Pages

Tuesday, January 1, 2013

Fenomena Bahasa di Kampung Betawi


NIM : 11140110221
Nama : Imanuel Krisma Hutama
Kelas : E1




Sosoknya yang selalu kocak, sangat khas bagi warga di Indonesia. Ia pandai bernyanyi, pandai pula berakting. Cletukan “muke lu jauh!” sangat melekat di hati masyarakat Indonesia. Ia juga merupakan pelawak, sekaligus seniman Betawi. Siapa dia?

Dia adalah Benyamin Sueb, salah satu tokoh legendaris Betawi. Kriprahnya sebagai penyanyi dan pemain film sangat di kagumi masyarakat Indonesia. Tak heran, bila pria asal Kemayoran ini sudah menghasilkan lebih dari 75 album musik dan 53 judul film.

Ia sangat di kagumi masyarakat Indonesia terutama warga Jakarta sendiri. Sebagai orang asli Jakarta, otomatis darah Betawi sudah mengalir di dalam dirinya. Pria yang pernah menjadi pedagang roti ini sangat menjunjung tinggi kebudayaan Betawi. Dia lah yang membawa kebudayaan Betawi hingga ke mancanegara. Sehingga, ia mendapat beberapa penghargaan. Seperti,

Piala Citra 1973 dalam film Intan Berduri (Turino Djunaidy, 1972) bersama Rima Melati, Piala Citra 1975 dalam film Si Doel Anak Modern (Sjuman Djaya, 1975), lalu Jalan Landas Pacu Kemayoran diubah menjadi namanya, dan pada November 2011 H.Benyamin Sueb mendapat penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara.

Ia memang seorang seniman yang selalu mengangkat budaya Betawi di Jakarta, dimana tingkat modernisasi semakin meninggi. Di zamannya, Jakarta sangat kental dengan budaya Betawi. Tetapi ketika ia menghembuskan nafas terakhir pada 1995, seakan aroma betawi lenyap secara perlahan oleh modernisasi yang semakin berkembang.

Arus globalisasi deras mengguyur kota Jakarta. Budaya dari barat mulai membanjiri dunia hiburan Indonesia. serial TV seperti “Si Doel Anak Betawi” yang mengdepankan nilai-nilai budaya pun lenyap. Makin kedepan, hanyalah sinetron dengan mutu yang rendah yang tidak ada nilainya sekalipun.

Tidak hanya itu, Ibu Kota Indonesia ini seakan memiliki daya magnet bagi masyarakat Indonesia, menjadi tujuan banyak orang untuk mencari nafkah yang lebih baik. Pada 31 Oktober 1990, menurut data dari Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Jakarta sebesar 8.259.639 jiwa, lalu pada 30 Juni 2000 sebanyak 8.384.853, 1 Januari 2005 sebanyak 8.540.306, 1 Januari 2006 sebanyak, 7.512.323, Juni 2007 sebanyak 7.552.444, dan pada 2010 sebanyak 9.607.787 jiwa.

Dari jumlah penduduk sebanyak itu, Jakarta sering dikatakan sebagai budaya mestizo, yaitu percampuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Belanda, Jakarta sudah menjadi tempat yang menarik bagi pendatang dari dalam dan luar Indonesia. Sehingga, pada saat ini, ada banyak suku yang mendiami Jakarta, antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain itu, Jakarta juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.

Bertambahnya penduduk dan suku-suku di Jakarta dari tahun ke tahun menyebkan suku Betawi, sebagai suku asli Jakarta semakin berkurang. Bersumber dari id.wikipedia.com, pada 1930, suku Betawi memliki persentase sebanyak 36,19 %, lalu pada 1961 menurun sebanyak 22,9 %, dan pada 2000 sempat naik, yakni sebesar 27,65 %. Walau pun sempat naik, tetapi masih kalah dengan suku Jawa yang berjumlah 36,16%.

Pembangunan yang tidak bijak pun juga turut mempengaruhi perkembangan Kota Jakarta. Seperti yang kita tahu secara bersama, gedung-gedung pencakar langit mulai mengisi sudut ruang Kota Jakarta. Saat ini di Jakarta tercatat ada 75 gedung yang berdiri, meningkat dari tahun 2009 yang hanya 40 gedung. Sekarang Indonesia (Jakarta) berada di posisi 50 besar negara dengan jumlah gedung terbanyak dan diramalkan pada 2020, jumlah gedung di Jakarta akan mencapai 250 gedung pencakar langit.

Pusat hiburan dan belanja seperti mall pun ikut mewarnai kota Jakarta dengan menyebar di setiap Kotamadya. Setidaknya terdapat lebih dari 10 mall yang ada di setiap Kotamadya di Jakarta. Seperti yang dilansir oleh vivanews.com,  jumlah pusat hiburan dan belanja yang ada di Jakarta mencapai 170 lebih dan telah melebihi batas ideal dari jumlah penduduknya.

Bertambahnya jumlah gedung dan mall setiap tahunnya sangat mempengaruhi tata letak pembangunan kota. Apakah kita sering melihat taman kota di Jakarta? Saya yakin tidak, karena saat ini di Jakarta hanya ada gedung-gedung, mall, dan pemukiman padat penduduk. Ditambah budaya para pendatang setelah Lebaran yang beramai-ramai datang ke Jakarta.

Kaum urban yang datang ke Jakarta sangat mempengaruhi kondisi budaya di Jakarta sendiri. Seperti yang sudah tertera di atas, bahwa sejak zaman Belanda dahulu, Jakarta sudah menjadi pusat tujuan semua orang. Mereka datang dengan membawa budaya masing-masing, terlebih dengan jumlah pendatang yang sangat banyak. Hal ini menyebabkan Betawi sebagai budaya Jakarta mulai hilang atau tersingkir.

Melihat hal ini, para budayawan, pemerhati budaya Betawi, dan Lembaga Kebudayaan Betawi memiliki semangat dan tujuan untuk melestarikan serta mengembangkan budaya Betawi. Mereka menginginkan sebuah tempat, dimana budaya betawi dapat dilestarikan dan dikembangkan sehingga dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.

Berawal dari memilih lokasi yang tepat untuk didirikan sebuah perkampungan Betawi. Terdapat 4 lokasi yang menjadi kandidat, yaitu Kampung Rawa Belong (Jakarta Barat); Kampung Setu Babakan, Serengseng Sawah (Jakarta Selatan); Rumah Si Doel, Condet (Jakarta Timur); Kampung Si Pitung, Marunda (Jakarta Utara).

Setelah ditimbang-timbang, Kampung Setu Babakan ternyata cocok dan memenuhi syarat karena komunitas masyarakat Betawi dan adat istiadatnya masih kental. Sehingga dikeluarkannya SK Gubernur No.92 Tahun 2000 yang menetapkan lokasi ini sebagai Perkampungan Budaya Betawi.

Pada tanggal 20 Januari 2001 ditandatangani prasasti penggunaan awal oleh pejabat setempat. Dan di tahun 2005 tepatnya tanggal 10 Maret, dikeluarkan Peraturan Daerah yang isinya mencakup lebih detail mengenai Perkampungan Budaya Betawi di Srengseng Sawah ini sekaligus juga memuat peraturan-peraturan yang berlaku berikut sanksi-sanksi terkait di dalamnya.

Terletak Jl Muhammad Kahfi II- Srengseng Sawah Jagakarta, Jakarta Selatan. Sebuah perkampungan asri yang mengelilingi 2 buah setu atau danau, yaitu Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong. Berawal dengan luas 165 hektar pada tahun 2000, lalu berkembang menjadi 289 hektar pada tahun 2005.


Salah satu sudut Danau Babakan

Kampung Betawi ini merupakan suatu kawasan di Jakarta dengan komunitas yang ditumbuhkembangkan budaya Betawi yang meliputi seluruh hasil gagasan dan karya baik fisik maupun non fisik yaitu kesenian, adat istiadat, foklor kesastraan dan kebahasaan, kesejarahan serta bangunan yang bercirikan kebetawian. Pernyataan ini berada di dalam Ketentuan Umun Bab I Pasal 1 Perda Prov.DKI Jakarta No.3 Tahun 2005.

Di Perkampungan Setu Babakan ini memiliki fokus 3 potensi budaya yang dikembangkan, yaitu wisata budaya, seperti seni bela diri, seni tari, rumah-rumah adat betawi, dan makanan adat Betawi. Lalu ada wisata air, yaitu berupa perahu kayuh yang disewakan. Dan wisata tanaman, dimana di perkampungan betawi ini terdapat tanaman khas Betawi yang dilestarikan.

Rumah adat Betawi, Rumah Kebaya

Terlepas dari itu semua, penduduk di Setu Babakan sangat diuntungkan dengan adanya tempat wisata kampung Betawi. Banyak dari mereka yang menggantungkan nasibnya pada dagangan yang mereka jajakan di wilayah ini.

Para Penjual Makanan

Di setiap pinggiran danau, mereka berjualan dengan makanan-makanan khas Betawi. Ada Kerak Telor, Soto Betawi, Roti Buaya, Bir Peltok, Toge Goreng, dan lain-lain. Tidak hanya itu, di sini juga di jajakan aneka permainan boneka Betawi.

Roti Buaya dan Bir Pletok


Kerak Telor

Seperti Rudi, pedagang boneka Betawi ini mengaku senang ketika bisa berjualan di Kampung Betawi Setu Babakan. Menurutnya dengan kondisi fisiknya yang tidak sempurna, ia tetap bersyukur dapat menjalankan pekerjaan yang halal. Pria berkacamata ini selalu senang bila hari minggu tiba, karena menurutnya bila hari biasa, Kampung Betawi ini sepi, sedikit yang berkunjung.

Rudi ketika melayani pembeli

Ia menyatakan, walaupun ramai pengunjung tak banyak yang membeli, biasanya mereka hanya melihat-lihat dan pergi begitu saja. Ia mematok harga hanya Rp 35.000 rupiah untuk satu boneka.  Dalam satu hari, bila hari Minggu, ia hanya mendapatkan sertus sampai dua ratus ribu rupiah per hari. Rudi terkadang sedikit sedih ketika mengalami hal seperti ini. Tetapi, menurutnya ini perkerjaan yang halal, dia hanya bisa menerima dan bersyukur kepada Tuhan. Ya, hanya dengan ini lah mereka bisa mencari nafkah, bergantung dari para pengunjung yang datang setiap hari Minggu.

Akhir pekan di Kampung Setu Babakan ini memang selalu menyuguhkan acara tradisiaonal khas Betawi. Setiap Minggu pagi selalu diadakan senam pagi bersama di sebuah lapangan terbuka. Di tempat yang berbeda, ada sebuah panggung yang di jadikan latihan tari khas Betawi dan seni bela diri sampai pukul 12 siang. Masih di tempat yang sama, pukul 1 siang sampai 4 sore, ada pergelaran kesenian tetater betawi. Pemain dari Suku Dinas Kebudayaan Kota Administrasi Jakarta Selatan.

Pencak Silat Beksi

Budaya Betawi memang selalu dikembangkan di dalam perkampungan ini, terbukti dengan adanya acara rutin setiap akhir Minggu. Tetapi bagaimana dengan kehidupan masyarakat sehari-harinya? Bagaimana perkembangan budaya Betawi di tengah-tengah masyarakat?

Sebelumnya, mari kita mengetahui pengertian arti dari budaya itu sendiri. Budaya merupakan cara hidup yang selalu berkembang, dimiliki secara bersama oleh suatu kelompok dan diwariskan secara turun menurun. Lalu, dari mana budaya terbentuk? Budaya terbentuk dari banyak elemen, yaitu sejarah, agama, nilai, organisasi sosial, dan bahasa.

Sejarah sebagai salah satu elemen sangat berperan penting dalam pembentukan Budaya Betawi. Untuk di ketahui secara bersama, Budaya Betawi masih terbilang baru, karena baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Pada 1610, VOC (orang Belanda yang tergabung dalam persekutuan dagang) masuk ke Indonesia dan menguasai daerah Batavia (Jakarta). Penguasaan ini menjadikan kota ini tertutup bagi masyarakat pribumi. Semua dipagari oleh tembok yang kokoh dan dijaga ketat oleh para serdadu VOC. Di dalamnya hanyalah orang Belanda dan para budak yang berasal dari Jawa, Sunda, Sulawesi Selatan, Sumbawa, Ambon dan Banda, dan Melayu.

Selain itu, Batavia merupakan pusat kekuasaan dan menjadi pintu perdagangan dari segala arah, sehingga banyak orang dari luar Batavia untuk berdagang. Mereka masuk ke Batavia dengan membawa kebudayaan masing-masing. Dan dapat dikatakan bahwa Betawi terbentuk dari berbagai suku, ras, dan sebagainya yang masuk ke Batavia

Demikian juga mengenai bahasa, sebagai salah satu elemen pembentuk budaya. Kita selalu mendengar kata dengan akhiran vokal /e/  seperti kenape, gue, iye, dan lain-lain dalam ucapan bahasa Betawi. Subdialeg seperti itu banyak digunakan oleh masyarakat Betawi Tengah. Betawi Tengah merupakan sebutan untuk wilayah Betawi (selain Betawi pinggiran) atau juga disebut dengan Betawi Kota (di tengah Kota Jakarta sekarang).

Menurut Irma, Humas Kampung Betawi Setu Babakan, bahasa yang digunakan masayarakat Kampung Setu Babakan adalah menggunakan Bahasa Indonesia. Menurutnya, sebelum dibangun perkampungan, masyarakat disini sudah ada lebih dulu dan mereka sudah menggunakan Bahasa Indonesia pada umumnya. Tetapi banyak juga pendatang dari Betawi Tengah yang datang dan otomatis orang asli kampung Setu Babakan ikut juga menggunakan bahasa tersebut.

Beda dengan Irma, Abdul Khorim, mantan pengurus Kampung Betawi menyatakan, masyarakat Perkampungan Setu Babakan ini sejak dulu sudah terdiri dari beragam etnis dan budaya. Ketika ada orang Betawi yang berbaur dengan orang non Betawi, hal ini menyebabakan kemunduran dalam segi bahasa. Menurutnya, budaya Betawi sendiri mulai tersingkir dan bahasa Betawi itu sendiri, hilang secara perlahan.

Dari dua pernyataan dia atas, terdapat dua pendapat yang berbeda. Menurut Irma, warga asli Kampung Setu Babakan yang sudah terdiri dari beberapa etnis, baik dari Betawi sendiri, mulai mengikuti bahasa pendatang, yaitu bahasa Betawi Tengah. Tetapi menurut Abdul Khorim, dengan adanya pembauran antar warga Betawi dan non Betawi, berakibat mundurnya bahasa betawi itu sendiri.

Berarti, telah terjadi dua fenomena bahasa di Kampung Betawi Setu Babakan. Terjadi pengikutan bahasa dan memudarnya bahasa itu sendiri. Walau terdapat dua fakta yang berbeda, dua hal ini benar adanya. Berdasarakan pengamatan dengan orang yang saya ajak bicara, seperti Abdul Khorim, ia berbicara dengan Bahasa Indonesia. Lalu, dengan Rudi, penjual boneka Betawi, dia berbicara dengan logat Betawi.

Sebenarnya, tidak heran bila bahasa sebagai salah satu elemen pembentuk budaya mulai memudar, terlebih budaya Betawi yang berada di Jakarta, kota metropolitan. Jakarta sebagai Ibu Kota Indonesia memang menjadi pusat di segala bidang, seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Bila Jakarta tidak mengikuti arus zaman, Budaya Betawi tetap aman, tetapi Jakarta akan tertinggal oleh modernisasi.

Semua kembali ke diri kita masing-masing, bagaimana kita menyikapi hal tersebut. Bila ada 2 pilihan, mempertahankan budaya yang sudah ketinggalan zaman atau mengikuti arus zaman tersebut? Itu bukan pilihan, satu-satunya jalan adalah menjalankan dua-duanya. Hal ini memang sulit, mempertahankan budaya sambil mengikuti arus zaman.

Tetapi ada contoh, yaitu budaya masyarakat Jepang, dimana tata cara menunduk setiap bertemu dengan orang. Hal ini selalu mereka lakukan, tetapi Jepang sendiri merupakan salah satu negara maju di dunia setelah perang dunia dua. Terlebih dalam dunia otomotif, seperti Honda dan Yamaha. Dua  perusahaan ini dapat menguasai pasar otomotif dunia.

Namun, kita juga dapat berpikir seperti para budayawan yang kritis dalam melihat sebuah budaya yang mulai hilang. Mereka berusaha membangun kembali sebuah budaya yang dapat dilestarikan dan dikembangkan, sehingga dapat diperlihatkan secara turun menurun, dimana sesuai dengan perngertian budaya tersebut.

Kampung Betawi Setu Babakan menjadi hasil pemikiran keras mereka dan tentu ini juga didukung dari masyarakat yang mau berusaha melestarikan kebudayaan Betawi. Kampung betawi ini juga merupakan contoh, bahwa kita dapat mempertahankan budaya di tengah perkembangan zaman yang semakin maju.



No comments:

Post a Comment