Pages

Wednesday, January 9, 2013

Mengenal Tradisi Pernikahan India Agama Sikh

Nama: Fifi Kusuma
NIM: 11140110167
Kelas: Komunikasi Antarbudaya F-1



Seperti yang kita ketahui, setiap orang dilahirkan dari kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Menurut Peoples dan Bailey dalam buku Komunikasi Lintas Budaya oleh Larry A. Samovar, budaya itu bervariasi dari cara masyarakat berpikir dan bertindak. Oleh karena itu, tradisi dan pandangan setiap budaya yang ada tentu berbeda juga keunikan dan karakteristiknya.
            Dalam suatu kebudayaan, biasanya terdapat banyak tradisi. Salah satunya adalah tradisi pernikahan. Dalam pernikahan, kedua pihak akan menjalani beberapa tahap pernikahan sesuai dengan tradisi dan agama yang dimiliki. Tradisi pernikahan ini menjadi salah satu keunikan yang membedakan budaya yang satu dengan budaya lainnya
Untuk tugas akhir Komunikasi Antarbudaya ini, saya berkesempatan untuk mempelajari tradisi pernikahan dari salah seorang teman yang bernama Kelvin. Kebetulan sekali, Kelvin berasal dari keluarga keturunan India yang menganut agama Sikh. Pada tanggal 16 Desember 2012, salah satu sepupu dari Kelvin akan melangsungkan pernikahan dan saya diperbolehkan untuk mengikuti proses pernikahan tersebut untuk digunakan sebagai topik tugas akhir. Kesempatan ini merupakan berita baik, karena mendalami tradisi pernikahan India yang unik akan menjadi salah satu pengalaman yang sangat berharga.
            Pada hari Minggu yang cerah, saya beserta keluarga Kelvin pun berangkat ke rumah Jefri, sepupu Kelvin yang akan menikah. Jefri yang merupakan salah satu pemin Tim Nasional Futsal Indonesia akan menikah dengan seorang wanita bernama Lady. Begitu saya tiba di rumah Jefri, seluruh keluarga yang datang terlihat sangat rapi dalam pakaian tradisional India. Ruang tamu pun sudah lengkap dengan dekorasi pernikahan, seperti sofa, pita warna-warni, dan juga papan bertuliskan nama mempelai, yaitu Jefri dan Lady. Ruangan didekorasi dengan menggunakan warna merah sebagai warna dominan, karena warna merah dipercaya membawa keberuntungan. Pakaian tradisional dan warna merah tersebut merupakan wujud komunikasi nonverbal dari budaya India.
            Menyusuri rumah lebih dalam, di ruang tengah terdapat Jefri yang sedang bersiap-siap dengan menggunakan sorban berwarna merah. Sorban merupakan kain panjang yang dililitkan di bagian kepala untuk menutupi rambut bagi para pria. Tradisi sorban ini berasal dari wilayah Punjab di India, tempat agama Sikh pertama kali diajarkan oleh Guru Nanak beserta kesepuluh Guru lainnya pada abad ke-15.  Bagi orang India yang menganut agama Sikh, sorban telah menjadi identitas yang dilestarikan dan dibanggakan hingga saat ini. Dalam tradisi pernikahan, mempelai pria akan didampingi oleh sepupu atau keponakan laki-lakinya, yang disebut dengan sarbala. Pada pernikahan Jefri, Kelvin pun menjadi pendamping dari Jefri, sehingga ia juga mengenakan sorban berwarna merah. Sebenarnya, setiap pria diwajibkan untuk mengenakan sorban. Namun, seiring perkembangan zaman ke arah yang lebih modern dan pemakaiannya yang membutuhkan keahlian serta ketelitian, ada juga pria yang tidak mengenakannya. Tetapi, dikarenakan bagian kepala harus tertutup, makan digunakanlah sorban yang ready made atau sapu tangan yang diikat di belakang kepala untuk menutupinya.
Dekorasi ruang tamu
Kelvin dipakaikan sorban
            Sesuai tradisi, pria yang berasal dari keluarga mempelai pria akan mengenakan bros bunga di bagian dada sebelah kiri. Sementara para wanita dari pihak mempelai wanita, termasuk mempelai itu sendiri, akan memakai mehndi. Mehndi merupakan lukisan di telapak tangan dan kaki yang pembuatannya menggunakan henna. Mehndi memang biasa dipakai dalam acara-acara spesial, seperti festival dan juga pernikahan. Biasanya mempelai wanita akan memakai mehndi di telapak tangan dan kakinya, tetapi untuk saudara wanita lainnya hanya memakai di telapak tangan saja.
            Setelah menyelesaikan seluruh persiapan, acara pun dimulai. Jefri dan Kelvin pun pindah ke ruang tamu dan duduk di sofanya. Saat keduanya duduk, diletakkanlah kain merah tipis di atas paha mereka. Para tamu dan keluarga yang telah datang pun menghampiri mempelai pria dan pendampingnya. Mereka meletakkan amplop di kain merah milik Jefri dan uang di kain merah milik Kelvin. Amplop diberikan mula-mulai diputar-putar di atas kepala Jefri sebagai tanda pemberian doa dan restu baru kemudian diletakkan di kain. Amplop tersebut ternyata merupakan hadiah pernikahan berupa uang tunai. Selain uang tunai, ada juga keluarga yang memberikan hadiah berupa perhiasan, seperti cincin.
Mehndi
Jefri dan Kelvin
            Selanjutnya, Jefri dipakaikan rangkaian bunga yang menjuntai oleh saudara-saudara perempuannya. Rangkaian bunga ini dinamakan sher’e. Sher’e ini telah menjadi tradisi sejak zaman dahulu dimana pernikahan dilakukan berdasarkan atas dasar perjodohan, sehingga kedua mempelai tidak pernah melihat wajah pasangannya masing-masing sebelum acara pernikahan di kuil berlangsung. Oleh karena itu, Jefri pun dipakaikan sher’e untuk menutupi wajahnya sebelum berangkat ke kuil untuk bertemu dengan mempelai wanitanya. Selain sher’e, ada tradisi lainnya yaitu pemakaian celak mata yang dipercaya dapat menghindari si pemakai dari bahaya. Celak mata ini biasanya dipakaikan ke anak balita agar tidak tinggi hati jika ada orang yang memujinya lucu, cantik, imut dan sebagainya. Jefri pun dipakaikan celak mata ini dengan tujuan agar setelah menikah nanti hanya akan melihat satu wanita saja dalam hidup, yaitu istrinya sendiri. Setelah itu, ada sesi foto keluarga yang di ruang tamu tersebut.
Pemakaian sher'e
Pemakaian celak mata

            Setelah seluruh acara di rumah selesai, semuanya bergegas untuk berangkat ke kuil. Jefri dengan tuntunan ayahnya pun berjalan menuju ke mobil. Mobil yang akan membawa Jefri dan Kelvin ke kuil dihiasi oleh rangkaian bunga yang indah di bagian depan dan belakang. Pada rangkaian bunga yang terletak di bagian depan mobil, ada beberapa utas tali yang kemudian dikepang oleh saudara perempuan Jefri sebelum berangkat. Tali tersebut harus dikepang oleh seluruh saudara perempuan yang belum menikah. Setelah itu, ayah Jefri pun melemparkan uang di sekitar mobil dengan tujuan untuk berbagi rejeki di hari yang membahagiakan kepada orang-orang sekitar. Ada kepercayaan bahwa apabila uang koin yg dilempar itu mengenai kita, artinya kita akan mendapatkan rejeki. Setelah itu, Jefri pun segera berangkat ke kuil diikuti oleh keluarga lainnya.
            Kuil umat Sikh dinamakan Gurdwara. Gurdwara artinya adalah pintu gerbang menuju Guru (gateway to the Guru). Menurut Walsh dan Middleton dalam buku Larry A. Samovar, cara pandang menyediakan petunjuk yang menuntun pengikutnya di dunia. Dalam agama Sikh, kemanapun penganut agama Sikh pergi, yang menjadi perhatian utama adalah pembangunan Gurdwara. Artinya, cara pandang kaum Sikh selalu menuntun mereka untuk membangun Gurdwara kemanapun mereka pergi.
Gurdwara tempat Jefri dan Lady melangsungkan upacara pernikahan terletak di Jalan Pasar Baru Timur No. 10, Jakarta Pusat. Begitu Jefri dan keluarganya tiba di Gurdwara, mereka disambut oleh keluarga dari pihak wanita di lobby. Kedua pihak saling dipertemukan secara agama oleh pendeta dan berdiri berhadap-hadapan. Dalam proses ini, mempelai wanita tidak ikut serta, hanya keluarganya saja. Pendeta memulai pertemuan kedua keluarga ini dengan pembacaan doa serta lagu-lagu. Setelah itu, kedua keluarga yang diwakili oleh ayah masing-masing mempelai berpelukan dan ayah dari mempelai wanita memberikan hadiah kepada ayah dari mempelai pria. Selanjutnya, acara kembali dilanjutkan dengan sarapan bersama dengan makanan yang telah disiapkan oleh panitia Gurdwara. Selesai sarapan, acara utama pernikahan pun dimulai.
Gurdwara Sikh Temple Pasar Baru

            Upacara utama pernikahan, yaitu Anand Karaj, dilangsungkan di ruangan utama untuk berdoa di lantai 2. Di ruangan ini, setiap orang harus menutupi bagian kepala sebagai penghormatan terhadap kitab suci Guru Granth Sahib. Oleh karena itu, jika para pria mengenakan sorban atau sapu tangan, maka para wanita mengenakan selendang untuk menutupi bagian kepalanya. Di Gurdwara disediakan selendang bagi para umat serta pengunjung wanita yang tidak membawa selendang. Selain itu, semua orang harus berpakaian sopan dan melepaskan alas kakinya.
            Menurut Specer-Rodgers dan McGovern dalam buku Larry A. Samovar, komunikasi dengan budaya yang berbeda kadang diasosiasikan dengan respons emosi yang kurang baik yang mengarah pada perasaan kikuk dan gugup. Dan kebetulan sekali saya sedikit merasa gugup ketika memasuki ruangan utama. Karena saya terlalu gembira untuk mengikuti acara, saya berdiri membelakangi kitab suci Guru Granth Sahib. Kegugupan pun melanda. Pada waktu itu, saya sedang berusaha untuk merekam penyanyi lagu rohani yang mengiringi upacara pernikahan. Hal itu ternyata tidak diperbolehkan, karena kitab suci tidak boleh dibelakangi. Seperti penjelasan dalam Teori Tahap-Tahap Kejutan Budaya (Culture Shock), dari “fase kegembiraan”, saya segera memasuki “fase kekecewaan” atas kesalahan saya yang telah menjadi tontonan para umat. Untunglah Ayah dari Kelvin, Sir David, memberitahukan informasi tersebut kepada saya sehingga saya pun berusaha untuk menghilangkan kegugupan dan rileks kembali. Setelah mengetahuinya, maka saya pun bergerak ke “fase awal resolusi” dimana saya mulai memahami budaya kaum Sikh. Fase ini pun berakhir pada “fase berfungsi dengan efektif” dimana saya berusaha menyesuaikan diri untuk tidak melanggar aturan tersebut.
Kitab Suci Guru Granth Sahib
            Di dalam ruangan, Jefri duduk di depan kitab suci Guru Granth Sahib dan para umat duduk di belakangnya, wanita di sebelah kiri dan pria di sebelah kanan. Setelah beberapa saat, Lady pun memasuki ruangan diikuti oleh saudara-saudara yang duduk di belakangnya. Sebelum duduk di sebelah Jefri, Lady pun bersujuda dan bersembahyang di depan kitab suci Guru Granth Sahib. Acara pun dilanjutkan dengan doa dari pendeta. Dalam agama Sikh, ada 3 kategori pendeta dengan keahlian yang saling melengkapi satu sama lain dalam upacara doa. Keahlian yang pertama adalah pengetahuan mengenai agama dan isi kitab suci Guru Granth Sahib, yang kedua adalah menyanyikan lagu rohani, dan yang ketiga adalah keahlian berbicara di depan para umat.
           Bagian utama dalam upacara pernikahan ini adalah ketika kedua mempelai melakukan Laava dimana Lady memegang seuntai kain dari pakaian Jefri dan berdiri di belakangnya, kemudian keduanya berjalan mengitari panggung utama tempat kitab suci Guru Granth Sahib berada searah jarum jam sebanyak empat kali. Putaran yang dilakukan ini merupakan bentuk komitmen kedua mempelai terhadap Tuhan. Setiap putarannya diiringi oleh lagu dan bacaan yang berasal dari kitab suci Guru Granth Sahib dan memiliki artinya masing-masing.
Putaran pertama menggambarkan kewajiban sehari-hari pasangan baru dimana komitmen yang harus dijalankan adalah mempelajari kebenaran dalam kitab suci dan berpegang teguh pada kebenaran, menjauhkan diri dari dosa, saling percaya akan kebajikan, moralitas, dan integritas masing-masing, serta meyakini bahwa hanya Waheguru (Tuhan) yang menghapus dosa mereka. Setelah tahapan pertama, kedua mempelai telah memulai tahap awal pernikahan. Pada putaran kedua, Guru meminta kedua mempelai untuk menghilangkan rasa ego dan merasakan kehadiran Tuhan di sekelilingnya, baik di dalam maupun di luar pribadi masing-masing. Putaran ketiga bermakna bahwa dengan menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Tuhan maka cinta ilahi dan seutuhnya akan ada dalam diri kedua mempelai. Putaran keempat yang merupakan putaran terakhir memiliki arti bahwa pikiran dan jiwa kedua mempelai menjadi damai dan keduanya akan menemukan Tuhan serta menjalani kehidupan yang berbahagia dan memuaskan sesuai dengan kehendak Tuhan. Putaran keempat ini pun menjadikan pernikahan kedua mempelai sah dan keluarga pun melemparkan bunga kepada mempelai.
Selama berputar, keluarga laki-laki dari memperlai wanita berdiri di sekeliling jalur putaran. Ketika Jefri dan Lady melewati mereka, masing-masing akan memegang pundak Lady sambil berjalan melalui satu orang ke orang lainnya. Hal ini merupakan tanda bahwa keluarga telah merestui pernikahan mempelai dan mengantarkan mempelai wanita untuk menempuh kehidupan berkeluarga yang baru dan berbahagia dengan mempelai pria.
Jefri dan Lady
Kedua mempelai menjalani tahap Laava
            Setelah Laava, keduanya memegang piringan gelas yang di dalamnya terdapat api dan memutarnya secara bersamaan di depan kitab suci Guru Granth Sahib. Setelah kedua mempelai memutarnya berpasangan, keluarga dari mempelai pun ikut memutar piringan tersebut bersama-sama dengan mempelai. Hal ini dilakukan dengan seluruh keluarga secara bergantian. Selanjutnya, doa-doa kembali dinyanyikan dan kedua mempelai dipakaikan selendang berwarna oranye serta diberikan bingkai foto Guru Nanak. Setelah itu, keduanya sujud dan sembahyang bersamaan di depan kitab suci Guru Granth Sahib.
            Acara kembali dilanjutkan dengan sambutan yang menceritakan tentang kehidupan kedua mempelai sehari-harinya serta ucapan doa dan selamat atas pernikahan mereka. Pada akhir acara, seperti acara rohani lainnya, para umat diberikan Parshad. Parshad merupakan makanan suci berupa puding vegetarian yang terbuat dari tepung, mentega, dan air gula yang dipercaya merupakan berkat dari Guru dan tidak boleh ditolak.  Seperti umat lainnya, saya pun menerima Parshad tersebut dan memakannya sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan.
            Begitu upacara usai, kedua mempelai beranjak ke bagian belakang ruangan, di sebelah pintu masuk berada, yang menjadi panggung bagi mempelai untuk berbincang-bincang dengan keluarga maupun para tamu undangan. Di sini kedua mempelai saling bersalama dengan orang-orang yang menghampiri dan juga mengabadikan momen bahagia mereka dalam bentuk foto bersama. Beberapa tamu yang telah menyapa Jefri dan Lady pun turun ke lantai bawah untuk menyantap makan siang yang dihidangkan oleh panitia Gurdwara. Makan siang yang disediakan merupakan hasil masakan panitia dan semuanya adalah makanan vegetarian khas India.
            Melalui percakapan yang saya lakukan dengan Miss Baby, Ibu dari Kelvin, orang India memiliki kepercayaan akan hari-hari baik. Kepercayaan mereka meyakini bahwa hari-hari baik untuk menggelar acara-acara perayaan, seperti halnya pernikahan, adalah hari-hari ganjil, yaitu Senin, Rabu, Jumat, dan Minggu. Tradisi pernikahan India yang menganut agama Sikh pada dasarnya terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu Chuara (tukar cincin), Telchera diikuti dengan Lady Sangeet (tradisi sebelum pernikahan dan tari-tarian), dan Anand Karaj (upacara pernikahan di Gurdwara). Sehingga dengan adanya kepercayaan hari-hari ganjil tersebut, maka tradisi pernikahan pun mengikutinya, seperti Chuara dilakukan pada hari Rabu, Telchera dan Lady Sangeet pada hari Jumat, dan acara puncak Anand Karaj pada hari Minggu.
Topik yang saya angkat adalah tradisi pernikahan tahap akhir. Dalam sesi wawancara dengan Miss Baby juga saya menemukan bahwa tradisi pernikahan dari pihak pria dan wanita tidak semuanya sama. Ada perbedaan-perbedaan di antara keduanya. Dan karena saya mengikuti keluarga Kelvin dalam peliputan acara pernikahan ini, maka tradisi yang lebih banyak saya ketahui adalah tradisi pernikahan dari pihak pria.
Menurut Osborne dalam buku Larry A. Samovar, bagi kebanyakan orang di dunia ini, tradisi agama – seperti keluarga, suku atau negara – menjadi identitas mereka di dunia. Agama telah mengikat orang bersama-sama dalam memelihara cara pandang budaya mereka selama ribuan tahun. Oleh karena itu, bagi orang India yang mengantu agama Sikh, setelah berkeluarga maka tidak ada kata cerai. Hal ini dikarenakan cara pandang mereka yang memandang pernikahan sebagai suatu hal yang monogami. Cara pandang agama ini juga memandang manusia dalam derajat yang sama satu dengan yang lainnya dan diperlakukan sama, baik pria maupun wanita. Sehingga, dalam kehidupan pun mereka tidak menggunakan sistem kasta yang membeda-bedakan tinggi-rendahnya derajat manusia.
Tradisi pernikahan ini merupakan tradisi kuno yang dibawa dari India sejak zaman dulu hingga sekarang. Meskipun diterpa oleh budaya yang semakin modern, budaya kuno ini terus dijalankan dari waktu ke waktu. Hal ini merupakan bentuk penurunan budaya yang dilakukan secara turun-temurun dalam lingkup keluarga. Menurut Charon dalam buku Larry A. Samovar, penurunan budaya ini dapat dilihat sebagai pewarisan sosial. Sehingga, melalui komunikasilah tradisi suatu budaya dapat dikenal oleh generasi berikutnya. Tradisi ini dibawa oleh para orang tua dan terus diterapkan pada anak-anaknya untuk melestarikan identitas budaya mereka. Dengan demikian, tradisi kuno tersebut dapat mengikuti perkembangan zaman yang semakin modern sesuai dengan teori karakteristik budaya yang menyebutkan bahwa budaya itu dinamis. Seperti contoh pada zaman dahulu banyak orang India yang menikah karena perjodohan, tetapi di masa sekarang sudah banyak yang berpacaran dulu baru menikah.
Melalui kegiatan observasi ini saya mendapatkan pelajaran yang berharga tentang cara pandang budaya India penganut agama Sikh dalam menjalankan tradisi. Identitas mereka yang unik di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta yang dapat dikatakan modern, tidak menghentikan mereka untuk menunjukkan rasa bangga terhadap identitas budayanya. Hal ini memberikan saya pemahaman bahwa kita harus bangga dan terus melestarikan tradisi budaya yang kita miliki, jangan membiarkannya tenggelam dalam gaya hidup yang semakin modern.
Thank you :)

2 comments: