Nama: Vebrin
NIM: 11140110142
Kelas: E1
Saat awal perkuliahan semester tiga (dimana saya dan teman-teman pertama
kali mendapatkan tugas ini), saya merasa “Duh! Serius?”; merasa sedikit tidak
percaya diri bahwa saya dapat menyelesaikannya dengan baik. Bulan pertama,
bulan kedua, sampai bulan ketiga, saya masih santai-santai; sama sekali tidak
berusaha untuk memikirkan tentang budaya apa yang akan saya pilih dan dimana lokasinya.
Sampai pada akhir November akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke Kampung
Betawi yang berada di Kelurahan Srengseng Sawah, Setu Babakan, Kecamatan
Jagakarsa, Jakarta Selatan. Tepatnya berada di antara Jakarta Selatan dan
Depok.
Pada tanggal 15 Desember 2012, dengan bantuan Wenny Lovenza Anastacia, Savira
Nadia Putri, dan Jesica Tifany, saya dan teman-teman akhirnya dapat pergi ke
sana. Kami tidak hanya berempat atau berlima, namun berdua belas! :D
Satu hari sebelum kami berangkat, saya dan teman-teman sudah janjian untuk berangkat jam 8:30 (dari
tempat Savira) menuju ke Pasar Modern BSD untuk bertemu dengan Wenny. Sampai di
sana, kira-kira jam 9:30 kami semua berangkat bersama. Perjalanan ke Kampung
Betawi seingat saya memakan waktu kurang lebih tiga jam, tepatnya dari jam
setengah sepuluh sampai jam dua belas-an.
Hal itu cukup melelahkan karena kami sempat salah jalan dan diperparah dengan
panasnya udara di siang hari. Hm!
Sesampainya saya dan teman-teman di kawasan Kampung Betawi, mata kami
dimanjakan dengan tampilan bangunan yang bergaya Betawi. Mulai dari gapura,
rumah-rumah penduduk, sampai pada baju yang digunakan oleh masyarakat di sana.
Semuanya kental dengan budaya Betawi. Sebenarnya, kawasan yang memiliki luas
kurang lebih 289 hektar itu memiliki dua setu. Setu yang pertama adalah Setu
Babakan, sedangkan setu yang kedua adalah Setu Mangga Bolong. Keduanya dikelilingi
oleh berbagai macam pohon buah khas Betawi seperti pisang, melinjo, rambutan,
dan lain-lain. Tidak hanya mengelilingi setu, pepohonan itu juga nampak menghiasi
rumah-rumah warga.
Mobil yang saya tumpangi diarahkan ke sebuah lahan parkir yang nampak seperti
lapangan bola dan membayar Rp5.000.
Tempat itu cukup luas. Perkiraan saya,
mungkin dapat ‘menampung’ sekitar 20 mobil. Setelah mobil diparkir di bawah
pohon yang rindang, kami semua satu persatu turun dari mobil. Tidak lupa saya
membawa almamater Universitas Multimedia Nusantara agar tidak kepanasan.
:D Dengan sinar matahari yang cukup menyengat, kami semua berjalan memasuki
lokasi utama dari Kampung Betawi.
Memasuki jalan yang cukup sempit, saya melihat ini semua.
Ada musholla, bus, tempat penyewaan baju adat Betawi, warung, dan rumah-rumah khas Betawi yang dihuni oleh banyak keluarga. Ada anak-anak yang sedang asyik bermain di depan
rumah; bermain mobil-mobilan dan masak-masakan. Pandangan saya terhenti pada sebuah pintu kayu yang cukup besar. Saya dapat
melihat dengan jelas di dalam sana ada banyak rumah-rumah yang cukup besar dan
tertata dengan rapi, dan saya langsung berpikir, “Kayaknya ini jalan masuk ke
Kampung Betawi.”
Panggung yang berukuran cukup besar menambah keyakinkan saya bahwa
tempat yang saya masuki tidaklah salah. Karena tidak ingin terlihat seperti para
‘penyusup’, saya dan teman-teman memutuskan untuk datang ke pusat informasi
untuk memberitahu apa tujuan kami semua datang ke tempat itu.
Di sana, saya melihat beberapa lemari kaca yang diisi dengan berbagai macam barang yang berhubungan dengan Betawi. Mulai dari buku, pajangan, sampai pada penghargaan.
Setelah memberitahu
dan mendapatkan sambutan yang baik, kami semua melanjutkan observasi. Beberapa dari kami sempat bingung mengapa pada hari itu (Sabtu) Kampung
Betawi tidak ramai dikunjungi pengunjung, padahal itu adalah hari libur. Sebuah
papan pengumuman yang berada di depan pusat informasi memberikan jawaban pada
kami.
Hal yang menyebabkan Kampung Betawi sepi dari pengunjung adalah karena pada
hari itu tidak ada kegiatan apa-apa. “Ramenya mah hari Minggu, Dek!” Seorang
ibu mengatakan itu pada saya. Hmm,
mungkin ia adalah salah satu penduduk di sana.
Di sebrang papan pengumuman, saya melihat sebuah panggung yang dapat dikatakan lumayan besar.
Di sana lah tempat dimana berbagai macam pertunjukan khas Betawi dilaksanakan. Jika saat sedang menonton pertunjukan ada yang ingin ke toilet atau musholla, di dekat panggung ini ada toilet dan musholla loh! Jadi kita tidak perlu khawatir.
Saat saya menoleh ke kanan dari tempat itu (foto di atas), saya melihat sebuah dekorasi yang identik dengan warna ungu. "Apa ini?" pikir saya.
Hal yang pertama kali muncul di dalam benak saya tentang dekorasi itu adalah pernikahan. Mungkin baru saja ada acara pernikahan atau acara khusus lainnya (yang saya tidak tahu) sebelum saya dan teman-teman sampai di sana.
Setelah cukup lama berjalan, merekam, dan mengambil gambar, saya (dan
ternyata teman saya juga) merasa lapar. Ketika kami berjalan perlahan-lahan
menelusuri Kampung Betawi, kami menemukan banyak makanan yang dijual. Ada kerak
telor, tauge goreng, laksa, es
selendang mayang, dan sebagainya. Karena ingin tahu rasa dari makanan-makanan khas
Betawi, kami semua saling berbagi satu sama lain. Hahaha. “Lupain diet buat
hari ini!” Seseorang mengatakan itu. :p
Tidak hanya mencoba, saya juga bertanya tentang bahan-bahan yang
diperlukan untuk membuat masakan Betawi itu kepada para penjualnya. Dengan
ramah, mereka menjelaskannya.
Makanan pertama yang akan saya jelaskan adalah kerak telor. Salah satu bahan yang cukup
penting dari makanan ini nampaknya sudah bisa ditebak. Ya, telur! Telur yang
digunakan bisa telur ayam atau telur bebek. Tapi biasanya yang digunakan untuk
membuat kerak telor adalah telur
bebek, tidak tahu mengapa. Berdasarkan pengamatan dan informasi dari seorang
ibu penjual kerak telor yang saya
temui di sana, cara ia membuat makanan khas Betawi itu pertama-tama dengan menaruh
beras ketan putih yang sudah direndam selama 1 hari di dalam sebuah kuali, lalu
panaskan. Setelah panas, beras ketan putih dibubuhi oleh dua sendok makan
serundeng (kelapa sangrai), ebi (udang kering yang diasinkan), lada, garam, dan
MSG secukupnya. Setelah itu dicampur dengan telur (ayam atau bebek) dan diaduk
hingga merata.
Jika warnanya sudah sama semua (kecoklatan); tidak ada bagian yang
berwarna putih lagi, beras ketan dapat dipipihkan menjadi bentuk piringan yang
lebar (mirip telur dadar). “Kalau bentuknya pipih begini, kerak telor lebih
cepat matang,” kata ibu itu. Setelah dipipihkan dan kembali dipanaskan, kerak telor dapat dipanaskan dengan cara
membalik kuali. Hal ini tidak akan menyebabkan kerak telor jatuh karena ia sudah merekat. Proses pemanasan kerak telor ini memakan waktu sekitar tiga
sampai lima menit (tergantung dari besarnya api). Jika sudah matang, kerak telor dapat diangkat, lalu diberi
taburan serundeng dan juga bawang goreng. ‘Pizza Betawi’ siap dihidangkan!
Makanan Betawi yang kedua adalah tauge goreng. Setiap orang yang belum
tahu mengenai tauge goreng pasti akan mengira bahwa makanan ini dibuat dengan
cara digoreng diatas sebuah penggorengan. Namun hal itu tidak benar. Namanya
saja yang menggunakan kata ‘goreng’, akan tetapi makanan tersebut dibuat dengan
cara direbus. Pertama-tama, panaskan sebuah wajan yang telah diisi oleh sedikit
air putih. Setelah panas, taruh tauge secukupnya. Sambil menunggu tauge agak
matang, kita dapat menyiapkan sebuah piring dan memotong-motong ketupat
(setengah atau satu ketupat, sesuai selera) menjadi beberapa bagian. Setelah
itu, masukan oncom yang sudah dipotong-potong dan mie kuning ke dalam wajan,
lalu aduk hingga merata. Setelah cukup matang, semua campuran ini dapat
dipindahkan ke piring yang sudah diisi dengan potongan ketupat, lalu disiram
dengan kuah yang dibuat dari gabungan tauco dan oncom, bumbu bawang merah,
cabai merah, dan kecap. Nyam-nyam! Mind
to try it?
Laksa. Makanan ini memiliki tampilan yang mirip dengan soto, namun, dimana
kah perbedaannya? Dari bahan dan cara pembuatannya mungkin kalian dapat
membedakan laksa dengan soto. Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat laksa
adalah bawang merah, bawang putih, bihun, tahu, kunir, kemiri, ketumbar, daun
salam, sereh, laos, santan, udang windu, tauge, daun bawang, bawang goreng, garam,
merica, dan gula. Yang harus dilakukan pertama kali adalah menghaluskan semua
bumbu-bumbu yang ada (kecuali daun salam dan sereh), lalu tumis hingga harum.
Setelah itu, tambahkan air putih secukupnya, daun salam, santan, dan penyedap. Jika
sudah memiliki rasa yang pas (sesuai selera), laksa dapat dituang ke dalam
sebuah mangkuk, lalu dicampur dengan bihun, udang, tahu (yang sudah
dipotong-potong dan digoreng), serta tauge. Setelah itu, berikan juga bawang
goreng dan daun bawang sebagai pelengkapnya. Laksa Betawi siap dihidangkan!
Sekarang kita beralih ke minuman khas Betawi. Adakah yang menyukai minuman yang
terbuat dari gula jawa? Kalau iya, kemungkinan besar kalian akan menyukai
minuman yang satu ini. Minuman khas Betawi yang menggunakan gula jawa adalah es
selendang mayang. Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat minuman ini adalah
tepung sagu aren, tepung beras, garam, daun suji, daun pandan yang sudah
disobek-sobek, santan, gula merah, gula pasir, dan air putih. Langkah pertama,
kita dapat mencampurkan air dengan tepung beras dan tepung sagu aren, lalu
didihkan. Setelah mendidih, masukan daun pandan, garam, dan gula pasir
secukupnya. Aduk hingga merata, angkat, dan saring. Setelah disaring, panaskan
lagi campuran tersebut dengan ditambahi tepung sagu aren, dan aduk dengan cepat
sehingga dapat tercampur dengan rata. Jika sudah mendidih, campuran ini dapat
segera diangkat dan dituang ke dalam sebuah loyang. Setelah diruang dan
diratakan, permukaan dari campuran dapat diberi pewarna makanan berwarna merah.
Jika sudah merata atau selesai ‘didandani’, biarkan dingin dan mengeras
terlebih dahulu.
Sayang sekali saya tidak dapat menampilkan foto es selendang mayang di sini karena pada saat itu saya lupa memotonya. Hahaha.
Selain makanan dan minuman yang baru saja saya jelaskan, masih ada juga loh makanan Betawi yang lain. Beberapa
contoh di antaranya adalah kembang goyang,
dodol,
roti buaya,
es goyang,
bir pletok, rujak bebek, dan
sebagainya. Sungguh budaya yang kaya akan makanan!
Selain penjual yang hanya menjual satu jenis makanan Betawi, ada juga loh rumah makan yang menyediakan berbagai macam jenis makanan khas Betawi. Salah satunya ini.
Selain makanan dan minuman, setiap budaya pasti memiliki pertunjukan khas, begitu pula dengan
Betawi. Di Kampung Betawi, khususnya setiap hari Minggu, terdapat berbagai
macam pertunjukan khas Betawi. Salah satunya adalah Lenong Betawi. Pertunjukan
biasanya diadakan dari jam 13:00 sampai 16:00. Pertunjukan yang diadakan tidak
mengecewakan! Alunan musik, tarian, serta logatnya benar-benar Betawi banget. Saya sungguh terhibur.
Setelah menonton, saya dan teman-teman berkeliling Kampung Betawi untuk
mencari hal-hal apa lagi yang menarik untuk dilihat. Beberapa saat setelah itu,
kami menemukan sebuah kereta yang ditarik oleh seekor kuda. Ya, namanya Delman.
Alat transportasi khas Betawi ini menarik perhatian kami. Dengan segera, saya
dan teman-teman (berempat) menaiki delman tersebut. Sepanjang perjalanan, kami
sempat menanyakan beberapa pertanyaan seputar budaya Betawi dan delman itu
sendiri. Sang pemilik (yang sudah berusia kurang lebih 65 tahun) berkata bahwa budaya
Betawi dewasa ini sudah merupakan campuran dari berbagai macam budaya lain. Hal
itu disebabkan karena adanya pernikahan antar orang yang memiliki budaya
berbeda. Pernyataan pertama dari Bapak itu membuktikan kalau pada umumnya
orang-orang Betawi tidak strict mengenai
keturunan pada saat menikah. Tidak perduli apakah sang calon suami atau istri
berasal dari budaya yang berbeda. Ia juga menjelaskan bahwa delman asli Betawi
adalah delman yang memiliki roda besar dan tinggi, serta dihias dengan
pernak-pernik yang mirip dengan ondel-ondel. “Delman asli Betawi itu yang
seperti di sana. Rodanya besar dan tinggi, serta dihias dengan berbagai
pernak-pernik yang mirip dengan ondel-ondel. Kalau delman saya ini campuran
dengan budaya yang ada di Bandung. Bisa dilihat dari rodanya yang menggunakan
roda mobil.”
Delman Bandung |
Delman Betawi |
Beberapa saat setelah saya dan teman-teman menaiki delman, kami
melangkahkan kaki menuju seorang ibu yang menjual kembang goyang, roti buaya,
bir pletok, dan lain-lain. Sambil memilih-milih makanan, kami sedikit
berbincang-bincang seputar budaya Betawi. Ibu itu menjelaskan khususnya tentang
pernikahan. Ia mengatakan bahwa pada pernikahan khas Betawi terdapat tradisi palang
pintu. Palang pintu berupa silat yang dilakukan oleh ‘jagoan’ dari pihak pria
dan wanita sebelum memasuki rumah calon istri. Sebelum calon istri menerima
lamaran, calon suami melakukan pantun-pantunan.
Selain tradisi itu, pada pernikahan disediakan juga berbagai macam peralatan
khusus seperti dandang dan kayu bakar. Ada juga yang bernama tukon. Tukon
bukanlah sebuah peralatan, melainkan proses menuntun seekor kambing. Selain
beberapa hal itu, ada juga makanan-makanan khas Betawi yang disediakan. Beberapa
contohnya adalah geplak, dodol, uli, roti buaya (yang berarti suami atau istri
akan setia; hanya memiliki satu pasangan saja sampai ajal menjemput), serta wajik
(terbuat dari ketan yang dimasak dengan kelapa dan gula merah).
Ia juga mengatakan bahwa ada tahapan dalam sebuah pernikahan Betawi.
Yang pertama adalah ngedelengin. Sebelum
melaksanakan pernikahan, pada umumnya ada perkenalan secara langsung antara
keluarga dari pihak laki-laki dengan keluarga dari pihak perempuan. Masa
perkenalan ini tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan ada peran orang ketiga
atau mak comblang (encing atau encang). Kata ngedelengin
berarti sang mak comblang atau bisa
juga calon suami menggantungkan sepasang ikan bandeng di depan rumah calon
istrinya. Hal ini memberarti bahwa sang gadis sudah ada yang suka. Setelah itu,
mak comblang akan datang ke rumah
sang gadis untuk mengobrol dengan orangtuanya dan memberikan uang semble atau angpao. Bila sudah ada kecocokan,
mak comblang kembali datang ke rumah
sang gadis; menjadi juru bicara mengenai kapan akan melamar, serta hal-hal apa
saja yang dibutuhkan dalam proses pelamaran.
Tahap yang kedua adalah nglamar.
Tahap ini dilakukan secara resmi. Pihak laki-laki menyiapkan pisang raja, sirih
lamaran, hadiah pelengkap, roti tawar, serta para utusan (mak comblang serta dua pasang wakil orang tua dari pihak
laki-laki). Sang pelamar akan mendapatkan jawaban, entah itu penerimaan atau
penolakan dari pihak perempuan. Peran sang gadis di sini tidak hanya menentukan
apakah ia menerima atau menolak lamaran tersebut. Jika ia ingin menerima, ada syarat
yang harus dipenuhi olehnya yaitu harus sudah tamat membaca Al Quran.
Tahap setelah nglamar adalah bawa tande putus. Pada tahap ini, calon
suami memberikan sebuah cincin yang dibuat dari rotan sebagai tanda ‘putus’.
Putus di sini memiliki arti bahwa sang calon istri sudah tidak dapat diganggu
lagi oleh pihak lain (walaupun belum resmi menikah). Selain itu, ada juga
beberapa ‘utusan’ yang datang ke rumah calon istri untuk membicarakan beberapa
hal. Beberapa hal itu di antaranya adalah budget
yang dibutuhkan untuk melangsungkan pernikahan, apakah ada yang dilangkahi
(kakak dari calon suami maupun istri), siapa dan berapa udangannya, dan
kira-kira berapa lama pesta pernikahan akan digelar.
Setelah melakukan tahap-tahap tersebut, sampai lah pada tahap yang
terakhir yaitu akad nikah. Sebelum
melakukan secara adat, para calon mempelai harus melakukan beberapa rangkaian
pra-akad nikah. Rangkaian tersebut adalah masa
dipiare. Masa dipiare ini maksudnya
adalah mempelai wanita ‘dipelihara’ oleh seseorang yang biasanya disebut tukang
piara. Hal ini harus dijalankan untuk
mengontrol kesehatan, memelihara kecantikan, serta mengatur kegiatan dari
mempelai wanita. Sebelum melaksanakan ‘rangkaian’ yang selanjutnya (acara siraman yang
dilakukan satu hari sebelum akad nikah), mempelai wanita dipingit terlebih
dahulu selama kira-kira satu bulan. Selama dipingit, ia akan berpuasa selama
satu minggu dan juga dilulur. Benar-benar disiapkan dan menyiapkan diri untuk
menyambut hari bahagia itu.
Proses siraman sudah dilakukan, sekarang acara tangas. Mempelai wanita akan mandi uap yang bertujuan untuk
membersihkan seluruh tubuhnya dari sisa-sisa lulur yang mungkin saja
tertinggal. Ia duduk di sebuah kursi yang di bagian bawahnya terdapat air panas
yang dicampur dengan rempah-rempah. Proses ini dilakukan selama tiga puluh
menit; sampai ia wangi rempah-rempah dan juga mengeluarkan keringat.
Rangkaian yang terakhir adalah malem
pacar. Pada saat itu akan dilakukan pengerikan bulu dari kalong menggunakan
uang logam yang digunting dan juga memerahkan kuku kaki dan tangan mempelai
wanita dengan pacar. Jika seluruh rangkaian itu sudah dilakukan, akad nikah pun
dapat dilaksanakan. Pada acara ini, mempelai wanita mengenakan baju kurung dan
selendang sarung songket. Kepala atau rambutnya pun dihias dengan sanggul,
sepasang burung Hong, dan kembang goyang. Pada mempelai pria, jas, kain sarung
plakat, dan baju gamis adalah
beberapa contoh dari pakaian yang dikenakan olehnya.
Dalam melakukan akad nikah, mempelai pria tidak dapat sembarangan masuk
ke dalam rumah mempelai wanita. “Jagoan dari pihak laki-lakinya harus
berhadapan sama jagoan dari pihak perempuan trus
silat-silatan. Kalo kayak gitu namanya
palang pintu,” jelas ibu itu. Jika sudah selesai, proses seserahan dapat
dilakukan dan mempelai pria dapat membuka cadar mempelai wanita. Saat cadar
sudah terbuka, mempelai wanita dapat mencium tangan dari mempelai pria dan
keduanya duduk di pelaminan. Cukup rumit yah?
Sesaat setelah saya bertanya-jawab dengan ibu itu, saya menemui seorang
pengunjung yang bernama ibu Nunung untuk menanyakan (lagi) seputar budaya
Betawi. Ia menjelaskan beberapa hal, salah satunya bahasa. Orang-orang Betawi
dinilai terbiasa untuk berbicara dengan suara yang kencang dan bahasa yang
ceplas-ceplos. “Cablak!” salah satu dari ibu yang lain mengatakan itu. Walaupun
begitu, mereka tidak bermaksud untuk ‘kasar’ terhadap lawan bicaranya. Hal itu
hanya sebatas budaya dan kebiasaan. Ia juga mengatakan bahwa orang-orang Betawi
pada umumnya dapat dengan mudah beradaptasi dengan mereka yang berasal dari
budaya lain.
Pernyataan dari ibu Nunung tersebut berkaitan dengan apa yang telah
dibahas sebelumnya oleh Larry A. Samovar dalam buku “Komunikasi Lintas Budaya”
tentang karakteristik budaya. Samovar menjelaskan bahwa suatu budaya dipelajari,
dibagikan, dan diturunkan dari generasi ke generasi. Nenek moyang Betawi telah mengajarkan,
membagi, serta menurunkan budaya berbicara dengan ceplas-ceplos dan suara yang
cukup kencang kepada anak, cucu, cicit, dan selanjutnya. Tidak hanya itu, hal
tersebut juga berkaitan dengan aksen (cara seseorang berbicara berbeda-beda
walaupun menggunakan bahasa yang sama, berkaitan dengan nada) serta dialek
(menggunakan kosakata yang berbeda walaupun memiliki arti yang sama).
Pernyataan bahwa orang Betawi dapat beradaptasi dengan mereka yang
berasal dari budaya lain juga berkaitan dengan apa yang telah saya pelajari di
universitas. Hal tersebut berkaitan dengan world
view atau cara pandang seseorang dari satu budaya mengenai orang-orang
disekitarnya atau dunia ini. World view membekali
setiap orang untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi lingkungan yang
dihadapinya. World view bersifat
implisit (tidak dinyatakan secara verbal, melainkan nonverbal) dan sudah mulai
dibentuk dari kecil. Mereka sadar bahwa ada banyak orang yang berasal dari
budaya yang berbeda, namun berusaha untuk saling menghargai dan menghormati
agar terhindar dari konflik.
Setelah selesai tanya-jawab, saya bertemu dengan seorang pria yang menggunakan baju khas Betawi di area parkir. Dan itu menarik perhatian saya! Karena tertarik, saya memutuskan untuk memotretnya dan menunjukkannya kepada kalian semua. :)
Tata cara, tahapan, dan tradisi lainnya yang ada pada (salah satunya)
budaya Betawi dapat terlihat cukup rumit bagi
kita yang tidak terbiasa dengan hal itu. Akan tetapi, hal-hal seperti itu lah
yang menjadikan suatu budaya unik; berbeda daripada yang lainnya. Semoga setiap
budaya yang ada di Indonesia dapat dilestarikan dengan baik agar tidak habis
termakan oleh zaman yang semakin modern. Dan juga, kita semua dapat menghargai serta
menghormati segala perbedaan agar negara ini tetap ‘kaya’ dan damai.
See you later, Kampung Betawi!
No comments:
Post a Comment