Pages

Saturday, January 5, 2013

Kampung Betawi, Dunia Yang Nyaman

Frederick
11140110148
 kelas G1
Kampung Betawi Setu Babakan

Kampung Betawi yang terletak di Lenteng Agung, Jakarta Selatan ini, berupa layaknya sebuah komplek/ perumahan. Yang membedakannya dengan komplek-komplek lain, tentu saja bentuk-bentuk rumahnya yang sebagian besar khas Betawi. Meskipun sebagian besar rumah juga terhitung sederhana, tetapi semuanya terlihat bagus dan serasi.
Luasnya yang ternyata seluas 289 hektar lebih jelas membuat linglung ketika awal masuk ke kampung ini. Saya dan kru ( teman-teman) sempat tersasar dan akhirnya menemukan jalan. Tapi, ternyata kami sampai di pesisir sebuah setu. Betapa panik yang saya rasakan waktu itu. Ternyata, Kampung Betawi memang berada di dekat Setu Babakan yang juga menjadi wilayahnya.
Kampung ini telah dilindungi oleh Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta. Perkampungan yang dibangun pada Oktober 2000 ini diresmikan tanggal 20 Januari 2001 oleh mantan Gubernur DKI jakarta, Bapak Sutiyoso. Daerah kampung Betawi berpusat pada RW 08, selain RW itu, pembangunan belum banyak dilakukan.
Di daerah ini, banyak sekali rumah yang bagi saya hanya berbeda dari pagar dan catnya, Namun, setelah banyak bertanya pada berbagai orang yang lewat, ada kantor pengelola dan juga rumah yang dikhususkan untuk pengunjung yang berniat untuk menginap atau disebut home stay. Totalnya ada 67 rumah.
Ini dia kantor pengelolanya
Tanpa Basa-Basi, saya langsung menghampiri rumah yang ternyata kantor pengelolanya. Meskipun disebut kampung, akan tetapi cukup banyak motor yang ada di parkiran. Awalnya, kepanikan melanda saya karena lupa membuat surat izin. Tetapi, Ibu Irma, salah seorang pengelola yang baik mengizinkan saya untuk masuk.
Lingkungan yang asri, indah, serta hawa angin sepoi-sepoi yang cukup membuat mager (males gerak) ini membuat Kampung Betawi sangat nyaman untuk dikunjungi. Belum lagi tiket yang ternyata GRATIS (hari gini gratis loh). Meskipun begitu, tetap ada tarif untuk keamanan parkir. Tarif yang ada tidak ditentukan alias seikhlasnya. Yang menjadi penjaga kendaraan juga warga sekitar.
malah ada yang jual ketoprak :9 mantaap
Banyak sekali hal unik yang ada di Kampung Betawi ini, diantaranya adanya aktifitas sehari-hari penduduk sekitar seperti Pencak Silat, serta pertunjukan tari-tarian dan musik seperti gambang kromong. Makanan yang ada di tempat ini juga semuanya bernuansa Betawi. Tentu saja yang paling banyak muncul dimana-mana adalah Soto Betawi, Laksa, dan Kerak Telor.
Saking banyaknya, kepala saya agak pusing untuk membedakan satu pedagang Kerak Telor satu dan lainnya. Tapi, ada juga Soto Mie dan batagor yang bukan berasal dari daerah Betawi. Petugas yang mengatur parkir dan mengatur arah masuk kendaraan semuanya memakai baju adat betawi.
Ternyata tidak semua penduduk dari sini asli suku Betawi. Menurut kesaksian narasumber, Ibu Irma, RW 06. 07. 08, yang merupakan wilayah kampung betawi ini terdiri dari banyak suku, mulai dari Suku Padang, Batak, Jawa, hingga Papua. Perbedaan yang ada ternyata tidak memunculkan konflik. Mereka semua hidup berdampingan dengan damai. Bahkan, beberapa penduduk non betawi yang ada rela untuk mengubah desain rumahnya menjadi khas ala betawi untuk menghormati kebudayaan yang ada disana. Prosentasenya. 60 persen orang Betawi atau penduduk asli, dan 40 persen lainnya pendatang.

Proses akulturasi yang ada, membuat suku-suku yang ada disini sanggup mengerti istilah-istilah Betawi, dan bercanda layaknya suku Betawi, tanpa melihat latar belakang ataupun ciri fisik. Saya sendiri cukup tertegun ketika melihat ada orang papua dengan logatnya bercanda layaknya orang Betawi.
Bicara soal fasilitas yang ada, semuanya benar-benar terawat dan didesain layaknya sebuah kampung. Sayang, sanitasi yang ada kurang terawat sehingga merepotkan untuk yang suka beser-beser dan kebelet. Belum lagi ternyata saat ramai ada uang kebersihan untuk sarana sanitasi itu. Untungnya, sarana kamar mandi itu masih dapat digunakan. Meskipun kenyamanannya kurang.
Rumah-rumah yang ada ternyata menjadi tempat untuk duduk bagi para pengunjung yang datang pada hari Minggu. Kampung Betawi yang tidak terlalu ramai ternyata berbanding terbalik ketika hari Minggu. Kepadatan dan keramaiannya tidak kalah dengan PRJ yang selalu “banjir” manusia.
Rumah-rumah khas Betawi sendiri ternyata memiliki makna tersendiri yang mendalam. Pagar yang ada, berbentuk orang, menandakan untuk permisi dan rumah itu memiliki penghuni. Warna hijau dan kuning yang mendominasi bangunan yang ada menandakan kesejukan serta keceriaan yang menghiasi rumah yang ada.
Hal yang selaras muncul karena penduduk yang teramat ramah. Budaya asal nyeblak mereka juga menunjukkan bahwa mereka rata-rata low-context. Mereka jujur pada perkataan mereka dan sangat asik untuk diajak mengbrol. Ketika mereka bersenda gurau, meskipun kata-kata yang diucap terbilang kasar, tetapi lawan bicara mereka biasanya membalas dengan tersenyum. Dari apa yang saya lihat dan amati, sama sekali tidak ada rasa kesal, yang ada, mereka menganggap itu hanya sebuah bercandaan dan justru memperkuat tali persaudaraan mereka.
Acara yang ada, diadakan tiap Sabtu-Minggu. Uniknya , acara tidak akan sama karena ada sanggar-sanggar berbeda yang bersedia untuk tampil. Sanggar-sanggar kesenian ini sebelumnya harus terdaftar dulu di Dinas wilayah Jakarta Selatan. Tentunya, semua acara yang ada bernuansa khas Betawi. Salah satu yang terkenal adalah Gambang Kromong.
Gambang Kromong, penuh dengan pantun-pantun bernuasa jenaka serta musik yang nikmat didengar telinga. Kesenian yang terbentuk karena pencampuran budaya Arab, Melayu, dan China ini terkenal memang karena sifatnya yang jenaka. Para pemainnya juga menggunakan baju khas Betawi dan menggunakan bahasa yang lumrah didengar masyarakat Betawi. Sekali lagi, meskipun mereka terdengar saling menghina tetapi tidak tercipta suasana konflik. Yang ada adalah suasana tertawa dan bahagia. Kesenian ini, dapat dipadukan dengan musik modern.


Kawasan yang berdekatan dengan Setu Babakan ini teramat ramai ketika ada sebuah acara kesenian yang berlangsung. Orang berbondong-bondong datang untuk melihat kesenian Betawi yang ada, serta jajanan khas dan juga wahana-wahana yang ada. Seperti Perahu Naga dan Delman/Andong.
Sayangnya, suasana yang asri dan bersih ini diusik oleh pengunjung yang datang dengan membuang sampah sembarangan sehingga membuat sekeliling perkampungan menjadi kumuh dan kotor. Bahkan, air di Setu babakan tidak lagi jernih melainkan Hijau karena tercampur berbagai sampah yang dibuang oleh pengunjung. Hal yang sangat disayangkan, tentunya. Padahal wisata ini merupakan buatan alam dan bukan buatan manusia.

Numpang Eksis dikit, jas Demang/abang, dan Kebaya None
Seusai berkeliling sejenak, saya dan teman-teman diajak untuk melihat busana asli betawi. Ternyata busana khas dibagi sesuai usia. Yang masih pekat dalam ingatan saya adalah Kebaya Ncim, Kebaya None dan juga Jas Abangnya. Pada Kebaya perempuannya, 6 kancing yang ada menandakan rukun Islam.
Sedangkan pada Jas Abangnya, yang saya rasakan adalah terlalu besar, lalu banyak aksesorisnya, salah satunya ialah kuku macan. Disebut kuku macan karena kuku macan melambangkan kejantanan. Tetapi, ini tentu bukan kuku macan aslinya karena jelas sulit untuk dicari. Untuk perempuan, banyak sekali perhiasan dari kalung dan gelang. Pada awalnya, semua perhiasan perempuan adalah emas asli namun seiring perkembangan jaman digunakanlah kuningan.
Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan diantara Jas Abang dan Jas untuk pria yang tua . Perbedaan yang signifikan dapat dilihat dari pakaian untuk prosesi pernikahan. Ada yang terinspirasi dari Budaya Arab, ada juga yang terinspirasi dari Budaya China. Satu hal yang cukup menarik menurut saya, Pakaian Kebaya Ncim dapat digunakan untuk acara formal maupun aktivitas sehari-hari.
Selain itu, pakaian adat betawi untuk pria yang lain, Baju Sadariah, memiliki semacam “Sarung” di pundaknya. Baju yang terdiri dari baju koko dan celana boim (dapat berupa batik maupun bahan) ini teramat sering muncul dalam film-film. Awalnya saya pikir itu sarung kecil. Ternyata itu digunakan untuk mengusap keringat dan alat untuk perlindungan diri. Ikat pinggang yang besar digunakan untuk menyimpan uang di ujung sisinya.
Menurut pernyataan Ibu Letong, Saking terkenalnya Jas Abang ini, bahkan beberapa orang menggunakannya untuk sidang skripsi. Sedangkan kebayanya, ternyata cukup panas ketika dipakai, menurut kesaksian pacar saya.
Esok harinya, saya dan kru kembali ke Kampung Betawi melanjutkan observasi. Betapa terkejutnya saya dan mereka ketika melihat keramaian manusia yang teramat banyak. Saking banyaknya, saya sampai sukar melihat jalan. Belum lagi teman saya mulai menyebar, kalau saya anak kecil, pasti saya sudah menangis dan berakhir di bagian informasi.
Ternyata, keramaian ini disebabkan oleh adanya pertunjukkan kesenian mingguan. Dan kata orang-orang, kesenian Gambang Kromong yang ada sudah terkenal hingga masuk ke acara di Trans 7. “Wah keren “, itu yang terucap dalam benak saya. Menuju Setu Babakan, pedagang makanan dan mainan yang ada bertambah sepuluh kali lipat. Dari loket perahu naga sampai pintu ke Kampung Betawi semuanya ramai oleh makanan. Dan tentu saja, pasangan-pasangan mojok.
Bau Cabenya?? GREGET
Lelah menunggu acara mulai, saya memutuskan untuk makan bersama teman-teman. Kami membeli beberapa kuliner khas betawi, terutama bir pletok. Ternyata, minuman ini disebut Bir karena fungsi yang sama yakni menghangatkan. Meski disebut bir, tetapi minuman ini tidak mengandung alkohol. Melainkan cabe dan lada.
APA?? Cabe diminum? Ya begitulah, bau cabe nan pedas dipadu lada sanggup membuat orang yang meminumnya megap-megap layaknya ikan yang dikagetkan dengan petasan. Oke ini lebai, tapi memang pedasnya greget. Buktinya saja saya minum sampe tumpeh-tumpeh.
Es Selendang Mayang, Bir Pletok, Soto Betawi, Kerak Telor
Beruntung, si ayang perhatian dan memberikan saya minuman lain *ceileeeeh. Nama minuman ini Es Selendang Mayang. Nama yang indah kan? Tapi ternyata isinya semacam agar-agar santen yang dipotong dalam skala tak muat untuk sekali ditelan. Airnya pun santen yang diberikan gula aren, mirip-mirip dengan Dawet Ayu/cendol dari Jawa. Bedanya Dawet ayu tidak perlu repot memotong “cacing hijau”nya, tinggal diminum saja.
I Want You...I Need You...I Love You..~
Salah satu teman saya membeli Kerak Telor (Batavian’s Traditional Omelette). Baunya yang menggiurkan menggugah selera saya untuk mencicipinya. Bagi saya rasanya seperti telur yang ditaburi daging sarden dan dicampur ketan. Yaa, semacam itulah rasanya di lidah saya ini. Ketika Menu lain nampak di hadapan saya yakni Soto Betawi (Batavian’s Beef Soup) nafsu makan saya meningkat ribuan persen. Bau santen yang merebak dipadu dengan daging sapi yang ada membuat tanggul dalam mulut saya lepas. Tanpa basa basi saya langsung melahapnya.
Seusai makan, kami beranjak untuk melihat kesenian yang ada. Ternyata sekumpulan ibu-ibu yang hendak menyanyi. (bayangkan saja SNSD atau JKT48 di hari tuanya nanti). Entah kenyang atau mengapa, tapi saya terus terang mengantuk mendengar alunan dari para ibu-ibu di depan. Kesenian ini disebut qasidahan. Satu2nya alat music selain kecrekan yang dipakai adalah rebana.
Usai mendengar alunan lagu indah dari para ibu-ibu yang kadang menggunakan bahasa Arab kadang-kadang hanya “lalalallaa” *entah lupa lirik atau backsound. Tapi, setelah itu muncul sebuah alunan indah yang memanjakkan kuping. Semacam keroncong tetapi agak lebih bersemangat menurut saya pribadi.
Orang-orang yang tadinya keluar mendadak masuk dan berkumpul. Saya agak kesulitan untuk mengambil gambar dari dekat karena ukuran tubuh saya yang besar menghalangi pandangan penonton. Dengan berbagai trik dan tipu muslihat, pada akhirnya saya dapat mendapatkan spot nikmat untuk melihat acara Gambang Kromong sembari merekam.
Sesaat muncul dua orang host. Mereka saling berbalas pantun yang bagi saya lucu dan sangat menghibur. Meskipun bahasa yang digunakan terkesan kasar, selalu saja meledek dengan “muke lo kayak…” akan tetapi semua tertawa terbahak-bahak termasuk para pemain alat musiknya. Hal ini juga yang membuat saya harus take beberapa kali karena perut saya berguncang menahan tawa.

Kesenian ini tak jauh berbeda dengan Lenong, menurut saya. Hanya saja Gambang Kromong dipenuhi lagu-lagu layaknya Opera Van Java, dan kesenian ini dapat dipadukan dengan lagu modern. Saya melirik ke arah beberapa orang yang berlalu lalang, kemudian memutuskan untuk pergi sebentar untuk melihat apa yang mereka bawa.
Entah kenapa saya jadi inget si Apriyani dengan Xenia mautnya hehehe *peace Nyak
Ternyata benda coklat lembek itu adalah dodol. Betawi memang terkenal dengan dodolnya yang khas serta nikmat. Saya kemudian bertanya pada warga sekitar dan memutuskan untuk pergi sebentar melihat pembuatan dodol.
Sesampainya disana, ternyata pembuat dodolnya perempuan semua. Kelihatannya memang mudah sekali untuk mengaduk adonan dodol. Tapi ternyata saat dicoba sungguh berat rasanya.Meskipun terlihat seperti ibu-ibu biasa, tetapi mereka kuat sekali. Pembuat resep asli dodolnya sendiri telah meninggal, dan usahanya diteruskan turun temurun.
Ternyata proses untuk pengadukan dodol ini memakan waktu 7-9 jam. Sungguh waktu yang lama, makanya mereka menggunakan sistem shift alias ganti-gantian. Konon kata mereka, dodol itu enak ketika dibiarkan selama 4 hari sampai seminggu. Entah terjadi fermentasi di dalamnya atau dodol menjadi manis layaknya wine yang menua, saya pun tidak mengerti.
Kembali ke Gambang Kromong, saya yang hendak merekam terpaksa mengurungkan niat karena kepungan pengunjung yang membuat saya terhalang dan tidak dapat mengambil spot yang baik untuk mulai merekam. Kemudian, saya dan kru memutuskan untuk pulang. Dari kejauhan, alunan musik Gambang Kromong masih terngiang di kuping saya.
Begitulah petualangan saya selama tiga hari di Kampung Betawi bersama teman-teman saya. Masyarakatnya yang ramah tamah, serta budayanya yang menarik untuk dikaji membuat saya tak akan menolak untuk berkunjung lagi kedua kalinya. Pergi ke wisata seperti ini yang melestarikan budaya dan menunjukkan identitas budayanya bagi saya jauh lebih menarik dibanding sekedar ke mall ataupun tempat rekreasi lain.
Keindahan alam serta berbagai informasi yang menambah pengetahuan saya disana membuat saya merasa observasi yang saya lakukan sebenarnya dapat lebih mendalam lagi. Meskipun luasnya yang lebih dari dua ratus hektar membuat saya trauma karena nyasar masuk ke gang-gang kecil. Bagi saya, harus ada lebih banyak lagi tempat-tempat seperti Kampung betawi ini, agar generasi ini tidak lupa akan budayanya sendiri dan terseret arus globalisasi dan westernisasi.

No comments:

Post a Comment