Pages

Friday, January 11, 2013

Tradisi Seni dalam Cina Benteng: Gambang Kromong



Nama               : Gloria Putri Angelina
NIM                : 11140110191
Kelas               : B-1


Sebagai anak muda di jaman sekarang, seperti saya, kebanyakan para remaja ini lebih menguasai atau lebih mengenal budaya yang masuk dari luar. Memang itu tidak bisa dihindari karena begitu cepatnya teknologi sehingga siapapun bisa mengakses musik atau menerapkan budaya luar dengan mudah. Seperti yang sekarang kita rasakan, yang sedang boom-ing adalah K-POP dan barat.

Memang tidak semua remaja jaman sekarang terpukau dan terfokus pada budaya luar. Ada yang masih memegang teguh prinsip sebagai orang yang “Indonesia banget”. Sebagai contoh, budaya betawi, banyak kita lihat acara-acara budaya betawi ditelevisi yang dipelopori oleh anak remaja sampai dewasa yang mengenalkan budaya betawi ini kepada masyarakat luas.

Alangkah baiknya para remaja ini mempunyai kesadaran diri untuk mem-balance budaya dari luar dan budaya dari negeri sendiri. Banyak sekali contoh budaya Indonesia yang seharusnya tidak hanya sekali ditampilkan atau dipromosikan oleh sebagaian orang yang benar-benar mendedikasikan hidupnya untuk kelangsungan hidup kebudayaan Indonesia itu sendiri.

Caranya bukan hanya diri kita sendiri sebagai warga Indonesia yang mempromosikan tetapi pemerintah juga harus ikut serta, seperti dimasukkan hal mengenai kebudayaan Indonesia ini ke dalam kurikulum sekolah.
Dan kali ini, saya ingin menunjukkan bahwa ada tradisi Indonesia yang sudah jarang kita lihat, yaitu tradisi budaya masyarakat cina benteng: Gambang Kromong.

“Apa sih Gambang Kromong?” Hal ini pasti terlintas dalam pikiran anda ketika membaca kalimat diatas. Gambang Kromong merupakan musik hasil perpaduan dari alat-alat musik Tionghoa dengan gamelan dimana adanya perpaduan antara unsur Tionghoa dengan unsur pribumi. Namun, pasti kita sudah sangat jarang mendengarnya sekarang. Kecuali orang-orang yang tinggal didaerah Tangerang, khususnya masyarakat cina benteng ini.

Biasanya Gambang Kromong ini bisa kita lihat dan dengarkan pada acara-acara tertentu di masyarakat cina benteng ini seperti perayaan Imlek, pernikahan hingga kematian. Gambang Kromong dianggap bagian penting bagi tradisi masyarakat cina benteng dan masih betul-betul hidup dengan menurunkannya kepada anak cucu mereka.

Lalu, apa sih arti cina benteng itu sebenarnya? Dan mengapa ia juga masuk dalam kebudayaan Indonesia?
Sedikit kilas saja, mengapa disebut sebagai cina benteng karena pada jaman dulu masyarakat cina benteng ini tinggal di “Benteng”, yang merupakan nama lama dari kota Tangerang.

Hal yang membedakan cina benteng dengan masyarakat Tionghoa lainnya yang biasanya berkulit putih; masyarakat cina benteng ini mempunyai kulit yang lebih gelap dan sudah jarang menggunakan bahasa cina karena masyarakat cina benteng ini sudah berbaur dengan masyarakat pribumi.

Agama yang dianut oleh masyarakat cina benteng ini juga beragam, ada: Buddha, Taoisme, Konghucu, Protestan, Katolik dan ada juga sedikit di antara mereka yang beragama Islam.

Nah, Saya berkesempatan mengunjungi salah satu tempat perkampungan masyarakat cina benteng yang ada di kampung Sewan, terletak pada kelurahan Mekarsari, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang. Kampung cina benteng ini sudah ada sejak tahun 1407 hingga sekarang.

Tampak depan saat memasuki Kampung Sewan
Begitu saya masuk ke area perkampungan cina benteng ini karena didepannya itu ada gapura berwarna yang sangat etnik dengan budaya cina yang bertuliskan “perkumpulan Tjong Tek Bio”. Memasuki perkampungan ini sama seperti perkampungan pada umumnya. Ada kegiatan ekonomi sehari-hari seperti adanya warung dan tempat berjualan lainnya. Dan saya melihat kearah kanan ketika saya berjalan ada tempelan kertas berwarna putih dipintu salah satu rumah penduduk dan saya bertanya-tanya apakah itu?

Kertas Hu yang sempat membuat saya penasaran :D
Dikertas berwarna putih tersebut bergambarkan seorang dewa dengan bertuliskan huruf cina. Dalam perjalanan melakukan observasi, saya masih memikirkan kertas apakah itu karena terlihat sangat familier. Dan akhirnya saya mengetahui mengapa saya merasa familier dengan bentuk kertas tersebut. Karena saya sering melihatnya di film-film cina dimana kertas tersebut merupakan sebuah jimat.

Nah, rasa penasaran saya itu terjawab setelah saya melakukan searching di internet dan menemukan bahwa jenis kertas yang tertempel dipintu itu namanya Hu atau jimat. Hu atau jimat ini dipercaya oleh masyarakat cina, umat taoisme dan Buddha sebagai pembawa beberapa keberuntungan dan sebagai pelindung. Kertas Hu ini ada dalam beberapa warna seperti merah, kuning, hijau, putih dan hitam. Seperti Hu warna merah digunakan untuk penglaris usaha dagang. Dalam penggunaannya, kertas Hu dapat dibakar, dilipat, ditempel atau taruh ditempat manapun yang ditentukan. Dan Hu mempunyai batas waktu manfaatnya

Seperti yang sudah saya ulas terlebih dahulu mengenai berbagai macamnya agama pada masyarakat cina benteng, dapat dilihat bahwa sebagian besar penduduk sekitar memeluk agama Buddha dan Konghucu ketika saya melihat beberapa rumah penduduk yang mempunyai tempat untuk menaruh hio didepan rumah mereka.
Tempat untuk bakar Hio
Kediaman Pak Goyong langsung dapat saya kenali karena ada banyaknya alat musik yang digantung di depan rumahnya. Alat musik yang saya lihat ini bernama teh yan dan merupakan salah satu alat musik tradisional cina dalam Gambang Kromong.

Tampak depan kediaman Bapak Goyong
Saat saya tengah memperhatikan bentuk alat musik teh yan, tak lama kemudian saya disambut oleh lelaki tua ramah yang keluar dari dalam rumah. Oen Sin Yong alias Goyong mempersilahkan saya masuk dan saya menemukan lebih banyak teh yan lagi yang digantung didinding rumahnya serta penghargaan-penghargaan yang telah ia dapatkan.


Piagam dan penghargaan-penghargaan milik Bapak Goyong
Musisi Gambang Kromong ini ternyata membuat alat musik teh yan sendiri tanpa bantuan orang lain loh. Sungguh hebat dan kagum ketika mendengar Pak Goyong mengalunkan lagu dengan teh yan yang terdengar nyaring namun enak didengar. Sekilas terdengar seperti memainkan lagu dari biola. Beliau bilang bahwa cara memainkan alat musik ini harus dengan feeling.


Karena saya pernah berpengalaman belajar bermain biola yang menurut saya cukup sulit, melihat alat musik teh yan menarik perhatian saya karena tidak seperti halnya gitar yang mempunyai fret untuk mencari nada. Alat musik teh yan justru tidak memiliki fret. Bisa dibayangkan bahwa anda harus memilki feeling yang amat terasah untuk dapat memainkan alat musik ini.

Aliran darah seni Pak Goyong ini berasal dari keluarganya yang seniman. Dimana sang ayah, Oen Oen Hok yang dulu merupakan pemimpin grup Gambang Kromong yang terkenal pada saat masanya. Sementara ibunya, Masnah adalah penyanyi yang menyanyikan lagu pada Gambang Kromong. Beliau mengutarakan bahwa saat masih kecil ia sering mendengarkan alunan teh yan dan mendalami Gambang Kromong pada tahun 1976.

Saat tengah asyik berbincang-bincang, Pak Goyong menawarkan untuk memainkan alat musik lain. Kali ini ia mengeluarkan alat musik seperti terompet, bernama suona. Alat musik ini juga dibuat sendiri oleh beliau. Tidak lama kemudian, ia mengajak anaknya untuk bermain musik dengannya. Lalu sang anak mengambil alat musik gendang dan bermain seiring dengan suara terompet yang dimainkan oleh Pak Goyong. Suara dari alat musik terompet ini sangat kencang sekali dan nyaring.


Untuk dapat mengeluarkan nada pada alat musik terompet ini, harus ada benda yang ditaruh diatas yang berfungsi untuk ditiup. Bila tidak ada benda tersebut, maka terompet tersebut tidak dapat mengeluarkan nada.

Alat yang ditaruh diatas terompet untuk ditiup

Walaupun usianya sudah tua, tapi beliau terlihat tidak merasa kelelahan saat meniup alat musik. Padahal alat musik ini memerlukan nafas yang panjang. Bisa jadi saya tidak mampu untuk memainkannya dan bisa dibayangkan saya kehabisan nafas atau terengah-engah. Itu merupakan bukti bahwa begitu erat dan menyatunya beliau dengan alat musik ini. Saat memainkan alat musik ini, ia mengajak anaknya untuk ikut bermain mengiringinya dengan alat musik semacam gendang.



Pada awalnya, beliau dan beberapa anggota grup musik Gambang Kromong-nya ini hanya tampil didaerah Tangerang saja. Namun, sekarang grup musiknya tengah mengisi banyak acara dan bahkan sudah pernah diundang oleh pemerintah untuk acara penyambutan tamu asing di Bandara Soekarno-Hatta. Ini merupakan salah satu upaya pemerintah agar musik tradisi Indonesia tidak hilang dalam masyarakat dan terus ditunjukkan pada dunia akan keanekaragaman seni Indonesia.

Setelah memainkan alat musik terompet, suona, beliau mengeluarkan alat musik lain yaitu gamelan. Saya sangat terkesan dengan pak Goyong. Beliau yang sudah tua terlihat sangat semangat ketika mau memainkan alat musiknya. Jiwa kesenian akan tradisi Gambang Kromong sangat terlihat dalam pribadi pak Goyong.



Rasa semangat akan musik tradisional ini pasti jarang kita temukan pada pribadi anak muda jaman sekarang. Tentu saja, karena mereka lebih semangat pada musik dari budaya luar dan yang lebih moderen. Jangan anak muda yang lain, saya sendiri saja merasa sangat kurang akan pengetahuan musik tradisional budaya saya sendiri.

Sungguh disayangkan bukan? Bagaimana dengan nasib anak cucu kita nanti, bila kita saja tidak mengerti dan tidak menghargai musik tradisional budaya sendiri. Pasti akan hilanglah budaya tersebut bila kita tidak lestarikan dan menurunkannya pada anak cucu kita.

Dari Pak Goyong, saya belajar bahwa sebuah budaya merupakan sebuah identitas dan suatu hal yang harus saya hargai dan jaga agar tidak hilang. Karena pentingnya sebuah tradisi dalam budaya sebagai identitas untuk diri kita sendiri.

Seperti yang ditulis dalam buku L. A. Samovar bahwa pentingnya pemahaman akan identitas yang juga merupakan aspek penting dalam komunikasi antar budaya. Kita dapat menghidupi hidup kita dengan lebih bermakna jika kita sudah mengetahui betul identitas diri kita sendiri, bukan?

Dikatakan juga bahwa identitas anggota yang berasal dari suatu budaya datang dari masa lalu. Dimana disini sejarah menyoroti asal dari budaya tersebut serta memberitahukan pada anggota lainnya bagian penting dalam budaya tersebut. Sama halnya dengan tradisi Gambang Kromong yang ini sudah menjadi sejarah akan setiap keturunan baru dalam keluarga cina benteng. Tradisi yang dianggap penting ini dianggap sebagai keseharian dan tradisi kesenian yang tidak boleh sampai hilang.

Agar budaya tersebut dapat terus bertahan, budaya tersebut tidak hanya sekedar diberitahukan kepada anggota lainnya. Namun harus diperhatikan bahwa elemen penting budaya tersebut juga secara benar-benar diturunkan pada generasi berikutnya. Dengan begitu, masa lalu tersebut bisa menjadi masa kini dan akan terus ada sampai masa mendatang.

Brislin dalam buku Komunikasi Lintas Budaya (L. A. Samovar) berkata, “Jikalau ada nilai-nilai yang dianggap penting oleh suatu masyarakat yang sudah ada selama beberapa tahun, hal ini harus ditunkan dari satu generasi ke generasi yang lainnya.”

Nah, agar budaya tersebut dapat diturunkan butuhnya ikatan antar generasi yang tercipta lewat komunikasi. Dimana mereka mengkomunikasikannya kepada anggota yang lain. Seperti yang dikatakan oleh Kessing, “Satu ikatan yang putus akan mengarah pada musnahnya suatu budaya.” Dan hal ini tergambarkan pada budaya Gambang Kromong pada keluarga pak Goyong dimana beliau dapatkan dari Ayahnya dan kini diturunkan pada anaknya.

Pak Goyong mengatakan bahwa ia sering mengajak anak lelakinya untuk tampil bersamanya. Beliau juga turut mengajarkan alat-alat musik tradisional dalam Gambang Kromong kepadanya. Saat saya bertanya kepada anaknya mengenai perasaannya dengan dituruninya keahlian Gambang Kromong ini, ia hanya tersenyum malu dan mengangguk, seakan ia juga sudah mengerti bahwa memang budaya ini harus terus diturunkan. Beliau tidak ingin tradisi Gambang Kromong ini hilang sehingga ia ingin agar anaknya meneruskan tradisi ini yang nanti akan diturunkan lagi pada cucunya dan seterusnya.

Gambang Kromong ini merupakan rutinitas dan kesibukannya. Beliau beserta anggota grup musiknya bersedia diundang untuk acara apapun. Karena ia dapat memainkan lagu apapun, walau baru saja mendengar. Namun, lagu-lagu yang biasa dimainkan oleh Gambang Kromong adalah lagu-lagu tradisional dan lagu-lagu lama.

Dan kini, Gambang Kromong sendiri sudah berkembang. Mungkin anda pernah mendengar dengan Gambang Kromong Kombinasi. Jenis ini sama halnya dengan Gambang Kromong pada umumnya namun adanya penambahan alat-alat musik barat yang moderen seperti gitar, bas, organ, drum, dan lainnya. Walaupun begitu, lagu masih dimainkan secara wajar dan sama sekali tidak mengurangi kekhasan dari Gambang Kromong itu sendiri.

Bila tidak ada kerjaan, beliau dapat mengisi waktu luangnya dengan membuat alat musik. Tidak seperti di negeri asal pembuatan teh yan, Cina, yang dimana bagian bawah penutupnya menggunakan kulit ular, beliau menggunakan kulit kayu tipis.

Alat musik Teh yan
Selain berkunjung ke rumah pak Goyong, saya memutuskan untuk mengunjungi Klenteng yang berada dalam perkampungan tersebut yang merupakan tempat ibadah bagi warga cina benteng umat Konghucu setempat. Letaknya tidak begitu jauh dari rumah pak Goyong.

Dari kejauhan saya sudah dapat melihat Klenteng tersebut karena bangunannya yang berwarna merah. Saat saya sampai didepan Klenteng tersebut saya sudah dapat merasakan aura yang berbeda. Suara angin membuat perasaan menjadi tenang dan nyaman. Saya bisa merasakan damai dihati.




Ketika saya memasuki Klenteng tersebut, saya dapat mendengar alunan musik cina yang diputarkan. Klenteng hok tek tjeng sin ini berdiri sejak tahun 1830. Dan sudah mengalami pemindahan pada tanggal 2 Juli 1966 karena longsor yang terjadi pada tempat sebelumnya.

Namun Klenteng pada hari itu sangat sepi sekali. Hanya ada dua orang lelaki dewasa yang sedang duduk didalamnya. Dan ternyata orang-orang Klenteng sedang berada diluar, mengurusi acara perarakan Tanjung Kait untuk merayakan ulang tahun Klenteng dengan membawa panting ke Tanjung Kait.

Saya hampir tidak mendapatkan apa-apa dari berkunjung ke Klenteng tersebut karena tidak ada yang bisa saya wawancarai karena kedua lelaki dewasa tersebut tidak ingin diwawancarai.

Saat saya berbalik untuk keluar dari Klenteng, ada seorang kakek tua yang baru saja turun dari sepeda ontelnya. Ia memasuki Klenteng dengan langkah mantap. Terlihat masih segar sekali walau kulitnya yang sudah berkeriput dan rambutnya yang putih.

Bapak Ong Cuan Yong



“APEK!”, begitulah panggilan saya pada beliau ketika saya hendak menghampirinya. Apek adalah sebutan untuk orang yang sudah tua dalam bahasa Tionghoa. Apek ini bernama Ong cuan yong dan beliau adalah pengurus persembangan di Klenteng ini.

Beliau sudah menjadi pengurus persembangan di Klenteng hok tek tjeng sin selama 23 tahun lamanya namun masih belum ingin pensiun dari tanggung jawabnya. Apek tinggal tidak jauh dari Klenteng sehingga ia dengan mudah datang kemari dan pulang ke rumah.

Jujur, saya sendiri tidak mengatahui banyak hal mengenai agama Konghucu. Maka, saya dan teman saya tertarik untuk bertanya-tanya seputar perayaan-perayaan apa saja yang mereka lakukan disini.

Perayaan dan kegiatan yang ada antara lain ada: Imlek, Cap Go Meh, Ce it, sembayang onde, kegiatan membersihkan meja abu, dan Ceng Beng.

Ce it and Cap Go Meh diambil dari kalender cina dimana Ce it adalah 1, Cap adalah 10 dan Go adalah 5. Setiap tanggal 1 (ce it) dan 15 (cap go), umat Konghucu ini melakukan sembayang ke Klenteng. Tanggal yang ditentukan ini dilihat dari rotasi bulan, saat bulan purnama. Sementara Ceng Beng adalah sembayang leluhur yang dilakukan pada tanggal 5 April.

Begitulah cerita hasil kunjungan saya pada 22 Desember 2012 lalu ke rumah pak Goyong. Yang intinya, semoga dapat menyadarkan teman-teman sekalian bahwa pentingnya sebuah budaya asli kita dan tidak melupakannya ditengah maraknya budaya barat dan K-POP.

Ayo teman-teman, jagalah budaya kita agar dapat terus ada dan diturunkan ke generasi berikutnya! ;D

4 comments:

  1. Maaf sebelumnya, minta infonya untuk alamat bapak goyong sebab saya tertarik ingin membeli tehyan buatan bapak goyong.
    Tolong infokan alamat lengkapnya ke email safri_engineering@yahoo.co.id

    ReplyDelete
    Replies
    1. tertulis di artikel: Kampung Sewan, terletak pada kelurahan Mekarsari, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang.

      Gampang gak yah nyari alamat ini? Kalau dari Museum Benteng, apakah dekat? Waktunya googling map neh.

      Delete
  2. Maaf saya mau nanya. Waktu kunjungan kesan harus ijin dulu ke ketua RTnya atau gimana? Atau bisa langsung kesana. Mau wawancara buat skripsi saya. Kira2 perlu ga menggunakan surat pengantar dari kampus?

    ReplyDelete
  3. Hello. Boleh minta nomor telefon dari Pak Goyong? Jika boleh, tolong dikirimkan melalui email di quincyaousty@gmail.com

    Terimakasih! :)

    ReplyDelete