Nama : Triani Hanifa
NIM : 11140110217
Kelas : G1
Kampung Budaya Sunda, Kampung Sindang Barang
Indonesia
adalah Negara yang memiliki kebudayaan yang beragam. Memiliki kekayaan akan
bahasa, adat, suku, makanan khas dan kekayaan alam yang melimpah dengan
keindahan seisinya. Kita patut bangga
dan menjaga Negara Indonesia ini dengan segenap hati. Menurut hasil sensus BPS
tahun 2010 tercatat 1.340 suku yang ada di Indonesia. Sungguh banyak bukan? Dan
harus di ketahui, meskipun kita memilki suku, etnis, ras maupun agama yang berbeda,
tapi kita tetap bersatu di dalam satu kesatuan yaitu bersatu sebagai warga
Negara Indonesia. Belajarlah menjaga dan menghargai kebudayaan kita di mulai dari
diri kita sendiri.
Dari
sekian banyak suku di Indonesia saya tertarik untuk membahas mengenai Suku
Sunda. Suku sunda adalah Suku yang memiliki populasi terbanyak kedua setelah
Suku Madura di Indonesia. Suku Sunda memiliki 31,765 juta jiwa yang mana
kawasan utama terletak di Jawa Barat. Saya berkunjung ke kampung sunda yaitu
Kampung Budaya Sindang Barang. Kampung Budaya Sunda Sindang Barang ini adalah
kampung yang di huni oleh warga yang semua berasal dari suku sunda. Kampung
Budaya Sindang barang terletak di Kampung Sindang Barang, desa Pasir Eurih,
kecamatan Taman Sari, kabupaten Bogor Barat. Berjarak 5 KM dari Kota Bogor atau
60 km dari Kota Jakarta. Akses menuju Kampung Sindang Barang sangat mudah
tinggal menaiki angkot yang bertuliskan “SBR” dari sebrang jalan Mall BTM lalu
turun di pertigaan kampung budaya membayar 2000 rupiah dan naik ojek satu kali
dengan mebayar 5000 rupiah, jalan ke
atas lalu sampailah kita di sana. Jalanan nya cukup menanjak dan berliku,
tetapi ketika sampai kita akan melihat rumah-rumah panggung yang ada disana. Jumlah
penduduk di kampung Sunda ini sekitar 12.000 jiwa. Dimana kampung ini terdiri
dari 14 RW dan 54 RT. Di kampung ini memiliki kepala Suku yang bernama Bapak Achmad Mikami Sumawijaya. Di kampung ini saya bertemu dengan beliau. Beliau dengan
ramah menyambut kedatangan saya dan teman-teman. Beliau sehari-hari tinggal di
rumah nya yang masih di dalam daerah kampung sindang Barang ini, ungkin
seminggu dua kali Pak Achmad tinggal di rumah ini. Di sana saya mendapatkan
banyak sekali informasi mengenai Kampung Sunda Sindang Barang, di sana juga
saya mengikuti aktivitas warga yang ada. Sayang nya ketika saya ke sana upacara
adat baru saja di langsungkan, namun saya dan teman-teman tidak patah semangat
untuk mencari informasi mengenai Kampung Sindang Barang .
Lumbung Padi |
Peresmian Kampung Sindang Barang |
Bagaimana sih awal nya Kampung Sindang Barang ini berdiri?
Begini cerita nya Kampung Sindang Barang sudah ada
sejak jaman kerajaan sunda sebelum Pajajaran. Menurut naskah kuno pantun Bogor,
Kampung Sindang Barang ini terdiri dari 33 Punden Berundak yang merupakan
tempat beribadah orang sunda zaman dahulu yaitu warga kota Pakuan yang
berjumlah 50.000 jiwa.Pada
masa Pemerintahan Rakean Darmasiksa, Beliau memerintahkan untuk membuat
Undakan-undakan suci di Sindang Barang. Kutipan Pantun Ki Kamal mengatakan :
“Ulah Sindangbarang geusan tata pangkat diganti deui,
Sang Pamanah Sang Darmajati, tanah lemah tutup bumi , tutup buana dat mulusna”
Kata-kata
dalam raja tersebut menjelaskan bahwa Sindang
Barang dikategorikan sebagai “Tempat Suci” bahkan dianggap Penaung Dunia dan
pengayom dari segala kesempurnaan. Dan hingga saat ini Kampung Sindang Barang
telah mengalami perubahan yaitu letak nya berpindah setelah adanya rekontruksi
ulang kampung adat, karna lokasi di sana telah penuh. Jadi setelah pajajaran
hancur 4 windu menurut cerita poplor, di sini sudah berdiri kampung adat dan
upacara adat setiap tahun yang dinamakan "Seren Taun" yang merupakan upacara ungkapan rasa syukur masyarakat
terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen dan hasil bumi yang diperoleh
pada tahun ini dan berharap hasil panen tahun depan akan lebih baik lagi.
Hingga tahun 70 an upacara adat nya terhenti dan rumah adat satu persau hilang
dan khirnya pada tahun 2006 di revitalisasi dan di rekontruksi ulang yang
bersumber dari naskah pantun Bogor yang menuliskan cerita mengenai letak dan
tata kampung. Dan jadilah yang sekarang ini.
Rumah Kepala Suku "Imah Gede" |
Rumah Sekertaris "Girang Serat" |
Berikut tadi adalah rumah kepala
suku yang biasa di sebut “Imah Gede” dimana rumah Kepala Adat biasanya terletak
di paling tinggi. Dan di samping rumah kepala adat, ada rumah sekertaris yang
di sebut “Girang Serat” selain itu terdapat juga “Saung Talu” yang digunakan
untuk pertunjukan kesenian yang ada di Kampung Sindang Barang. Di depan rumah
Kepala Adat biasa nya terdapat Alun-alun untuk melakukan upacara adat yang di
lakukan 1 tahun sekali, namun setiap sebulan sekali mereka selalu mengadakan
selametan di malam ke 14 pertengahan bulan Hijriah yang di tujukan untuk
mengirim doa kepada para leluhur. Di malam itu mereka menyediakan kue tujuh
rupa yang merupakan lambang tujuh lapis bumi, bunga tujuh rupa melambangkan tujuh
lapis langit, parukuyan, kopi pahit merupakan lambang dunia atas (langit), kopi
manis melambangkan dunia bawah (bumi). Itu adalah semua sebagai perlambang
sebagaimana orang sunda zaman dahulu menggabungkan unsur-unsur alam, menurut mereka
ketika unsur langit dan bumi dapat di gabungkan dalam suatu doa maka akan
terjadi kesempurnaan dan kesuburan.
Berbicara mengenai rumah panggung yang ada di sini, rumah ini memiliki arti,
yang pertama disebut “Buana Panca Tengah” terletak pada bagian teras memilki
arti yaitu dunia untuk manusia, kedua “Buana Handap” yaitu dunia tempatnya
siluman, setan dan mahluk halus lainnya, ketiga “Buana Luhur” yaitu tempat tinggal atau bersemayam nya para
leluhur. Mengapa orang zaman dahulu memilih rumah panggung? Karna mereka
bersahabat dengan alam. Dan mengapa mereka menggunakan ijuk sebagai atap rumah?
Karena konon pada zaman dulu di percaya bahwa Tuhan yang Maha Esa sering
menurunkan wahyu di pohon aren, maka di anggaplah pohon aren sebagai pohon
suci, maka ketika seseorang memakai ijuk yang berasal dari pohon aren untuk
atap rumah, di percayalah bahwa Tuhan akan menaungi rumah tersebut.
Waroge |
Waroge disebutkan sebagai simbol mantra
sunda kuno yang berbentuk hiasan yang memilki arti untuk tolak bala agar
terhindar dari gangguan gaib dalam kehidupan manusia.Berdasarkan etimologi kata Waroge
berasal dari kata Daruga atau Darugi yaitu metatesis kata Durga atau Durgi.
Dalam kisah Hinduistis tokoh Durga adalah Dewi istri Batara Sywa yang bernama
Uma, yang melakukan keslaahan pada dirinya sendiri akhirnya ditenung oleh
suaminya menjadi sosok Raksesi serta dibuang dan kemudian menjadi ratu para
siluman di Setra Ganda Mahayu. . Konon katanya pada zaman dulu Nini Daruga masi
di percaya sebagai siluman yang suka mengganggu manusiaWaroge bisanya di gambar di sembilah
bambu di tancapkan ke tanah dan di pasang di sudut-sudut rumah. Waroge
sudah masuk sejak zaman Hindu memasuki Nusantara, Namun
di dalam pemaknaan serta wujud dalam simbol reka hias masyarakat sunda
merupakan percampuran kisah Hinduistis dgn kepercayaan lokal masyarakat sunda
arkais. Maka masyarakat mempercayakan Waroge sebagai pengusir petaka atau mara
bahaya. Berikut ini aadalah penjelasan dari maasing-masing gambar Waroge yang
saya dapatkan di depan pintu masuk rumah Kepala Suku.
Haranghasuan (Waroge symbol api) berfungsi menggelapkan mata gaib jahat agar tidak mengganggu perkampungan, perumahan dan lahan garapan, Ratuning tutulak (Waroge simbol tanah) penolak segala gangguan dari kedengkian, kebencian, kejahilan baik dari manusia ataupun gaib jahat, Watu Panggilang (Waroge simbol batu) penolak segala gangguan gaib jahat yang ada di batu, Wangapah (Waroge simbol air) penolak gangguan gaib jahat yang ada di air, Wawayangan (Waroge simbol angin) menjaga keselamatan dan kesentosaan manusia agar terhindar dari malapetaka gangguan gaib jahat.
Haranghasuan (Waroge symbol api) berfungsi menggelapkan mata gaib jahat agar tidak mengganggu perkampungan, perumahan dan lahan garapan, Ratuning tutulak (Waroge simbol tanah) penolak segala gangguan dari kedengkian, kebencian, kejahilan baik dari manusia ataupun gaib jahat, Watu Panggilang (Waroge simbol batu) penolak segala gangguan gaib jahat yang ada di batu, Wangapah (Waroge simbol air) penolak gangguan gaib jahat yang ada di air, Wawayangan (Waroge simbol angin) menjaga keselamatan dan kesentosaan manusia agar terhindar dari malapetaka gangguan gaib jahat.
Penduduk
di Kampung Sindang Barang rata-rata memeluk agama Islam dan masih memengan
prinsip kekeluargaan yang sangat tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Pekerjaan
mereka sehari-hari yaitu sebagai pengerajin sepatu, pengerajin batik, kantoran
walaupun sedikit dan berladang. Ini adalah foto pengerajin sepatu
Pengrajin Sepatu |
Sepatu-sepatu
ini tidak bisa di perjual belikan eceran, mereka hanya menjual ke pemasok
perkodi. Harga terjangkau dan berkualitas. Sepatu-sepatu ini di sebarkan ke
daerah ke Pasar Anyar Bogor, Pasar Pagi
dan sampai ke daerah Jati Negara Jakarta. Dulu pengerajin sepatu sangat banyak
sekali di kampung ini, tapi karna mereka sudah mendapatkan ilmu nya maka mereka
membuka usaha sendiri di luar perkampungan. Selain
itu pekerjaan mereka mebuat batik yang sama sekali tidak menggunakan bahan
kimia, melainkan berasal dari tumbuh-tumbuhan. Batik ini di perjual belikan
jika ada pengunjung yang ingin membeli dengan harga 150.000 rupiah.
Batik Kampung Sindang Barang |
Pekerjaan selanjutnya yaitu bercocok tanam atau
berladang, para penduduk biasa menanam padi, jagung, dan ubi untuk memenuhi
kebutuhannya sehari-hari.
Begitulah
kegiatan mereka dalam segi pekerjaan. Terlihat suasana di desa ini sangatlah
sejuk dan damai. Bahasa yang di gunakan sehai-hari yaitu bahasa Sunda dan
Indonesia. Mereka semua sangat ramah dan terbuka mengenai sejarah kampung
mereka kepada saya dan teman-teman. Cuaca di Kampung Sindang Barang berkisar antara 23 derajat C pada malam hari dan 30 derajat C pada diang
hari. Untuk melestarikan kesenian tradisional di Kampung Sindang Barang di
adakan pelatihan gamelan bagi anak-anak yang menyukai kesenian secara gratis.
Setiap malam minggu bapak-bapak mengadakan latihan gamelan, dan pada hari rabu
ada sebagian anak-anak yang berlatih tarian daerah.
Salah satu keunikan yang ada di
Kampung Sindang Barang mengenai adat ketika akan melamar seseorang, atau biasa
di sebut “Perebut Seeng” adalah jika ada seseorang yang ingin melamar salah
satu warga sini, syarat nya harus dapat merebut seeng dari lawannya atau biasa
yang lebih di kenal semacam silat. Apabila seeng tersebut berhasil di dapatkan
maka dia boleh melamar pilihannya tersebut apabila tidak maka dia tidak berhak
melamar pilihannya. Sampai saat ini kebiasaan seperti itu memang masi di
lestarikan hingga saat ini, namun berbeda dengan zaman dulu, bahwa zaman
sekarang semua sudah di buat agar seeng tersebut harus dapat terambil dari sang
pelamar. Karna pada zaman dulu pernah terjadi keributan karna seeng tersebut
tidak terambil. Di kampung Sindang Barang ini memiliki 8 kesenian yang telah di
revitalisasikan oleh para penduduknya. Pada saat tradisi ini di lakukan semua nya
berbusana Adat. Ada yang mempimpin jalan nya upacara Adat, dan apabila
memungkinkan biasanya di adakan tarian-tarian.
Bermain Bakiak |
No comments:
Post a Comment