Pages

Saturday, January 5, 2013

Kesederhanaan Kampung Naga


Ervina

11140110152 / F1




Kampung Naga





Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang dikenal  terdiri dari berbagai etnis atau suku budaya serta memiliki bahasa dan agama yang beraneka ragam. Beberapa diantara suku-suku budaya tersebut tentu masih memegang kuat serta patuh terhadap aturan adat istiadat peninggalan para leluhurnya. Mereka tentunya juga masih menjalankan apa yang menjadi tradisi dari para nenek moyangnya dan terus diturunkan pada generasi penerus disuku mereka agar tetap terjaga tradisinya.

Seperti yang dikatakan oleh Charon, yang dikutip melalui buku komunikasi lintas budaya milik Samovar, dan kawan-kawan, mengatakan bahwa budaya adalah pewarisan social yang mengandung pandangan yang sudah jauh dikembangkan sebelum kita lahir. Masyarakat kita, misalnya, memiliki sejarah yang meliputi kehidupan seseorang, pandangan yang berkembang sepanjang waktu yang diajarkan pada setiap generasi dan “kebenaran” dilabuhkan dalam interaksi manusia jauh sebelum mereka meninggal.

Salah satunya suku budaya yang masih memegang teguh adat istiadat dari para leluhurnya  adalah  tempat yang saya datangi untuk melakukan observasi, yaitu Kampung Naga. Pada tanggal 21 hingga 23 desember 2012 lalu,saya dan teman-teman saya mengunjungi salah satu kampung adat di Tasikmalaya. Dari gading serpong kami berangkat menaiki mobil pribadi yang telah kami sewa, sekitar pukul 03.00 pagi, kami langsung berangkat menuju Tasikmalaya. Kurang lebih sekitar 6-7,5 jam kami menempuh perjalanan. Selama perjalanan sempat beberapa kali kami berhenti sejenak untuk beristirahat sambil menikmati pemandangan sekitar. Akhirnya pada pukul 10.00 siang, rombongan kami sampai di tempat tujuan, yang ditandai dengan sebuah tugu dan papan selamat datang yang ditulis dalam bahasa sunda “wilujeung sumping”. 

"Wilujeung Sumping di Kampung Naga"

Tugu Kujang Pusaka
 
Ternyata perjalanan kami belum selesai sampai disana, Ya.. kami memang sudah sampai di Kampung Naga, kampung naga pada tahap awal bisa dibilang. Kami harus menuruni kurang lebih 439 anak tangga untuk benar-benar sampai ke daerah pemukiman penduduk kampung naga karena letak kampung naga berada di bawah tebing. Setelah menuruni 439 anak tangga, barulah kami sampai di pemukiman penduduk kampung naga. Selama menuruni anak tangga kami disuguhi pemandangan yang indah serta udara yang sejuk yang tidak akan kami dapatkan dikota. Sama sekali tidak terdengar suara kendaraan bila kita berada di kampung naga tersebut, cocok sekali untuk beristirahat setelah penat dengan keseharian di perkotaan yang penuh dengan polusi dan kemacetan. Menurut saya terbayar sudah perjalanan yang kami tempuh selama 6-7,5 jam  serta ditambah menuruni 439 anak tangga untuk dapat sampai ke kampung naga ini.  

Seperti yang kita ketahui, mayoritas penduduk Indonesia pada zaman dahulu bekerja sebagai petani, menanam padi di sawah. Begitu juga dengan kesederhanaan masyrakat kampung naga, mereka setiap harinya bekerja diladang, menanam padi di sawah sebagai pekerjaan tetap mereka. Padi-padi tersebut biasanya ditanam pada bulan januari dan Juli , sehingga dalam 1 tahun terdapat 2 kali panen. Hasil panen tersebut akan dikonsumsi untuk sehari-hari selama 6 bulan, jika berlebih maka akan dijual yang hasil penjualannya digunakan untuk membelikan pupuk. Dalam mengolah padinya pun masih menggunakan alat-alat tradisional, seperti menggunakan lumbung padi dan alu, arit, cangkul dan perkakas tradisional lainnya.

Kampung Naga merupakan sebuah kampung yang masih kental dengan budaya adat sundanya. Dibangun ditanah yang subur seluas 1,5 Ha yang masih terjaga serta terasa kelestariannya hingga saat ini, terletak di daerah Tasikmalaya, tepatnya di Desa Nelgasari, kecamatan Salawu, kabupaten Tasikmalaya – Jawa Barat. Kata Naga berasal dari kata Dinagawir, yang kemudian diambil lah kata “Naga” untuk mempermudah penyebutan nama kampung tersebut. 


Kampung ini terdidiri dari 113 bangunan dan memiliki 108 kepala keluarga dengan total warga secara keseluruhan, baik anak kecil maupun hingga lanjut usia berjumlah 314 jiwa. Kepemimpinan di kampung ini dibagi menjadi 2 kepemimpinan, yaitu kepemimpinan formal dan non formal. Kepemimpinan formal seperti kepala dusun, Pak RT, Pak RH, dan Pak RW, kepemimpinannya bersifat demokrasi dengan masa jabatan 5 hingga 6 tahun lamanya. Tugas mereka adalah menyampaikan pemerintahan dari atasan sampai diterima ke masyarkat kampung naga guna tersalurkan informasi-informasi yang sekiranya penting diberitahukan kepada warganya sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Sementara bersifat non formal terdiri dari 3 bagain, pertama Kuncen yang bertugas sebagai pemimpin dalam ziarah makam, kedua Pundu yang bertugas untuk mengayomi warga dan yang terakhir Lebe yang bertugas untuk mengurusi jenazah dari awal hingga mengguburkan jenazah serta juga melakuakan upacara-upacara keaagamaan. Masing-masing masa jabatan non formal dapat berlaku seumur hidup bila masih mampu menjalankannya, pemilihannya calon pemimpin non formal berbeda dengan pemilihan calom pemimpin formal, diaman calon pemimpin non formal dipilih berdasarkan garis keturunan, artinya yang menjadi calon pemimpin non formal harus memiliki ikatan darah dengan pemimpin yang sebelumnya.












Sementara pekerjaan sampingan mereka adalah membuat berbagai kerajinan tangan dari bahan baku kain batik, kayu, bambu serta rotan dan biji-bijan. Biasanya dari bahan baku tersebut dapat mereka jadikan berbagai macam tas, gantungan kunci, gelang dan kalung, topi, alat masak, sandal bakiak, pajangan serta miatur rumah adat mereka dan alat musik tradisional, seperti angklung dan gerinding. Selain bertani dan membuat kerajinan, mereka juga membuat gula merah. Menurut salah satu pembuat gula merah dikampung naga, gula merah yang mereka olah tidak hanya untuk dimasak atau dicampur kedalam minuman, tetapi dapat dimakan langsung bila kita sedang dalam keadaan lemah dan letih. Warga kampung naga juga memiliki beberapa hewan ternak, seperti biri-biri, ayam, kelinci dan ikan. Hampir disetiap kolam  yang terdapat di kampung naga berisi ikan mas yang ukurannya cukup besar. Warga sekitar juga kreatif dalam memanfaatkan apa yang mereka punya, kolam yang berisi ikan mas tersebut disampingnya disediakan makanan ikan dalam bentuk plastic berukuran kecil yang dapat dibeli oleh para pengunjung kampung naga untuk memberi makanan kepada ikan-ikan di kolam tersebut.

Ternak Ikan Mas milik warga
 Masyarakat kampung naga menganut agama Islam. Dikampung ini sebenarnya tidak melarang agama apapun untuk dapat berkunjung atau mengetahui seluk-beluk tentang kampung naga tetapi untuk warganya sendiri diwajibkan beragama Islam dan wajib untuk mengikuti aturan-aturan Islam. Seperti halnya masalah pernikahan, warga kampung naga tidak melarang warganya untuk menikah dengan warga kampung lain, asalkan dengan syarat calon mempelai beragama Islam dan akan dinikahkan secara agama Islam juga. Bilamana mereka ingin tinggal dikampung naga, tentu diperbolehkan dan tentu lagi-lagi dengan syarat yang tidak sulit, mereka harus mengikuti semua aturan-aturan yang ada di kampung naga dna ikut melestarikan kampung naga tersebut.  Selanjutnya masalah pemakaman juga dilakukan secara hukum agama Islam. Pada intinya masyrakat kampung naga sangat patuh dan tunduk terhadap ajaran agamanya, yaitu agama islam. Sama seperti yang dikatakan oleh Daniel dan Mahdo dalam menulisakan synopsis mengenai kepercayaan Tunduk dalam agama Islam yang terdapat dalam buku Komunikasi Lintas Budaya milik Samovar dan kawan-kawan, mengatakan bahwa Islam sendiri berarti “tunduk” pada Tuhan dan kehendakNya. Quran menekankan keagungan Tuhan berulang kali, kemurahan hati yang ditunjukannya kepada manusia secara khusus, ketaatan serta rasa syukur dan upah yang diterima karena telah setia hingga akhir waktu.
 
Dalam keseharianya penduduk kampung warga menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa utamanya sehingga mereka kurang fasih dalam menggunakan bahasa Indonesia. Ada beberapa kesulitan yang kami hadapi ketika kami berinteraksi dengan warga sektar, karena kami kurang mengerti mengenai bahasa sunda sehingga kami mengartikannya melalui bahasa non verbalnya.

Setelah membahas sedikit tentang kampung naga, mulai dari lokasi kampung naga, kepemimpinan, pekerjaan, bahasa yang digunakan serta masalah agama dan pernikahan hingga pemakaman, selanjutkan akan dibahas mengenai aktivitas sehari-hari yang mereka lakukan selama saya dan teman-teman menginap di kampung naga serta akan dibahas juga mengenai larangan yang ada dikampung naga ini.

Pertama akan dimulai dari rumah tempat dimana saya akan menginap. Rumah-rumah di kampung naga semuanya memiliki bentuk yang sama dan saling berhadapan dengan tujuan sesama warga kampung naga harus saling menjaga dan saling membantu, atap rumah terbuat dari daun pohon aren (ijuk) , dinding rumah terbuat dari anyaman bilik bambu dan dicat putih menggunakan kapur, jendela dan pintu  terbuat dari kayu, lantai rumah terbuat dari kayu, rumah didesain seperti panggung dengan bentuk persegi dan menghadap ke arah utara – selatan serta memajang dari barat ke timur. Didalam rumah tidak terdapat kursi, hal tersebut bukan karna tempatnya sempit tapi hal tersebut memiliki arti sendiri dalam kampung naga. hal tersebut diartikan bahwa semua orang tingkatnya sederajat atau sejajar, tidak ada yang merasa diatas maupun merasa dibawah. Di dalam rumah terdapat 3 ruangan, dapur , tempat tidur, dan ruang tamu. 
 
Ketika itu saya menginap di rumah Ibu Cucu. Ibu cucu merupakan seorang ibu rumah tangga yang juga membantu suaminya menjual kerajinan tangan di atas kampung naga. Oh, ya perlu diketahui dikampung naga tidak menggunakan listrik dan gas. Bukan karna mereka tidak mendapat bagian dari PLN setempat tetapi karena mereka takut terjadi kebakaran bila pemasangan kabel tidak baik sehingga menimbulkan yang dapat menghanguskan seluruh bangunan dikampung naga tersebut. 

Sehingga sehari – hari mereka bergantung pada penerangan sinar matahari pada siang hari sementara malam hari mereka menngunakan lampu temple yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya. Untuk memasakpun mereka masih mengunakan peralatan yang sederhana, tidak menggunakan kompor dan memakai gas sebagai bahan bakar tetapi menggunakan tunggu sebagai tempat memasak dan menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya. Didalam rumah juga tak terlihat adanya tempat untuk mencuci piring dan kamar mandi. Tempat mencuci piring dan kamar mandi terletak tak jauh dari luar rumah dan digunkan untuk umum. Menurut keterangan dari Ibu Cucu biasanya mereka mencuci piring dikali tapi tetap menggunakan air bersih yang berasal dari pegunungan. Begitu juga dengan kamar mandi terebuat dari bilik-bilik bambu yang dibangun diatas kali, didalam jamban, sebutan kamar mandi disana, terdapat 2 aliran air, yaitu air kali dan air bersih dari pegunungan. 

Jamban
tempat cuci piring

Dikampung naga ini kami juga diajak berkeliling oleh seorang warga kampung naga sebagai tour guide kami, Mang Eno.  Bersama Mang Eno kami diajak mengelilingi kampung naga, diperkenalkan dengan alat music tradisional khas kampung naga, bernama Karinding Alat musik yang berukuran sekitar 10cm terbuat dari bambu, dimaikan dengan ditaruh di mulut lalu dipukul-pukul ujungnya menggunakan satu jari, sebagi pemula tentu cukup sulit untuk memainkannya, malah salah satu teman saya yang mencobanya tidak dapat mengeluarkan suara sama sekali mungkin memang dibutuhkan kesabaran dalam memaikannya agar dapat menghasilkan nada yang indah. 

Kami juga dikenalkan dengan pengobatan tradisional di kampung naga ini. Dikampung naga untuk masalah kesehatan masih diobati dengan tanaman tradisional, tindak lanjut seperti ke dokter atau puskesmas dilakukan bila keadaan memang sudah tidak memungkinkan untuk diobati secara tradisinal. Seperti salah satu obat tradisionalnya adalah Pakokak, tanaman kesehatan yang mudah ditemui di kampung naga, berfungsi sebagai obat kuat, bila kita dalam keadaan lemah, lesu serta letih kita dapat memakan langsung Pakokak sebanyak 7 biji untuk mengembalikan kesegaran tubuh kita. Sementar untuk mengatasi masalah pernafasan dapat menggunakan biji Kapoa. Selain menggunakan tanaman tradisional, masyrakat kampung naga juga menggunakan hewan yang masih hidup, salah satunya belut sawah. Menurut Mang Eno belut sawah yang telah direndam dalam air bersih selama 2 hari, harus ditelan secara hidup-hidup oleh orang yang sakit ataupun orang yang sehat, berguna untu meningkatkan kesehetan tubuh. Mereka tidak diperkenankan untuk membunuh belut tersebut dan belut tersebut nantinya akan mati dengan sendirinya diperut mereka. Untuk masalah melahirkan, tentu warga disini juga masih menggunakan cara tradisional, dengan mendatangkan seorang bidan untuk membantu melahirkan, warga kampung naga juga ada beberapa yang menjadi asisten bidan, salah satunya orangtua ibu cucu.

Mang Eno saat menelan belut sebagai obat tradisional

Tanaman Obat Pakokak


                Dalam menjaga perdamaian dan persatuan kampung naga, para penduduknya saling mempercayai satu sama lain, seperti yang dikatan Ibu Cucu pada kami, bila sudah ada handuk di kamar mandi, maka orangpun tidak akan mencoba mengintip ataupun masuk. Selain saling mempercayai satu sama lain untuk menciptakan perdamaian agar dapat hidup rukun mereka juga menganut konsep budaya sunda, silih asah yang berarti saling menyayangi, silih asih yang berarti saling member, silih asuh yang berarti saling menghargai, yang terakhir silih payungan yang berarti merangkul sesama, sehingga bila ada konflik semua masalah dapat terselesaikan dengan baik di kampung ini. Konsep lainya yang mereka anut adalah amanat, wasiat dan akibat. Jadi bila kita telah diberi amat dan wasiat tetapi masih melanggar maka kita akan menerima akibat sesuai dengan perbuatan kita. Masyarakat kampung naga sendiri masih mempercayai dengan mitos. Terbukti dari adanya jimat penolak bala, opak dan dupi yang digantungkan disetiap pintu rumah, fungsinya untuk menolak bala, sebagai pelindung serta keselamatan bagi penghuninya. 

jimat penolak bala


Selanjutnya sesepuh di kampung naga juga menjelaskan bahwa dikampung ini tidak dianjurkan ngadu yang artinga tidak boleh mengadu makhluk hidup, ngawadon yang berari nermain perempuan, dan nyamadat  yang berarti berjudi. Kita tidak boleh mengarahkan kaki kearah kiblat dengan alasan arah kiblat merupakan arah dimana umat muslim melakukan sholat dan menunduk sehingga sebagai penganut agama Islam mereka harus menghormati dan menghargai apa yang mereka dapat dari ajaran agamanya. Kita juga tidak diperkenankan untuk pergi kehutan terlarang yang letaknya disebrang desa dan tidak boleh mandi di air terjun pada saat mahgrib karena bila ada yang berani mandi maka yang mandi tersbeut akan kesurupan dan hal itu memang pernah terjadi dikampung tersebut. Penggunaan ilmu sihir ataupun santet pun juga tidak diperbolehkan dikampung ini, jika memang ada yang memiliki kemampuan, tidak usah disebarluaskan ke warga yang lain, cukup mengetahuinya saja dan tidak menggunakannya sebagai ajaran sesat.

Dari kampung naga ini kami dapat belajar bahwa untuk dapat hidup rukun dan berdampingan pada dasarnya tidaklah sulit, dengan niat yang tulus dan tekat yang bulat serta menetapkan semua orang ditingkatan yang sejajar dan saling memepercayai serta mengikuti aturan yang berlaku maka dapat terciptalah kehidupan yang bekualitas saling berdampingan satu sama lain. Serta tidak lupa dengan saling menjaga dan mengelolah kelestarian alam dengan baik.

No comments:

Post a Comment