terjadinya kebakaran, ada yang menyebutkan dikarenakan adanya turis yang
datang ke Kampung Cikondang karena sedang merokok, tanpa sengaja mengenai rumah
adat Kampung Cikondang sehingga akhirnya menyulut api, ataupun terdengar kabar
bahwa dulu Kampung Cikondang dijadikan sebagai tempat persembunyian
tentara-tentara Indonesia dari Belanda, namun karena diketahui oleh Belanda
akhirnya Kampung Cikondang dibumihanguskan oleh Belanda. Terdapat kurang lebih
60 rumah adat Kampung Cikondang terbakar akibat kebakaran tersebut.
suasana yang nyaman, layaknya rumah kampung biasanya |
Apabila
kita masuk kedalam rumah adat Kampung Cikondang, hawa dingin akan terasa dalam
rumah tersebut, mengingat musim hujan dan rumah Kampung Cikondang yang berasal
dari anyaman bambu dan ijuk. Rumah adat Kampung Cikondang juga dinamakan dengan
bumi adat. Bahkan rumah tersebut tidak pernah diubah sejak dahulu dan tidak
pernah direnovasi, hal itu dianggap sebagai menjaga kelestarian budaya Kampung
Cikondang. Ketika kita masuk kedalam rumah adat Kampung Cikondang terdapat
larangan yang harus kita ingat bahwa kita tidak boleh menginjak pijakan yang
ada di rumah adat. Saat di dalam rumah adat Kampung Cikondang pun tidak diperbolehkan
duduk sembarangan, khususnya wanita tidak boleh mengangkat kaki, dan tidak
boleh selonjoran, hal ini dianggap tidak sopan apabila duduk secara sembarangan
maka dari itu biasanya masyarakat duduk dengan kaki dilipat ke belakang.
ruang tamu :) |
Didalam
rumah adat Kampung Cikondang juga terdapat kamar yang tidak ditutup dengan
pintu melainkan hanya dengan kain. Namun kamar tersebut tidak boleh dimasuki
mengingat kamar tersebut adalah kamar dari hanom, juru kunci kampung Cikondang.
Selain itu apabila kita melihat ke atas kita juga dapat melihat ruang, ruang
tersebut yang menjadi tempat penyimpanan hasil tani masyarakat Kampung
Cikondang. Hasil tani kampung Cikondang sebagian akan disimpan untuk digunakan
sehari-hari,sebagai bahan “wuku taun” atau ulang tahun dan juga dijual.
Peralatan-peralatan masak yang digunakan pun juga disimpan disekitar kayu-kayu
yang dibuat masyarakat Kampung Cikondang. Mata pencaharian masyarakat Kampung
Cikondang adalah pertanian, yang ditanam oleh masyarakat Kampung Cikondang
adalah padi dan bawang.
yummy :) |
Tidak
hanya itu di dalam rumah ada Kampung Cikondang kita dapat melihat berbagai
jenis makanan khas Kampung Cikondang, setidaknya terdapat 45 macam makanan khas
yang dimiliki Kampung Cikondang, yang terdiri dari opak, raginang, klontong,
teng-teng, ampeang, dan lain-lain. Makanan khas kampung Cikondang tersebut
biasanya disajikan untuk tamu-tamu yang datang berkunjung Kampung Cikondang.
Kamar mandi yang digunakan pun juga
masih sangat sederhana, kamar mandi tersebut hanya dibalut dengan
anyaman-anyaman bambu dan ijuk yang sama seperti digunakan untuk rumah adat
Kampung Cikondang, lantainya pun hanya terbuat dari kayu. Tidak hanya itu,
apabila kita melihat kebawah kita dapat melihat empang yang sangat luas. Empang
tersebut lah tempat mengumpulnya kotoran tersebut. Walaupun sejenak terlihat
kurang nyaman namun itulah yang digunakan oleh masyarakat Kampung Cikondang,
airnya pun terasa sejuk menyentuh tangan. Namun satu hal yang telah diikuti
masyarakat Kampung Cikondang adalah masyarakat tersebut menggunakan gayung
untuk mengambil air.
Kamar mandi diatas empang |
Masyarakat
Kampung Cikondang sangat memegang teguh untuk menghargai satu sama lain.
Sehingga terdapat larangan duduk selonjoran ini juga tidak diperbolehkan
menghadap ke Selatan. Hal itu dikarenakan Selatan terdapat makam leluhur,
sehingga dipercaya oleh masyarakat Kampung Cikondang sangat tidak sopan apabila
kita menaruh kaki kita menghadap ke Selatan. “Sesama manusia yang masih hidup
saja kita harus saling menghargai atau sopan maka dari itu hal ini juga harus
diterapkan untuk orang yang sudah meninggal.” Kata Pak Eka selaku sekretaris
dan pengurus Kampung Cikondang dan juga merupakan keturunan kelima dari
leluhur. Tidak hanya itu ketika ingin buang air kecil ataupun buang air besar
juga tidak boleh menghadap ke arah Selatan.
Apabila
kita ingin menuju ke makam leluhur kita harus melewati jalan-jalan yang sempit
dan cara menuju ke pemakaman tersebut kita harus berjalan kaki, apabila
memasuki kawasan Kampung Cikondang sangat jarang terlihat orang-orang yang
menggunakan kendaraan. Kita juga harus melewati jembatan kecil yang terbuat
dari bambu untuk menuju pemakaman tersebut. Makam-makam tersebut berada dalam
sebuah rumah. Menurut Pak Eka rumah tersebut dibuat karena banyak masyarakat
yang berasal dari Bandung maupun luar kota yang suka berziarah adapun juga
memohon permintaan hingga terkadang masyarakat tersebut tidur di dalam makam
tersebut tidak hanya semalam bahkan ada yang hingga dua sampai tiga hari. Ada
hari-hari tertentu dimana masyarakat boleh berziarah yaitu hari Kamis, dan
harus diatas jam 10 malam. Untuk masyarakat luar juga tidak boleh asal masuk ke
dalam rumah makam tersebut karena sebelum masuk kita akan memasuki pagar yang
dikunci tidak hanya itu rumah makam tersebut juga dikunci dan kunci tersebut
dipegang oleh Hanom, juru kunci Kampung Cikondang.
Makam leluhur |
Di
dalam rumah tersebut setidaknya kurang lebih ada 15 makam, makam-makam tersebut
merupakan leluhur-leluhur ataupun keturunan dari leluhur tersebut. Tidak hanya
itu rumah makam tersebut tidak hanya ada satu melainkan apabila kita jalan
beberapa langkah lagi kita akan melihat rumah yang sama dengan berisi
makam-makam leluhur. Sedangkan masyarakat-masyarakat Kampung Cikondang yang
meninggal berada di sekitar rumah makam leluhur dan dibatasi dengan pagar yang
terbuat dari bambu. Adapula larangan yang harus diingat oleh wanita yang sedang
haid, tidak diizinkan untuk masuk kedalam rumah makam tersebut.
Hal ini
terkait dengan teori yang dinyatakan oleh E.B. Taylor. Ia berpendapat bahwa
tumbuh dan berkembangnya sistem religi disebabkan oleh mimpi. Dari mimpi inilah
kemudian menimbulkan kesadaran bahwa roh-roh yang telah meninggal
(leluhur/karuhun) menempati tempat-tempat tertentu. Maka dari itu masyarakat
Kampung Cikondang sangat menghormati orang-orang yang telah meninggal.
Adat
tradisi pernikahan yang dimiliki oleh masyarakat Kampung Cikondang pun
tergolong unik. Pertama kali dilakukan tukar cincin oleh masing-masing kedua
belah pihak atau yang disebut dengan “naroteun” sekaligus ditentukan tanggal
pernikahan yang baik untuk kedia belah pihak. Setelah itu, sebelum hari
pernikahan dilaksanakan kegiatan “luluran” atau yang disebut dengan mandi
kembang. Dan pada malam harinya diadakan kegiatan “ngeuyeuk sereuh”. Ngeuyeuk
sereuh merupakan suatu istilah dalam kegiatan tersebut berisi kegiatan antara
orang tua mempelai memberikan petuah- petuah kepada calon mempelai untuk
dilaksanakan nanti ketika menjadi suami istri. Petuah–petuah tersebut berisi
hal–hal atau amanat yang harus dilaksanakan ketika menjadi suami istri.
Nantinya akan diberikan pinang dan didalamnya berisi baju–baju dan lain–lain.
Nantinya barang-barang yang ada di dalam akan dijelaskan maknanya satu persatu
mengapa barang tersebut diberikan kepada calon mempelai. Adapula “ngalengeuh”,
yaitu kegiatan menumbuk padi yang dipukul-pukul dalam lambung menggunakan
lesung secara sukarela oleh masyarakat sekitar dan dijadikan sebuah irama,
sambil menumbuk padi untuk disediakan kepada tamu yang datang. Keesokan harinya
diadakan lah kegiatan seserahan. Dimana calon mempelai pria memberikan
seserahan kepada calon mempelai perempuan, dan diadakan di rumah calon mempelai
perempuan. Hingga setelah itu diadakannya acara angkat nikah. Seminggu kemudian
setelah diadakan acara pernikahan diadakan kegiatan “lumasan”.
Di
Kampung Cikondang terkenal pula dengan sebutan hutan terlarang. Ketika memasuki
hutan tersebut masyarakat diharuskan melepaskan sendal atau alas kaki. Hutan
tersebut juga hanya boleh didatangi hari tertentu, yaitu pada hari Senin, Rabu,
Kamis dan Minggu, Namun ditekankan untuk datang pada hari Kamis. Selain itu
hari Sabtu tidak diperbolehkan untuk berziarah dan masuk kedalam hutan
terlarang. Di dalam hutan terlarang tersebut juga tidak diperbolehkan sembarangan,
maka dari itu disebut dengan hutan terlarang. Hutan terlarang juga hanya boleh
dimasuki pada saat setelah duhur, yaitu setelah jam 12.
Terdapat
semacam ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Cikondang setiap
tanggal 15 Muharam. Ritual tersebut dinamakan uku taun atau yang berarti ulang
tahun. Uku taun tersebut dilaksanakan satu tahun sekali. Ritual tersebut
dilaksanakan setiap tanggal 15 Muharam karena menurut agama Islam terdapat
berbagai macam kejadian, contohnya Nabi Adam, manusia yang tinggal pertama kali
di bumi diampuni dosanya pada saat bulan Muharam, kejadian Nabi Nuh yang ketika
semua orang tenggelam karena banjir dan Beliau selamat karena telah dititahkan
membuat kapal. Hal tersebut lah yang dimaknai oleh masyarakat Kampung Cikondang
sebagai syukuran kepada ALLAH SWT dan juga atas terima kasih diselamatkannya
Nabi Nuh, Nabi Musa dan lain-lain. Bentuk syukuran tersebut terdiri dari
membuat tumpeng sebanyak 200 buah, nah nantinya tumpeng tersebut akan dimakan
bersama-sama dan dibagikan kepada tetangga. Dan biasanya syukuran tersebut juga
didatangi oleh camat, Bupati, dan Gurbenur Bandung.
Petunjuk Jalan :) |
Walaupun adat kebudayaan masyarakat Kampung
Cikondang sangat dalam namun Pak Eka memberikan makna bahwa adat seperti itu
jangan dikaitkan dengan hal-hal mistis, yang dimaksud adalah ketika beredar
kabar bahwa ada seseorang menginjak sesajen yang ada di Kampung Cikondang maka
yang terjadi menimpa orang tersebut ia mengalami kecelakaan dan cacat seumur
hidup. Menurut Pak Eka, hal tersebut terkait dengan kepercayaan, ketika
seseorang secara sengaja menginjak sesajen hal tersebut sama halnya berarti
bahwa ia tidak sopan, padahal masyarakat Kampung Cikondang sangat memegang teguh kesopanan dan menghargai satu
sama lain. Pak Eka juga menambahkan sama halnya apabila ketika ada seseorang
yang secara tidak sengaja menginjak sesajen apakah akan terjadi hal yang sama,
itu kan tidak masuk akal. Maka dari itu Pak Eka juga sembari mengingatkan
ketika kita berada di Kampung Cikondang kita juga harus bertanya mengenai apa
yang dilarang di sekitar Kampung Cikondang tersebut, bukan masalah hal-hal
mistis melainkan lebih ke arah tata cara kesopanan bagaimana seharusnya kita
bertindak di daerah yang belum pernah didatangi atau daerah yang adat
istiadatnya sangat kental seperti Kampung Cikondang. Selain itu Pak Eka telah
membuat sebuah buku yang ditulis dalam bahasa sunda, yang nantinya dapat dibaca
oleh masyarakat ataupun mahasiswa yang ingin mempelajari lebih dalam mengenai
kampung Cikondang.
Thank you ! ;) |
Kak boleh tanya" tentang kampung cikondang ga?? Untuk tugas penelitian^^
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete