Nama : Daniel Eliezer
NIM : 11140110124
Kelas : E1
Kampung Sindang Barang,
untuk pertama kalinya saya dengar nama kampung ini selama saya berada di
Indonesia. Ya, saya secara tidak sengaja saya dikenalkan kampung ini sama teman
saya. Dia bilang tempatnya itu “mantep
bro”. Langsung waktu denger dia bilang itu, saya penasaran kayak apa
mantapnya. Dan pada tanggal 24 Desember, saya melakukan perjalanan menuju ke
kampung Sindang Barang yang berada di kota Bogor. Cukup sulit melakukan
perjalanan ke sana. Karena saya masih buta akan tempat-tempat di Bogor. Ya, fyi buat yang buta dengan kota hujan
seperti saya tapi mau ke kampung Sindang Barang, karena nama Sindang Barang itu
ada banyak lho disana. Beberapa kali saya bertanya kampung budaya Sindang
Barang, warga-warga Bogor luar masih ada yang enggak tahu sama kampung ini.
Jadi, harus sedikit bersabar, dan tekankan kalau kampung Budaya ini ada di
Pasir Eurih!
Setelah sudah mendapat
pencerahan dari beberapa orang Bogor, akhirnya mulai muncul tanda-tanda kalau
perjalanan saya sudah benar. Rumit, adalah kata yang bisa ngewakilin kondisi
jalannya untuk menuju kampung ini. Jalan kecil, padat, naik-turun, semua
dirasakan. Dan benar saja untuk memasuki kawasan kampungnya sendiri, harus
menanjak cukup curam dan bukan beraspal tetapi berbatu kali yang tidak
kecil-kecil.
Seperti yang sudah dikatakan
sebelumnya bahwa kampung budaya Sindang Barang ini terletak di kota Bogor.
Tepatnya di Jalan E. Sumawijaya Sindangbarang Desa Pasir Eurih. Dan ternyata
hanya berjarak 5 km dari kota Bogor. Dan daerah sini banyak angkutan umum yang
lalu lalang. Hanya saja saat mau masuk ke dalam mungkin harus naik ojek. Karena
angkutan umum tidak masuk kedalam.
Lebih kurang jam 9.15 pagi,
saya berada di kampung budaya tersebut. Ternyata saya kalah pagi sama rombongan
anak-anak SD yang juga sedang studytour
untuk mendalami budaya yang ada di Sindang Barang. Kampung ini benar – benar
dikelilingi dengan warna hijau. Asri dan lapang sekali.
Suasana
Kampung Budaya Sindang Barang
Pertama kali menginjak pintu
masuk kampung budaya ini, selain ramai oleh anak sekolah dasar, saya juga cukup
terbawa imajinasi saya ke sinetron – sinetron tradisional, dimana orang – orang
asli sindang barang mengenakan baju hitam tradisional lengkap dengan kain
penutup kepala. Terasa bedanya. Dan saat itu segera saya mendekati orang
berbaju hitam tersebut, untuk meminta izin dan bertanya-tanya dahulu.
Saat itu, saya masih
memanggil mereka dengan sebutan pak, siapapun itu. Namun ternyata di kampung
ini ada perbedaan yang baru saya sadari saat bertanya-tanya kepada salah satu
orang Sindang Barang, ternyata ada panggilan-panggilan seperti akang atau abah.
Dan saya baru menyadarinya ketika melihat salah satu dari mereka sedang
menunjukkan kepada saya orang-orang yang dapat menemani saya untuk mengetahui
lebih dalam tentang kampung Sindang Barang. Mereka memanggil kepada yang muda,
dengan sebutan akang. Dan pada yang lebih tua dipanggil abah, yang tiba-tiba
pikiran saya tertuju pada sinetron keluarga cemara, si abah penarik becak.
Sesuai dengan buku Komunikasi Lintas Budaya terdapat teori Tinggi rendahnya
Pengaruh Kekuasaan. Menurut teori ini, panggilan kepada seseorang dapat
dipengaruhi oleh kekuasaan seseorang maupun urutan kelahiran seseorang atau
usia. Di kampung budaya ini, warga Sindang Barang memanggil warga lainnya
kepada yang lebih muda dengan Akang, dan kepada yang lebih tua yaitu Abah.
Panggilannya adalah Abah
Ukat. Beliau adalah sebagai pemandu atau orang yang dapat menemani juga
menjelaskan lebih dalam mengenai budaya – budaya yang ada di kampung Sindang
Barang ini. Abah Ukat ini dikenal sebagai pengelola budaya di kampung Sindang
Barang. Beliau juga memakai pakaian adat kampung Sindang Barang yakni baju kain
hitam dan kain penutup kepala.
Sejarah…
Untuk sejarahnya, Abah Ukat
bercerita cukup lama dan tak jarang ia mengatakan kosakata – kosakata Sunda,
yang berarti saya harus berfikir “apa artinya ya?”
Jadi, kampung Sindang Barang
sebenarnya sudah ada pada zaman kerajaan – kerajaan. Nama kerajaannya yaitu
Kerajaan Sunda. Di Sindang Barang merupakan kampung adat. Namun pada tahun
lebih kurang 70, rumah – rumah yang ada disana mulai satu per satu menjadi
rumah modern. Yang dimaksud dengan rumahnya sudah mulai berubah menjadi modern
yaitu seperti rumah biasanya yang sudah dinding memakai tembok dan atapnya yang
mulai memakai genteng. Berbeda dengan masa lampau yang rumahnya masih memakai
bambu dan bahan – bahan dari alam yang lainnya seperti ijuk. Walau begitu,
kampung Sindang Barang merupakan awal kebudayaan Sunda di kota Bogor dan
upacara adatnya yaitu Seren Taun masih dilakukan sampai sekarang.
Sayangnya, untuk upacara
Seren Taun sudah ada jadwal – jadwalnya setiap tahunnya yaitu tanggal 2
Desember. Seren Taun sendiri adalah pesta panen sebagai bentuk syukur
keberhasilan panen, kadang juga disebut dengan Seren Taun Buru Bumi. Biasanya
dalam acara tahunan tersebut, warga membawa hasil – hasil panen mereka seperti
padi, buah – buahan, dan hasil pertanian lainnya. Hasilnya panen yang dibawa
khususnya padi, biasanya langsung ditaruh di lumbung padi atau yang dikenal
dengan leuit. Dan berhubung saya
datang ke kampung ini pada tanggal 24 Desember, saya tidak bisa mengikuti acara
tahunan mereka. Padahal, kampung budaya Sindang Barang ini merupakan pusat
untuk mengadakan acara Seren Taun kabupaten Bogor yang telah ditetapkan oleh
bapak Gubernur pada tahun 2006 silam.
Lanjut lagi ke cerita
sejarah Sindang Barang, waktu demi waktu berlalu sampai ada gerakan untuk
mengadakan acara Seren Taun pertama kalinya sejak beberapa abad silam pada
tahun 2000. Oleh Abah Maki dan juga Abah Ukat serta beberapa kokolot lainnya
merencanakan acara tersebut di lapangan bola tidak jauh dari lokasi kampung
budaya yang sekarang ini. Dan tidak disangka masyarakat menerima acara tersebut
sehingga acara Seren Taun Buru Bumi ini ramai di datangi bahkan diliput oleh
wartawan. Berawal dari adanya liputan dari wartawan sehingga setiap ada seminar
yang membahas kebudayaan Sunda, kampung adat Sindang Barang sering disebut.
Dan memang ternyata ada buku
pantun Bogor tentang zaman Padjajaran yang menceritakan Sindang Barang dan
Rancamaya. Buku tersebut ditemukan oleh Budayawan Jawa Barat. Dan pada tahun
2006, akhirnya bangunan – bangunan adat khas Sindang Barang itu dibangun
kembali untuk melestarikan budaya Sunda Sindang Barang sebagai bentuk
pengetahuan bagi anak - anak di Indonesia. Walaupun untuk masalah perawatan
rumah – rumah adat ini cukup sulit. Karena kondisi cuaca dan lain – lainnya
yang semakin buruk sehingga mempunyai banyak resiko. Tetapi setelah saya
melihat rumah – rumah disana, unik sekali rumah – rumahnya. Dan memang terasa
seperti berada pada zaman lampau. Dan ketika berbincang dengan abah Ukat di
Imah Gede, terasa sangat hangat perbincangannya karena bukan duduk di bangku
atau yang lainnya, tetapi dengan lesehan. Ya, lesehan diatas alas kayu, dan
dengan dinding memakai anyaman bambu.
Oh iya, tahukah kalian kalau
Sindang Barang ini mempunyai hubungan dengan suku Badui? Pak Ukat membeberkan
kepada saya kalau memang benar Sindang Barang ini mempunyai hubungan terhadap
Suku badui. Ya, pada abad ke-16, saat Padjajaran sedang perang saudara dengan
Demak, Banten, Cirebon. Adanya pergeseran terhadap masalah kekuasaan,
kepercayaan, dan lain – lain. Sehingga Sindang Barang juga ikut terbakar kampungnya
oleh tentara Banten karena posisi Sindang Barang yang berada di antara
Padjajaran dan Banten. Dan warga Sindang Barang pun sampai mengucapkan sakit
hati, bahasa sundanya Pasir Eurih. Pasir itu tinggi Eurih itu Sakit. Sehingga
ada nama kampung Pasir Eurih yang dijadikan sejarah dan tidak boleh hilang.
Seperti yang kita ketahui
tentang suku Badui yang sangat kuat dalam adatnya sehingga mereka juga
mempunyai kepercayaan sendiri yaitu Suna Wiwitan. Yaitu agama perpecahan dari
Muslim yang dimana agama ini lebih merujuk pada alam. Tetapi berbeda dengan
Sindang Barang. Kalau Sindang Barang sudah lebih berbaur dengan yang ada saat
ini. Salah satunya adalah masalah keyakinan atau agama. Penduduk asli Sindang
Barang mayoritas beragama Muslim. Tetapi ada juga yang mengkaji dengan masalah
alam seperti Abah Ukat ini yang juga mempercayai bahwa bukan hanya ayat yang
terdapat di Al-quran saja yang diturunkan dari yang Maha Kuasa, tetapi ada hal
yang belum tersirat yaitu alam. Beliau mempercayai kalau kita baik terhadap
alam, maka alam juga akan baik kepada kita. Karena itu, kembali lagi kepada
teori yang dituliskan oleh Larry A. Samovar, dkk bahwa Orientasi manusia
terhadap alam dan adanya kerja sama dengan alam seharusnya manusia, dalam setiap cara, hidup secara harmonis dengan
alam. Dan beberapa penduduk adat telah melakukannya walaupun ada yang tidak
sependapat dengan hal tersebut. Walaupun menurut Abah Ukat ini perintah untuk
menghormati alam, mengkaji bahwa alam mempunyai energi itu sudah diperintahkan
oleh yang Maha Kuasa.
Cerita Lainnya....
Banyak perbincangan yang
terjadi saat itu, hingga mengenal akan budaya orang yang memakan makanan
memakai tangan bukan sendok. Beliau memberikan pengetahuan kepada saya kalau di
setiap jari kita mempunyai energi. Menurut analisis orang – orang zaman dulu,
setiap jari kita mempunyai kekuatan, dimana dapat dicoba seperti mengambil dari
masing – masing jari kita. Dan dapat dibandingkan dengan memakai sendok.
Makanan lebih cepat busuk jika dimakan dengan tangan. Berbeda dengan sendok
yang dipercaya lebih lama busuknya. Efeknya? Kinerja lambung kita akan lebih enteng
dalam memproses makanannya.
Lebih lanjut, Abah Ukat yang
mempunyai kedudukan sebagai pengelola adat, karena beliau mempunyai cerita
budaya yang diturunkan dari zaman Padjajaran terus sampai hadirnya Abah Ukat di
kampung budaya tersebut, dan cerita yang terjadi sebelumnya pun di turunkan
kepada beliau dari neneknya yang bercerita sampai – sampai pernah ada seseorang
yang meminta untuk beliau membuatkan buku tentang sejarah kampung Sindang
Barang.
Terkait dengan adanya
hubungan dengan alam, Pak Ukat sempat bercerita tentang anaknya yang percaya
atau tidak percaya pernah dikasih tahu oleh alam bahwa ada sesuatu yang akan
terjadi. Sayangnya, beliau tidak menjelaskan detil apa yang akan terjadi pada
saat itu. Oke, menurutnya, kalau kita sebagai manusia baik terhadap alam, maka
alam pun akan baik terhadap kita, seperti yang dialami oleh keluarga Abah Ukat
ini, alam memberi tahu sesuatu kepada anak beliau yang paling tua. Kok bisa?
Ya, karena menurut beliau karena beliau sudah berbuat baik kepada alam, menghormati
alam, dan
lain – lain.
Setelah berbincang dengan
Abah Ukat, saya sempat mengambil beberapa gambar lagi untuk dokumentasi tugas
komunikasi antar budaya ini. Dan ada yang menarik di sebelah Imah Gede, apa
itu? Ya, saya melihat di bangunan yang dinamakan Saung talu. Disana ada seorang
perempuan remaja yang sedang memegang kain. Tepatnya perempuan itu sedang
membatik.
Saung Talu
Tepat dibelakang 2 pria
gambar diatas, disana ada alat musik tradisional yang mungkin bagi banyak orang
sudah tak asing lagi. Alat musik yang tidak begitu terlihat adalah angklung. Saung
Talu merupakan bangunan yang difungsikan untuk menggelar pementasan seni dan
juga tempat menyimpan alat – alat musik, seperti yang dapat di lihat di gambar
atas, angklung – angklung di taruh di bangunan ini.
Disekitar saung talu, kita
dapat melihat panorama yang sudah sangat jarang dapat kita lihat di kota, yaitu
hamparan sawah. Menyegarkan sekali. Lebih jauh lagi sebetulnya saya melihat ada
bayang – bayang gunung di ujung sana. Walaupun matahari pada saat itu cukup terik,
namun tidak sepanas dari biasanya. Cukup adem. Mungkin karena lingkungan yang
asri dan hijau di kampung budaya membuat udara menjadi lebih bersahabat.
Hamparan Sawah di Kampung Sindang
Barang
Nah, setelah berbincang,
mendengarkan cerita – cerita yang disampaikan oleh Abah Ukat tadi, untuk
beberapa kasus yang terjadi di kampung Sindang Barang, juga ada hubungannya
dengan penjelasan teori yang dikemukakan oleh sang penulis buku tersebut Larry
A. Samovar dkk: “bahwa kebudayaan itu
dibagikan; anggota dari suatu budaya dapat juga membagikan identitas budaya
mereka yang umum. Identitas budaya ini menghasilkan situasi dimana anggota dari
setiap budaya mengenal mereka sendiri & tradisi budayanya adalah berbeda
dari orang lain dan tradisi orang lain. Selain kebudayaan itu dibagikan,
budaya juga diturunkan dari generasi ke generasi. Seperti yang disampaikan oleh
Abah Ukat tentang cerita sejarah yang diturunkan oleh nenek beliau. Dan bapak
beranak 4 ini pun juga membagikan kepada orang-orang seperti saya, sehingga
saya mengenal budaya kampung Sindang Barang ini yang dikenal dengan budaya
sunda Bogor.
Selain dua teori diatas,
masih ada lagi teori yang berkaitan, yaitu belajar budaya melalui karya seni. Seperti
yang sudah saya ceritakan ketika saya melihat saung talu. Disana ada perempuan
yang sedang membatik. Hal tersebut mencerminkan kalau kita pun dapat belajar
budaya dari karya seni seperti membatik atau pun melalui bermain angklung. Karena
“karya seni mencerminkan suatu
masyarakat.” Juga “melalui
pembelajaran karya seni dan kreativitas antarbudaya, kita menemukan banyak perbedaan
pola pikir, kepercayaan, aliran politik, nilai – nilai sosial, struktur
kekerabatan, hubungan ekonomi, dan juga sejarah” oleh karena itu seni
menurut saya harus ada di dalam suatu budaya. Mengapa? Karena seni mempunyai
bahasa sendiri yang dapat menerjemahkan suatu budaya masyarakat tertentu. Baik batik
ataupun musik tradisional, mempunyai terjemahan sendiri yang dapat memikat
orang – orang tertentu. Dan bagian lainnya ialah dengan bahasa verbal. Ketika saya
berbincang, membuat saya belajar untuk berfikir bahwa masih banyak di dunia ini
atau bahkan di Indonesia ini yang belum saya ketahui. Sehingga saya merasa
bersyukur telah mengetahui satu budaya yang sangat besar di Indonesia, yaitu
budaya Sunda dari Kampung budaya Sindang Barang.
The End :)
Observasi Kampung Budaya Sindang Barang
No comments:
Post a Comment