NIM : 11140110056
Kelas : E1
Kalian
tahu gak sih selain keragaman kuliner, ternyata di Jakarta juga memiliki keragaman
budaya loh. Salah satunya adalah Kampoeng Portuguese yang biasa kita
kenal dengan Kampung Tugu. Berlokasi di Kelurahan Semper Barat, Kecamatan
Cilincing, Jakarta Utara, saya berkesempatan untuk melakukan observasi di
Kampung tersebut. Mengapa di sebut kampung tugu? Kata Tugu berasal dari kata Portuguese. Jika diperhatikan kata
“Tugu” itu berasal dari tengah-tengah kata PorTUGUese.
Ada
cerita lain yang mengatakan bahwa kata2 “Tugu” berasal dari peninggalan
kerajaan Punawarman dimana diketemukannya satu tugu, batu bertulis di sekitar
wilayah Kampung Tugu yang sekarang ada di Semper Barat. Sekarang batu bertulis tersebut telah dimuseumkan
di museum Fatahilla, Jakarta Pusat.
Sekarang saya ingin cerita sedikit tentang sejarah
Kampung Tugu di Jakarta. Dulu saat kota Malaka (sekarang Malaysia Barat) yang
merupakan kota dagang Portugis jatuh ke tangan Belanda, banyak orang-orang Portugis
yang menjadi tawanan Belanda dan dibawa ke Batavia. Kemudian orang-orang
Portugis tersebut dibebaskan dan diberi nama “Mardijekers” yang berarti tawanan yang dibebaskan. Kebanyakan dari
mereka diberi nama Belanda bahkan tidak sedikit dari mereka yang berpindah
agama dari Khatolik menjadi Protestan. Memang Mayoritas orang portugis itu
beragama Khatolik tetapi karena adanya pembauran dari berbagai agama, warga
tugu lebih memilih pindah agama dari khatolik ke Kristen Protestan dan sampai
sekarang mayoritas masyarakat Tugu menganut agama Kristen Protestan.
Sebagaian
dari tawanan iini tahun 1661 oleh pemerintah VOC Belanda dibuang kesuatu tempat
sekitar 20 km sebelah tenggara Batavia, yang kita kenal dengan “TOEGOE”,
temapat yang penuh rawa-rawa dan binatang buas saat itu. Para serdadu Portugis
yang dibuang ke Kampung Tugu ini mendapatkan istri-istri dari penduduk sekitar,
seperti orang China dan orang Indonesia.
Keturunan mereka adalah keturunan berdarah campuran sehingga diberi
julukan “Mesteizen” yang berarti campuran.
Meskipun
terjadi perkawinan silang antara orang Portugis dan orang Pribumi ataupun orang
China, selama ini di Kampung Tugu tidak pernah mengalami konflik baik dari sisi
agama mau pun ras antar warga Tugu. Hal ini menunjukan bahwa orang Portugis
dapat bersosialisasi dengan baik di Indonesia pada dulunya. Narasumber
mengatakan bahwa karena adanya kerjasama dan saling berbicara satu sama lain
antar warga Tugu, konflik jarang dan cenderung tidak ada di Kampung Tugu ini.
Tapi
walaupun mereka hidup berbaur dengan orang-orang sekitar, mereka tetap
mempertahankan bnudaya dan adat istiadat Portugis untuk waktu yang cukup lama.
Mereka masih menggunakan bahasa Portugis dalam percakapan sehari-hari maupun
dalam kebaktian di Gereja. Barulah pada Tahun 1678 seorang pendeta Belanda,
Melcior Ley Decker mulai menggunakan bahasa melayu pada kebaktian-kebaktian di
gereja selain bahasa portugis. Lambat laun dengan menggunakan bahasa melayu
sebagai pengantar sehari-hari, bahasa portugis pun mulai hilang dengan
sendirinya, saat ini hanya sedikit orang saja yang masih dapat berbicara dengan
bahasa Portugis.
Dibawah
ini adalah gambar suasana perkampungan
di Kampung Tugu siang hari saat saya berkunjung kesana. Sedikit sekali
masyarakat yang beraktivitas di kampung ini, hanya terlihat anak kecil
mengendarai sepeda dan tidak ada aktivitas yang kental Portugis disana.
Saya juga sempat melihat dan tertarik untuk mengambil
gambar dimana sebuah rumah yang menggunakan hiasan natal di pintu masuk
rumahnya. Ini menunjukan bahwa masyarakat Kampung Tugu masih melakukan
tradisi-tradisi keagamaan dan masih berpegang erat dengan agama yang dibawa
oleh nenek moyang mereka yakni Protestan. Tetapi tidak sedikit pula yang
memeluk agama lain di Kampung Tugu ini.
Hiasan natal menghiasi salah satu pintu rumah warga Tugu |
Terkait
dengan komunikasi antar budaya, saya mendapatkan dan mengetahui pesan-pesan
non-verbal yang digunakan masyarakat Tugu yaitu zaman dulu para masyarakat Tugu
masih menggunakan lumpang untuk menumbuk padi dan setiap orang yang lewat
didepan rumah orang tersebut dia tahu bahwa orang itu sedang menumbuk padi. Ada
juga ketika mendengar bunyi “krining
krining” masyarakat tugu tahu kalau ada yang mengusir burung di depanrumah
mereka, walaupun mereka tidak melihat tetapi mereka tahu bahwa ada orang yang
mengusir burung. Tetapi saat ini sudah tidak ada lagi kegiatan seperti itu, yah kita tahu sekarang zaman semakin
modern dan masyarakat Tugu juga mengikuti modernisasi juga.
Ada
pula tradisi masyarakat Tugu yang masih sekarang dilakukan adalah mandi-mandi.
Tradisi mandi-mandi ini bukan berarti membersihkan diri menggunakan air tetapi
acara atau tradisi ini dilakukan untuk mengobati kerinduan orang portugis yang
ada diluar kampung tugu dengan kampungnya di tugu itu sendiri. Biasanya acara
ini diselenggarakan satu minggu setelah tahun baru atau perayaan natal. Sebelum
acara mandi-mandi ini digelar masyarakat Kampung Tugu menyelenggarakan
'Rabo-rabo', yakni bermain musik dengan berkeliling mengunjungi beberapa
keluarga yang tinggal di kawasan Kampung Tugu. Tradisi kebudayaan ini sudah ada
sejak zaman nenek moyangnya yang keturunan Portugis.
Mata
pencaharian di masyarakat tugu sekarang ini bermacam-macam ada yang menjadi
guru, pengacara, pegawai swasta, dan ada pula yang pengangguran.
Sejarah
Gereja Tugu
Bangunan Gereja
Tugu saat ini masih berdiri, bukanlah bangunan pertama dari Gereja Tugu. Pada
1661 saat orang-orang Tugu tiba di Kampung Tugu, ibadah mereka masih dilayani
oleh Jemaat Portugis di Jakarta, barulah pada 1678 Pendeta Melchior Leydecker
membangun sebuah gereja yang pertama diluar Jakarta. Gedung ini digunakan
selain untuk ibadah juga dipergunakan untuk kegiatan sekolah. Pada 1680 jumlah
orang kristen di Tugu mencapai 800 jiwa. Kemudian pada 1700 terjadi wabah
influenza yang parah sehingga banyak warga Tugu yang meninggal. Tahun 1738
dibangun gedung Gereja Tugu yang kedua menggantikan Gereja lama yang mengalami
kerusakan dimakan usia.
Tahun 1744 Yustinus Vink seorang tuan tanah
Cilincing membangun kembali sebuah
Gedung Gereja, sebagaimana kita lihat sekarang ini dan dipergunakan oleh
orang-orang Tugu untuk beribadah. Mayarakat Tugu sepakat untuk membuat area
pemakaman akan tetapi makam-makam tua saat ini tidak dapat dilihat karena
adanya tradisi pemakaman yang selalu digabungkan dengan sanak keluarganya yang
telah lebih dulu meninggal.
Komplek pemakaman ini bukan sembarangan komplek seperti
pemakaman umum, Mayarakat tugu sepakat untuk membuat komplek pemakaman ini
khusus bagi warga keturunan portugis. Yang dimakamkan disana ada kaitannya
dengan pembangunan Gereja pada saat itu. Nenek moyang mereka yang dimakamkan
disana lah yang membangun gereja GPIB Gereja Tugu.
Kemudian Tahun 1960 Gereja Tugu yang berlokasi di Jl.
Raya Tugu Semper No. 20, RT 010/06, Kel Semper Barat, Jakarta Utara, ditetapkan
dan di syahkan masuk menjadi anggota penuh GPIB
Gereja Protestan Tugu |
Di
kawasan Gereja Tugu ini juga terdapat sebuah lonceng yang konon katanya jika pukul
12 malam keatas lonceng tersebut berbunyi sendiri itu menandakan bahwa ada
warga Tugu yang meninggal atau menjadi lambang kematian. Hal ini adalah sebuah
pesan non-verbal yang hanya diketahui oleh masyarakat Tugu saja.
Lonceng Gereja Protestan Tugu |
Lonceng
pada gambar diatas adalah lonceng kedua yang dipasang dari tahun 1960. Lonceng
pertama digantikan karena sudah rusak tetapi mereka tidak membuangnya begitu
saja, mereka menyimpannya di dalam kotak kaca dan menaruhnya dipekarangan rumah
seorang pendeta yang bertempat tinggal di komplek Gereja Tugu.
Gereja
Tugu ini masih sering digunakan untuk kebaktian sampai sekarang. Banyak
kegiatan keibadahan yang dilakukan di gereja ini oleh masyarakat tugu yang
beraga kristen ataupun masyarakat lainnya di luar kampung tugu. Kegiatan yang
dilakukan biasanya pada hari minggu seperti kegiatan Gereja pada umunya, lalu
masih ada sekolah minggu untuk anak-anak kecil, dan sebagainya.
Keroncong
Tugu
Musik keroncong
bukan hanya berkembang di budaya Jawa saja loh tetapi ternyata di kebudayaan
Portugis juga keroncong sangat dikembangkan sebagai budaya khas dari
orang-orang keturunan Portugis di Indonesia. Keroncong memang dulunya
terpengaruh dari budaya Jawa dan mulai masuk ke Indonesia, tetapi saat itu
masyarakat Indonesia belum bisa dan tahu bagaimana mengembangkan keroncong ini
agar diminati oleh masyarakat, akhirnya orang Portugis yang ada di Batavia saat
itu mengembangkannya dan memaikan alat musik keroncong tersebut dan mengenalkan
kebudayaan keroncong ini kepada anak cucu dan keturunan portugis lainnya.
Alhasil keroncong Tugu mulai dikenal sebagai kebudayaan khas dari Portugis.
Keroncong ini
bukan dibawa oleh orang-orang portugis tetapi tercipta di Kampung Tugu tersebut
dan dimainkan oleh warga keturunan portugis yang tinggal di Kampung Tugu. Nenek
moyang atau para leluhurnya memainkan keroncong di kampung tersebut sekitar
tahun 1661. Mereka tidak hanya memainkannya dirumah, tetapi digereja untuk
mengiringi ibadah. Masyarakat Tugu tidak pernah lepas dari alat musik
keroncong.
Saya
sangat beruntung sekali dapat menyaksikan Keroncong Tugu yang diorganisasikan oleh
masyarakat Kampung Tugu asli dan dipimpin oleh pak Andre Juan Michiels. Pas sekali mereka akan menunjukan kebolehannya
dalam acara Pasar Ikan Fair II 2012 yang diadakan di Pasar ikan, Jakarta Utara
tidak jauh dari tempat Kampung Tugu. Mereka memainkan beberapa lagu, diantaranya
lagu Jogjakarta, Nonton Bioskop, dan lagu-lagu lawas lainnya yang pasti dikombinasikan
dengan alunan musik keroncong khas kampung tugu. Tidak hanya lagu Indonesia
saja yang dibawakan oleh komunitas ini tetapi mereka juga mereka membawakan
satu lagu asli dari portugis yang dibawakan oleh putri dari Pak Andre sendiri .
Alunan musik keroncong Tugu dikombinasikan dengan lagu berbahasa protugis
secara apik dikemas oleh komunitas keroncong tugu dan membuat decak kagum
seluruh penonton. Tidak sedikit juga yang memberi tepuk tangan yang meriah
seusai mereka tampil.
Komunitas Keroncong Tugu saat tampil di Pasar Ikan Fair 2012 |
Nah, setelah saya asyik melihat
penampilan dari komunitas keroncong tugu tersebut dipanggung, saya juga
berkesempatan untuk ngobrol-ngobrol
tetang sejarah berdirinya komunitas keroncong tugu ini dan bagaimana keroncong
itu bisa masuk ke dalam masyarakat portugis.
Ternyata Keroncong
Tugu yang dipimpin oleh pak andre sekarang ini adalah buah regenerasi yang
dilaksanakan pada 12 Juli 1988. Sebelumnya ayah dan kakak pak andre sudah
bermain, tetapi ngomongin sekarang ini yang modern, kami sudah melakukan
regenerasi pada 2008 lalu kepada anak-anak agar mereka lebih cepat mengenal
musik keroncong.
Komunitas ini
tidak hanya bermain dari panggung-panggung biasa saja tetapi komunitas yang
dipimpin oleh pak Andre ini juga pernah bermain di Istana Negara dihadapan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 12 Juli 2008 dan tepat pada saat
komunitas keroncong ini merayakan ulang tahunnya yang ke 20. Komunitas ini juga
pernah menyambut presiden Brazil yang datang ke Indonesia dengan alunan
kerongcong tugu yang khas. Tidak hanya di dalam negeri saja, ternyata mereka juga
menembus kancah Internasional. Mereka pernah tampil di Singapura, Malaysia, dan
Belanda.
Pemimpin komunitas
keroncong tugu, Andre Huan Michiels adalah
orang keturunan asli dari portugis, telihat dari raut wajah beliau yang masih
telihat seperti orang portugis. Keluarga pak Andre ini terhitung generasi
ke-10. Fams Michiels adalah salah satu dari 6 fams yang tersisa di kampung
tugu. Beliau juga masih tinggal di Kampung Tugu yang sebelumnya saya kunjungi
dan dia memiliki rumah, dimana rumah itu adalah rumah tertua yang ada di
Kampung Tugu, peninggalan dari nenek moyangnya. Dirumah itu pula komunitas
keroncong tugu tersebut latihan setiap harinya.
Pada saat
pelantikan Gubernur DKI Jakarta, Jokowi-Ahok kemarin sebenarnya komunitas
ini telah menyiapkan lagu khusus tetapi
sayang sekali mereka tidak dapat menunjukan kebolehannya di depan Pak Jokowi karena setelah pelantikan Pak
Jokowi langsung turun ke massa tidak ke ruang VIP.
Keroncong itu
musik asli dari Indonesia tetapi ada beberapa alat musik yang dibawa oleh nenek
moyang mereka dari negara portugis dan terjadi percampuran dengan musik
masyarakat setempat. Perbedaan keroncong tugu ini dengan keroncong lainnya
adalah dimana dalam keroncong tugu ini salah satu alat musiknya menggunakan
perkusi,macina, gitar, jimbe, dan flute(adiitional).
Satu hal yang membedakan adalah lagu-lagu yang dibawakan dan penyanyinya.
Biasanya kita mengenal penyanyi yang ada dalam keroncong-keroncong di jawa ada
sinden, tetapi di komunitas keroncong tugu ini mereka tidak memakai sinden.
Mereka bermain alat musik dan sambil bernyanyi. Lagu-lagu yang dibawakan pun bervariasi tidak hanya lagu-lagu daerah
yang dibawakan.
Terkait dengan
budaya sekarang ini menurut Pak Andre sendiri bahwa keroncong akan makin
berkembang karena saat beliau melihat internet, rupanya di daerah-daerah pun
bertumbuh musik keroncong tetapi kurang terekspos oleh media. Beliau juga
mengatakan bahwa di Surabaya musik keroncong masuk kedalam kurikulum SMP dan
adapula yang membuat perlombaan adu musik keroncong antar sekolah. “menanamkan
rasa cinta terhadap keroncong dimulai dari sekolah dan jangan mengharapkan dari pemerintah
saja,” ucapnya.
Beliau juga
mengatakan bahwa tidak kawatir terhadap perkembangan musik keroncong karena
cara mereka tampil dapat diterima oleh masyarakat. Tidak hanya lagu keroncong
saja yang mereka bawakan tetapi lagu-lagu yang
diinginkan oleh penonton juga akan dibawakan sesuai dengan request-an dan dengan irama keroncong
tentunya. “Keroncong seharusnya mengikuti perkembangan zaman. Pada saat ini
kita sudah memasuki era 2012 ke 2013 tidak mungkin kita hanya berpatokan pakem
dengan yang ribuan tahun 25 atau 30 oleh Pak Gesang. Tentunya kan era sudah
berubah alat musik pun kita harus modifikasi dengan alat yang lebih bagus,”
saran Pak Andre saat dilontarkan pertanyaan terakhir.
Keberagaman
kebudayaan di Tanah Air kita tercinta ini patutlah dilestarikan. Jangan karena
zaman sudah modern kebudayaan-kebudayaan yang kita miliki pupus begitu saja.
Kita harus belajar banyak dari masyarakat portugis ini yang masih
mempertahankan kebudayaan mereka dengan melestarikan keroncong yang dibawah
oleh nenek moyang mereka. Yah walapun memang sebagian orang lebih memilih untuk
hidup yang modern dan tidak mau mengenal budayanya sendiri tetapi kita sebagai
manusia yang berpendidikan, kiranya kita harus menjaga budaya itu agar generasi
setelah kita dapat tetap menikmati dan merasakan bagaimana kebudayaannya dulu
dan masih dilestarikan sampai sekarang dan sampai kapan pun.
Saya dan Komunitas Keroncong Tugu |
No comments:
Post a Comment