Pages

Thursday, January 10, 2013

Mengenal Lebih Jauh Komunitas Tionghoa Medan

Victoria Christa
11140110102
KAB-F1



Sebelum saya menuju ke hal-hal yang sifatnya teoritis, biarkan saya curhat sedikit. Jadi ini adalah tugas sekaligus take-home test buat mata kuliah Komunikasi Antar Budaya, dimana saya diharuskan untuk mengunjungi komunitas apa aja, yang penting bisa dikaitkan dengan konsep-konsep dan teori dalam buku Komunikasi Antar Budaya-nya Samovar.
Well, tadinya saya mau pergi sama temen-temen saya. Tapi apa daya, di kala mereka pergi, saya ada urusan(maafkan ke-sok-sibuk-an saya). Minggu depannya saat ada kesempatan pergi lagi, saya udah terlanjur dipesenin tiket pesawat buat pergi ke Medan sekeluarga menghadiri pernikahan sepupu saya yang tertua.

“Matilah saya…”

Namun, yang namanya mahasiswa, terutama anak kost itu harus penuh solusi!(Maaf, nggak nyambung.) Jadilah saya ke Medan sembari mengemban tugas suci KAB ini. Yep, saya akan membahas Komunitas China Peranakan di Medan, atau terkenal sebagai China Medan. Kebanyakan dari mereka adalah suku Hokkian(orang yang mendiami provinsi Fujian) Orang-orang China telah bermigrasi ke berbagai tempat, terutama Asia Tenggara sejak abad ke-17(China pada abad ini tidak memperbolehkan wanita untuk keluar dari negaranya sehingga perantau dari China yang datang akan menikahi wanita-wanita setempat. Hasil kawin campur inilah yang biasa disebut ‘peranakan’) dari dan kedatangannya besar-besaran adalah pada pertengahan abad 19(pada abad ini, wanita sudah diperbolehkan keluar dari negara sehingga perantau pada abad ini biasa membawa serta istrinya. Mereka yang dalam keluarganya tidak ada perkawinan campuran dengan etnis lain biasa kita kenal dengan ‘China totok’) dikarenakan kondisi negara China yang saat itu memang carut-marut.

Nah, di sinilah saya, daerah Medan Kota, saya keliaran tepatnya di Jalan Surabaya-Jalan Semarang-Jalan Bogor 
Dengan bangunan tuanya

Becak yang kawin dengan motor, atau disebut bentor

Plang menuju Jalan Semarang yang baru ramai kalau malam
Serta MacanMart yang konon ketenarannya di Medan melebihi Alfamart dan Indomaret


Kemanapun saya pergi, kiri-kanan banyak terdapat orang keturunan China. Profesinya pun beragam. Bila di Jakarta, orang-orang etnis China identik dengan kehidupan yang berkecukupan, disini tidak juga. Pengemis dan penjual keliling yang beretnis China bukanlah pemandangan yang asing dalam kehidupan mereka sehari-hari. Keluarga besar ayah saya tinggal di sini. Ayah dari kakek saya merupakan salah satu dari sekian banyak orang China yang bermigrasi ke Indonesia pada abad 19 (saya merupakan generasi keempat yang lahir di Indonesia ini). Ayah saya lahir dan besar di sini sebelum akhirnya pindah ke Jakarta. Saya sempat ragu untuk mengambil bahan tugas saya di sini, Dimana komunikasi antar budaya-nya kalo orang-orangnya semodel ayah semua, yang saya temui tiap hari? Apalagi ini perkotaan...Tapi ternyata keraguan itu hilang. Di sini, nggak semua orang modelnya kayak ayah saya(oke, mungkin sedikit.) Jadi, saya masih bisa melakukan observasi di sini (yay.)

Oke, cukup trivia-nya. Mari kita masuk dalam bahasan yang sedikit(?) teoritis. (Note: semua teori dari tulisan saya ini diambil dari buku Komunikasi Antar Budaya karangan Larry A. Samovar)

Faktor-faktor hambatan komunikasi antar budaya yang berada di bawah air (below waterline) adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang, hambatan semacam ini cukup sulit untuk dilihat atau diperhatikan. Adapun jenis-jenis hambatan semacam ini adalah persepsi (perceptions), norma (norms), stereotip (stereotypes), filosofi bisnis (business philosophy), aturan (rules), jaringan (networks), nilai (values), dan grup cabang (subcultures group). Yah, saya cuma akan membahas beberapa, sesuai dengan hasil observasi dan pemahaman saya. Ini dia hal yang menghambat komunikasi saya dengan orang-orang disana:



1.Persepsi: mari kita ambil contoh, ketika ibu saya melihat hasil foto keluarga yang diambil oleh saudara saya, ibu mengeluh ke adeknya ayah saya,
"Kenapa ya anak-anak cakep kalo difoto, gue di foto jelek banget," yang saya sahuti dengan
"Ah, mungkin emang mama jelek," sambil ngakak. Maksudnya sih becanda, tapi tiba-tiba adek ayah saya marah-marah, katanya saya kurang ajar. Okay, dari cara dia maupun cara saudara-saudaranya menghormati orangtua mereka(kakek-nenek saya, maksudnya), saya menyimpulkan bahwa mereka memiliki persepsi bahwa orangtua harus dihormati dengan cara tidak menyahuti orangtua, tidak meledek, harus tunduk, dll pokoknya. Sedangkan menurut saya(atau mungkin kebanyakan anak seusia saya yang dibesarkan di kota metropolitan yang sudah banyak menerima budaya barat sebagai lifestyle), orangtua dan anak setara dalam banyak hal. Tak ada salahnya diperlakukan seperti teman selama masih tahu batas. Menurut saya, bercandaan saya terhadap Ibu saya masih wajar, tapi ternyata dipandang kurang ajar.

Oh iya, perbedaan persepsi ini menyebabkan konflik kecil-kecilan antara saya, si keponakan (yang dianggep kurang ajar) versus adik si ayah. Akan saya masukkan teori manajemen konflik di sini. Hal ini saya atasi dengan teknik avoiding, saya nyengir doang dan segera kabur dari situ setelah adek sang ayah berhenti mengoceh, ternyata efektif. Besoknya semua baik-baik saja. Nggak tahu, deh kalo saya masih dicap sebagai anak kurang ajar apa nggak, yang penting saya nggak kena marah lagi.

2. Stereotip : saya, sebagai anak Jakarta yang (merasa) gaul, menganggap bahwa orang-orang di Medan ini pastilah tidak se-gaul saya(meskipun saya juga ga tau definisi sejati ‘gaul’ itu gimana). Apalagi dengan pengalaman buruk diomelin adek sang ayah tadi, saya jadi mikir bahwa mungkin saja orang-orang di Medan ini semua se-reseh dia. Makanya, saya 'menyamar aja jadi tanaman'. Kalo nggak penting-penting amat, saya ga akan mau ngomong. Ini jelas menghalangi saya dalam berkomunikasi dengan mereka. Bagaimana nasib tugas saya kalau saya ga mau ngomong sama mereka? (sebenernya gak cuma itu sih, pertimbangannya.)

Lalu, berikutnya adalah hambatan above waterline/fisik:

1. Budaya (Cultural): Hambatan ini berasal dari etnik yang berbeda, agama, dan juga perbedaan sosial yang ada antara budaya yang satu dengan yang lainnya.

Di sini, semuanya keliatan aneh buat saya. Baik penggunaan bahasanya, properti-properti aneh-aneh dalam rumah, prosesi penjalanan agama...bahkan di jalanan dalam gang bisa ada sesajen!


ini buat apaaaa? nanti saya jelaskan di bawah :D

Orang-orang di sini juga terlalu pedulian(atau terkenal dengan ‘kepo’). Nah, beda budaya ini mungkin bisa saya jelasin secara mendetail di poin-poin berikutnya.



2. Motivasi (Motivational)Hambatan semacam ini berkaitan dengan tingkat motivasi dari pendengar, maksudnya adalah apakah pendengar yang menerima pesan ingin menerima pesan tersebut atau apakah pendengar tersebut sedang malas dan tidak punya motivasi sehingga dapat menjadi hambatan komunikasi.

Kembali pada poin nomor  1, saya udah bilang kalo orang-orang di sini tingkat kepeduliannya tinggi. Saya ketemu sama...siapa ya? Mungkin saudara ayah juga. Katanya sih dulu sering ketemu, tapi saya sama sekali ga inget! Dia terus-terusan nanya soal sekolah saya dulu, kuliah saya, temen-temen saya, pacar, dll. Di rumah, orangtua saya ga pernah segininya kalo nanyain saya. Makanya saya ga terbiasa ditanya-tanya, saya pun malas menanggapi dia.


3. Pengalaman (Experiantial)Experiental adalah jenis hambatan yang terjadi karena setiap individu tidak memiliki pengalaman hidup yang sama sehingga setiap individu mempunyai persepsi dan juga konsep yang berbeda-beda dalam melihat sesuatu.


Saya rasa ini juga saling berkaitan, misalnya dengan poin nomor dua. Saya ga terbiasa ditanya banyak-banyak, menurut saya itu kepo. Apalagi udah lama nggak ketemu, apa pentingnya sih nanya-nanya-in saya? Tapi mungkin buat sepupu-sepupu saya yang di sini, mereka udah terbiasa terbuka secara berlebihan(menurut saya) dengan keluarga mereka. Saya juga ga terbiasa ngeliatin altar-altar dimana-mana, maupun jimat-jimat di depan pintu rumah.

4. Bahasa (Linguistic)Hambatan komunikasi yang berikut ini terjadi apabila pengirim pesan (sender)dan penerima pesan (receiver) menggunakan bahasa yang berbeda atau penggunaan kata-kata yang tidak dimengerti oleh penerima pesan.

Ini dia! Orang-orang di sini sehari-hari ngomong dengan bahasa Hokkian. Hal ini diperburuk dengan anggapan mereka bahwa saya bisa berbahasa Hokkian juga. Saya memang bisa, tapi cuma ngerti dikit, banget. Itupun cuma dengerin. Kalo disuruh ngomong, saya nyerah. Saya harus masang muka bingung ke mereka, atau lempar tatapan-minta-tolong ke ayah saya, minta ia untuk mengartikannya karena tidak bisa minta subtitle.

Lalu, yang akan saya bahas berikutnya adalah mengenai worldview alias cara pandangDalam buku Samovar, terdapat pengertian cara pandang menurut Walsh dan Middleton : cara pandang menyediakan petunjuk yang menuntun pengikutnya di dunia. Dari definisi yang dikemukakan Walsh dan Middleton, terdapat penggunaan kata 'menuntun' yang menunjukkan bahwa tujuan cara pandang adalah menuntun orang untuk menentukan gambaran dunia ini serta peran mereka dalam dunia. (Cara pandang sebagai inti dari perilaku manusia).

Nah, dari pengertian tersebut, saya akan berusaha menganalisis worldview dari para Chinese Medan ini.

Menurut Rubin dan Peplau dalam buku Samovar, pembentuk worldview ada tiga, yaitu orang tua, peraturan agama, dan peraturan sekolah. Saya hanya akan membahas dua diantaranya:

1.    Orang tua
Dalam membentuk cara pandang, orangtua jelas memegang peranan. Pada komunitas Chinese Medan ini, misalnya. Dari kecil, mereka selalu diwanti-wanti untuk menghormati orangtua dan leluhur. Menurut orangtua saya, mereka waktu kecil tidak jarang dihajar secara fisik ketika berbuat salah atau tidak hormat. Katanya sih, turun-temurun memang seperti itu. Anak yang tidak bisa diajar, wajib dihajar. Sedangkan tradisi menghormati leluhur, orang China dari dulu memang kental akan budayanya terhadap penghormatan leluhur. Hal ini bisa kita lihat dalam banyaknya sembahyang makam, altar kecil-kecilan dalam rumah untuk sembahyang, dan lain-lain.

Perlu diketahui juga bahwa pembakaran rumah-rumahan kertas, baju-baju kertas, uang-uangan kertas saat orang China meninggal dengan tujuan “agar yang meninggal kaya juga di akhirat,” bukanlah ajaran dalam agama Buddha. Hanya saja, penganut agama Buddha dari China sudah mengakulturasikan budaya tersebut dalam agamanya.

Selain itu, terdapat juga kebiasaan untuk menghormati dewa dapur(Zao Jun), yang menurut mitosnya, merupakan dewa yang tugasnya melihat perbuatan sehari-hari manusia-manusia dalam rumah itu. Karena itulah orang-orang di rumah harus melakukan perbuatan-perbuatan baik, tidak bertengkar, tidak berniat jahat, dll. sebab Dewa Dapur akan melaporkannya kepada Dewa Langit. Perbuatan-perbuatan buruk akan menjauhkan kita dari berkah dewa.

Altar kecil di dapur

Di Medan ini, jangan heran bila melihat kumpulan dupa dan sesajen di pinggir jalan, trotoar, atau gang(kayak yang di atas). Sesajen itu ditujukan untuk Tua Pek Kong/Ti Pak Kung(ayah saya menyebutnya Te Chu Kong) alias dewa tanah/dewa pemilik tanah. Tujuannya adalah untuk mendapatkan izin dewa dalam menghuni tanah tersebut, dan agar dewa mengaruniakan rezeki.

Di atas pintu depan rumah-rumah maupun toko-toko, nyaris semuanya ditempeli kertas-kertas jimat yang dikatakan dapat mengusir roh jahat maupun hawa jahat yang hendak masuk ke dalam rumah.



Nah, hal-hal demikian merupakan hal-hal yang dilaksanakan tanpa sebuah peraturan tertulis, bahkan sebenarnya tidak diatur dalam agama. Tugas orangtua-lah untuk mewariskan hal-hal tersebut kepada anak-anaknya. Hal-hal yang sifatnya metafisikal ini memengaruhi persepsi orang-orang yang menganutnya. Misalnya sembahyang makam yang bagi orang-orang China Medan ini dipandang sebagai sesuatu yang memang seharusnya dilakukan untuk menunjukkan rasa hormat. Sedangkan bagi orang lain, apalagi orang-orang kota(sekalipun sama-sama berasal dari etnis China), sembahyang makam bukanlah sesuatu yang penting, bahkan buang-buang waktu.

2.    Aturan agama
Selain orangtua, aturan agama juga memegang peranan penting dalam membentuk cara pandang. Di Medan Kota ini, kebanyakan orang-orangnya memeluk agama Buddha. Aliran Maitreya paling banyak dianut, bahkan ada Vihara raksasa untuk Buddha Maitreya yang dikatakan termasuk dalam vihara terbesar di seluruh Asia Tenggara. Bila di Jakarta atau Tangerang kita terbiasa melihat gereja atau masjid dimana-mana, di sini, gereja atau masjid justru menjadi pemandangan langka.

Sekedar informasi tambahan: di sini, kita dapat melihat kesamaan diantara bangunan-bangunan Vihara maupun tempat-tempat besar lainnya(rumah orang yang berpengaruh, rumah sakit, dll.), yaitu adanya singa dari batu, atau disebut shishi di pintu masuk bangunan. Singa-singa batu itu selalu berpasangan di kiri-kanan pintu, yang jantan(merepresentasikan yang), dan betina(mempresentasikan yin). Secara simbolis, shishi betina adalah entitas yang melindungi manusia-manusia di dalam bangunan, sedangkan shishi jantan melindungi bangunan tersebut.
ini shishi jantan, biasa disimbolisasikan tangannya memegang 'bola kehidupan'. Lokasi : MahaVihara Maitreya
Shishi betina biasanya digambarkan beserta dengan anaknya. Lokasi: Vihara Hang Tuah


Shishi yang ada di depan rumah Tjong Afie, orang Medan yang dulu diangkat pemerintah Hindia Belanda untuk membudidayakan der Chineezen atau orang-orang peranakan China di Medan ini.


Dalam hidup sehari-hari, aturan agama ini berpengaruh besar. Misalnya dalam menentukan prosesi dalam upacara-upacara seperti upacara kelahiran, pernikahan, dan kematian. Di sini, saya menyaksikan prosesi pernikahan sepupu tertua saya.

Hal unik yang masih dianut di sini adalah adanya pemilihan ‘hari baik’ untuk penyelenggaraan pernikahan. ‘Hari baik’ dikonsultasikan dengan suhu dari Vihara. Adapun pernikahan sepupu saya itu jatuh pada hari Kamis dan tetap banyak keluarga dan kerabat yang datang. Saya tak dapat membayangkan kalau hari kerja(Senin-Jumat) dijadikan hari untuk menikah di Jakarta, bisa-bisa diketawain, dan tempat resepsi sepi kayak kuburan.

Pagi-pagi di hari pernikahan, keluarga diundang ke Vihara untuk menjadi saksi atas pemberkatan pernikahan. Terdapat dua altar di depan Vihara dan setiap pengunjung diharuskan untuk mengambil beberapa dupa dan menempatkannya di kedua altar sebelum memasuki Vihara.
Altar pertama adalah altar yang jauh dari pintu masuk Vihara. Dupa yang ditancapkan disini disimbolisasikan sebagai pemanjatan doa kepada Tuhan.

Altar kedua dekat dengan pintu masuk Vihara. Dupa yang ditancapkan kesini merupakan simbolisasi atas penghormatan umat kepada 'pemilik sang Vihara' alias sang Buddha.
Pada altar Buddha di belakang pengantin, terdapat lilin-lilin yang menyala dengan makna simbolis agar pernikahan mereka 'terang', seperti nyala lilin-lilin ini
Seraya memegang dupa, mempelai pria dan wanita secara bergantian mengucapkan sumpah pernikahan atas nama Buddha, Dhamma(ajaran), dan Sangha(umat), lalu cicin pernikahan dipertukarkan.
Kemudian, pita kuning dipasangkan oleh bikkhu sebagai simbol Dhamma, agar kedua mempelai menghadapi suka-duka dalam pernikahan mereka sesuai dengan ajaran sang Buddha
Bikkhu dan orangtua kedua mempelai secara bergantian memercikkan air suci ke atas kepala mempelai pria dan wanita sebagai simbol pemberkatan dan restu mereka terhadap kedua mempelai(Author's Note: saya menyesal kenapa memutuskan untuk memotret di saat seharusnya saya merekam...)
Kemudian surat nikah ditandatangani oleh kedua mempelai

kedua orangtua dari pihak mempelai pria

serta kedua orangtua dari pihak mempelai wanita

Hal berikutnya yang akan saya bahas adalah mengenai bahasa. Dalam setiap interaksi komunikasi antarbudaya paling tidak ada satu orang yang berbicara dalam bahasa kedua(diambil dari slide Pak Inco, bagian pendahuluan bagi pertemuan keempat)Nah, berdasarkan itu, saya akan menjelaskan variasi bahasa yang digunakan oleh para Tionghoa Medan ini.

Samovar membagi variasi bahasa menjadi lima, yaitu aksen, dialek, argot, slang, dan branding. Saya hanya akan membahas empat diantaranya berdasarkan hasil pengamatan saya:

1. Aksen: Para Tionghoa Medan yang sehari-harinya menggunakan bahasa Hokkian, memiliki aksen yang unik ketika mereka berbahasa Indonesia. Mereka memiliki penekanan di beberapa bagian dalam kata-kata, termasuk kata-kata berakhiran ‘k’ yang mereka ucapkan dengan samar-samar (“nampak” menjadi “nampa’”.)

2. Dialek: Adapun bahasa Hokkian yang mereka gunakan sebenarnya merupakan bahasa Mandarin berdialek Min Nan. Pada umumnya, selain Hokkian, Tionghoa Medan piawai dalam berbahasa Mandarin baik lisan maupun tulisan(Hokkian tidak memiliki bahasa tertulis bagai Hanzi dalam mandarin). Dalam kedua bahasa ini, terdapat kosa kata yang berbeda-beda. Misalnya kata “merah”, dalam bahasa Mandarin disebut “hóng”, sedangkan dalam bahasa Hokkian disebut “ang”.

3.Argot: Contoh argot yang saya temukan di sini adalah terdapat banyak sekali istilah untuk menentukan panggilan bagi anggota keluarga. Misalnya saudara perempuan dari orangtua, bisa disebut “a’i”, “i’i”, “a’cim”, “akim”, “kimkim”, atau “encim”. Istilah-istilah ini bisa saja membingungkan bagi orang-orang di luar kelompok(sebenarnya saya juga bingung. Tapi setidaknya saya tau artinya.)

4.Branding: Di sini, sekalipun datang ke sebuah restoran dimana orang-orangnya dapat diajak berbahasa Hokkian, semua dapat menerima dan mengerti bahwa kita ingin memesan air putih bila kita menyebut “Aqua”.

Masih mengenai bahasa, apakah kalian pernah mendengar kalau orang-orang di China sangat antipati terhadap penggunaan kata “Cina”? Beberapa orang di sini juga antipati terhadap penggunaan istilah tersebut. Mereka lebih suka disebut dengan “Zhongguo ren”(cungkwo ren), “Zhonghua(cunghwa)”, “Tionghoa”, “Chinese”(chay-nis)

Bagi mereka, penggunaan kata “Cina” memiliki konotasi yang sangat negatif karena diberikan oleh Jepang pada zaman perang. Orang Jepang yang pernah menjajah Indonesia saat itu pun menggunakan istilah ini untuk merujuk pada orang China di Indonesia. Penggunaan “Cina” kepada para Tionghoa sama buruknya dengan penggunaan “Indon”(istilah yang diberikan orang Malaysia) untuk merujuk pada orang Indonesia.

Memang tidak banyak yang mengetahui hal ini, terutama para anak muda yang memang sudah terbiasa menggunakan istilah “Cina” tanpa maksud menghina. Masalahnya, perbedaan persepsi mengenai penggunaan istilah ini dapat menyebabkan konflik bila tidak dipahami dengan baik.

Pembahasan secara teoritis saya berakhir sampai di sini. Berikut adalah pembahasan ekstra mengenai kebudayaan Komunitas Tionghoa Medan ini.

Saya akan melanjutkan cerita setelah pemberkatan pernikahan tadi. Acara yang dijalani setelah acara pemberkatan dari Vihara, adalah acara Tea Pay. Acara ini bertujuan untuk mengenalkan dan menunjukkan rasa bakti dan hormat pengantin kepada keluarga dari kedua belah pihak.

Biasanya acara ini dilaksanakan di rumah pengantin pria terlebih dahulu, barulah ke rumah pengantin wanitanya. Isi upacaranya sederhana saja. Anggota keluarga yang sudah menikah(biasanya dimulai dari yang tertua), akan menerima secangkir teh dari pengantin.Setelah acara pemberkatan, selanjutnya adalah acara Tea Pay. Acara ini bertujuan untuk mengenalkan dan menunjukkan rasa bakti dan hormat pengantin kepada keluarga dari kedua belah pihak. Biasanya acara ini dilaksanakan di rumah pengantin pria terlebih dahulu, barulah ke rumah pengantin wanitanya. Isi upacaranya sederhana saja. Anggota keluarga yang sudah menikah(biasanya dimulai dari yang tertua), akan menerima secangkir teh dari pengantin. Hal berikutnya yang akan saya bahas adalah mengenai bahasa. Dalam setiap interaksi komunikasi antarbudaya paling tidak ada satu orang yang berbicara dalam bahasa kedua(diambil dari slide Pak Inco, bagian pendahuluan bagi pertemuan keempat)Nah, berdasarkan itu, saya akan menjelaskan variasi bahasa yang digunakan oleh para Tionghoa Medan ini.

Samovar membagi variasi bahasa menjadi lima, yaitu aksen, dialek, argot, slang, dan branding. Saya hanya akan membahas empat diantaranya berdasarkan hasil pengamatan saya:

1. Aksen: Para Tionghoa Medan yang sehari-harinya menggunakan bahasa Hokkian, memiliki aksen yang unik ketika mereka berbahasa Indonesia. Mereka memiliki penekanan di beberapa bagian dalam kata-kata, termasuk kata-kata berakhiran ‘k’ yang mereka ucapkan dengan samar-samar (“nampak” menjadi “nampa’”.)

2. Dialek: Adapun bahasa Hokkian yang mereka gunakan sebenarnya merupakan bahasa Mandarin berdialek Min Nan. Pada umumnya, selain Hokkian, Tionghoa Medan piawai dalam berbahasa Mandarin baik lisan maupun tulisan(Hokkian tidak memiliki bahasa tertulis bagai Hanzi dalam mandarin). Dalam kedua bahasa ini, terdapat kosa kata yang berbeda-beda. Misalnya kata “merah”, dalam bahasa Mandarin disebut “hóng”, sedangkan dalam bahasa Hokkian disebut “ang”.

3.Argot: Contoh argot yang saya temukan di sini adalah terdapat banyak sekali istilah untuk menentukan panggilan bagi anggota keluarga. Misalnya saudara perempuan dari orangtua, bisa disebut “a’i”, “i’i”, “a’cim”, “akim”, “kimkim”, atau “encim”. Istilah-istilah ini bisa saja membingungkan bagi orang-orang di luar kelompok(sebenarnya saya juga bingung. Tapi setidaknya saya tau artinya.)

4.Branding: Di sini, sekalipun datang ke sebuah restoran dimana orang-orangnya dapat diajak berbahasa Hokkian, semua dapat menerima dan mengerti bahwa kita ingin memesan air putih bila kita menyebut “Aqua”.

Masih mengenai bahasa, apakah kalian pernah mendengar kalau orang-orang di China sangat antipati terhadap penggunaan kata “Cina”? Beberapa orang di sini juga antipati terhadap penggunaan istilah tersebut. Mereka lebih suka disebut dengan “Zhongguo ren”(cungkwo ren), “Zhonghua(cunghwa)”, “Tionghoa”, “Chinese”(chay-nis)

Bagi mereka, penggunaan kata “Cina” memiliki konotasi yang sangat negatif karena diberikan oleh Jepang pada zaman perang. Orang Jepang yang pernah menjajah Indonesia saat itu pun menggunakan istilah ini untuk merujuk pada orang China di Indonesia. Penggunaan “Cina” kepada para Tionghoa sama buruknya dengan penggunaan “Indon”(istilah yang diberikan orang Malaysia) untuk merujuk pada orang Indonesia.

Memang tidak banyak yang mengetahui hal ini, terutama para anak muda yang memang sudah terbiasa menggunakan istilah “Cina” tanpa maksud menghina. Masalahnya, perbedaan persepsi mengenai penggunaan istilah ini dapat menyebabkan konflik bila tidak dipahami dengan baik.

Pembahasan secara teoritis saya berakhir sampai di sini. Berikut adalah pembahasan ekstra mengenai kebudayaan Komunitas Tionghoa Medan ini.

Saya akan melanjutkan cerita setelah pemberkatan pernikahan tadi. Acara yang dijalani setelah acara pemberkatan dari Vihara, adalah acara Tea Pay. Acara ini bertujuan untuk mengenalkan dan menunjukkan rasa bakti dan hormat pengantin kepada keluarga dari kedua belah pihak.

Biasanya acara ini dilaksanakan di rumah pengantin pria terlebih dahulu, barulah ke rumah pengantin wanitanya. Isi upacaranya sederhana saja. Anggota keluarga yang sudah menikah(biasanya dimulai dari yang tertua), akan menerima secangkir teh dari pengantin.Setelah acara pemberkatan, selanjutnya adalah acara Tea Pay. Acara ini bertujuan untuk mengenalkan dan menunjukkan rasa bakti dan hormat pengantin kepada keluarga dari kedua belah pihak. Biasanya acara ini dilaksanakan di rumah pengantin pria terlebih dahulu, barulah ke rumah pengantin wanitanya. Isi upacaranya sederhana saja. Anggota keluarga yang sudah menikah(biasanya dimulai dari yang tertua), akan menerima secangkir teh dari pengantin.

Bila salah satu pasangannya telah tiada, keberadaannya diwakilkan oleh kerabatnya yang lain.

Setelah menerima teh, pasangan suami-istri akan memberikan sesuatu sebagai ganti dari teh tersebut; dapat berupa perhiasan atau angpao berisi sejumlah uang. (Teh paling mahal yang pernah saya lihat...)


Resepsi pernikahan diadakan pada malam harinya. Sekilas, pada upacara ini tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan dengan resepsi pernikahan bergaya barat pada umumnya. Namun, perbedaannya terletak pada cara memperlakukan tamu-tamu undangan.
Berbeda dengan resepsi sambil berdiri yang sering kita jumpai, disini, SEMUA tamu undangan mendapat tempat duduk dan dapat menikmati acara pernikahan tersebut sambil duduk. Makanan juga didatangkan satu-per-satu ke atas meja, tidak perlu takut kehabisan karena saingan dalam mendapatkan makanan  hanyalah orang-orang yang ada di meja yang sama dengan kita saja.

Keluarga inti dari kedua mempelai dapat duduk paling depan, dekat panggung. Makanan yang disajikan pada mereka pun lebih mewah.


Bila di Jakarta, orang bisa saja(malah sering) datang-makan-pulang, di sini...sepertinya tidak bisa seenaknya. Acara dimulai dengan tepat waktu dan sementara makanan disajikan, tamu-tamu resepsi akan dimanjakan dengan pertunjukkan-pertunjukkan yang telah disewa oleh keluarga pengantin sebelumnya(bisa dibayangkan jika ada orang yang datang terlambat, bisa-bisa makanan sudah disajikan setengahnya dan ia hanya bisa menikmati setengah lagi variasi menu yang ada). Setelah serangkaian acara resepsi-makan-pertunjukkan selesai(di sini tidak ada tamu yang pulang duluan), barulah resepsi secara resmi dibubarkan dan tamu-tamu dipersilahkan untuk pulang maupun foto bersama pengantin.

Sebenarnya masih ada beberapa hal yang ingin saya tulis. Namun, mengingat angka batas yang ada, biarlah video pada post saya ini membantu menjelaskannya (N.B : Sebelumnya saya sangat memohon maaf atas kekurangan kualitas atau kekurangan informasi dalam video ini, selamat menyaksikan ^w^):

Semoga hasil observasi dan analisis saya ini dapat berguna(mungkin sekaligus menghibur) siapapun yang membacanya :D

7 comments:

  1. selamat siang .
    saya dari spin production ingin bertanya , kalau boleh tau itu letaknya dimana ya mas ?
    terima kasih

    ReplyDelete
  2. Terima kasih atas tulisannya menarik dan kaya akan informasi. Kebetulan saya sedang menulis yang berkaitan dengan komunitas tionghoa di Medan. Tulisan Anda membantu sekali. :)

    ReplyDelete
  3. Di Jawa Timur juga sama seperti di atas, cuma tidak berbahasa Hokkian dan tidak ada sesajen di gang.

    ReplyDelete
  4. AYO GABUNG DI INDOMONOPOLY DAN JADI MILYONER BARU DI INDONESIA!
    kunjungi web kami website http://bit.ly/1QULFBI
    Kunjungi juga blog kami http://idrmonopolyindo.blogspot.com

    ReplyDelete
  5. http://mynewgooger.blogspot.com/2017/06/blog-post_18.html


    http://angkasabolaaa.blogspot.com/2017/06/blog-post_18.html


    http://myangkasabbolaa.blogspot.com/2017/06/ahok-segera-dipindah-ke-cipinang.html










    AGEN JUDI TERBESAR DAN TERPECAYA SE ASIA
    ANGKASABOLA

    DENGAN BEBERAPA KEUNGGULAN DAN PELAYANAN TERBAIK
    HANYA DENGAN 1 USHER ID SUDAH BISA BERMAIN SEMUA

    GAMES SEPUASNYA SEPERTI ":


    1. SPORTBOOK
    2. TOGEL
    3. TANGKAS
    4. KENO
    5. SLOT
    6. POKER
    7. GD88
    9. 855CROWN

    DAN MASIH BANYAK GAME LAINYA YANG TIDAK KALAH

    MENARIKNYA


    ANGKASABOLA JUGA MEMILIKI BEBERAPA BONUS YANG MENARIK

    LOH BOSKU SEPERTI :

    1. BONUS CASHBACK 5%
    2. BONUS REFFERAL 2,5%
    3. BONUS ROLLINGAN CASINO 0,8%

    INFO :

    BBM : 7B3812F6
    TWITTER : CSANGKASABOLA
    INSTAGRAM : CS1ANGKASABOLAA
    LINE : ANGKASABOLA
    FACEBOOK ": ANGKASA BOLA

    ReplyDelete
  6. UANG KECIL JADI UANG BESAR???MAU???
    CUMA DI SUMOQQ YANG BISA!!!
    WAKTUNYA BERGABUNG BERSAMA KAMI SUMOQQ.INFO

    SITUS KARTU TARUHAN ONLINE TERPERCAYA DENGAN RATING KEMENANGAN TERTINGGI!!
    BONUS TERBESAR!!!

    MINIMAL DEPOSIT RP.15.000,-
    MINIMAL WITHDRAW RP.15.000,-
    MODAL MINIMAL HASIL MAXIMAL

    BONUS REFERAL SEUMUR HIDUP(20%)
    SETIAP 10HARI SEKALI
    BONUS ROLLINGAN TERBESAR (0,5%)
    SETIAP 5HARI SEKALI

    TERSEDIA 8 PERMAINAN TERFAVORITE:
    - . BANDARQ
    - . ADUQ
    - . BANDARPOKER
    - . POKER
    - . DOMINO99
    - . CAPSASUSUN
    - . SAKONG
    - . BANDAR66

    TRANSAKSI MUDAH DI 5 BANK BESAR :
    - . BCA
    - . BNI
    - . BRI
    - . MANDIRI
    - . DANAMON

    DILAYANI CS PROFFESIONAL 24JAM NONSTOP!!

    CONTACT KAMI :
    BBM : D8ACD825
    WA : +855964973259
    LINE : SUMOQQ88
    WECHAT : SUMO99QQ

    ReplyDelete